Share

Suka Jajan

last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-09 22:32:16

“Iya, kita bisa berteman. Aku janji, aku nggak akan membawa perasaan dalam pertemanan kita.” Ibra mengulurkan satu jari kelingkingnya. Seperti anak kecil saja.

Aku mengerutkan dahi. Pasalnya tidak ada pertemanan yang abadi antara lelaki dan perempuan dewasa. Apalagi aku sudah mengetahui jika dia menyimpan perasaan kepadaku. Bagaimana ini?

Belum sempat aku menjawab, dia sudah memegang tanganku dan menautkan jari kelingking kami.

“Sekarang kita berteman.”

Aku bingung harus menjawab apa. Aku bahkan belum menyetujuinya. Dia mengambil kesimpulan sendiri.

“Nanti sore aku anterin pulang, ya, Fa. Kita ‘kan berteman.”

“Maaf, aku nggak bisa. Aku udah pesan ojol.”

“Kamu lucu. Pulangnya masih nanti sore dan sudah pesan ojol?” Dia tersenyum hambar.

“Kamu tahu sendiri, kan, gimana galaknya Ayah. Aku gak berani diantar teman lelaki. Bisa digorok kalau sampai ketahuan.”

“Aku jadi penasaran dengan Ayah kamu.”

“Gak usah penasaran, nanti bisa kebawa mimpi. Gak lucu dong laki mimpiin laki juga, ha ha ha.”

Sebenarnya Ibra pria yang baik. Aku sering melihatnya salat ketika jam istirahat siang. Begitu juga ketika sore hari, dia salat Asar dulu sebelum pulang. Bacaan ngajinya juga fasih. Aku sempat terpesona olehnya, tetapi kehadiran Thalita membuatku mundur.

Jika jodoh adalah cerminan diri, aku yakin 100% kami bukan jodoh. Dia terlalu baik untukku. Bertolak belakang denganku yang selengekan.

“Balik ke kelas, yuk! Bentar lagi jam terakhir dimulai,

Setelah mata kuliah terakhir, aku harus menemui Pak Arfan. Masih ada satu masalah yang harus kuselesaikan. Aku bisa dikeluarkan dari KK jika terlambat pulang.

Suasana di luar cukup ramai, bisa dipastikan aku tidak akan berduaan dengan dosen itu. Aku merasa sedikit lega.

Pintu ruangan dosen terbuka, aku masuk setelah mengucapkan salam dan meminta izin bertemu Pak Arfan. Aku segera menuju ke meja tempat kami bertemu tadi siang. Sepertinya dia bukan dosen baru, nyatanya dosen di sini sudah mengenalinya.

Astaga ...! Aku memekik melihat adegan di depanku.

Aku segera memalingkan wajah, mataku bisa ternodai. Tidak sepantasnya aku melihatnya. Dua anak manusia dalam satu ruangan, dan dosen itu tidak memakai baju. Baru kali ini aku melihat aurat lelaki selain Ayah dan adik lelakiku. Ada yang menggelitik di hati, bulu kudukku meremang.

Meja yang tadinya rapi menjadi berantakan. Buku berjatuhan di lantai, botol air mineral berceceran. Sungguh kotor dan penuh sampah.

Aku hendak keluar, tetapi tanpa sengaja menabrak seseorang saat aku berbalik.

Grompyang!

Barang bawaan Bu Tika jatuh semua di lantai. Sebuah plastik warna putih bergambar minimarket sobek. Isinya keluar dan berceceran di lantai. Aku membantu membersihkannya.

Ada beberapa obat masuk angin, minuman kaleng untuk mengobati sakit tenggorokan, snack dan camilan. Ternyata Bu Tika suka jajan.

“Maaf, Bu Tika, saya tidak sengaja.” Dua orang lelaki yang sedari tadi mengacuhkanku langsung terperanjat. Pak Arfan langsung mengambil bajunya yang tergeletak di meja.

“Kamu ngapain ke sini, Fa?” tanya Pak Lucky sambil menutup botol berwarna hijau

“Eh, anu ... itu, Pak. Saya dipanggil sama Pak Arfan.”

“Oh, iya. Silakan masuk! Maaf saya lupa,” ucap Pak Arfan sambil mengancingkan baju.

Ya Allah, aku datang di saat yang tidak tepat. Hampir saja aku khilaf melihat roti sobek Pak Arfan. Sepertinya aku harus ganti kacamata hitam.

“Aku balik dulu sama Tika, ya, Fan. Ini aku kembalikan milikmu.” Pak Lucky menyerahkan sebuah koin emas dan botol minyak telon berwarna hijau.

“Makasih udah dikerokin, lumayan udah lega.”

“Ini obat tolak anginnya jangan lupa diminum. Segera pulang sebelum hujan. Mendadak mendung, nih!” ucap Bu Tika sambil menggandeng mesra tangan Pak Lucky.

“Makasih, ya! Kalian juga buruan nikah. Gak baik kelamaan pacaran.”

Uwuw ... Ada gosip baru, nih. Ternyata mereka pacaran. Bakal seru kalau sampai anak-anak tahu. Mereka selama ini tidak pernah terlihat bersama, tetapi di ruang dosen sudah terang-terangan pegangan tangan. Mataku melihatnya tanpa berkedip hingga mereka lenyap di balik pintu.

“Udah selesai lihatnya?”

“Ya Allah! Bapak ngagetin aja.” Sangking kagetnya, aku menabok punggung Pak Arfan. Entah sejak kapan dia berdiri di sampingku.

“Aduh, duh, duh! Sakit, nih, punggungku habis kerokan. Kamu mau hukumanmu kutambah?”

“Ampun, Pak. Maaf! Saya tidak sengaja!”

“Mau hujan, buruan bantu saya beresin ruangan Pak Bumi. Saya bisa dipecat nanti.”

“What?”

“Yah, hukuman kamu bantuin saya beresin ruangan ini. Habis itu kamu boleh pulang.”

Ternyata Pak Bumi adalah seorang Rektor di kampus ini. Namun beliau jarang sekali berangkat. Ruangannya full AC dan nyaman, tetapi sayang ruangan ini bak kapal pecah karena ulah dosen yang tidak bertanggung jawab.

“Kenapa Bapak bisa berada di ruangan rektor? Saya curiga sama Bapak.”

“Curiga apa? Nih saya dapat pesan disuruh ambil dokumen Pak Bumi. Makanya berantakan.”

Dia menyodorkan ponselnya di depanku. Sebuah pesan dari ‘Pak Rektor'.

Alhamdulillah, aku bernapas lega. Ternyata hukumannya cukup ringan. Aku akan melakukannya dengan cepat karena sudah terbiasa membantu Ibu membersihkan rumah.

Aku mulai membereskan buku-buku di meja, kemudian menyapu dan membuang sampah pada tempatnya.

“Saya sudah selesai, Pak. Boleh saya pulang?”

“Silakan. Makasih, ya, ingat jangan ulangi kesalahan yang sama!”

Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Aku mulai kesulitan mencari angkutan. Kampus sudah sepi, tinggal beberapa dosen dan mahasiswa semester akhir yang masih di kampus. Aku tidak mengenal mereka sama sekali. Nindi sudah pulang, biasanya dia yang selalu mengantarkanku.

Aku mulai resah karena gerimis mulai turun, tidak ada payung ataupun jas hujan. Aku segera berteduh di halte agar bajuku tidak basah. Ribet sekali memakai gamis, bahaya jika terkena angin bisa terbang. Aku menyesal karena harus berbohong kepada Ibra dan menolak tawaran pulang bareng.

Sepertinya aku harus membeli motor sendiri. Gajiku sebagai penjaga toko tidak cukup untuk membeli motor, aku harus cari sampingan supaya bisa mendapatkan uang tambahan. Namun bagaimana caranya?

Sebuah angkutan berhenti di depan halte. Beberapa mahasiswa langsung berebut masuk. Aku kalah cepat karena terlalu banyak melamun.

“Maaf, udah penuh, Neng.” Kulihat memang penumpangnya sudah penuh dan berdesakan. Akhirnya aju kembali duduk di halte.

Berkali kulihat jam di ponsel, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda angkutan datang. Seorang wanita di sebelahku akhirnya memesan ojol. Kulihat uang di dalam dompetku, isinya tinggal 5 lembar uang gambar orang membawa piring. Mana cukup buat ngojek?

Tidak lama kemudian datang dua lelaki yang turun dari truk. Sepertinya mereka bukan orang baik. Bagaimana ini? Oh Tuhan, selamatkan aku ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
pak ojol yg bantu
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Semoga ada orang yg bisa bantu Syifa......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pesona Babang Ojol    TAMAT

    Kehidupan berumah tangga di awal pernikahan memang selalu manis. Apalagi bagi kami yang selama ini tidak pernah pacaran. Namun, semuanya berubah saat negara api menyerang. Tidak hanya orang tua, tetangga, bahkan mahasiswa di kampus menggunjing karena aku tidak hamil-hamil. Padahal kami sudah berusaha semaksimal mungkin sampai Ayah membelikan ramuan Jawa yang katanya sangat ampuh. Bukannya manjur, aku dan suamiku malah masuk rumah sakit. Kami mengalami diare sampai dehidrasi. Katanya suami dan istri harus sama-sama meminum jamu supaya subur. Kami sudah cek ke dokter dan tidak ada masalah serius padaku maupun suamiku. Kami sama-sama sehat, mungkin memang belum rezekinya. “Maafin Ayah, ya, Fa. Tidak ada niat sedikit pun untuk mencelakai kalian,” ujar Ayah sambil menciumi tanganku. “Tidak apa-apa, Pak. Namanya juga usaha,” jawab Mas Arfan dengan senyuman yang setengah dipaksakan. Sudah lima bulan kami menikah dan belum ada tanda-tanda hamil. Mungkin benar kata Mas Arfan jika aku harus

  • Pesona Babang Ojol    Bonus

    Satu minggu setelah menikah, aku menemukan fakta baru. Ternyata suamiku orang kaya raya. Ayah hampir jantungan mengetahui semua fakta yang Pak Arfan ungkapkan. “Kenapa kamu nggak jujur dari awal, Nak?” tanya Ayah setelah kami pulang dari hotel. Baru dua hari kami menikah, aku kedatangan tamu bulanan. Pak Arfan kecewa karena kami gagal bulan madu ke Yogyakarta. Akhirnya dia memintaku tinggal di hotel selama satu minggu sebelum pulang ke rumah Pak Shaka, orang tuanya. “Kalau saya jujur dari awal, Syifa pasti langsung mau nikah sama saya,” jawabnya penuh percaya diri. Dengan kesal kucubit pinggangnya. Semenjak kami menikah, aku semakin dekat dengannya, tetapi tetap saja tidak bisa berhenti memanggilnya “Pak”.Ternyata dia lelaki yang sangat baik. Dia mau menerimaku apa adanya meski aku bukanlah wanita yang sempurna. Dia mau membimbing dan mengajarkan banyak hal yang selama ini tidak aku ketahui. Namun, sampai sekarang aku belum tahu apa alasannya merahasiakan identitasnya dari

  • Pesona Babang Ojol    Malam Pertama

    Aku kembali ke kamar setelah tidak ada seorang pun tamu. Lelah sekali rasanya berdiri seharian. Pak Shaka dan Mama sudah pulang setelah Ayah pergi. Gedung untuk acara resepsi pun sudah dibersihkan. “Fa, aku mandi dulu. Kamu mau ikut?” tanya Pak Arfan sambil mengerlingkan mata.Pak Arfan benar-benar meresahkan. belum apa-apa saja sudah membuat jantungku ingin lepas dari tempatnya.“Enggak, nanti yang ada enggak jadi mandi.” “Nggak jadi mandi? Terus ngapain?” tanya suamiku sambil berjalan mendekat ke arahku. Aku harus jawab apa? Duh, nih mulut kenapa asal jawab. “Ngapain, ya? Aku enggak tahu. Masih polos.”“Sini aku ajarin!” Heh? Aku melotot dibuatnya. Sejak kapan Pak Arfan jadi sevulgar itu?“Aku bercanda. Kamu jangan omes!” Dia tertawa hingga tubuhnya terguncang. Dengan kesal aku melempar bantal ke arahnya. Namun dia kabur, menyebalkan sekali.Kulepaskan hijab dan aksesorisnya yang terasa berat di kepala. Aku membersihkan sisa make up dengan milk cleanser dan face tonic. Wajahku t

  • Pesona Babang Ojol    Malam Pengantin

    Kami berjalan bergandengan menuju kamar, rasanya lututku lemas. Kuremas kuat tangan suamiku untuk mengurangi rasa gugup. “Mau kugendong?”Aku membelalakkan mata. Tidak menyangka dia tahu isi hatiku. Aku mengangguk pasrah, daripada pingsan. Dia membopongku ala bridal style. Bukan seperti mengangkat karung beras. Aku menenggelamkan muka ke dadanya. Pipiku pasti sudah sangat merah. “Ternyata kamu tambah berat.”What?Setelah sampai di kamar, Pak Arfan merebahkanku di kasur. Dia menatapku cukup lama hingga membuatku berpaling. Ya Allah, kami sudah halal, beginikah rasanya berduaan dengan laki-laki di dalam kamar? Jantungku berdebar tidak karuan, ada rasa yang menggelitik di hati. Ingin rasanya aku—“Kamu mikirin apa sampai senyum-senyum begitu?” Aku tersadar dari lamunan. “Enggak, aku cuma—“Suamiku masih dengan posisi yang sama, masih menatapku dalam. Kemudian semakin mengikis jarak di antara kami. “Bolehkan aku melakukannya lagi?”“Melakukan apa?” Pertanyaannya sangat ambigu. “Kiss,”

  • Pesona Babang Ojol    Alhamdulillah, Sah!

    Terdengar berisik suara gedoran pintu kamarku. Siapa, sih, pagi buta begini gangguin orang saja. Aku menarik selimut hingga menutup kepala. Kulihat Faiha masih tertidur pulas. Namun, beberapa saat kemudian suara Bulik terdengar melengking dari luar jendela. “Syifa! Kamu jadi nikah apa enggak, sih? Periasnya sudah datang,” teriak bulik sambil menggedor-gedor jendela kamar. Astaga, aku terperanjat dan segera mengecek ponsel. Tanggal 10 Oktober 2021. Ya Allah, hari ini aku akan melepas masa remaja. Waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Gasik sekali datangnya. Aku harus segera mandi dan salat Subuh. “Iya Bulek, aku keluar.” Aku segera bangun dan turun dari tempat tidur. Namun nahas, kakiku semutan sehingga membuatku jatuh terjungkal. Aku tergeletak di lantai. Kakiku mati rasa, aku harus menunggunya hingga kembali pulih. Ya Allah, gini amat punya adik syemok. Kaki Faiha menindih kakiku hingga membuatnya kesemutan.Aku segera membangunkan Faiha dan mengajaknya salat, tetapi dia tid

  • Pesona Babang Ojol    Nggak jadi, deh!

    Setelah kepergian kedua adikku, aku pergi ke dapur untuk membuat kopi. Biasanya aku menyiapkan kopi untuk ayah. Namun, langkahku terhenti kala melihat pakde dan paklik menghadangku di depan pintu dapur.Mau apa mereka? Ayah tidak ada di rumah, bude dan bulik belum juga datang. Ya Allah, selamatkanlah aku. “Kamu mau ke mana, Fa?” tanya Paklik sambil tersenyum. Sedangkan pakde berbisik di samping telinga paklik. Sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu. Aku harus waspada. Jangan sampai kejadian di novel online itu terjadi padaku. Mengerikan sekali ketika ada seorang gadis yang dinodai 30 pria, dan orang yang menjebaknya adalah pamannya sendiri. “Aku mau bikin kopi buat ayah,” jawabku gugup. Mereka tersenyum menyeringai. Ayah, cepatlah pulang, anakmu sedang ketakutan. “Kebetulan sekali, Fa. Kami mau bikin kopi, tapi enggak tahu gulanya di mana,” jawab pakde sambil menggaruk kepala. Aku menepuk jidatku, separah inikah pengaruh novel online terhadapku? Aku menjadi orang yang sela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status