Hani menyimak setiap kata yang terucap dari bibir si pembicara di depannya ini. Berapa pun nominal gaji yang ditawarkan akan disetujui, asalkan dia diterima.
Dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, rasanya sudah tidak boleh banyak memilih pekerjaan, asalkan itu halal. Bersyukur saja ada perusahaan yang masih mau menerima. Hasil jualan kuenya juga tidak seberapa, hanya untuk biaya makan sehari-hari. Sementara kontrakan berjalan setiap bulannya, juga cicilan motor yang belum lunas.
"Ibu Hani. Segini jumlah gaji dan operasional yang kami tawarkan jika ibu berkenan," ucap si bapak itu.
Hani menganggukkan kepala. Tangannya gemetaran saat melihat berapa nominal yang tertulis di kertas itu. Dalam hati berucap syukur tak terhingga.
"Iya, Pak," jawabnya.
"Mungkin tidak terlalu besar karena banyak pertimbangan, seperti faktor usia dan ibu yang sudah lama vakum bekerja." Dia kembali menjelaskan. Lelaki dihadapannya ini adalah salah seorang staf yang ditugaskan untuk melakukan interview selanjutnya.
Usianya mungkin sudah separuh abad dan tinggal menunggu masa pensiun tiba.
Hani tercengang. Tidak terlalu besar katanya? Ini banyak. Cukup untuk membayar kontrakan selama satu bulan, membeli diapers, susu, keperluan rumah tangga dan upah lelah si budhe yang menjagakan anaknya.
Pikirannya blank, tidak bisa berkata-kata. Hanya memandang kertas itu dengan tatapan gamang. Apa pantas untuk karyawan baru yang hanya menempati posisi staf biasa dia diberikan sebanyak ini? Jumlahnya malah hampir mendekati gaji yang suaminya dulu dapatkan di kantor lamanya, setelah enam tahun bekerja. Apa mereka tidak salah?
"Ada yang ingin ditanyakan?" Si bapak itu terlihat menahan senyum melihat ekspresi wajahnya yang melongo.
"Saya kira saya tidak diterima. Sudah tiga bulan tidak ada kabar. Kata Pak Reza, seminggu tidak ada panggilan berarti tidak lolos." jawabnya jujur.
Dia memang selalu berterus terang secara gamblang apa pun mengenai perasaannya. Segala macam hal yang kurang jelas akan ditanyakan secara detail.
Si Bapak itu tersenyum. "Ibu keberatan dengan gaji segitu? Apa kurang? Bisa kita bicarakan." Dia mencoba bernegosiasi. Sudah sering mendapatkan kejadian seperti ini. Biasanya, si pelamar ingin meminta kenaikan gaji pokok, sehingga banyak bertanya ini itu.
"Bukan begitu, Pak. Saya menerimanya. Hanya saja masih belum percaya. Pastinya kan ada kandidat lain. Masa saya yang diterima?"
Gugup yang dia rasakan. Jantungnya berdetak kencang sedari tadi. Tangannya berkeringat dingin. Beberapa kali dia membetulkan letak kacamatanya, yang posisinya baik-baik saja. Selalu begitu setiap kali dia merasa nervous.Dia masih belum percaya, ini seperti di antara nyata dan mimpi. Mungkin inilah jalan rezeki dari Tuhan bagi keluarga mereka.
"Ibu benar. Tapi kami memilih ibu. Memang prosesnya lama karena kami agak keberatan dengan usia, walau pun dari sisi yang lainnya sudah oke," jelasnya. Dia menjelaskan secara detail. Wanita di depannya ini ternyata cukup sulit juga untuk diyakinkan.
"Lalu?"
"Ada pertimbangan lain karena itu diterima."
Hani kembali menganggukkan kepala. Pertimbangan apa, ya? Dia jadi penasaran. Tetapi sungkan untuk bertanya. Nanti si bapak ini kesal, bisa batal dia bekerja di sini.
"Bagaimana?"
"Kalau begitu terima kasih. Saya menerima," ucapnya sungguh-sungguh.
"Oh, iya. Ada yang ingin saya sampaikan. Untuk sistem kesehatan di perusahaan ini, kita menggunakan jasa asuransi, ya. Untuk karyawan wanita, akan ditanggung beserta anak. Tetapi suaminya tidak."
"Begitu, ya?"
"Bisa ditanggung suami, asalkan ibu menyertakan surat keterangan bahwa suami tidak punya pekerjaan dan menjadi tanggungan istri."
Deg!
Kata-kata bapak ini menyentil hatinya. Tidak, dia tidak mau. Dia yakin suaminya akan dapat pekerjaan secepatnya.
"Ini asuransi pemerintah atau swasta?"
"Dua-duanya. Nanti untuk lebih jelasnya akan dirincikan setelah ibu bergabung."
"Ditanggung yang swasta juga?" Dia setengah tak percaya. Didaftarkan asuransi pemerintah saja dia sudah senang, apalagi ini. Jadi perlindungan kesehatan keluarganya ada dua. Aman.
"Iya, Ibu. Asuransi pemerintah kan hukumnya wajib, kalau yang swasta itu kebijakan perusahaan karena tidak semua penyakit di cover asuransi pemerintah."
"Apa saja yang ditanggung? Kalau boleh tahu."
Ya ampun, dia jadi banyak bertanya. Biar sajalah, biar jelas jadi tidak perlu bolak-balik nantinya.
"Ada semua di lembar terakhir. Nanti ibu bisa baca sendiri. Untuk rawat inap dan rawat jalan, serta beberapa ketentuan jika terdiagnosa penyakit kronis." Dia menunjuk berkas yang terletak di meja.
Hani terkesima, luar biasa sekali kantor ini. Betapa besarnya sampai dia sendiri tidak sadar perusahaan apa yang dia masuki saat mengirim lamaran pekerjaan."Saya mengerti."
"Untuk aturan perusahaan nanti akan dijelaskan tersendiri ya, Bu. Ikuti saja prosesnya. Jika ada yang kurang dimengerti bisa ditanyakan langsung. Jangan sungkan."
"Cukup."
"Kami mengutamakan kenyamanan karyawan selama bekerja disini. Jadi, ibu tidak perlu khawatir. Sekali pun ini perusahaan besar, kami masih menerapkan sistem kekeluargaan. Hanya nanti, semoga ibu bisa menyesuaikan diri dengan seluruh staf yang ada."
"Baik. Saya siap menjalani semuanya." jawabnya tegas. Harus meyakinkan, jika tidak nanti niatnya bekerja bisa diragukan.
"Baiklah kalau begitu. Selamat bergabung di perusahaan kami. Semoga Ibu betah dan nyaman."
"Iya."
"Tapi ibu. Ini kan tanggal dua puluh tiga, ya. Ibu resmi bekerja mulai tanggal satu bulan depan. Besok sampai seminggu kedepan kita akan training di kantor ini."
"Baik, Pak." Sedari tadi dia hanya mengiyakan.
"Silahkan ditanda-tangani surat perjanjian ini." Dia menyerahkan selembar kertas..
Hani membacanya dengan teliti. Di situ disebutkan bahwa statusnya masih karyawati kontrak dengan evaluasi berjalan. Jika hasil kerjanya bagus, dalam waktu tiga bulan ke depan, akan diangkat menjadi karyawan tetap.
Setelah di rasa cukup, Hani membubuhkan tanda tangan di kertas itu.
"Oke. Sudah clear, ya. Saya rasa cukup. Ibu mungkin bisa mempersiapkan diri untuk besok." Dia mengambil kertasnya dan memasukkan ke dalam sebuah map.
"Engg ... saya pakai apa, Pak? Maksudnya pakaian yang nanti dikenakan."
Bapak itu tertawa mendengar pertanyaan Hani. "Bebas rapi saja asal sopan. Di sini tidak ada seragam," jelasnya.
Alhamdulillah. Sujud syukur pada-Mu.
Hani melangkah riang saat keluar dari gedung besar itu. Terbayang seperti apa besok hari pertamanya bekerja. Seperti apa juga rekan kerjanya nanti, apakah baik atau tidak. Kadang-kadang, ada senior yamg merasa berkuasa dan sedikit menzolimi anak baru sepertinya. Pernah dia mengalami sewaktu dulu di kantor lama.
Selain itu rasanya dia sudah tak sabar menanti gaji pertama. Lucu, belum bekerja sudah memikirkan gaji. Tapi memang itulah yang membuatnya bersemangat.
Suami yang belum bekerja dan tabungan yang semakin menipis, sedikit banyak membuatnya memikirkan mengenai kelanjutan kehidupan mereka.Dia sudah tak sabar ingin pulang ke rumah. Ingin segera menceritakan semuanya kepada suaminya. Berterima kasih karena dia telah dia telah diizikan untuk bekerja kembali. Semangat ya, Hani! Hari esok menanti.
Hani menyapukan sedikit bedak di wajah, kemudian memoleskan lipstik berwarna merah. Alis sudah sejak awal dia lukis."Duh, cantiknya istriku." Ardi menggodanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang, merengkuh istrinya dari belakang."Mas ini." Dia menyenggol perut suaminya. Sejak menikah, perut Ardi semakin hari semakin maju ke depan. Bahkan saat sedang hamil, perut mereka tampak berimbang. Itu karena Hani setiap hari menyajikan berbagai makanan yang menggugah selera."Jangan tebel-tebel bedaknya, nanti banyak yang naksir." Ardi menyandarkan kepalanya di bahu Hani, sesekali menghirup aroma harum yang menguar dari setiap helai rambut istrinya. Sekedar bermanja ria walaupun tidak intim."Mas cemburu?" Dia meletakkan sponge bedak dan mengambil kuas dan blush on berwarna matte untuk menutupi wajahnya yang putih tapi sedikit pucat."Pastilah. Biasanya istri di rumah cuma mas yang liat. Ini malah mau dipamer ke banyak orang.""Emangny
Tak terasa sudah hari terakhir training. Ini hari ke tujuh, berarti besok mereka sudah mulai aktif bekerja. Hari ini acara penutupan, di mana tidak banyak materi yang dibagikan. Hanya post test yang harus dikerjakan, untuk me-review seberapa paham para peserta dalam menerima materi. "Baiklah. Kita tiba di sesi terakhir di mana kami akan memberikan job desk Bapak Ibu semua." Salah seorang dari staf HRD memulai pembicaraan.Selama training berlangsung, dia hanya tampil sesaat pada waktu pembukaan hari pertama, serta penutup di hari terakhir acara. Selebihnya, materi diisi oleh berbagai divisi lain, dan tentunya ada Reza yang sesekali masuk dan memantau situasi. Reza benar-benar mengawasi selama acara berlangsung. Dia ingin memastikan sendiri.bahwa segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Peserta yang tidak banyak, tentu saja memudahkan panitia untuk mengurus semua. "Selamat bergabung." Sambutan Reza begitu hanga, ketika masing-masin
Selama bekerja di kantor ini, hari-hari dijalani Hani dengan senang hati. Sekretaris Pak Reza sekarang menjadi sahabatnya. Tentu saja, ada hari dia harus mengantar dokumen yang harus ditanda tangani bos-nya. Mereka saling bertukar cerita dan menjadi akrab. Setiap makan siang pergi bersama di kantin khusus karyawan. "Pak Reza itu loh, Mbak. Dia dijodohkan orang tuanya sama dokter cantik aja gak mau. Gak ngerti deh seleranya kayak apa." Agnes namanya. Si cantik ini memang suka bergosip. Orang yang sering jadi bahan perbincangan yaitu atasannya sendiri. Apapun kelakuan Reza sehari-hari, ada saja ceritanya. Reza memang membuat banyak orang penasaran. Terutama para wanita di kantor, kecuali Hani tentunya. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Jika ada yang bercerita, dia cukup tahu dan tidak memperpanjang masalah. "Masa'? Mungkin seneng sama bule' kali. Katanya lama sekolah di luar negeri." Hani menajwab asal. Dia masih fo
Dua orang lelaki duduk berhadapan di meja sebuah restoran. Sepertinya pembicaraan kali ini serius, mengingat karena kesibukan masing-masing, mereka jarang bertemu."Lo kenapa, Za? Galau banget kayaknya."Kevin, sahabat sehidup semati Reza. Playboy cap kampak yang sudah bertobat dari dunia malam dan wanita. Belum, belum bertobat sepenuhnya. Masih suka bermain sesekali."Mau tau aja." Reza mengaduk minuman di gelas, supaya setiap rasa bercampur menjadi satu."Ya elah. Gue ini sahabat lo. Maen rahasia-rahasian segala. Kaku banget, sih.""Berat ini.""Cewek?" tanya Kevin penasaran."Yup.""Siapa?" Mata lelaki itu membulat."Ada deh," jawab Reza santai."Aduh, Mas Bro. Lo ini laki apa cewek, sih? Ribet amat!" Kevin tidak habis pikir."Tapi janji, rahasia ini!""Kayak abege aja lo, Za. Udah mau kepala empat aja masih galau soal cinta. Gue udah buntut tiga lo masih
Tak terasa waktu berlalu, sudah tiga bulan Hani bekerja di sana. Hari demi hari dia nikmati walaupun terasa lelah. Ternyata tidak gampang bekerja dengan status sudah menikah. Apalagi mempunyai anak balita yang masih butuh kasih sayang dan perhatian dari ibunya.Berbeda dengan waktu masih single dulu, dia bebas mau pergi ke mana saja sepulang kerja. Sekarang setelah selesai jam kantor, dia harus segera pulang ke rumah. Belum bisa langsung istirahat, harus mengurus putranya yang rewel.Beruntung, dia memiliki suami yang pengertian. Bahkan tak jarang Ardi menyediakan makan malam, walaupun membelinya di luar. Bersyukur bahwa Tuhan memberikannya seorang pendamping hidup yang baik.Pekerjaannya di kantor semakin bertambah. Apalagi sejak salah satu staf administrasi resign, dia yang tadinya hanya diperbantukan otomatis menggantikan posisi itu.Reza? Masih saja terus mendekatinya. Tapi dia menolak secara halus, dari mengajak makan siang atau sek
Bosan.Itulah yang Hani rasakan selama satu minggu. Pikirannya suntuk, saat bekerja jadinya tidak fokus. Sejak suaminya berangkat training, dia seperti orang kebingungan. Ada beberapa sahabatnya tempat berbagi, tapi tetap saja rasanya berbeda jika bersama suami sendiri. Dengan Ardi, dia bisa mendiskusikan apa saja yang disuka.Wanita memang perlu mencurahkan isi hati kepada seseorang yang dia percaya. Selama ini hanya suaminya tempat berbagi cerita. Ketika Ardi tidak ada, dia menjadi hampa, seperti ada bagian yang hilang.Lagipula selama training suaminya tidak bisa diganggu. Telepon hanya bisa pada malam hari setelah selesai acara. Jadwal padat, begitu alasannya setiap Hani mengeluhkan hal itu."Perusahaan itu beda-beda. Kebetulan yang ini kantor pusatnya di Surabaya, jadi ya harus ke sana."Hani teringat kata-kata suaminya sebelum berangkat, malam hari sebelum tidur. Berdua membahas banyak hal, terutama tentang rumah dan anak me
Wajah Reza berseri saat sosok wanita itu masuk ke dalam ruangan. Hani terlihat manis dengan dandanan yang natural. Dia memakai blouse pas di badan tetapi tidak ketat. Seperti biasa, celana panjang hitam dan sepatu ... mata Reza beralih ke bawah. Ada perbedaan dari penampilan wanita itu hari ini. Bukan sepatu flat lagi yang dia pakai, tetapi sepatu hitam dengan hak lima inci.Entah sejak kapan dia menjadi pengamat si mungil ini, memperhatikan semua secara detail dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia membuang muka saat menatap leher mulus itu, yang setiap hari selalu ditampakkan karena Hani memilih menggelung rambutnya. Rasanya dia ingin ...."Makan siang di mana nanti?" tanya Reza tanpa basa-basi. Melihat wajah Hani yang cemberut dan diam sejak tadi meletakkan berkas di mejanya, membuatnya merasa sedikit bersalah.Pasti dia masih marah karena ucapannya kemarin. Memang lancang mulutnya mengatakan hal itu, malah sempat senang dengan reaksi yang Hani berika
Hani tertunduk lemas mendengar jawaban dari HRD. Setelah makan siang, dia nekat menghadap dan menyampaikan keinginannya untuk dipindahkan ke divisi lain. Itu juga setelah berbicara lama dengan Maya, atasannya langsung, menyampaikan beberapa argumen yang menguatkan alasan. Tentu saja dia merahasiakan perlakuan Reza selama ini. Malah nanti dia yang dituduh merayu lelaki itu.Dia kembali ke ruangan dengan tidak bersemangat, duduk di kursi dan mengerjakan laporan yang masih menumpuk."Hani." Dia menoleh dan seketika menjadi limbung saat melihat setumpuk berkas diletakkan begitu saja di meja kerjanya. Itu berarti dia harus kembali ke ruangan itu lagi. Sejak pagi dia bersyukur karena tidak ada yang menugaskan, tapi ternyata ...."Bisa yang lain enggak, Mbak? Saya masih ada kerjaan," tolaknya halus. Apa iya, hanya dia yang boleh menghadap lelaki itu, sedangkan yang lain tidak diperkenankan meng-handle jika dia berhalangan?Ini janggal sekali. Sedikit rasa curiga