"Aku hanya bercanda, Mico." Joy menarik kata-katanya. Dia merasa tidak enak hati karena mereka belum saling mengenal.
"No! Bram saja mengakui kalau kamu asisten yang terbaik." Mico malah semakin memuji Joy."Kenapa dia tidak pernah bilang padaku begitu?" Joy mengarahkan mata pada Bram dengan lirikan sombong."Nanti kamu besar kepala," ucap Bram. Melengos."O ya, Mico. Bagaimana perkembangan kasusnya?" lanjut Bram pada Mico."Dugaan besar memang mantan istrimu yang melakukannya." Mico mengimbangi sikap serius Bram."Tunggu! Sebenarnya ada masalah apa ini? Kasus apa?" Joy bingung dengan arah pembicaraan mereka. Bola matanya beredar dan terbagi antara Bram dan Mico."Kasus kecelakaan yang aku alami." Bram menjawabnya dengan suara santai."Tunggu! Bram, apa kamu mengingat semuanya?" Ini pertanyaan yang telah lama ingin Joy tanyakan pada Bram."Ya, aku mengingat semuanya. Aku tidak amnesia." Bram menyenderkan punggung dan menyilangkan kaki saling bertuSeorang gadis berdiri sendirian di depan pintu gerbang kampus. Dengan rasa gelisah gadis itu melihat ke arah jalanan. Sesekali matanya melirik jam di tangannya."Kok kak Rere belum datang, sih? Katanya mau menjemput aku." Tangan Laras meraih ponsel yang ada di dalam tas gendongnya."Kak, sampai mana?" Laras menghubungi kakak tirinya."Aku sudah hampir sampai. Tunggu saja sebentar lagi!"Rere mematikan sambungannya.Benar saja, tidak lama dari sambungan teleponnya mati, sebuah mobil milik Rere berhenti tepat di depannya.Kaca mobil turun dan nampak Rere duduk di belakang kemudi. Wanita itu tersenyum pada Laras. Senyum yang berbeda. Senyum ramah mengembang dari bibirnya yang berwarna merah cabe."Ayo!" ajaknya pada Laras.Dengan membalas senyuman dari kakak tirinya, Laras masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Rere."Kok tumben Kakak yang menjemput aku?""Iya, Bram sibuk. Katanya ada rapat dadakan siang ini, makanya dia menyuruhku menjemput k
Dengan terkulai lemas, tubuh Laras dibawa oleh pria bertubuh kekar. Dua pria lainnya berjalan mengikutinya di belakang dengan mata mengarah ke seluruh arah.Mereka memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti mereka. Setelah merasa aman, mereka membawa masuk Laras ke dalam sebuah rumah yang sederhana.Pria bertubuh kekar membaringkan tubuh Laras di atas tempat tidur beralaskan sprei berwarna merah cerah. Tubuh gadis itu sama sekali tidak berdaya.Mata keranjang menatapnya dengan penuh gairah. Salah satu di antara mereka mengusap-usap tangannya dengan senyum menyeringai senang.Pria yang membawa tubuh Laras mulai mendekatinya dan menaikkan kakinya ke tempat tidur."Gadis malang. Kamu cantik dan terlihat sangat polos, tapi sayang, ada orang yang menginginkanmu hancur.""Siapa yang menyuruhmu mendekati gadis itu?" ucap salah satu temannya.Temannya menarik pundak pria yang mendekati Laras. Mereka saling beradu tatap."Aku yang berhak mendekatinya terlebih d
Kesadaran Laras sedikit demi sedikit mulai pulih. Gadis itu mengucek matanya yang masih terasa lengket. Tangannya menyentuh kepalanya yang terasa pusing.Beberapa kali gadis itu menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya sendiri."Di mana aku?"Matanya mulai mengamati setiap sudut ruangan tempatnya berada."Ini bukan kamarku."Gadis itu melonjak kaget ketika melihat bahwa dirinya berada di ruangan yang asing."Tidak, ini bukan kamarku."Dia memeriksa tubuhnya sendiri. Pakaiannya masih utuh, berarti dia masih aman."Apa yang terjadi? Tidak, aku harus pergi dari sini sebelum mereka menyakitiku."Gadis itu bangkit dari tempat tidur dan melangkah turun."Auw! Kepalaku pusing sekali. Pasti ini efek dari obat yang mereka berikan padaku." Laras kembali memegangi kepalanya yang terasa pusing."Aku harus ke luar dari tempat ini."Dengan tertatih, dia berjalan ke arah pintu. Laras menarik handel pintu."Ah, untung tidak terkunci."
Sembari menunggu wanita yang Dino maksud, Laras tetap duduk di tempatnya. Kakinya masih terasa sakit untuk menapak."Minumlah!" Dino menghidangkan teh manis pada Laras."Terima kasih, Mas.""Aku yakin keluargamu pasti akan sangat khawatir dan mereka pasti mencarimu.""Keluargaku tidak akan tahu kalau aku di sini. Mereka di kampung.""Bukankah kamu tadi bilang kalau kamu tinggal di kota?""Ya, tapi tidak dengan keluargaku. Aku tinggal bersama kakak tiriku dan mantan suaminya."Wajahnya berubah sedih saat mengingat Bram. Laki-laki itu pasti akan sangat mengkhawatirkannya."Kakak tiri? Mantan suami?""Ya. Kakak tiriku dan suaminya sudah bercerai, tapi karena sesuatu hal, mereka kembali tinggal dalam satu rumah.""Kok aneh? Apa tidak apa-apa seperti itu? Bahkan kamu sendiri tinggal bersama mereka?""Ya. Aku sudah mencoba untuk pergi dan mencari tempat kost, tapi tidak boleh.""Apa alasannya?"Laras menatap pria yang masih duduk di kurs
Bram mencoba menghubungi semua teman-teman Laras yang dia kenal, tapi tidak satu pun yang mengetahui keberadaan gadis itu.Bram kembali menghubungi Rere yang masih berada di rumah Sakit. Entah apa yang dilakukan wanita itu di Rumah Sakit. Padahal luka yang dia derita tidaklah parah. Jangankan parah, Rere hanya mengalami luka lecet saja di bagian lututnya, tapi wanita itu meminta dirawat inap."Sekarang juga kamu pulang!" ucapnya dari telepon."Aku belum bisa pulang sekarang, Bram. Aku langsung ada pemotretan.""Bukankah kakimu masih sakit?""Sudah tidak lagi.""Kalau begitu aku tunggu di rumah.""Tapi, Bram-""Tidak ada bantahan. Aku tunggu sekarang atau jangan pulang untuk selamanya."Bram langsung mematikan teleponnya. Pria itu merasa kesal dengan Rere."Bagaimana, Bram? Apakah istrimu mau pulang?""Dia bukan istriku. Dia hanya wanita yang tidak seharusnya aku nikahi.""Lalu bagaimana sekarang?""Mico akan datang. Dia yang akan m
Sudah hampir seminggu ini Laras menghilang. Pencarian yang mereka lakukan sia-sia dan tidak membuahkan hasil sama sekali, tapi Bram tidak putus asa, dia yakin kalau Laras akan kembali suatu saat nanti. Selama itu juga, Rere lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah seperti biasanya. Bahkan dia jarang pulang ke rumah karena Bram selalu menghindarinya.Malam ini adalah malam Minggu. Bram duduk santai menonton acara TV. Pria itu tidak ada acara seperti malam Minggu saat masih ada Laras. Dia hanya duduk menikmati kopi yang dibuatnya sendiri."Kenapa rasanya berbeda, padahal kopi yang sama?" ucapnya setelah menyeruput kopi dalam cangkir.Sejak kehadiran Laras, Bram suka meminum kopi. Padahal sebelumnya dia sangat jarang menikmati minuman itu.Terdengar pintu dibuka dengan kasar."Pasti wanita itu sudah pulang."Benar saja dugaan Bram. Rere berjalan masuk dengan sempoyongan ke arahnya."Sudah berapa kali aku memperingatkanmu, Rere? Jangan pernah sentuh minu
Bram membuka pintu secara perlahan dan mulai masuk. Matanya terbuka lebar saat melihat posisi tubuh yang ada di atas tempat tidur.Rere sedang terbaring di atas kasur dengan sprei berwarna putih. Pengaruh minuman membuat tubuhnya terasa panas sehingga wanita itu melepas pakaiannya dan hanya menyisakan pakaian dalam saja.Degub jantung Bram semakin kencang dan cepat seperti gendang yang saling bersahutan. Dengan sedikit ragu dia melangkah mendekat. Sebelum memulai aksinya, matanya kembali menatap ke arah pintu. Di mana Lika dan Joy mengawasinya.Kode tangan dari Lika mengharuskan dirinya menyentuh tubuh sexy milik mantan istrinya. Tubuh indah itu yang dulu pernah dia miliki seutuhnya. Kini dia enggan untuk menyentuhnya lagi.Jujur, dia juga adalah lelaki normal. Meski pikiran dan nalarnya menolak, tapi pandangan mata dan naluri lelakinya membujuk untuk mendekat."Bram," Panggil Rere saat melihat bayangan mantan suaminya mendekat.Antara sadar dan tidak sadar,
"Kita mulai dari mana?""Dari arah utara saja."Bram dan Joy sudah berada di pinggiran kota. Pagi ini setelah rapat kantor, mereka langsung mencari keberadaan Laras."Bram, apa tidak sebaiknya kita mulai dari tempat mayat itu ditemukan? Aku yakin Laras ada di desa sekitar sana.""Baiklah, kita mulai dari sana."Mereka benar-benar mendatangi tempat itu. Tempat di mana Laras pernah disekap oleh para penculik. Berjalan sangat hati-hati dan was-was dengan mata beredar ke seluruh penjuru."Joy." Bram menyentuh lengan Joy, bukan karena takut, tapi mereka memang harus waspada."Aku rasa tempat ini menjadi tempat favorit para penjahat. Tempat ini sangat jauh dari penghuni lainnya." Joy mengedarkan mata meneliti tempat itu."Aku rasa juga seperti itu. Kita cepat pergi dari sini, napasku terasa sesak! Terlalu kotor!"Bram ke luar lalu mengibaskan pakaiannya dengan tangan. Tempat itu memang sangat berdebu dan kotor.Jalanan kecil menjadi target utama pen