Share

Bab 3

Pagi-pagi Laras sudah terbangun dan bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan. Bangun pagi dan membuat sarapan sudah menjadi kebiasaan gadis itu selama tinggal bersama orang tuanya.

"Emmm, nyenyak sekali tidurku. Ternyata enak ya, tidur di tempat orang kaya. Kasurnya empuk, pantas saja mereka berlomba-lomba menjadi orang kaya. Eh, aku juga mau." Laras seperti orang mimpi di pagi hari, ngomong sendiri, senyum sendiri dan tertawa sendiri sembari menutup mulutnya menggunakan dua tangan.

Bunda Laras selalu mengajarkan putrinya untuk hidup mandiri. Semenjak ayah kandungnya meninggal dalam kecelakaan, Laras memang dituntut untuk mandiri. Waktu itu umurnya baru sepuluh tahun, tapi dia harus membantu bundanya bekerja mencari uang untuk biaya hidup.

Laras tidak pernah mengeluh meski hidupnya susah. Hasil dari ketekunan dirinya dan bunda, akhirnya mereka bisa mendirikan toko kelontongan. Meski hanya kecil, dari hasil penjualan sembako cukup untuk biaya hidup dan sekolah untuk Laras.

Laras termasuk gadis yang pandai dalam hal akademik, makanya dia selalu mendapat beasiswa. Bahkan biaya kuliahnya saat ini juga merupakan beasiswa, makanya Laras harus pergi ke kota untuk melanjutkan kuliahnya. Untung ada kakak tirinya, Rere, yang sudah lebih dahulu pergi ke kota untuk kuliah dan bekerja.

Laras dengan cekatan menyiapkan beberapa menu sarapan pagi ini.

"Ah, syukurlah semua sudah beres," ucap Laras menepukkan kedua tangan melihat makanan sudah tersaji di meja. Bibirnya kembali mengembangkan senyum puas melihat hasil kerja tangannya pagi ini.

"Lebih baik aku mandi dulu sambil menunggu kak Bram turun untuk sarapan."

Laras beranjak dari tempat itu menuju kamar dan membersihkan diri. Setelah rapi dia kembali ke ruang makan, tapi dilihatnya tempat itu masih kosong.

"Kok kak Bram belum bangun, ya? Apa aku bangunkan saja? Memangnya dia tidak kerja hari ini? Ah, lebih baik aku bangunkan saja," ucap Laras berjalan ke kamar Bram.

Laras mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Sekali lagi gadis itu mengetuk dengan lebih keras.

Sementara itu penghuni kamar merasa kesal dengan suara ketukan pintu yang sangat berisik. Bagaimana tidak kesal? Bram sedang bergumul memadu cinta dengan Rere. Gara-gara suara itu hasrat mereka terputus.

Rere baru pulang menjelang waktu subuh dan langsung menyuguhkan diri pada suaminya. Sebagai suami dan pria yang normal Bram langsung menyambut suguhan dari istrinya dan terjadilah pergulatan hangat antara dua insan manusia itu.

"Siapa sih, pagi-pagi begini sudah menggangu ritual kita, Sayang?" gerutu Rere kesal karena gairahnya terputus.

"Siapa lagi kalau bukan adikmu, Laras?" ucap Bram ikut kesal.

Kalian tau khan, bagaimana rasanya bila hasrat bercinta kalian terputus di tengah jalan? Yap, pasti pusing tujuh keliling sampai ke ubun-ubun deh.

"Astaga! Aku lupa kalau dia ada di sini. Memang bocah sialan, selalu saja menggangu hidupku!" ucap Rere kesal.

"Bagaimana kalau kita abaikan saja, Sayang? Kita lanjut lagi permainan kita. Aku sudah tidak tahan lagi, Sayang," ucap Bram bergelayut pada tubuh Rere.

"Sama, Sayang. Hasratku sudah memuncak," ucap Rere membalas perlakuan Bram.

Belum sempat mereka menikmati dan menyalurkan hasrat yang semakin naik, kembali terdengar suara ketukan pintu dan kali ini Laras memanggil nama Bram.

"Kakak, Kak Bram," panggil Laras.

"Ahk! Gadis itu selalu menggangu!" ucap Rere kesal.

Bram beranjak dari tempat tidur dan mengenakan pakaiannya.

"Lebih baik kamu bersihkan diri saja, Sayang! Aku akan menemuinya," ucap Bram.

Bram membuka pintu dan dilihatnya Laras berdiri di depan pintu.

"Apa kamu tidak ada kerjaan pagi-pagi sudah berisik?" ucap Bram kesal.

"Maaf, Kak. Ini sudah siang. Apa Kak Bram tidak kerja?" tanya Laras sambil menundukkan kepala takut bila Bram marah.

"Bukan urusanmu aku kerja atau tidak! Lagi pula siapa kamu, main tanya aku kerja atau tidak?"

"Maaf, Kak." Laras semakin merasa bersalah dan takut.

"Hai, Laras," sapa Rere dari dalam kamar setelah membersihkan diri.

"Kak Rere," ucapnya senang lalu menerobos masuk memeluk wanita itu.

Laras senang bisa bertemu dengan Rere. Meskipun dia adalah kakak tiri, tapi Laras sangat menyayanginya. Sayangnya, itu tidak berlaku bagi Rere, dia sangat membenci Laras. Sikap baiknya hanya saat di hadapan ayahnya saja.

"Kak, aku sudah buat sarapan untuk kita, mari kita sarapan!" ucap Laras.

"Kamu pergilah dulu! Nanti kami menyusul," ucap Rere.

"Baik, Kak. Aku tunggu di meja makan ya, Kak," ucap Laras senang.

Laras berjalan meninggalkan dua manusia itu dan duduk menunggu mereka. Tidak butuh waktu lama Rere dan Bram sudah berada bersamanya.

"Kak, dapat salam dari ayah dan bunda. Mereka sangat rindu sama Kak Rere. Kapan Kakak mau menjenguk mereka?" ucap Laras sambil mengambilkan nasi buat Rere dan Bram.

"Katakan pada mereka aku belum bisa pulang! Aku masih sibuk," ucap Rere acuh tak acuh.

"Tapi mereka sangat rindu padamu, Kak." Senyum Laras menghilang.

"Bilang saja suruh telepon kalau kangen! Lagian kayak anak kecil saja kangen-kangenan," ucap Rere kesal.

"Kak." Laras tidak mengerti dengan sikap kakaknya masih tetap tidak berubah.

"Jangan menghilangkan selera makanku! Kalau kamu mau aku makan masakanmu ini lebih baik kamu diam!"

Laras hanya bisa diam dan menunduk menanggapi sikap dan ucapan Rere. Ada kesedihan yang tidak bisa dia ucapkan dan mungkin hanya dia yang merasakan.

Bram selalu memperhatikan setiap obrolan dan gerak-gerik dari dua wanita itu. Dia merasa dua saudara ini mempunyai sifat yang bertolak belakang.

Jelas sikap mereka bertolak belakang, karena mereka bukan saudara kandung mereka terlahir dari rahim yang berbeda. Cara didik mereka pun berbeda. Rere lebih bersikap egois karena memang dari kecil Rere selalu dimanjakan oleh ayahnya.

Semenjak orang tua Rere bercerai karena ibunya ketahuan selingkuh, Rere tinggal bersama ayahnya dan tumbuh menjadi gadis yang urakan dan egois.

Sebenarnya Rere tidak merestui hubungan ayahnya dengan bunda Laras, tapi ayahnya mengancam akan bunuh diri kalau Rere menghalangi mereka, makanya Rere selalu membenci Laras dan bundanya. Bukan hanya itu saja, bagi Rere, Laras dan bundanya sudah merebut kasih sayang sang ayah untuknya.

"Kak, ayah bilang aku harus tinggal bersama Kakak di sini," ucap Laras ragu.

"Aku tau, ayah sudah bilang padaku." Wajah dan suara Rere semakin ketus.

"Apa Kakak mengijinkan aku tinggal bersamamu?"

"Apa aku bisa menolak keinginan ayah? Apa lagi kalau itu berhubungan denganmu, ayah selalu membelamu." Wajah Rere kesal dan terkesan cemburu.

"Bukan begitu, Kak. Ayah sangat sayang pada Kakak," ucap Laras menatap Rere.

"Ayah tidak pernah menyayangi aku sejak kalian datang ke rumahku."

Hati Laras kembali terasa dihunus dengan pisau tajam saat mendengar ucapan Rere. Tanpa terasa air matanya menetes di sudut matanya yang jernih. Tuduhan itu selalu terucap dari bibir Rere setiap kali mereka membicarakan tentang ayah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status