Share

Bekerja Lagi

Istri mana yang tidak sedih saat melihat suami pulang dengan wajah kusut, uring-uringan dan menyerahkan selembar surat pemutusan kerja. Begitu pula dengan dirinya, kaget dan tidak percaya tapi ini benar adanya. 

Suaminya pulang, dengan menyampaikan sebuah berita yang sangat tidak enak bagi kelangsungan hidup keluarga mereka.

Mas Ardi, terkena pemutusan hubungan kerja sepihak oleh perusahaannya. Dia salah satu yang terkena pengurangan karyawan, sebagai efisiensi dari dampak perekonomian yang semakin lesu.

"Mas." Hani memeluk suaminya. Setetes air matanya jatuh di pipi. 

Mereka berpelukan cukup lama. Ardi bahkan ikut menangis. Seumur hidup mereka bersama, Hani tidak pernah melihat suaminya menitikkan air mata. Bahkan saat kepergian ayahnya, dia terlihat sangat tegar.

"Maafkan mas, ya. Udah bikin adek kecewa." Dia terisak. 

Ardi bukanlah laki-laki lemah. Dia tangguh, cerdas dan berprestasi. Masa kerjanya juga sudah cukup lama, enam tahun dari sebelum mereka menikah. Dia bahkan beberapa kali mendapat penghargaan dari kantor atas prestasinya di beberapa acara. 

Dulu mereka bekerja di satu perusahaan. Aturan yang berlaku tidak membolehkan suami istri satu kantor, akhirnya Hani memutuskan untuk rmengundurkan diri setelah menikah dan mengurus rumah atas permintaan suaminya. 

Rumah tangga mereka sangat bahagia, sederhana tapi berkecukupan. Sampai akhirnya Tuhan menitipkan seorang anak laki-laki. Rasanya, hidup mereka sudah lengkap semuanya. 

"Anggap saja ini ujian naik kelas, Mas. Kita mau dikasih rezeki lebih. Semoga  nanti dapat ganti kerjaan yang lebih baik, ya." 

Pelukan Ardi semakin erat. Dia bersyukur memiliki istri seperti Hani. Tidak banyak menuntut atas apa-apa yang belum mampu dia berikan. Wanita itu ikhlas menerima apa yang selama ini hanya mampu dia cukupi. 

Hani memandangi kertas itu. Berulang kali membaca, meneliti setiap poin yang tertulis. Sebenarnya, kompensasi dari surat ini lumayan banyak. Suaminya mendapatkan pesangon yang lumayan. Bahkan cukup untuk biaya hidup mereka selama setahun. Tapi tetap saja, bagi seorang laki-laki harga diri tetaplah bekerja.

Hani mengusap rambut suaminya dengan lembut, saat Ardi merubah posisi dan berbaring dipangkuan istrinya. Mengucapkan kata-kata sebagai penghibur dan penenang diri. 

Sebagai seorang istri yang taat, dia selalu berusaha menyenangkan suami dengan cara apa pun. Selama pernikahan ini pun, Ardi selalu bersikap baik dan tidak pernah kasar kepadanya.

Lelaki itu memang suami idaman bagi semua perempuan. Kasih sayang dan perhatiannya sangatlah berlimpah untuk anak dan istrinya.

***

.

Tiga bulan sudah sejak terakhir interview di gedung besar itu, tidak ada panggilan lagi. Itu berarti dia tidak lolos. Sudah berapa banyak lowongan yang dia apply, tapi belum ada satupun yang memanggil kembali.

Hani merasa sedikit putus asa. Semangat yang tadinya cukup menggebu, kini perlahan memudar seiring dengan berjalannya waktu. 

Ada satu dua yang perusahaan yang memanggil, tapi langsung dinyatakan tidak lolos karena usianya yang sudah kurang produktif. Wajar saja, di usia segini, ada banyak hal yang sulit dia tangkap mengingat memory di kepalanya sudah sedikit berkurang. 

Sementara menunggu, dia mencoba berjualan kue kecil-kecilan untuk menambah uang belanja. Hasilnya lumayan, bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Setiap hari dia mengantar kue ke pasar untuk dititipkan ke beberapa toko. Kadang habis terjual, kadang tidak. Jika sisanya masih banyak, dia akan membagikannya kepada tetangga atau pemilik toko sebagai ucapan terima kasih.

Sampai saat ini suaminya juga belum mendapat pekerjaan. Berkali-kali dia mencoba melamar, tapi belum ada yang panggilan.

Sering kali dia mendapati ada lihat ada rona kecewa di wajah suaminya setiap kali ditolak atau tidak mendapat kabar lanjutan dari perusahaan yang dilamar.

Uang pesangon yang mereka tabung, sedikit demi sedikit juga mulai berkurang. Apalagi keluarga tidak ada yang tahu karena mereka tinggal jauh dari kota kelahiran.

Ardi juga setiap bulan masih tetap mengirim uang untuk ibu dan biaya sekolah adiknya, karena ayah sudah tidak ada. 

Keluarga tidak ada yang tahu bahwa suaminya di rumahkan. Sengaja dirahasiakan, supaya tidak menjadi beban pikiran karena ibu sudah lanjut usia. 

"Unda. Abang mau pipis." Si ganteng buah hatinya datang menghampiri. Dengan tertatih-tatih dia berjalan.

"Sini, Sayang." Hani menggendongnya. 

Putranya sangat manja. Usianya sudah tiga tahun. Bicaranya juga belum terlalu lancar. Masih cadel, hanya kalimat tertentu yang jelas terucap.

Hani menuntunnya ke kamar mandi. Dengan telaten dia mengurus dan mengajarinya. Walaupun lelah tapi hatinya sangat bahagia. Anak memang anugerah Tuhan yang luar biasa dalam hidup kita.

Ponselnya berbunyi. Hani memilih untuk mengabaikan saja. Pikirnya entah siapa yang menghubunginya sore begini. Nanti saja dia akan menelepon balik, setelah selesai mengurus anaknya.

Dia menyerahkan putranya kepada suaminya di kamar. Kemudian mengambil ponsel diatas nakas. Ada panggilan dari nomor tak dikenal. Telepon rumah lagi. Entah siapa, jika memang penting pasti akan menelepon lagi.

Benar saja, tak lama ....

"Selamat sore. Apakah ini benar dengan Ibu Hani?" Terdengar suara seorang wanita di seberang sana.

"Ya. Saya sendiri." jawabnya. 

"Kami dari perusahaan bla bla bla. Apakah benar pada tanggal sekian ibu mengirimkan lamaran pekerjaan di perusahaan kami?" tanya wanita itu detail.

"Iya benar, Mbak." 

"Oh, baiklah."

Jantungnya berdetak kencang. Ada apakah ini? Apa suatu pertanda baik?

"Begini, Ibu. Kami ingin menyampaikan bahwa ibu dipanggil untuk sesi wawancara lanjutan dengan tim kami besok pagi jam sembilan. Apakah Ibu bersedia?"

"Apa? Eh, iya. Saya bersedia datang be-sok pa-gi," ucapnya terbata, gugup, antara percaya dan tidak. Rasanya, dia ingin bersorak girang sewaktu mendengarnya.

"Baiklah. Kami menunggu kedatangan ibu besok pagi pukul sembilan." Wanita itu mengulangi ucapannya. 

"Iya. Saya akan datang," jawab Hani dengan semangat empat lima. 

"Baik Ibu. Kami tunggu kedatangannya. Selamat sore." Sambungan telepon terputus. 

Air matanya mengalir. Haru, segenap perasaan bercampur baur di dadanya. Beegegas dia masuk ke kamar. Dilihatnya lihat Ardi sudah tertidur. Putranya sedang asyik bermain sendiri dengan bola plastik. Sesekali melempar ayahnya. Namun, suaminya tetap tidak sadar.

Ardi tampak kelelahan setelah seharian membantu istrinya mengurus rumah dan menjaga anak mereka. Setiap Hani membuat kue, dialah yang pergi ke pasar, berbelanja dan membeli semua bahan. 

Kadang-kadang Ardi membantunya mengerjakan pekerjaan di dapur jika putra mereka sedang rewel. Namanya juga anak-anak, tidak bisa jauh dari ibunya. 

Dia tertawa melihat pemandangan itu. Bola yang memantul berkali-kali di kepala Ardi, tetapi dia tidak sadar sama sekali. Hal sederhana yang membuatnya bahagia. 

Dia memutuskan nanti malam saja akan bercerita. Semoga suaminya ridho. Dia sudah tak sabar ingin segera menyampaikan kabar baik ini.

***

Dua orang itu duduk berhadapan. Mereka memandang satu sama lain dengan tatapan penuh kasih sayang.

"Mas. Aku minta izin, ya." Suara lembut Hani sedikit meruntuhkan pertahanan Ardi. Sejak dulu, dia memang sulit untuk menolak semua permintaan istrinya.

"Kamu yakin?" Tatapan mata Ardi begitu tajam. Dia seperti tidak rela dengan keputusan yang diambil istrinya. 

"Iya, Mas. Aku yakin banget. Ini juga kan buat anak kita. Enggak mungkin merepotkan orang lain terus," jawab Hani tegas.

"Tapi ..."

"Mas kan belum dapat kerjaan lagi. Sambil nunggu, boleh ya, aku kerja dulu sementara ini."

Memang tidak mudah baginya, tapi semoga ini yang terbaik untuk keluarga. Hanya ini satu-satunya cara agar mereka masih bisa bertahan hidup sampai suaminya bekerja lagi.

"Kasihan abang. Dia masih kecil. Masih butuh ibunya. Masa' kamu tinggal kerja?"

"Aku kan cuma sebentar aja, Mas. Sore sudah pulang. Weekend juga kan masih bisa nemenin abang main. Sama ngurusin rumah. Boleh, ya?" bujuknya. 

"Abang gimana?" Ardi meragu. 

Sebenarnya dia masih belum sepenuhnya rela melepas Hani bekerja di luar. Anak mereka masih kecil. Ditinggal sebentar saja kadang sudah menangis mencari ibunya. 

Apalagi ini? Hani akan bekerja seharian. Sibuk mengurus orang lain di luar sana. Menghabiskan waktu dengan orang-orang yang bahkan Ardi sendiri tidak tahu siapa saja. 

Dulu sewaktu mereka berpacaran, tidak masalah baginya jika Hani bekerja. Sekarang sudah berbeda kondisi, ada anak yang harus dikorbankan. Itu berat untuk Ardi putuskan.

Sebagai kepala keluarga, harusnya dia yang bertanggung jawab semuanya. Tapi dengan kondisi begini, mau tidak mau istrinya yang akan mengambil alih untuk sementara waktu. 

"Nitip budhe sebelah," jawab Hani tenang. 

Hani bukannya tidak percaya jika Ardi yang mengurus anak mereka. Walaupun bisa, tapi laki-laki memang kadang kurang telaten momong anak kecil. 

"Mas sendiri gimana?" Dia tersenyum geli. Dalam hati berkata, sebenarnya bukan anak mereka yang manja, tetapi ayahnya.

Ardi sudah terbiasa dimanjakan istrinya dengan pelayanan yang baik di rumah. Jika Hani bekerja, sudah pasti beberapa hal akan dia akan lakukan sendiri. 

"Belum tau." Lelaki itu tertunduk lemah.

"Mas ikut pelatihan aja yang temen mas tawarkan waktu itu. Biar ada kegiatan sampai dapat kerja lagi. Lumayan kan uang sakunya." Dia menawarkan solusi, dari pada suaminya uring-uringan terus di rumah. 

Kegiatan semacam itu cukup bagus dan memberikan dampak positif. Peserta jadi mempunyai keahlian baru yang bisa diterapkan di dunia kerja. 

"Tapi mas enggak tertarik sama pelatihan itu. Bukan bidangnya mas." Ardi menolak. Dia tidak suka dipaksa melakukan sesuatu hal yang tidak disukainya. 

"Enggak apa-apa lah, Mas. Dicoba aja dulu. Mana tau dapat keahlian baru. Dapat temen juga. Mungkin dari mereka nanti ada info lowongan kerja."

Tidak gampang meyakinkan Ardi. Lagi pula ini pasti akan berdampak pada semua aspek rumah tangganya. Tapi tak apalah, tak usah dipikirkan terlalu mendalam. Lebih baik berpikiran positif dari pada menduga hal buruk yang belum tentu terjadi. Hani juga kan belum mencoba, mana tahu berhasil.

Di luar sana, ada banyak ibu-ibu bekerja dan tetap nyaman saja dengan anak-anak yang tetap terurus dengan baik.

Anak bukanlah penghalang bagi seorang wanita untuk berkarir. Asal si ibu mengerti dan tahu batasan yang mana hak dan mana kewajiban. 

Hani sangat optimis dia bisa menjalani keduanya walaupun tidak sepenuhnya adil. 

"Kamu tega?" Ardi masih berusaha meyakinkan. Mungkin saja istrinya berubah pikiran. Toh tabungan mereka masih cukup untuk beberapa bulan ke depan.

"Biasanya kalau bunda ke pasar anter kue juga kan nitip sama budhe. Lagian dia sayang banget sama abang. Kayak cucunya sendiri." Hani menggendong putranya dipangkuan. 

Anak tiga tahun itu hanya menyimak apa yang menjadi pembicaraan orang tuanya, tanpa mengerti maksudnya apa.

"Itukan cuma sebentar. Ini seharian, loh. Kamu kerja dari pagi sampai sore." Ardi masih saja berarhumen. Rasanya masih belum rela. Dia lebih suka Hani di rumah saja dan mengurus mereka berdua.

"Mas. Kita kan belum coba." Wanita itu berusaha meyakinkan. Suaminya memang tidak gampang dipengaruhi dalam beberapa hal. Terutama menyangkut anak mereka. Ardi tidak mau sembarangan memutuskan sesuatu.

"Kalau kamu kangen, gimana? Kamu kan, belum pernah pisah lama-lama sama abang."

"Nanti tiap makan siang bunda telepon budhe. Biar abang senang." 

"Oke. Tapi janji. Pulang tepat waktu. Jangan keluyuran. Setelah mas dapat kerja lagi kamu resign. Jangan kerja lagi!" katanya tegas. 

Hani mengangguk, tanda setuju dengan apa yang diinginkan Ardi. Mereka membuat kesepakatan. Harus ada kejelasan sebelum segala sesuatu diputuskan. 

"Iya. Tapi mas ridho, kan kalau aku kerja lagi?" Hani menggenggam tangan sang suami. 

Bagaimanapun juga kerelaan suami yang dia cari untuk saat ini. Jika Ardi tidak memberikan izin, maka tidak akan ada kebaikan apa pun di dalamnya. Dia memegang teguh prinsip itu. 

"Iya. Tapi kamu jaga diri. Jangan macam-macam. Mas kasih izin." Ardi mengusap kepala istrinya. Mencium keningnya. Betapa dia sangat sayang pada wanita ini. 

Wanita penyabar, yang penuh kasih sayang dan kelembutan pada keluarga. 

"Bunda, mana bola abang?" Si kecil itu bertanya dengan suara cadelnya.

"Ini, Sayang." Hani mengambil sebuah bola di dalam keranjang yang penuh dengan tumpukan mainan.

Anak itu bersorak kegirangan setelah mendapat apa yang dia mau. 

"Besok abang sama uti di sebelah sebentar, ya. Bunda mau pergi bentar." Dia memeluk putranya dengan erat. 

Setitik air matanya menetes, sedih karena selama ini belum pernah berpisah lama. Entah nanti dia sanggup atau tidak, semoga saja dia kuat. 

"Mau antal kue?" tanya anak itu. Matanya manatap wajah ibunya dengan polos. Wajah lucunya membuat mereka berdua terharu. 

"Iya, Sayang. Mau antar kue sebentar." jawab Hani dengan senyum tulus. Abang pasti mengerti dengan keputusan yang dipilih ibunya. 

"Belikan abang bola." katanya lagi. 

Hani dan Ardi tertawa melihat tingkahnya. Abang memang lucu sekali. Matanya bulat seperti Ardi. Badannya gempal karena minum susunya banyak. Tapi mulutnya seperti Hani, bawel dan menggemaskan. 

"Lah, kan udah banyak." jawab Ardi sambil menunjuk keranjang mainan. 

"Walna bilu belum ada." 

Mereka berdua kembali tertawa melihat kelucuan si abang. Ardi yang tiga bulan ini nampak lemas dan kehilangan semangat, kini kembali ceria. 

Terima kasih Tuhan. Hani memeluk erat tubuh mungil itu. "Maafkan bunda ya, Nak. Bunda bakalan ninggalin kamu sementara waktu buat bantu ayah. Abang yang pinter ya di rumah. Jangan rewel, jangan nakal," bisiknya. Sebuah kecupan sayang dia hadiahkan di pipi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status