Share

Suka Jajan

“Iya, kita bisa berteman. Aku janji, aku nggak akan membawa perasaan dalam pertemanan kita.” Ibra mengulurkan satu jari kelingkingnya. Seperti anak kecil saja.

Aku mengerutkan dahi. Pasalnya tidak ada pertemanan yang abadi antara lelaki dan perempuan dewasa. Apalagi aku sudah mengetahui jika dia menyimpan perasaan kepadaku. Bagaimana ini?

Belum sempat aku menjawab, dia sudah memegang tanganku dan menautkan jari kelingking kami.

“Sekarang kita berteman.”

Aku bingung harus menjawab apa. Aku bahkan belum menyetujuinya. Dia mengambil kesimpulan sendiri.

“Nanti sore aku anterin pulang, ya, Fa. Kita ‘kan berteman.”

“Maaf, aku nggak bisa. Aku udah pesan ojol.”

“Kamu lucu. Pulangnya masih nanti sore dan sudah pesan ojol?” Dia tersenyum hambar.

“Kamu tahu sendiri, kan, gimana galaknya Ayah. Aku gak berani diantar teman lelaki. Bisa digorok kalau sampai ketahuan.”

“Aku jadi penasaran dengan Ayah kamu.”

“Gak usah penasaran, nanti bisa kebawa mimpi. Gak lucu dong laki mimpiin laki juga, ha ha ha.”

Sebenarnya Ibra pria yang baik. Aku sering melihatnya salat ketika jam istirahat siang. Begitu juga ketika sore hari, dia salat Asar dulu sebelum pulang. Bacaan ngajinya juga fasih. Aku sempat terpesona olehnya, tetapi kehadiran Thalita membuatku mundur.

Jika jodoh adalah cerminan diri, aku yakin 100% kami bukan jodoh. Dia terlalu baik untukku. Bertolak belakang denganku yang selengekan.

“Balik ke kelas, yuk! Bentar lagi jam terakhir dimulai,

Setelah mata kuliah terakhir, aku harus menemui Pak Arfan. Masih ada satu masalah yang harus kuselesaikan. Aku bisa dikeluarkan dari KK jika terlambat pulang.

Suasana di luar cukup ramai, bisa dipastikan aku tidak akan berduaan dengan dosen itu. Aku merasa sedikit lega.

Pintu ruangan dosen terbuka, aku masuk setelah mengucapkan salam dan meminta izin bertemu Pak Arfan. Aku segera menuju ke meja tempat kami bertemu tadi siang. Sepertinya dia bukan dosen baru, nyatanya dosen di sini sudah mengenalinya.

Astaga ...! Aku memekik melihat adegan di depanku.

Aku segera memalingkan wajah, mataku bisa ternodai. Tidak sepantasnya aku melihatnya. Dua anak manusia dalam satu ruangan, dan dosen itu tidak memakai baju. Baru kali ini aku melihat aurat lelaki selain Ayah dan adik lelakiku. Ada yang menggelitik di hati, bulu kudukku meremang.

Meja yang tadinya rapi menjadi berantakan. Buku berjatuhan di lantai, botol air mineral berceceran. Sungguh kotor dan penuh sampah.

Aku hendak keluar, tetapi tanpa sengaja menabrak seseorang saat aku berbalik.

Grompyang!

Barang bawaan Bu Tika jatuh semua di lantai. Sebuah plastik warna putih bergambar minimarket sobek. Isinya keluar dan berceceran di lantai. Aku membantu membersihkannya.

Ada beberapa obat masuk angin, minuman kaleng untuk mengobati sakit tenggorokan, snack dan camilan. Ternyata Bu Tika suka jajan.

“Maaf, Bu Tika, saya tidak sengaja.” Dua orang lelaki yang sedari tadi mengacuhkanku langsung terperanjat. Pak Arfan langsung mengambil bajunya yang tergeletak di meja.

“Kamu ngapain ke sini, Fa?” tanya Pak Lucky sambil menutup botol berwarna hijau

“Eh, anu ... itu, Pak. Saya dipanggil sama Pak Arfan.”

“Oh, iya. Silakan masuk! Maaf saya lupa,” ucap Pak Arfan sambil mengancingkan baju.

Ya Allah, aku datang di saat yang tidak tepat. Hampir saja aku khilaf melihat roti sobek Pak Arfan. Sepertinya aku harus ganti kacamata hitam.

“Aku balik dulu sama Tika, ya, Fan. Ini aku kembalikan milikmu.” Pak Lucky menyerahkan sebuah koin emas dan botol minyak telon berwarna hijau.

“Makasih udah dikerokin, lumayan udah lega.”

“Ini obat tolak anginnya jangan lupa diminum. Segera pulang sebelum hujan. Mendadak mendung, nih!” ucap Bu Tika sambil menggandeng mesra tangan Pak Lucky.

“Makasih, ya! Kalian juga buruan nikah. Gak baik kelamaan pacaran.”

Uwuw ... Ada gosip baru, nih. Ternyata mereka pacaran. Bakal seru kalau sampai anak-anak tahu. Mereka selama ini tidak pernah terlihat bersama, tetapi di ruang dosen sudah terang-terangan pegangan tangan. Mataku melihatnya tanpa berkedip hingga mereka lenyap di balik pintu.

“Udah selesai lihatnya?”

“Ya Allah! Bapak ngagetin aja.” Sangking kagetnya, aku menabok punggung Pak Arfan. Entah sejak kapan dia berdiri di sampingku.

“Aduh, duh, duh! Sakit, nih, punggungku habis kerokan. Kamu mau hukumanmu kutambah?”

“Ampun, Pak. Maaf! Saya tidak sengaja!”

“Mau hujan, buruan bantu saya beresin ruangan Pak Bumi. Saya bisa dipecat nanti.”

“What?”

“Yah, hukuman kamu bantuin saya beresin ruangan ini. Habis itu kamu boleh pulang.”

Ternyata Pak Bumi adalah seorang Rektor di kampus ini. Namun beliau jarang sekali berangkat. Ruangannya full AC dan nyaman, tetapi sayang ruangan ini bak kapal pecah karena ulah dosen yang tidak bertanggung jawab.

“Kenapa Bapak bisa berada di ruangan rektor? Saya curiga sama Bapak.”

“Curiga apa? Nih saya dapat pesan disuruh ambil dokumen Pak Bumi. Makanya berantakan.”

Dia menyodorkan ponselnya di depanku. Sebuah pesan dari ‘Pak Rektor'.

Alhamdulillah, aku bernapas lega. Ternyata hukumannya cukup ringan. Aku akan melakukannya dengan cepat karena sudah terbiasa membantu Ibu membersihkan rumah.

Aku mulai membereskan buku-buku di meja, kemudian menyapu dan membuang sampah pada tempatnya.

“Saya sudah selesai, Pak. Boleh saya pulang?”

“Silakan. Makasih, ya, ingat jangan ulangi kesalahan yang sama!”

Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Aku mulai kesulitan mencari angkutan. Kampus sudah sepi, tinggal beberapa dosen dan mahasiswa semester akhir yang masih di kampus. Aku tidak mengenal mereka sama sekali. Nindi sudah pulang, biasanya dia yang selalu mengantarkanku.

Aku mulai resah karena gerimis mulai turun, tidak ada payung ataupun jas hujan. Aku segera berteduh di halte agar bajuku tidak basah. Ribet sekali memakai gamis, bahaya jika terkena angin bisa terbang. Aku menyesal karena harus berbohong kepada Ibra dan menolak tawaran pulang bareng.

Sepertinya aku harus membeli motor sendiri. Gajiku sebagai penjaga toko tidak cukup untuk membeli motor, aku harus cari sampingan supaya bisa mendapatkan uang tambahan. Namun bagaimana caranya?

Sebuah angkutan berhenti di depan halte. Beberapa mahasiswa langsung berebut masuk. Aku kalah cepat karena terlalu banyak melamun.

“Maaf, udah penuh, Neng.” Kulihat memang penumpangnya sudah penuh dan berdesakan. Akhirnya aju kembali duduk di halte.

Berkali kulihat jam di ponsel, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda angkutan datang. Seorang wanita di sebelahku akhirnya memesan ojol. Kulihat uang di dalam dompetku, isinya tinggal 5 lembar uang gambar orang membawa piring. Mana cukup buat ngojek?

Tidak lama kemudian datang dua lelaki yang turun dari truk. Sepertinya mereka bukan orang baik. Bagaimana ini? Oh Tuhan, selamatkan aku ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Semoga ada orang yg bisa bantu Syifa......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status