Share

Pesona Bos Tampan
Pesona Bos Tampan
Author: Rini Ermaya

Awal Bermula

Hari ini Hani berada di sini, di sebuah gedung besar sebuah perusahaan ternama. Kemarin, dia mendapat telepon untuk datang interview. Dengan penampilan seadanya, dia berangkat pagi-pagi ke tempat ini.

Hani bangun lebih pagi dari biasanya, menyiapkan sarapan untuk anak dan suami di rumah. Sebenarnya, suaminya ingin mengantar, tetapi dia menolak. Wanita itu memilih naik ojek online demi menghemat pengeluaran. Jadi putra mereka bisa dijagakan ayahnya di rumah.

Hani memang jarang membawa anaknya keluar, jika memang tidak perlu sama sekali.

"Bismillahirrahmanirrahim."

Hani mematut diri di kaca sebelum berangkat, untuk memastikan penampilannya sebaik mungkin. Wanita itu memang tidak terlalu pandai berdandan seperti yang lain. Namun, apa yang dipakai kali ini rasanya cukup pantas dan sopan. Doanya hanya satu, semoga dia bisa diterima bekerja lagi.

Tiga puluh tahun bukanlah usia yang ideal untuk melamar bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ada banyak fresh graduated lulusan universitas ternama yang lebih layak lolos seleksi dibandingkan dengannya, ibu satu anak dengan usia matang.

Walaupun pengalaman bekerja cukup banyak, tetap saja Hani merasa kurang percaya diri saat memasuki gedung itu. Tapi apa daya, dia harus bekerja lagi. Semoga Tuhan masih memberikan rezeki kepada keluarga mereka.

Lamaran pekerjaan ini sudah satu bulan yang lalu Hani kirim melalui email, saat tak sengaja membaca iklan yang dipasang di media sosial. Wanita itu juga mengikuti beberapa grup, agar lebih mudah melihat lowongan apa saja yang tersedia. Juga, yang cocok dengan bidang dan keahlian yang dia miliki.

Tiba di halaman depan kantor, Hani membayar ojek online dengan jumlah yang pas. Lalu, dia mengucapkan terima kasih sebelum pengendaranya menghilang.

Hani melangkah dengan penuh keyakinan saat memasuki gedung besar dan bertingkat di hadapannya. Walaupun gugup, dia berusaha untuk tenang.

"Selamat pagi Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang resepsionis dengan ramah.

Hani menjelaskan maksud kedatangannya sembari memperlihatkan email yang dia terima. Si resepsionis kemudian mengecek beberapa data dan mempersilakannya duduk.

Tak lama menunggu, Hani dipanggil dan diminta untuk naik ke lantai atas untuk melakukan sesi wawancara.

"Nanti Ibu bilang saja ke sekretarisnya, kalau hari ini jadwal Ibu interview," jelas si resepsionis dengan ramah.

Hani berpamitan dan menuju lift lalu menekan angka sesuai dengan lantai yang dia tuju. Wanita itu mengusap telapak tangan karena begitu gugup.

Tiba di tempat tujuan, Hani segera menghampiri sekretaris yang dimaksud tadi.

"Saya Agnes. Silakan duduk dulu ya, Ibu."

Lagi, Hani diminta untuk menunggu, sementara wanita itu menghubungi seseorang.

Hani melirik Agnes yang sedang menelepon. Wajahnya begitu cantik saat dalam balutan blazer dan rok selutut. Rambutnya disanggul rapi, dengan harum parfum yang begitu menggoda.

Hani menatap baju yang dia kenakan. Modelnya sangat sederhana jika dibandingkan dengan Agnes. Dia merasa sedikit minder dan bergumam dalam hati, apakah bisa lolos dengan penampilan seperti ini. Sementara para pekerja di kantor ini terlihat cukup glamour dalam berpenampilan. Itu dia perhatikan sejak awal datang.

"Silahkan masuk, Ibu Hani," ucap Agnes.

"Apa sesi wawancaranya sekarang ya, Mbak?"

Hani merasa heran karena tidak melihat ada pelamar lain di ruangan ini selain dirinya.

"Iya, Bu. Hari ini sesuai dengan jadwal yang saya terima. Hanya ibu sendiri yang ikut sesi wawancara," jawab Agnes.

"Pelamar yang lain?" tanya Hani lagi.

"Mereka semua sudah dari kemarin pagi."

"Ada berapa orang yang datang?"

Hani terus bertanya karena ada rasa penasaran di hatinya. Biasanya interview dilakukan serentak dalam satu hari.

"Kurang lebih dua puluh orang, Ibu," jelas Agnes.

Hani hanya mengangguk sembari mendengarkan penjelasan itu. Beberapa kali dia bertanya agar lebih jelas. Maklum saja, sempat ada rasa khawatir jika tidak lolos.

"Bapak sudah menunggu di dalam."

Agnes menunjuk ke sebuah ruangan, di mana atasannya sudah datang sejak tadi. Dia memberi kode agar Hani segera masuk. Sepertinya orang yang ada di dalam tidak suka menunggu terlalu lama.

"Bukannya untuk sesi pertama biasanya R&D yang interview ya, Mbak?"

Hani bertanya lagi. Kali ini memang agak berbeda dari biasanya. Karena itulah dia merasa ini agak ... aneh.

"Iya, Bu. Tapi sepertinya Bapak mau cepat, karena posisi ini sudah lama kosong. Untuk sekarang, beliau sendiri yang akan ambil alih."

"Oh, begitu."

"Nanti, Ibu akan negoisasi gaji dan lainnya dengan tim R&D kalau lolos," jelas Agnes panjang lebar.

Hani mengangguk tanda mengerti, lalu berjalan ke ruangan itu dan mengetuk pintunya perlahan.

"Silakan masuk." Terdengar suara berat seorang lelaki.

Hani merasa ragu saat hendak melangkah. Jantungnya berdetak kencang. Seketika aroma segar yang berasal dari pengharum ruangan merasuk indera penciumannya.

Sejauh mata memandang, ruangan ini sangat nyaman untuk ditempati. Luas dengan desain minimalis. Dindingnya dilapisi wallpaper bermotif abstrak.

Ada beberapa lukisan yang ikut meramaikan. Lelaki itu duduk di situ, tanpa melihat Hani sama sekali. Dia masih sibuk membolak-balikkan berkas yang ada di tangannya dan membaca dengan teliti.

"Silakan duduk," katanya.

"Selamat pagi, Pak!"

Hani menyapanya, mencoba mengakrabkan diri dan sedikit berbasa-basi.

"Ya."

Hanya itu yang dia ucapkan. Hani melirik sedikit dan mendapati bahwa ternyata itu berkas lamaran pekerjaan miliknya.

"Pagi, Bu. Eh, saya panggil kamu Mbak aja, ya. Terlihat masih muda. Mbak Hani?" ucap lelaki itu sembari mengangkat kepalanya.

"Ya Tuhan!"

Jantung Hani berdetak lebih kencang. Seumur hidup, dia belum pernah melihat lelaki setampan ini. Bahkan suaminya yang katanya cukup menarik, masih kalah jauh.

"Iya, Pak," jawabnya terbata.

Hani seperti terhipnotis saat pandangan mata mereka beradu. Lelaki ini memiliki bola mata yang indah. Warnanya hitam dan pekat, seperti magnet yang menariknya ke dalam suatu pusara.

Hani tak berkedip. Sesaat dia terhanyut dan terdiam dan tak dapat berkata sepatah pun.

"Saya Reza, leader di sini. Silakan duduk. Saya akan mengajukan beberapa pertanyaan," kata lelaki itu santai.

Hani merasa malu, tetapi dalam diam menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang berada di depannya ini. Lelaki itu sungguh luar biasa. Sikapnya begitu tenang dan dewasa, tetapi auranya sungguh mengintimidasi.

"Baiklah."

Hani menarik kursi. Dengan tangan yang gemetaran, dia merapal doa dalam hati. Entah apa yang nanti akan lelaki itu tanyakan, dia akan menjawab semampunya.

Sesi tanya jawab itu berlangsung cukup lama. Hampir satu jam Reza bertanya segala hal. Seperti apa pekerjaan Hani sebelumnya. Alasan mengapa dia kembali bekerja, bahkan mengenai keluarga.

Reza memang tidak mau sembarangan memilih karyawan untuk posisi ini, hingga bertanya secara detail. Mungkin juga, dia memang tipe orang seperti itu.

"Saya rasa cukup sampai di sini. Hasil interview ini tetap akan saya cc kan ke R&D untuk kemudian akan kami diskusi kan mengenai kelanjutannya."

Akhirnya semua selesai. Hani menarik napas dalam dan berkata, "Baik, Pak."

"Kalau dalam waktu satu minggu tidak ada panggilan, berarti mohon maaf, ya. Mbak Hani tidak lolos seleksi," ucap Reza datar.

"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti interview ini," kata Hani dengan tenang. Dia ikhlas sekiranya gagal, yang penting sudah mencoba.

"Mbak Hani ada yang ingin ditanyakan?"

Reza melipat tangan di dada, dengan tubuh yang bersandar di kursi empuk itu. Tatapan matanya tajam, seolah ingin menaklukan lawan dihadapannya ini. Rasanya Hani ingin ikut bergabung bersamanya dan duduk di atas pangkuan lelaki itu.

Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, ya. Ingat anak suami sedang menunggu di rumah. Bisikan itu menggema di kepala Hani. Menyadarkannya akan pikiran yang sedari tadi berkelana.

"Tidak ada, Pak. Saya rasa cukup." Hani segera berdiri dan berpamitan.

Reza mengulurkan tangan untuk bersalaman. Refleks Hani menolak. Sejak memutuskan menjadi ibu rumah tangga tiga tahun yang lalu, Hani jarang bersentuhan dengan pria lain kecuali dengan keluarga. Kebiasaan itu terbawa hingga hari ini.

"Kenapa?"

Reza bertanya dengan heran karena belum pernah mengalaminya. Dia merasa aneh saat ditolak. Ketika uluran salamnya tak berbalas, lelaki itu menurunkan tangan.

"Maaf. Saya--" ucap Hani terbata. Wanita itu belum pernah segugup ini saat bertemu dengan seseorang. Tiba-tiba saja dia teringat, ini sedang di kantor dan sikapnya kurang sopan.

"Ada yang salah?" tanya Reza bingung.

"Tidak, Pak. Terima kasih."

Kali ini Hani yang berbalik mengulurkan tangan. Reza tersenyum saat membalasnya.

Hal itu membuat Hani terpana dan terdiam beberapa saat. Setelah berpamitan, dia berjalan keluar dari ruangan itu.

Hani menarik napas lega karena semua pertanyaan sudah dijawab dengan lancar. Tidak ada yang terlewat walaupun ada beberapa hal yang ditanyakan ulang karena dia kurang mengerti. Dalam hati wanita itu berdoa, semoga dia diterima.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status