Hari ini kayaknya bakal boom update, siap2 ya hehehehe
Selang beberapa waktu kemudian, mobil yang ditumpangi Sherin telah tiba di depan gedung tinggi yang berdiri dengan megah, memantulkan cahaya malam dari kaca-kacanya yang berkilau. Hotel bintang lima itu malam ini telah menjadi pusat perhatian. Deretan mobil mewah berbaris di area lobi, sementara para tamu turun satu per satu dalam balutan gaun elegan dan setelan mahal. Sherin menahan napas, menatap suasana glamor itu dari balik kaca jendela. Rasa gugup merayap naik ke dadanya, membuat jemarinya tanpa sadar saling menggenggam erat di pangkuan. Gadis itu melirik ke samping, menemukan mata King masih terpejam erat. “King,” panggil Sherin pelan. Tidak ada jawaban. “Kita sudah sampai,” bisiknya lagi, sedikit lebih keras, diiringi helaan napas kesal. Pria itu tetap tidak bergerak, tetapi napasnya terdengar teratur seolah-olah dia benar-benar terlelap. Sherin mengerucutkan bibirnya, lalu kembali menarik napas panjang. Ia pun meraih lengan pria itu dan mengguncangnya sedikit
Sepasang mata biru di hadapan Sherin tampak lebih gelap dari biasanya, memantulkan bayangan dirinya yang bergetar antara takut dan tidak percaya.Ada sesuatu yang bergejolak dari sorot mata pria itu seakan ingin menerkamnya. Tubuh Sherin menegang di tempat.Untuk sesaat, nalurinya memerintahkannya agar turun dari mobil itu dan pergi sejauh mungkin Akan tetapi, bayangan masa depan Clover yang berada di tangannya saat ini, memaksanya untuk tetap diam di tempat. Dengan gerakan lembut dan penuh kehati-hatian, Sherin menyingkirkan tangan King dari dagunya. Seulas senyuman tipis melengkung terpaksa di bibirnya sebelum akhirnya ia berkata, “Aku tidak tahu kalau kamu sangat suka bercanda, King.” “Bercanda?” Arnold mendengus dingin, lalu seringai kecil muncul di wajahnya. “Asal kamu tahu … apa pun yang meluncur dari bibirku tidak pernah tidak terwujud,” lanjut pria itu dengan nada rendah yang terdengar tegas, tetapi berhasil membuat tubuh gadis itu meremang.Sherin bisa merasakan jantungnya
Arnold mengalihkan pandangannya sejenak, berusaha mengatur napas yang mendadak terasa berat.Untuk pertama kalinya, ia melihat Sherin tampil seanggun itu—begitu memikat hingga membuatnya terbius sejenak oleh pesonanya.Namun, meskipun hatinya terusik, egonya menolak untuk mengakui getaran yang sempat dirasakan saat ini.“Gaun yang bagus,” gumam Arnold akhirnya, dengan suara rendah namun terkendali—seolah sedang menilai karya seni, bukan perempuan yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.Dari kursi pengemudi, Oliver yang mengenakan topeng venesia hitam hanya tersenyum tipis mendengar komentar tuannya atas gaun yang ia pilihkan untuk gadis itu. Oliver sebenarnya juga tidak menyangka, Sherin akan sangat pantas mengenakan gaun tersebut—bahkan jauh melampaui bayangannya ketika pertama kali memilihkannya.Malam ini gadis itu benar-benar terlihat berbeda. Aura lembut dan sederhana yang biasanya menyelimutinya kini berubah menjadi pesona yang memikat, nyaris berbahaya bagi siapa pun yang m
Dengan bola mata yang membelalak lebar dan mulut yang sedikit menganga, Alden berkata dengan terbata-bata, “No-Nona … A-Anda….” Pria itu tak kuasa menahan decak kagum yang nyaris tak bersuara. Matanya tertahan oleh kecantikan yang terpampang di hadapannya. Ada pesona yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bukan hanya Alden saja yang terkesima, tetapi bawahan yang berdiri di sampingnya juga ikut tercengang, tidak percaya jika wanita anggun yang berdiri di hadapan mereka adalah Sherin Scarlet, nona muda mereka yang biasa selalu berpenampilan sederhana. “Anda … membuat kami pangling, Nona,” gumam bawahan Alden, masih belum melepaskan pandangannya dari gadis itu. Melihat ekspresi kedua orang itu, Sherin justru mengira ada yang salah pada dirinya. Ia menunduk, memandangi gaun yang dikenakannya sambil meremas lembut ujung kainnya. “Kalian … kenapa? Apa saya terlihat aneh? Atau … saya tidak pantas memakai gaun ini?” tanya gadis itu dengan ragu. Alden tersentak, lalu menggeleng cepat. “
Begitu panggilan tersambung, Nicole segera menyapa sosok di seberang gawainya dengan nada hati-hati, “ Tuan Hudson, dokumennya sudah ditandatangani oleh Marco Langdon.” “Kerja bagus, Nona Dieter. Besok saya akan mengambilnya sendiri,” sahut Oliver Hudson, suaranya terdengar antusias dan puas. Beberapa waktu lalu, Arnold Windsor—melalui Oliver Hudson—menghubungi wanita itu untuk bekerja sama dengannya, meminta Marco Langdon untuk menandatangani sebuah dokumen. Namun, dokumen yang tadi ditandatangani Marco bukan sekadar surat pernyataan hutang, melainkan pengakuan resmi bahwa pria itu telah menyalahgunakan wewenangnya saat menjabat di Windsor Group. Arnold membutuhkan pernyataan itu untuk memproses pencabutan jabatan keponakannya itu secara resmi dari perusahaan. Dengan bukti yang sudah ia dapatkan dan surat pengakuan itu, ia bisa melanjutkannya ke ranah hukum meskipun ia masih tidak yakin hal tersebut dapat berjalan dengan baik. Nicole menggigit bibir bawahnya, suaranya terdeng
Nicole Dieter masuk dengan langkah anggun. Lalu duduk di sampingnya dan berkata, “Maaf sudah membuat Anda menunggu lama, Nona Scarlet. Soalnya saya baru selesai berurusan dengan Tuan Muda Langdon. Dia benar-benar membuang waktuku saja.”Sherin tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Tidak apa-apa, Nona Dieter. Silahkan saja bicara. Maaf kalau saya terlihat mendesak Anda, soalnya saya ada janji sebentar lagi.”“Ah, ya ampun,” Nicole tampak bersalah, tetapi ia pun dengan cepat memberi isyarat kecil kepada para bawahannya.Beberapa staf segera masuk, membawa deretan tas, pakaian, dan sepatu rancangan terbaru yang dimiliki butik mereka.“Nona Dieter, ini ….” Sherin menatap deretan barang mewah itu dengan bingung.Nicole tersenyum tipis, lalu menyilangkan kakinya. “Ini adalah koleksi terbaik butik saya, Nona Scarlet. Semua ini untuk Anda. Anggap saja sebagai kompensasi sekaligus permintaan maaf resmi ND Holic atas insiden memalukan tadi.”Sherin terdiam sejenak, menatap gaun berpayet yang meman