LOGIN“Kamu tahu … ayahku adalah penggemar berat ibumu.”Pernyataan yang dilontarkan Arnold membuat Sherin spontan menoleh.“Beberapa lukisan ini memang kuperoleh dari pelelangan, tetapi sebagian besar karya di dalam ruangan ini sepertinya dibeli langsung ayahku dari ibumu,” terang Arnold tanpa mengalihkan pandangannya dari lukisan di hadapannya.Netra zamrud Sherin menyipit tajam. “Bagaimana ayahmu bisa mengenal ibuku?”Arnold tersenyum kecil, lalu perlahan menoleh. “Sepertinya mereka pasangan kekasih.”“Apa?” Sherin berseru tak percaya.Arnold tergelak, lalu menjawab, “Maaf, aku cuma bercanda.”“Arnold, kau─!” Mata Sherin telah mendelik tajam, tetapi kemudian ia mengembuskan napasnya dengan kesal."Aku tidak tahu secara pasti hubungan mereka. Tapi, kemungkinan besar mereka adalah rekan kerja," lanjut Arnold dengan nada lebih serius.Kedua alis Sherin refleks bertaut. "Bagaimana kamu bisa tahu?" selidiknya.Seingatnya, Sherin tidak pernah mendengar ibunya menyebut-nyebut nama keluarga Wind
“Sherin …,” Arnold hendak meraih tangannya, tetapi Sherin langsung menepisnya dengan kasar.Arnold terdiam sesaat sebelum akhirnya menghela napas panjang dan melanjutkan, “Masalah ini bukan salah Mama. Beliau terpaksa melakukannya karena aku yang memintanya. Sejak awal Mama sudah memintaku untuk bicara jujur. Jadi, ibuku memang tulus menyukaimu, Sherin.”Sherin tersenyum getir, tidak dapat menerima alasan tersebut sepenuhnya. “Apa di matamu aku sebodoh itu?” desisnya.Arnold mengesah frustrasi. “Tidak, Sayang. Aku—”“Atau kamu takut aku mengincar hartamu kalau tahu kamu sangat kaya?” potong Sherin tajam, tidak memberi Arnold kesempatan menyelesaikan kalimatnya.Arnold terdiam. Keheningannya terasa seperti tamparan keras bagi Sherin.“Jadi … benar?” Suara Sherin bergetar. Mata zamrudnya menatap pria itu dengan penuh kekecewaan.“Sherin, dengar dulu,” sahut Arnold dengan cepat. Ia tidak ingin gadis itu mengambil kesimpulan terlalu cepat dan mengecapnya tanpa dasar.“Awalnya aku memang s
“Tenang saja. Aku tidak akan lari. Malam ini aku akan menjadi milikmu seutuhnya, Sayang,” seloroh Arnold, mencoba mencairkan ketegangan yang gadis itu ciptakan.Sherin mengesah pelan. “Arnold, aku tidak ingin bercanda.”“Aku juga tidak,” sahut Arnold dengan santai. Ia meraih kue tart, lalu menyalakan lilinnya dengan pemantik yang telah dipersiapkan di atas meja tersebut.“Aku tahu kamu tidak pernah menyukai hari ini dan tidak pernah ingin merayakannya," lanjut Arnold seolah mendalami perasaan gadis itu.Namun, dengan nada penuh keyakinan, pria itu menambahkan, "Tapi, aku ingin kamu tahu kalau kamu tidak perlu khawatir akan melewati hari ini sendirian lagi. Aku akan selalu menemanimu kapan pun kamu menginginkannya."Perlahan Arnold menyodorkan kue di tangannya di hadapan Sherin. Cahaya lilin-lilin kecil itu berpendar lembut, memantul di mata mereka berdua.Tiba-tiba hembusan angin membuat api lilin bergoyang liar. Arnold refleks mengangkat tangannya, melindungi nyala kecil itu dengan t
Mobil yang dikemudikan Arnold memasuki kawasan vila elit di kaki gunung. Jalanan sangat lengang, tetapi hanya diterangi cahaya lampu temaram yang berderet di kedua sisi, menciptakan suasana sunyi dan dingin.Sherin menoleh ke sekeliling. Keningnya lantas berkerut. “Arnold, kenapa kamu membawaku ke sini?”Arnold tetap menatap lurus ke depan. “Bukankah kamu bilang ingin bicara?”“Iya, tapi—” Sherin terhenti, rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. ‘Jangan bilang dia mau ….’Glek!Sherin menelan salivanya dengan kasar. Ucapan yang pernah Alvin katakan mengenai sosok “King” yang merupakan sosok pembunuh berdarah dingin, tiba-tiba saja melintas di dalam kepalanya.‘Astaga, aku ini ngelantur apa sih .…’Sherin segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menepis pikiran konyolnya sendiri. Namun, kewaspadaannya tetap terjaga. Terlalu banyak rahasia tentang Arnold yang belum ia ketahui.Meskipun Arnold belum menjelaskan apa pun tentang identitasnya yang sebenarnya, tetapi kini, Sher
Tangan Arnold yang baru saja membuka pintu mobil seketika terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap Leon dengan sorot mata tajam dan tak bersahabat.“Apa ucapanku tadi kurang jelas?” cibir Arnold dengan dingin, “atau kamu memang terlalu bodoh untuk memahaminya, Leonard Hale?”Rahang Leon mengeras. Urat di pelipisnya tampak menegang, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang.“Tidak usah berpura-pura, Arnold. Aku tahu kalau kamu dan Sherin hanya menikah pura-pura,” cetusnya dengan tegas.Genggaman tangan Arnold pada pintu mobil perlahan mengencang. ‘Sherin yang memberitahunya?’ terkanya di dalam hati.Memikirkan keakraban istrinya dengan pria itu sampai membicarakan tentang rahasia pernikahan mereka membuat hati Arnold terasa panas. Namun, ia tidak ingin memperlihatkannya secara nyata, tidak untuk membuat Leon merasa senang.“Berpura-pura atau tidak, faktanya aku adalah suaminya, Leonard Hale,” desis Arnold seraya mendengus sinis. Tatapannya menyoroti pria itu dengan remeh, menunjukkan
'Ck! Pasti Hailey yang sudah membocorkannya,' sungut Sherin di dalam hati. 'Dasar mulut ember!'Ia mendengus pelan, menahan kekesalan yang mendadak memenuhi dadanya. Meski kecewa, Sherin tahu ia tidak sepenuhnya bisa menyalahkan sahabatnya itu.“Apanya yang benar?”Suara berat Arnold memecah keheningan yang menyesakkan. Tatapannya langsung tertuju pada Leon, dingin dan penuh tekanan.“Aku adalah suami Sherin,” ucap Arnold dengan tegas, lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan penekanan yang disengaja, “sah secara hukum.”Kata "sah" itu meluncur seperti pisau, menghunjam tepat ke sasaran. Dari sorot mata Leon, ia bisa melihat amarah yang tidak lagi mampu disembunyikan.Tanpa memberi Leon celah untuk menyela, Arnold kembali berbicara. Nada suaranya tetap tenang, tetapi setiap katanya mengandung tekanan yang menusuk.“Aku tidak keberatan jika tidak dianggap sebagai keluarga. Tapi kalau begitu, apakah itu berarti kalian juga menganggap Sherin sebagai orang luar?”Arnold sengaja me







