Share

Pesona Adik Ipar
Pesona Adik Ipar
Penulis: Soesan

Bab 1

Seorang gadis dengan pakaian sederhana dan tas ransel di punggungnya berdiri di tengah keramaian terminal kota. Menatap ke segala arah seolah sedang menunggu seseorang. Seorang pria melongok kepala ke arah gadis itu.

"Apa kamu yang bernama Laras?" tanya pria itu.

Laras melihat pria tersebut dengan rasa ragu, "Kamu siapa?"

"Aku, Bram. Rere menyuruhku untuk menjemputmu."

Laras masih ragu dengan ucapan pria itu, "Tapi kak Rere tidak bilang kalau menyuruh orang lain untuk menjemput aku. Dia bilang, dia sendiri yang akan datang dan menjemput aku," ucap gadis itu polos.

"Dia sedang ada pemotretan. Bagaimana, kamu mau ikut denganku atau mau menunggunya datang? Mungkin bulan depan dia baru datang," ucap pria itu kesal.

"Tunggu! Aku akan menelponnya."

"Tidak ada waktu! Kalau mau pergi, sekarang masuklah! Tapi kalau tidak, aku akan meninggalkanmu."

Laras melihat pria itu sekali lagi, sepertinya pria itu tidak berbohong. Laras masuk ke dalam mobil belakang pengemudi.

"Kamu kira aku sopirmu? Pindah ke depan!" Pria itu merasa geram. "Adik sama kakak, sama saja," gerutunya mengucapkan kata pelan pelan.

"Maaf," lirih Laras duduk di samping Bram.

Sepanjang perjalanan Laras hanya terdiam dan menunduk. Memandang ke arah jalan, lurus ke depan. Pria itu pun tetap fokus pada kemudinya.

Hari ini Bram merasa kesal, Rere memaksanya untuk datang menjemput adiknya dan mengatakan bahwa dia akan tinggal bersama mereka tanpa membicarakan terlebih dahulu dengannya. Bahkan Bram tidak diberi kesempatan untuk mengatakan tidak atau setuju pada keputusannya itu.

Bram memasuki pekarangan rumah yang bisa dibilang mewah dengan pintu teras besar dan mobilnya berhenti tepat di depan pintu teras.

"Turunlah! Kita sudah sampai."

Laras menuruti perintah pria itu dan turun mengikuti langkahnya.

"Kak, apa ini rumah kak Rere?" tanya Laras merasa kagum dengan kemewahan rumah itu. 

"Ini rumahku," jawab pria sambil terus berjalan masuk. Sikapnya terlalu dingin, malah terkesan tidak menyukai kedatangan laras.

Laras menghentikan langkah dan kekagumannya, lalu memperhatikan Bram. "Bukankah Kakak tadi bilang mau mengantar aku ke rumah kak Rere? Kenapa kita ke rumah Kakak?"

Karena Bram tidak menghentikan langkahnya, Laras mengikuti langkah pria itu, lalu menarik tangan Bram sehingga pria itu berbalik dengan cepat menghadap Laras.

"Ini rumahku bersama Rere?"

"Maksud Kakak, kalian tinggal dalam satu rumah?" Laras tidak percaya.

"Iya, kenapa?"

"Tapi kak Rere belum menikah? Kenapa harus tinggal satu rumah dengan seorang pria?"

"Aku dan dia sudah menikah, tapi diam-diam."

"Kenapa seperti itu? Mengapa kak Rere tidak pernah bilang pada kami?" Laras sedih dan kecewa.

"Mana aku tau. Tanya saja pada kakakmu!"

"Jangan-jangan Kak Bram yang bohong."

"Kamu pikir aku penipu? Sudahlah! Aku tidak mau berdebat denganmu. Kamarmu ada di sebelah sana!" Bram menunjukkan satu kamar di sudut ruangan.

Laras tidak percaya begitu saja mengenai hubungan Rere dengan Bram. "Aku yakin pria itu pasti berbohong. Mana mungkin kak Rere melakukan pernikahan tanpa persetujuan ayah dan bunda?" ucap Laras sendiri.

Laras berjalan menuju kamar yang ditunjukkan oleh Bram, sedangkan Bram sudah meninggalkannya sejak pria itu berbicara terakhir padanya. Dia membuka pintu dan masuk. 

Mata Laras beredar ke seluruh isi kamar. Dia kembali merasa kagum dengan apa yang dia lihat.

Wow! Besar sekali kamar ini!"

Laras berjalan menuju ke jendela kaca yang ada di salah satu sudut kamar. Matanya melihat ke arah luar, terlihat sebuah taman yang sangat asri.

"Wah, beruntung sekali kak Rere memiliki rumah besar dan mewah seperti ini."

Setelah mengagumi pemandangan luar, Laras berjalan mengitari kamar itu dan duduk di tepi tempat tidur. Tangannya menepuk dan mengusap lembut permukaan kasur.

"Wah, kasurnya empuk banget."

Gadis itu membaringkan tubuhnya dengan senang dan merasa sangat bahagia. Laras berguling-guling menikmati kenyamanan kasur seperti anak kecil.

Bram yang sedari tadi memperhatikannya dari balik pintu yang sedikit terbuka merasa heran dan geli dengan tingkah gadis itu. Kepalanya menggeleng mencibirnya sebagai wanita kampungan, lalu meninggalkan gadis itu dan membiarkannya menikmati kemewahan yang ada di rumahnya.

Karena merasa sangat nyaman dengan kasur empuk, Laras pun tertidur dengan pulas. Hingga malam menjelang, dia baru bangun.

"Hah! Sudah malam?" Laras kaget.

Dia pun merasakan kegelapan menyelimutinya. Laras bangkit dari tidurnya dan berjalan mencari skalar lampu. Dia meraba-raba mencari saklar untuk menghidupkan lampu.

Duk!

"Aduh!" Laras merasakan sakit luar biasa saat kaki terantuk kaki meja.

"Sial! Mana sih saklarnya?" lirihnya kesal.

Lama Laras mencari, tapi tidak menemukan.

"Kakak! Kak Bram!" panggil Laras dengan berteriak.

Pintu terbuka. Bram heran melihat ruangan itu gelap gulita.

"Kak Bram, tolong aku! Aku tidak tau di mana saklar lampunya," ucap gadis itu polos.

Bram berjalan dan menghidupkan lampu. Ruangan menjadi terang benderang. Wajah polos Laras tersenyum senang.

"Lagian kenapa sih kamu gelap-gelapan?" Suara Bram terdengar kesal.

"Aku baru bangun, Kak, tiba-tiba gelap. Aku nggak tau di mana saklarnya," ucap gadis itu sambil memegang jempol kaki yang sakit.

Bram memperhatikan kaki gadis itu. "Kenapa kakimu?"

Pria itu memicingkan mata ke arah Laras dengan sedikit sinis dan dingin.

"Kepentok meja. Sakit!" katanya seperti anak kecil.

Laras adalah gadis berumur delapan belas tahun. Wajahnya cantik natural dan polos. Dia ke kota karena permintaan ayah tirinya agar dia melanjutkan kuliah di kota dan tinggal bersama Rere, kakak tirinya.

Selama ini hubungannya dengan Rere tidak pernah baik-baik saja. Bahkan dia sering disakiti dan ucapan Rere padanya selalu kasar. Meski begitu, Laras masih tetap menyayanginya.

"Makanya, lain kali kalau bangun jangan malam-malam! Pagi sekalian!" Bram berbicara ketus, lalu pergi meninggalkannya.

"Ish, kenapa juga kak Rere mau dengan pria seperti itu? Menyebalkan!" Laras menggerutu kesal.

Laras berjalan ke kamar mandi dengan kaki pincang. Dia akan mandi karena terasa lengket. Setelah selesai mandi dan rapi, Laras keluar kamar karena merasakan perutnya keroncongan, lapar.

"Huh, lapar sekali perutku," ucapnya memegangi perut.

Laras berjalan ke dapur. Dilihatnya meja makan kosong, tidak ada makanan satu pun.

"Yah, aku makan apa dong?" ucapnya lesu.

"Kalau mau makan, masak sendiri! Bibik sedang cuti jadi tidak ada makanan." Tiba-tiba suara Bram mengejutkannya.

Dengan wajah cemberut karena kesal Bram telah mengejutkannya dan juga tidak bersikap baik padanya, Laras berjalan membuka kulkas. Dilihatnya banyak bahan makanan, Laras merasa beruntung dan senang.

"Aku buat nasi goreng sayur saja, pasti enak."

Gadis itu mengambil sayuran dan telor. Tangannya begitu terampil memainkan pisau dan alat masak lainnya.

Bagaimana tidak? Dia selalu membantu bundanya memasak setiap hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status