Pagi-pagi Laras sudah terbangun dan bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan. Bangun pagi dan membuat sarapan sudah menjadi kebiasaan gadis itu selama tinggal bersama orang tuanya.
"Emmm, nyenyak sekali tidurku. Ternyata enak ya, tidur di tempat orang kaya. Kasurnya empuk, pantas saja mereka berlomba-lomba menjadi orang kaya. Eh, aku juga mau." Laras seperti orang mimpi di pagi hari, ngomong sendiri, senyum sendiri dan tertawa sendiri sembari menutup mulutnya menggunakan dua tangan.Bunda Laras selalu mengajarkan putrinya untuk hidup mandiri. Semenjak ayah kandungnya meninggal dalam kecelakaan, Laras memang dituntut untuk mandiri. Waktu itu umurnya baru sepuluh tahun, tapi dia harus membantu bundanya bekerja mencari uang untuk biaya hidup.Laras tidak pernah mengeluh meski hidupnya susah. Hasil dari ketekunan dirinya dan bunda, akhirnya mereka bisa mendirikan toko kelontongan. Meski hanya kecil, dari hasil penjualan sembako cukup untuk biaya hidup dan sekolah untuk Laras.Laras termasuk gadis yang pandai dalam hal akademik, makanya dia selalu mendapat beasiswa. Bahkan biaya kuliahnya saat ini juga merupakan beasiswa, makanya Laras harus pergi ke kota untuk melanjutkan kuliahnya. Untung ada kakak tirinya, Rere, yang sudah lebih dahulu pergi ke kota untuk kuliah dan bekerja.Laras dengan cekatan menyiapkan beberapa menu sarapan pagi ini."Ah, syukurlah semua sudah beres," ucap Laras menepukkan kedua tangan melihat makanan sudah tersaji di meja. Bibirnya kembali mengembangkan senyum puas melihat hasil kerja tangannya pagi ini."Lebih baik aku mandi dulu sambil menunggu kak Bram turun untuk sarapan."Laras beranjak dari tempat itu menuju kamar dan membersihkan diri. Setelah rapi dia kembali ke ruang makan, tapi dilihatnya tempat itu masih kosong."Kok kak Bram belum bangun, ya? Apa aku bangunkan saja? Memangnya dia tidak kerja hari ini? Ah, lebih baik aku bangunkan saja," ucap Laras berjalan ke kamar Bram.Laras mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Sekali lagi gadis itu mengetuk dengan lebih keras.Sementara itu penghuni kamar merasa kesal dengan suara ketukan pintu yang sangat berisik. Bagaimana tidak kesal? Bram sedang bergumul memadu cinta dengan Rere. Gara-gara suara itu hasrat mereka terputus.Rere baru pulang menjelang waktu subuh dan langsung menyuguhkan diri pada suaminya. Sebagai suami dan pria yang normal Bram langsung menyambut suguhan dari istrinya dan terjadilah pergulatan hangat antara dua insan manusia itu."Siapa sih, pagi-pagi begini sudah menggangu ritual kita, Sayang?" gerutu Rere kesal karena gairahnya terputus."Siapa lagi kalau bukan adikmu, Laras?" ucap Bram ikut kesal.Kalian tau khan, bagaimana rasanya bila hasrat bercinta kalian terputus di tengah jalan? Yap, pasti pusing tujuh keliling sampai ke ubun-ubun deh."Astaga! Aku lupa kalau dia ada di sini. Memang bocah sialan, selalu saja menggangu hidupku!" ucap Rere kesal."Bagaimana kalau kita abaikan saja, Sayang? Kita lanjut lagi permainan kita. Aku sudah tidak tahan lagi, Sayang," ucap Bram bergelayut pada tubuh Rere."Sama, Sayang. Hasratku sudah memuncak," ucap Rere membalas perlakuan Bram.Belum sempat mereka menikmati dan menyalurkan hasrat yang semakin naik, kembali terdengar suara ketukan pintu dan kali ini Laras memanggil nama Bram."Kakak, Kak Bram," panggil Laras."Ahk! Gadis itu selalu menggangu!" ucap Rere kesal.Bram beranjak dari tempat tidur dan mengenakan pakaiannya."Lebih baik kamu bersihkan diri saja, Sayang! Aku akan menemuinya," ucap Bram.Bram membuka pintu dan dilihatnya Laras berdiri di depan pintu."Apa kamu tidak ada kerjaan pagi-pagi sudah berisik?" ucap Bram kesal."Maaf, Kak. Ini sudah siang. Apa Kak Bram tidak kerja?" tanya Laras sambil menundukkan kepala takut bila Bram marah."Bukan urusanmu aku kerja atau tidak! Lagi pula siapa kamu, main tanya aku kerja atau tidak?""Maaf, Kak." Laras semakin merasa bersalah dan takut."Hai, Laras," sapa Rere dari dalam kamar setelah membersihkan diri."Kak Rere," ucapnya senang lalu menerobos masuk memeluk wanita itu.Laras senang bisa bertemu dengan Rere. Meskipun dia adalah kakak tiri, tapi Laras sangat menyayanginya. Sayangnya, itu tidak berlaku bagi Rere, dia sangat membenci Laras. Sikap baiknya hanya saat di hadapan ayahnya saja."Kak, aku sudah buat sarapan untuk kita, mari kita sarapan!" ucap Laras."Kamu pergilah dulu! Nanti kami menyusul," ucap Rere."Baik, Kak. Aku tunggu di meja makan ya, Kak," ucap Laras senang.Laras berjalan meninggalkan dua manusia itu dan duduk menunggu mereka. Tidak butuh waktu lama Rere dan Bram sudah berada bersamanya."Kak, dapat salam dari ayah dan bunda. Mereka sangat rindu sama Kak Rere. Kapan Kakak mau menjenguk mereka?" ucap Laras sambil mengambilkan nasi buat Rere dan Bram."Katakan pada mereka aku belum bisa pulang! Aku masih sibuk," ucap Rere acuh tak acuh."Tapi mereka sangat rindu padamu, Kak." Senyum Laras menghilang."Bilang saja suruh telepon kalau kangen! Lagian kayak anak kecil saja kangen-kangenan," ucap Rere kesal."Kak." Laras tidak mengerti dengan sikap kakaknya masih tetap tidak berubah."Jangan menghilangkan selera makanku! Kalau kamu mau aku makan masakanmu ini lebih baik kamu diam!"Laras hanya bisa diam dan menunduk menanggapi sikap dan ucapan Rere. Ada kesedihan yang tidak bisa dia ucapkan dan mungkin hanya dia yang merasakan.Bram selalu memperhatikan setiap obrolan dan gerak-gerik dari dua wanita itu. Dia merasa dua saudara ini mempunyai sifat yang bertolak belakang.Jelas sikap mereka bertolak belakang, karena mereka bukan saudara kandung mereka terlahir dari rahim yang berbeda. Cara didik mereka pun berbeda. Rere lebih bersikap egois karena memang dari kecil Rere selalu dimanjakan oleh ayahnya.Semenjak orang tua Rere bercerai karena ibunya ketahuan selingkuh, Rere tinggal bersama ayahnya dan tumbuh menjadi gadis yang urakan dan egois.Sebenarnya Rere tidak merestui hubungan ayahnya dengan bunda Laras, tapi ayahnya mengancam akan bunuh diri kalau Rere menghalangi mereka, makanya Rere selalu membenci Laras dan bundanya. Bukan hanya itu saja, bagi Rere, Laras dan bundanya sudah merebut kasih sayang sang ayah untuknya."Kak, ayah bilang aku harus tinggal bersama Kakak di sini," ucap Laras ragu."Aku tau, ayah sudah bilang padaku." Wajah dan suara Rere semakin ketus."Apa Kakak mengijinkan aku tinggal bersamamu?""Apa aku bisa menolak keinginan ayah? Apa lagi kalau itu berhubungan denganmu, ayah selalu membelamu." Wajah Rere kesal dan terkesan cemburu."Bukan begitu, Kak. Ayah sangat sayang pada Kakak," ucap Laras menatap Rere."Ayah tidak pernah menyayangi aku sejak kalian datang ke rumahku."Hati Laras kembali terasa dihunus dengan pisau tajam saat mendengar ucapan Rere. Tanpa terasa air matanya menetes di sudut matanya yang jernih. Tuduhan itu selalu terucap dari bibir Rere setiap kali mereka membicarakan tentang ayah mereka.Laras terus merintih menahan sakit dan memanggil Bram. Suaminya itu langsung berjalan di sisi kepalanya memegang tangan dan memberikan dukungan pada Laras."Kak, sakit!" rintih Laras sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit dan mulas pada perutnya."Kamu kuat, Sayang," ucap Bram mengusap wajah Laras."Ya, aku pasti kuat, tapi jangan tinggalin aku, Kak!"Bram tersenyum. "Tidak, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun."Bram menemani Laras dalam proses persalinan. Dia selalu berada di samping istrinya dan selalu memberikan sentuhan dan kecupan yang membuat Laras lebih nyaman saat menghadapai rasa sakit dan mulas dalam perutnya. Grey dan Soya yang mendapatkan kabar dari Joy tentang persalinan Laras langsung menuju rumah sakit. Mereka menunggu dengan cemas, sedangkan di dalam ruang bersalin Laras sedang bertaruh nyawa melahirkan anak bagi Bram dan Bram selalu setia berada di sampingnya hingga terdengar suara tangis bayi yang menggema dan memu
Kehamilan Laras merupakan berita membahagiakan bagi Bram dan keluarga Grey. Saat Bram mengatakan bila Laras telah hamil dan saat ini usia kehamilannya sudah memasuki usia 24 minggu, maka kabar suka cita ini langsung tersebar ke seluruh perusahaan Bram.Selama kehamilan Laras, Bram selalu menjadi suami SIAGA, siap, antar, jaga. Seluruh keinginan Laras selalu saja dituruti, bahkan bila istrinya tidak mau makan, Bram akan memaksa dan mencari cara agar istrinya mau makan.Bram tidak melarang Laras untuk tetap bekerja, hanya saja Bram menempatkan pekerjaan istrinya berdampingan dengannya. Bram ingin setiap saat bisa menemani Laras. Meski istrinya itu termasuk wanita yang mandiri, tapi tetap saja Laras membutuhkan dirinya. Laras sendiri tidak mau terlalu mandiri, dia tetap menghargai Bram sebagai suami dan bisa menempatkan diri di mana dia bisa bermanja dan di mana dia harus mandiri.“Sayang, sekarang kamu mau makan apa?” tanya Bram saat mereka dalam perjalanan pulang.“Ak
Bram menjemput Laras sepulang kuliah. Sejak saat kejadian itu Bram tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Meski Rere telah mati dan tidak akan ada lagi yang mengganggunya, tapi Bram masih tidak mau membiarkan Laras pergi dan pulang kuliah sendirian."Kak, kita mau ke mana?"Laras heran saat Bram melajukan mobilnya bukan pada jalan arah ke rumah mereka. Bram tersenyum dengan menggenggam erat tangan istrinya. Bukan hanya menggenggam saja, Bram sekarang hobi memberi kecupan manis pada punggung tangan Laras."Ikut saja! Nanti juga kamu akan tau, Sayang.""Kak, kenapa ada rahasia? Bukankah suami istri tidak boleh ada rahasia?" Laras cemberut."Bukan rahasia, Sayang. Ini namanya sebuah kejutan." Bram mencium kembali tangan Laras."Kejutan? Kejutan apa, Kak?" Laras penasaran. Mendengar kata kejutan, bola mata Laras berbinar. Dia paling suka bila Bram memberinya kejutan karena kejutan yang Bram berikan selalu saja mampu membuatnya bahagia dan terharu."K
Hampir dua minggu sejak kejadian itu. Dua minggu sejak kematian Rere. Kini Laras telah menjalani kehidupan normalnya. Istri kecil Bram sudah menjalani kuliah kembali. Dengan setia dan sabar Bram mendampingi Laras menghilangkan rasa traumanya."Kak, nanti aku pulang agak siang karena hari ini hanya ada satu mata kuliah saja," ucap Laras sebelum turun dari mobilnya."Nanti aku akan menjemputmu.""Ga usah, Kak. Biar aku naik taksi saja. Bukankah hari ini Kakak ada rapat?""Astaga! Aku lupa Sayang. Bagaimana kalau sopir kantor saja yang menjemputmu? Setelah itu kamu ke kantor dan kita bisa pulang bareng.""Apa tidak masalah aku ke kantor Kakak?" Laras ragu."Sayang, kamu itu istriku sekarang. Siapa yang akan melarangmu datang ke kantor suamimu ini?" Bram membelai rambut Laras lembut.Wajah Laras merona karena malu dengan perhatian suaminya. Senyum Bram terasa lebih menyentuh lubuk rasa yang terdalam. Entahlah, saat itu Laras merasakan kebahagiaan yang tak ter
"Kak, ini rumah siapa?"Laras heran melihat rumah besar dan mewah di depan matanya.Laras bingung kenapa Bram tidak membawanya pulang ke rumah yang biasa mereka tempati sebelum mereka menikah. Rumah itu bukan rumah biasanya dan juga bukan rumah mertuanya. Rumah yang asing dan bisa dibilang lebih bagus dari rumah yang biasa mereka tempati."Kemarilah!" Bram menarik tangan Laras dan melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Laras. Senyumnya mengembang simpul, namun wajah Bram terlihat lebih tampan dan sejuk."Ish, kenapa pinggangmu menjadi sangat kecil?" Bram menggoda Laras. Dia memperhatikan istrinya dengan memeriksa pinggang ramping Laras. Tubuh Laras memang sedikit menyusut setelah dirawat di rumah sakit."Kakak, jangan mengejekku!" Laras tersenyum malu-malu. Pipinya semu memerah bak tomat buah ranum membuat Bram semakin gemas."Jangan tersenyum seperti itu! Aku jadi gemas ingin memakan wajahmu." Bram mencubit pipi Laras dengan cubitan kecil dan mesra.
Bram menutup matanya sampai suara teriakan Laras menghilang. Pria itu terdiam terpaku tanpa bergerak sedikit pun. Hati dan hidupnya hancur. Dunia seakan berubah gelap gulita seketika itu juga.Suara isak tangis memaksa pria itu berlahan memberanikan diri membuka matanya."Laras!" Bram kembali berlari mendekati gadis yang tersungkur memeluk erat tubuh Rere.Dia pikir Laras yang tumbang karena ulah Rere, tapi nyatanya Rere yang tertembus timah panas dari anak buah Mico. Laras membawa kepala kakak tirinya ke atas pangkuannya. Gadis itu mendekap erat Rere."Laras," panggilnya tersungkur langsung memeluk erat tubuh gadis itu."Kak, bangunlah!" ucap Laras dalam isak tangisnya.Laras mencoba membangunkan kakak tirinya.Pria yang sedari tadi hanya berdiri terpaku menyaksikan putrinya tumbang perlahan berjalan mendekat dan terjatuh dengan lutut sebagai tumpuannya."Ayah," panggil Rere di sisa napasnya."Sayang." Perlahan pria itu mengusap lembut wajah putr
"Jangan bergerak!" Teriakan Mico membuat dua pria yang sedang menggagahi Laras terkejut dan langsung memutar tubuhnya.Dua pria kekar itu menciut nyalinya. Dengan patuh mereka mengangkat tangan dan menyerah. Anak buah Mico langsung meringkus dia pria kekar itu. Berbeda dengan Rere, saat mengetahui ada polisi datang, wanita itu langsung beranjak dan menyahut tubuh Laras.Rere menjadikan Laras sebagai sandera untuk melindungi dirinya. Mata wanita itu sudah gelap dengan napsu pembunuh. Napasnya terdengar kasar dan panas mengenai kulit Laras."Jangan mendekat!" ancamnya pada Mico dan yang lainnya.Satu tangan wanita itu mencengkeram leher Laras dengan lengannya, sedangkan satu tangannya lagi menodongkan senjata tajam pada leher Laras dan siap menggores kulit mulus yang membalut leher jenjang adik tirinya."Rere, aku mohon jangan sakiti Laras!" ucap Bram saat tiba di tempat itu dengan napas tersengal.Bukannya melepaskan Laras saat Bram datang, Rere semakin t
"Cepat bawa gadis itu masuk!" teriak seseorang dari arah berlawanan."Baik, Bos."Dua pria kekar yang membawa tubuh Laras masuk ke dalam sebuah gudang yang berantakan. Banyak tumpukan barang bekas dan kotak-kotak besar yang telah usang di sana. Udaranya sangat pengap dan bau debu menusuk hidung.Dengan sangat kasar pria itu membanting tubuh Laras yang terkulai lemah di atas sebuah tumpukan kardus. Tawa keras dan puas terdengar menggelegar dari ketiga orang yang berdiri di dekat Laras."Kalau aku tidak bisa memiliki Bram lagi, kamu juga tidak akan bisa memilikinya gadis kampung."Lagi-lagi tawa menakutkan terdengar dari bibir merah merekah wanita yang menyimpan dendam terhadap gadis itu. Dendam yang akan terbayarkan ketika melihat gadis itu sengsara dan memohon di kakinya."Ikat tangan dan kakinya, jangan sampai gadis ini terlepas!""Baik, Bos."Dengan sangat cepat dua pria kekar itu melaksanakan perintah dari bosnya. Dengan cepat pula mereka sudah mel
Suasana tempat ruang pesta telah dipadati para tamu undangan baik dari rekan bisnis Bram maupun rekan bisnis orang tuanya. Meskipun ini pernikahan kedua bagi Bram, tapi ini merupakan resepsi pertama dan akan menjadi pernikahan yang terakhir baginya dan Laras.Malam ini Laras mengenakan gaun putih dengan jumbai tidak terlalu panjang. Gadis sederhana itu tidak memilih gaun yang terlalu ribet dan mewah. Laras lebih suka mengenakan gaun yang simpel tapi tidak terkesan murahan dan tetap terlihat elegan dan mengundang decak kagum.Kecantikannya mengalahkan kecantikan ratu sejagad, apalagi bagi Bram. Kecantikan wanita yang baru menjadi istrinya beberapa jam yang lalu merupakan kecantikan yang sempurna dan tiada tandingnya. Bukan hanya kecantikan luar saja, tapi Bram lebih terpesona dengan kecantikan hati istrinya.Bram menuntun Laras memasuki ruang pesta dengan langkah bak pangeran dan putri kerajaan. Semua mata tertuju pada mereka, semua bibir mengucapkan kekaguman akan kecant