Gyan tercenung selama beberapa saat. Niatnya, hal tentang Amanda hanya akan dia simpan sendiri. Dia berpikir Resta tidak perlu tahu karena menurutnya itu bukan sesuatu yang penting. Namun kalau sudah begini, Gyan tidak mungkin mengabaikan atau malah akan membuat wanita itu salah paham. "She's Amanda." Gyan melirik sejenak. Tidak ada reaksi dari wanita itu. Resta hanya diam seraya menunggu kelanjutan ucapan Gyan. "Putri Surya Wiratama." Seharusnya penjelasan itu cukup. Tapi tatapan Resta seolah menginginkan penjelasan lebih. "Aku hanya mengantarnya pulang." "Kenapa?" "Karena disuruh papi." Resta baru melepas tatap seraya mengangguk. "Itu wanita pilihan presdir buat kamu ya?" tanyanya, mengambil kesimpulan kasar dari keterangan Gyan. Info yang singkat, tapi itu cukup membuat dia paham. "Sok tau." Gyan kembali mengubah posisi tidur menghadap Resta. Sebelah lengannya dia lipat, menjadikannya bantal. "Itu cuma makan malam membahas tentang bisnis. Kebetulan putri Surya yang baru pulang
Halo! Karena Pesona Bos Galak masuk di Terpanas Populer, aku up lagi. Semoga makin banyak yang baca, makin banyak yang masukin novel ini ke library. Teman-teman jangan lupa rekomendasiin cerita ini ke yang lain juga ya. Happy reading terima kasih yang udah aktif baca dan komen. Bab ini spesial buat kalian.=============Daniel membuka kedua kakinya. Lalu memutar bahu ke arah belakang dalam sepuluh kali hitungan, dan lanjut hitungan yang sama ke arah depan. Setelah itu dia merentangkan dua tangan, lantas memutarnya ke depan. Bertepatan dengan itu, Gyan menyusul di sebelahnya. Mengikuti warming up sebelum bermain tennis. "Soal Resta..." Daniel bersuara di tengah kegiatan warming up. "I know you like her just for fun. Papi juga pernah muda. Dan sebelum bertemu mami kamu. Papi juga begitu." Gyan berhenti sejenak, lalu menoleh. "I'm not you, Dad. You can see how many times I've dated so far." "That's impossible." Daniel menggeleng tak percaya. "You date her?" Gyan membungkuk. Mengarahk
Joana berjengit saat Resta menempelkan botol minuman dingin ke pipinya. Dia berdecak sebal lalu merebut botol minum tersebut, membuka segel penutup, dan meminum isinya. Rasa dingin langsung menyebar ke sel-sel tubuhnya yang tadi sempat panas gara-gara Reno. Beruntung pria itu pergi sebelum dia mencabik-cabiknya seperti sampah. "Besok-besok lagi nggak usah dikasih pintu, Res. Ngelunjak ntar. Sok kecakepan. Astaga!" Joana menengadah lalu bergidik. "Apa sih yang Mayrosa pikirkan pas jadiin dia selingkuhan. Jelas bagus Pak Gyan ke mana-manalah." Resta tersenyum menyaksikan sahabatnya yang masih saja mencak-mencak. "Kenapa lo senyum-senyum? Jangan bilang lo masih punya hati sama tuh laki," tuduh Joana sadis yang langsung ditanggapi Resta dengan decapan sebal. "Hati gue kan cuma satu." Resta bergerak membuka tas dan mengeluarkan bawaannya. Dia menyibukkan diri merapikan meja yang berantakan. Di belakangnya, tepatnya di ujung tempat tidur Joana yang duduk di sana memperhatikan gerak-ge
"Kamu yakin nggak mau mampir?" Sudah ketiga kalinya Amanda menanyakan hal sama. Dan sebanyak itu pula Gyan tetap menolaknya. "Silakan turun," ucap Gyan sembari mengedikkan dagu ke arah pintu. "Aku bisa bikin pizza. You wanna try?" "No, Thanks." Gyan menarik bibirnya sebentar bermaksud memberi seulas senyum. Namun yang ada hanya garis lurus yang terbentuk. "Hm, oke. Tapi aku yakin suatu hari kamu pasti datang sendiri ke sini tanpa kuminta." Terserah dia mau bicara apa. Gyan sudah tidak peduli. Jika tidak ingat dia harus tetap bersikap baik demi menjaga nama baik Daniel, Gyan mungkin sudah menendang wanita ini keluar. Ujung matanya melirik saat Amanda mulai membuka pintu mobil. Lalu ketika pintunya sudah setengah terbuka, napasnya berembus lega. Gyan memejamkan mata sesaat, bersyukur atas kebebasannya. Namun—Matanya kontan terbuka kala sebuah sentuhan terasa mendarat di pipinya. Dia terkejut dan refleks menoleh. Alisnya sontak menukik, sementara mata birunya menyorot tajam. Tapi
"Ada perlu apa kamu ke sini?" Suara dingin Gyan terdengar. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Amanda bisa senekat ini datang ke kantornya. Wanita itu tersenyum lalu berjalan melewati Resta untuk mendekati Gyan. "Ngajakin kamu lunch." Gyan tidak menjawab. Tatapnya bersirobok dengan tatap Resta. Wanita itu masih berdiri di tengah ruangan memperhatikan Amanda. "Aku nggak bisa." "Yaaah, kenapa?" Amanda tampak kecewa sampai alisnya yang melintang itu mengeriting. "Hanya makan siang. Masa nggak mau nemenin?" "I have a meeting." "Memang nggak bisa ditunda? Setelah makan siang. Iya kan Resta?" Amanda menoleh ke belakang meminta pendapat asisten Gyan. Dan itu membuat wanita asal Semarang itu terkesiap dan refleks menatap Gyan dengan bingung. Kode Gyan membuatnya lekas paham. "Iya, Miss. Sebentar lagi Pak Gyan ada meeting penting. Mungkin Miss Amanda bisa reschedule lain kali.""Aku kan udah datang ke sini, masa nggak bisa pending meeting itu bar—" "Nggak ada yang minta kamu datang k
Gyan memandang tak percaya wanita di depannya. Resta benar-benar mengajaknya bercanda. Pasca kejadian Amanda datang ke kantor, sikap wanita itu agak lain. Tiap kali Gyan ingin bermesraan, Resta terlihat enggan. Malah terkesan menghindar. Wanita itu juga terlihat lebih kaku, dan sering menolak permintaan Gyan untuk menginap di apartemen. Awalnya Gyan memaklumi, tapi lama-lama bikin pria itu kesal juga. Terlebih dengan apa yang Resta beri tahu sekarang. Bisa-bisanya wanita itu membuatkannya janji makan siang bersama Amanda. "Aku nggak mau," tolak Gyan membuang muka. "Please, Gy. Satu kali iniii aja." Gyan makin kesal melihat Resta memohon-mohon seperti itu demi wanita yang mungkin bisa merebut kekasihnya. Benar-benar tidak habis mengerti. "Sekali nggak ya, nggak!""Gy...." Resta menunjukkan wajah sedihnya. "Kamu nggak mau menolongku? Tiap hari aku diteror sama dia perkara makan siang ini." "Makanya jangan asal memberi janji." "Iya, aku minta maaf. Lain kali nggak begitu. Tapi kal
Gyan medongak ketika pintu ruangannya dibuka dari luar. Mulutnya yang rapat terbuka saat melihat asistennya masuk. Hampir saja omelannya meluncur ketika dia menyadari wajah Resta yang terlihat muram. "Kamu dari mana saja?" tanya Gyan. "Maaf, Pak. Tadi saya bertemu Joana." Hanya sebentar, Resta lantas segera kembali ke mejanya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Gyan. Dia langsung membuka laptop kembali. "Lain kali kalau mau pergi, tolong bilang dulu. Jadi aku nggak bingung nyari kamu." "Iya, maaf." Dari meja kerjanya Gyan mengawasi wanita itu yang terlihat lain sejak makan siang. Gyan sadar Resta mendiamkannya. Sudah dia duga makan siang bersama Amanda itu bukan ide yang bagus, tapi wanita itu terus memaksanya. Gyan mengetuk-ngetuk pena ke permukaan meja sambil terus mengawasi Resta yang terlihat sibuk. "Aku punya salah?" tanyanya kemudian. "Nggak," sahut Resta singkat tanpa melepas pandangan dari layar laptop. "Tapi kamu sama sekali nggak menatapku. Sudah aku bilang kan makan s
"Weekend boleh izin nggak kerja?" tanya Resta sembari memainkan dasi Gyan. Saat ini dirinya sedang ada di pangkuan pria itu. Sedikit bermanja di jam kantor yang tidak terlalu sibuk. "Mau ke mana?" tanya Gyan dengan suara agak serak. Tahukah wanita itu dia sedang menahan untuk tidak menerkamnya? "Orang tua Joana mau anniversary pernikahan. Joana minta aku menemaninya beli sesuatu. Kado." Gyan mengangguk-angguk. Dikecupnya bibir Resta singkat. "Boleh. Mau aku temani?" Kepala Resta menggeleng agresif. "Nggak usah. Aku mau nginep di rumahnya." "Mau aku anterin?" "Nggak usah juga. Kan Joana bawa mobil." "Hm, kalau nggak ada kamu aku ke mana ya?" tanya Gyan dengan mata sendunya yang terus memperhatikan wanita itu. "Bukannya kamu mau dimasakin Miss Amanda weekend ini?" sindir Resta seraya melempar pandang ke arah lain. Sudut bibirnya berkedut, menunjukkan tampang tak suka. Pria yang menahan bobot tubuhnya itu terkekeh. "Kamu anggap serius ucapan dia?" "Ciye yang mau dimasakin makana