Hari ini Hani berada di sini, di sebuah gedung besar sebuah perusahaan ternama. Kemarin, dia mendapat telepon untuk datang interview. Dengan penampilan seadanya, dia berangkat pagi-pagi ke tempat ini.
Hani bangun lebih pagi dari biasanya, menyiapkan sarapan untuk anak dan suami di rumah. Sebenarnya, suaminya ingin mengantar, tetapi dia menolak. Wanita itu memilih naik ojek online demi menghemat pengeluaran. Jadi putra mereka bisa dijagakan ayahnya di rumah.
Hani memang jarang membawa anaknya keluar, jika memang tidak perlu sama sekali.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Hani mematut diri di kaca sebelum berangkat, untuk memastikan penampilannya sebaik mungkin. Wanita itu memang tidak terlalu pandai berdandan seperti yang lain. Namun, apa yang dipakai kali ini rasanya cukup pantas dan sopan. Doanya hanya satu, semoga dia bisa diterima bekerja lagi.
Tiga puluh tahun bukanlah usia yang ideal untuk melamar bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ada banyak fresh graduated lulusan universitas ternama yang lebih layak lolos seleksi dibandingkan dengannya, ibu satu anak dengan usia matang.
Walaupun pengalaman bekerja cukup banyak, tetap saja Hani merasa kurang percaya diri saat memasuki gedung itu. Tapi apa daya, dia harus bekerja lagi. Semoga Tuhan masih memberikan rezeki kepada keluarga mereka.
Lamaran pekerjaan ini sudah satu bulan yang lalu Hani kirim melalui email, saat tak sengaja membaca iklan yang dipasang di media sosial. Wanita itu juga mengikuti beberapa grup, agar lebih mudah melihat lowongan apa saja yang tersedia. Juga, yang cocok dengan bidang dan keahlian yang dia miliki.
Tiba di halaman depan kantor, Hani membayar ojek online dengan jumlah yang pas. Lalu, dia mengucapkan terima kasih sebelum pengendaranya menghilang.
Hani melangkah dengan penuh keyakinan saat memasuki gedung besar dan bertingkat di hadapannya. Walaupun gugup, dia berusaha untuk tenang.
"Selamat pagi Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang resepsionis dengan ramah.
Hani menjelaskan maksud kedatangannya sembari memperlihatkan email yang dia terima. Si resepsionis kemudian mengecek beberapa data dan mempersilakannya duduk.
Tak lama menunggu, Hani dipanggil dan diminta untuk naik ke lantai atas untuk melakukan sesi wawancara.
"Nanti Ibu bilang saja ke sekretarisnya, kalau hari ini jadwal Ibu interview," jelas si resepsionis dengan ramah.
Hani berpamitan dan menuju lift lalu menekan angka sesuai dengan lantai yang dia tuju. Wanita itu mengusap telapak tangan karena begitu gugup.
Tiba di tempat tujuan, Hani segera menghampiri sekretaris yang dimaksud tadi.
"Saya Agnes. Silakan duduk dulu ya, Ibu."
Lagi, Hani diminta untuk menunggu, sementara wanita itu menghubungi seseorang.
Hani melirik Agnes yang sedang menelepon. Wajahnya begitu cantik saat dalam balutan blazer dan rok selutut. Rambutnya disanggul rapi, dengan harum parfum yang begitu menggoda.
Hani menatap baju yang dia kenakan. Modelnya sangat sederhana jika dibandingkan dengan Agnes. Dia merasa sedikit minder dan bergumam dalam hati, apakah bisa lolos dengan penampilan seperti ini. Sementara para pekerja di kantor ini terlihat cukup glamour dalam berpenampilan. Itu dia perhatikan sejak awal datang.
"Silahkan masuk, Ibu Hani," ucap Agnes.
"Apa sesi wawancaranya sekarang ya, Mbak?"
Hani merasa heran karena tidak melihat ada pelamar lain di ruangan ini selain dirinya.
"Iya, Bu. Hari ini sesuai dengan jadwal yang saya terima. Hanya ibu sendiri yang ikut sesi wawancara," jawab Agnes.
"Pelamar yang lain?" tanya Hani lagi.
"Mereka semua sudah dari kemarin pagi."
"Ada berapa orang yang datang?"
Hani terus bertanya karena ada rasa penasaran di hatinya. Biasanya interview dilakukan serentak dalam satu hari.
"Kurang lebih dua puluh orang, Ibu," jelas Agnes.
Hani hanya mengangguk sembari mendengarkan penjelasan itu. Beberapa kali dia bertanya agar lebih jelas. Maklum saja, sempat ada rasa khawatir jika tidak lolos.
"Bapak sudah menunggu di dalam."
Agnes menunjuk ke sebuah ruangan, di mana atasannya sudah datang sejak tadi. Dia memberi kode agar Hani segera masuk. Sepertinya orang yang ada di dalam tidak suka menunggu terlalu lama.
"Bukannya untuk sesi pertama biasanya R&D yang interview ya, Mbak?"
Hani bertanya lagi. Kali ini memang agak berbeda dari biasanya. Karena itulah dia merasa ini agak ... aneh.
"Iya, Bu. Tapi sepertinya Bapak mau cepat, karena posisi ini sudah lama kosong. Untuk sekarang, beliau sendiri yang akan ambil alih."
"Oh, begitu."
"Nanti, Ibu akan negoisasi gaji dan lainnya dengan tim R&D kalau lolos," jelas Agnes panjang lebar.
Hani mengangguk tanda mengerti, lalu berjalan ke ruangan itu dan mengetuk pintunya perlahan.
"Silakan masuk." Terdengar suara berat seorang lelaki.
Hani merasa ragu saat hendak melangkah. Jantungnya berdetak kencang. Seketika aroma segar yang berasal dari pengharum ruangan merasuk indera penciumannya.
Sejauh mata memandang, ruangan ini sangat nyaman untuk ditempati. Luas dengan desain minimalis. Dindingnya dilapisi wallpaper bermotif abstrak.
Ada beberapa lukisan yang ikut meramaikan. Lelaki itu duduk di situ, tanpa melihat Hani sama sekali. Dia masih sibuk membolak-balikkan berkas yang ada di tangannya dan membaca dengan teliti.
"Silakan duduk," katanya.
"Selamat pagi, Pak!"
Hani menyapanya, mencoba mengakrabkan diri dan sedikit berbasa-basi.
"Ya."
Hanya itu yang dia ucapkan. Hani melirik sedikit dan mendapati bahwa ternyata itu berkas lamaran pekerjaan miliknya.
"Pagi, Bu. Eh, saya panggil kamu Mbak aja, ya. Terlihat masih muda. Mbak Hani?" ucap lelaki itu sembari mengangkat kepalanya.
"Ya Tuhan!"
Jantung Hani berdetak lebih kencang. Seumur hidup, dia belum pernah melihat lelaki setampan ini. Bahkan suaminya yang katanya cukup menarik, masih kalah jauh.
"Iya, Pak," jawabnya terbata.
Hani seperti terhipnotis saat pandangan mata mereka beradu. Lelaki ini memiliki bola mata yang indah. Warnanya hitam dan pekat, seperti magnet yang menariknya ke dalam suatu pusara.
Hani tak berkedip. Sesaat dia terhanyut dan terdiam dan tak dapat berkata sepatah pun.
"Saya Reza, leader di sini. Silakan duduk. Saya akan mengajukan beberapa pertanyaan," kata lelaki itu santai.
"Baiklah."
Hani menarik kursi. Dengan tangan yang gemetaran, dia merapal doa dalam hati. Entah apa yang nanti akan lelaki itu tanyakan, dia akan menjawab semampunya.
Sesi tanya jawab itu berlangsung cukup lama. Hampir satu jam Reza bertanya segala hal. Seperti apa pekerjaan Hani sebelumnya. Alasan mengapa dia kembali bekerja, bahkan mengenai keluarga.
Reza memang tidak mau sembarangan memilih karyawan untuk posisi ini, hingga bertanya secara detail. Mungkin juga, dia memang tipe orang seperti itu.
"Saya rasa cukup sampai di sini. Hasil interview ini tetap akan saya cc kan ke R&D untuk kemudian akan kami diskusi kan mengenai kelanjutannya."
Akhirnya semua selesai. Hani menarik napas dalam dan berkata, "Baik, Pak."
"Kalau dalam waktu satu minggu tidak ada panggilan, berarti mohon maaf, ya. Mbak Hani tidak lolos seleksi," ucap Reza datar.
"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti interview ini," kata Hani dengan tenang. Dia ikhlas sekiranya gagal, yang penting sudah mencoba.
"Mbak Hani ada yang ingin ditanyakan?"
Reza melipat tangan di dada, dengan tubuh yang bersandar di kursi empuk itu. Tatapan matanya tajam, seolah ingin menaklukan lawan dihadapannya ini. Rasanya Hani ingin ikut bergabung bersamanya dan duduk di atas pangkuan lelaki itu.
Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, ya. Ingat anak suami sedang menunggu di rumah. Bisikan itu menggema di kepala Hani. Menyadarkannya akan pikiran yang sedari tadi berkelana.
"Tidak ada, Pak. Saya rasa cukup." Hani segera berdiri dan berpamitan.
Reza mengulurkan tangan untuk bersalaman. Refleks Hani menolak. Sejak memutuskan menjadi ibu rumah tangga tiga tahun yang lalu, Hani jarang bersentuhan dengan pria lain kecuali dengan keluarga. Kebiasaan itu terbawa hingga hari ini.
"Kenapa?"
Reza bertanya dengan heran karena belum pernah mengalaminya. Dia merasa aneh saat ditolak. Ketika uluran salamnya tak berbalas, lelaki itu menurunkan tangan.
"Maaf. Saya--" ucap Hani terbata. Wanita itu belum pernah segugup ini saat bertemu dengan seseorang. Tiba-tiba saja dia teringat, ini sedang di kantor dan sikapnya kurang sopan.
"Ada yang salah?" tanya Reza bingung.
"Tidak, Pak. Terima kasih."
Kali ini Hani yang berbalik mengulurkan tangan. Reza tersenyum saat membalasnya.
Hal itu membuat Hani terpana dan terdiam beberapa saat. Setelah berpamitan, dia berjalan keluar dari ruangan itu.
Hani menarik napas lega karena semua pertanyaan sudah dijawab dengan lancar. Tidak ada yang terlewat walaupun ada beberapa hal yang ditanyakan ulang karena dia kurang mengerti. Dalam hati wanita itu berdoa, semoga dia diterima.
Istri mana yang tidak sedih saat melihat suami pulang dengan wajah kusut, uring-uringan dan menyerahkan selembar surat pemutusan kerja. Begitu pula dengan dirinya, kaget dan tidak percaya tapi ini benar adanya.Suaminya pulang, dengan menyampaikan sebuah berita yang sangat tidak enak bagi kelangsungan hidup keluarga mereka.Mas Ardi, terkena pemutusan hubungan kerja sepihak oleh perusahaannya. Dia salah satu yang terkena pengurangan karyawan, sebagai efisiensi dari dampak perekonomian yang semakin lesu."Mas." Hani memeluk suaminya. Setetes air matanya jatuh di pipi.Mereka berpelukan cukup lama. Ardi bahkan ikut menangis. Seumur hidup mereka bersama, Hani tidak pernah melihat suaminya menitikkan air mata. Bahkan saat kepergian ayahnya, dia terlihat sangat tegar."Maafkan mas, ya. Udah bikin adek kecewa." Dia terisak.Ardi bukanlah laki-laki lemah. Dia tangguh, cerdas dan berprestasi. Masa kerjanya juga sudah cukup lama, enam tah
Hani menyimak setiap kata yang terucap dari bibir si pembicara di depannya ini. Berapa pun nominal gaji yang ditawarkan akan disetujui, asalkan dia diterima.Dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, rasanya sudah tidak boleh banyak memilih pekerjaan, asalkan itu halal. Bersyukur saja ada perusahaan yang masih mau menerima. Hasil jualan kuenya juga tidak seberapa, hanya untuk biaya makan sehari-hari. Sementara kontrakan berjalan setiap bulannya, juga cicilan motor yang belum lunas."Ibu Hani. Segini jumlah gaji dan operasional yang kami tawarkan jika ibu berkenan," ucap si bapak itu.Hani menganggukkan kepala. Tangannya gemetaran saat melihat berapa nominal yang tertulis di kertas itu. Dalam hati berucap syukur tak terhingga."Iya, Pak," jawabnya."Mungkin tidak terlalu besar karena banyak pertimbangan, seperti faktor usia dan ibu yang sudah lama vakum bekerja." Dia kembali menjelaskan. Lelaki dihadapannya ini adalah salah seorang staf
Hani menyapukan sedikit bedak di wajah, kemudian memoleskan lipstik berwarna merah. Alis sudah sejak awal dia lukis."Duh, cantiknya istriku." Ardi menggodanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang, merengkuh istrinya dari belakang."Mas ini." Dia menyenggol perut suaminya. Sejak menikah, perut Ardi semakin hari semakin maju ke depan. Bahkan saat sedang hamil, perut mereka tampak berimbang. Itu karena Hani setiap hari menyajikan berbagai makanan yang menggugah selera."Jangan tebel-tebel bedaknya, nanti banyak yang naksir." Ardi menyandarkan kepalanya di bahu Hani, sesekali menghirup aroma harum yang menguar dari setiap helai rambut istrinya. Sekedar bermanja ria walaupun tidak intim."Mas cemburu?" Dia meletakkan sponge bedak dan mengambil kuas dan blush on berwarna matte untuk menutupi wajahnya yang putih tapi sedikit pucat."Pastilah. Biasanya istri di rumah cuma mas yang liat. Ini malah mau dipamer ke banyak orang.""Emangny
Tak terasa sudah hari terakhir training. Ini hari ke tujuh, berarti besok mereka sudah mulai aktif bekerja. Hari ini acara penutupan, di mana tidak banyak materi yang dibagikan. Hanya post test yang harus dikerjakan, untuk me-review seberapa paham para peserta dalam menerima materi. "Baiklah. Kita tiba di sesi terakhir di mana kami akan memberikan job desk Bapak Ibu semua." Salah seorang dari staf HRD memulai pembicaraan.Selama training berlangsung, dia hanya tampil sesaat pada waktu pembukaan hari pertama, serta penutup di hari terakhir acara. Selebihnya, materi diisi oleh berbagai divisi lain, dan tentunya ada Reza yang sesekali masuk dan memantau situasi. Reza benar-benar mengawasi selama acara berlangsung. Dia ingin memastikan sendiri.bahwa segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Peserta yang tidak banyak, tentu saja memudahkan panitia untuk mengurus semua. "Selamat bergabung." Sambutan Reza begitu hanga, ketika masing-masin
Selama bekerja di kantor ini, hari-hari dijalani Hani dengan senang hati. Sekretaris Pak Reza sekarang menjadi sahabatnya. Tentu saja, ada hari dia harus mengantar dokumen yang harus ditanda tangani bos-nya. Mereka saling bertukar cerita dan menjadi akrab. Setiap makan siang pergi bersama di kantin khusus karyawan. "Pak Reza itu loh, Mbak. Dia dijodohkan orang tuanya sama dokter cantik aja gak mau. Gak ngerti deh seleranya kayak apa." Agnes namanya. Si cantik ini memang suka bergosip. Orang yang sering jadi bahan perbincangan yaitu atasannya sendiri. Apapun kelakuan Reza sehari-hari, ada saja ceritanya. Reza memang membuat banyak orang penasaran. Terutama para wanita di kantor, kecuali Hani tentunya. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Jika ada yang bercerita, dia cukup tahu dan tidak memperpanjang masalah. "Masa'? Mungkin seneng sama bule' kali. Katanya lama sekolah di luar negeri." Hani menajwab asal. Dia masih fo
Dua orang lelaki duduk berhadapan di meja sebuah restoran. Sepertinya pembicaraan kali ini serius, mengingat karena kesibukan masing-masing, mereka jarang bertemu."Lo kenapa, Za? Galau banget kayaknya."Kevin, sahabat sehidup semati Reza. Playboy cap kampak yang sudah bertobat dari dunia malam dan wanita. Belum, belum bertobat sepenuhnya. Masih suka bermain sesekali."Mau tau aja." Reza mengaduk minuman di gelas, supaya setiap rasa bercampur menjadi satu."Ya elah. Gue ini sahabat lo. Maen rahasia-rahasian segala. Kaku banget, sih.""Berat ini.""Cewek?" tanya Kevin penasaran."Yup.""Siapa?" Mata lelaki itu membulat."Ada deh," jawab Reza santai."Aduh, Mas Bro. Lo ini laki apa cewek, sih? Ribet amat!" Kevin tidak habis pikir."Tapi janji, rahasia ini!""Kayak abege aja lo, Za. Udah mau kepala empat aja masih galau soal cinta. Gue udah buntut tiga lo masih
Tak terasa waktu berlalu, sudah tiga bulan Hani bekerja di sana. Hari demi hari dia nikmati walaupun terasa lelah. Ternyata tidak gampang bekerja dengan status sudah menikah. Apalagi mempunyai anak balita yang masih butuh kasih sayang dan perhatian dari ibunya.Berbeda dengan waktu masih single dulu, dia bebas mau pergi ke mana saja sepulang kerja. Sekarang setelah selesai jam kantor, dia harus segera pulang ke rumah. Belum bisa langsung istirahat, harus mengurus putranya yang rewel.Beruntung, dia memiliki suami yang pengertian. Bahkan tak jarang Ardi menyediakan makan malam, walaupun membelinya di luar. Bersyukur bahwa Tuhan memberikannya seorang pendamping hidup yang baik.Pekerjaannya di kantor semakin bertambah. Apalagi sejak salah satu staf administrasi resign, dia yang tadinya hanya diperbantukan otomatis menggantikan posisi itu.Reza? Masih saja terus mendekatinya. Tapi dia menolak secara halus, dari mengajak makan siang atau sek
Bosan.Itulah yang Hani rasakan selama satu minggu. Pikirannya suntuk, saat bekerja jadinya tidak fokus. Sejak suaminya berangkat training, dia seperti orang kebingungan. Ada beberapa sahabatnya tempat berbagi, tapi tetap saja rasanya berbeda jika bersama suami sendiri. Dengan Ardi, dia bisa mendiskusikan apa saja yang disuka.Wanita memang perlu mencurahkan isi hati kepada seseorang yang dia percaya. Selama ini hanya suaminya tempat berbagi cerita. Ketika Ardi tidak ada, dia menjadi hampa, seperti ada bagian yang hilang.Lagipula selama training suaminya tidak bisa diganggu. Telepon hanya bisa pada malam hari setelah selesai acara. Jadwal padat, begitu alasannya setiap Hani mengeluhkan hal itu."Perusahaan itu beda-beda. Kebetulan yang ini kantor pusatnya di Surabaya, jadi ya harus ke sana."Hani teringat kata-kata suaminya sebelum berangkat, malam hari sebelum tidur. Berdua membahas banyak hal, terutama tentang rumah dan anak me