Hani melangkah pelan memasuki ruangannya. Rasanya malas sekali mau berangkat ke kantor hari ini. Dia masih ingin di rumah bersama keluarganya. Apalagi semenjak suaminya datang, dia ingin bermanja seharian.
Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba saja ....
"Surprise!" Suara tepuk tangan bergema di ruangan. Maya datang mendekatinya dan membawakan sebuah cake cokelat ukuran besar.
"Loh, ada apa ini? Saya lagi nggak ultah," tanya Hani kebingungan. Apalagi terlihat aura bahagia dari wajah para rekan kerjanya pagi ini.
Seketika ruangan menjadi senyap saat Maya memberikan kode dengan jari telunjuknya. "Hani, kue ini ungkapan terima kasih kami sama kamu." Wanita menyerahkannya.
"Terima kasih apa ya, Bu? Saya nggak ngelakukan apa-apa." Dia mengambilnya, lalu meletakkan di meja, masih kebingungan dengan apa yang terjadi pagi ini.
"Terima kasih karena berkat kamu insentif kita semua naik sepuluh persen." Semua orang kembali bersorak.
Hani men
Kebahagiaan yang didapatkan dari merampas hak orang lainSibuk masing-masing. Tiga kata itulah yang dua bulan ini menggambarkan rumah tangga mereka, walaupun setiap weekend dan hari libur selalu menghabiskan waktu bersama. Secara materi boleh dikatakan berlimpah, mereka bahkan sudah mulai menabung untuk persiapan anak mereka kelak.Untunglah putra mereka semakin lama semakin mengerti. Kadang-kadang rewel tapi Bude yang menjaga sangat pintar mengurusnya. Hani juga tak segan-segan menambah bonus jika ada berkelebihan rezeki.Sejak hari di mana dia mengantarkan kue cokelat ke ruangan Reza, mereka semakin dekat. Lelaki itu bahkan tak segan meminta Hani untuk untuk menemaninya setiap saat kapanpun dia mau.Apakah Ardi curiga? Tidak, atau mungkin tepatnya belum. Dia sedang semangat bekerja, berjuang mati-matian agar lolos menjadi karyawan tetap. Setelah itu sesuai perjanjian, istrinya harus berhenti bekerja.Kamu selingkuh Hani. Ya, memang. Dia
"Mbak Hani ke mana ya, Bu? Seminggu ini cuti. Sepi aku enggak ada temen becanda sama makan siang." Agnes mengetukkan jari di meja Maya.Setelah makan siang, dia memutuskan untuk main sebentar ke ruangan divisi Hani."Ibu enggak tau juga. Mungkin ada keperluan keluarga. Nanti ditanyain aja kalau udah masuk," jawab Maya. Tangannya sibuk mengetikkan sesuatu di keyboard. Matanya fokus menatap layar, sementara telinganya mendengarkan ocehan Agnes."Pak Reza juga keluar kota. Apa mereka berdua?" Agnes mulai menduga. Selama ini memang ada yang berbeda dari kebersamaan antara Reza dengan Hani. Itu membuatnya sedikit curiga.Selama bertahun-tahun dia bekerja dengan lelaki itu, Reza jarang dekat wanita manapun apalagi dengan karyawan. Berbeda jika dengan Hani, sikapnya mesra. Sepertinya ada hubungan di antara mereka, hanya dia tidak berani menanyakan."Hus! Kamu jangan nyebar gosip," tegur Maya. Bagaimanapun juga tidak baik memb
"Reza?""Anita?"Dua anak manusia itu saling menatap tak percaya. Si wanita bersorak kegirangan dalam hatinya. Sedangkan si lelaki hanya terdiam. Pertemuan mereka kali ini sudah direncanakan matang.Ada teman dekat mamanya yang akan datang berkunjung karena sudah lama tidak bertemu. Mereka datang bersama anak gadisnya yang masih single. Reza sudah tahu, pasti perjodohan lagi. Sudah terlalu sering ini terjadi, dan dia selalu menolaknya."Wah anak-anak udah saling kenal ya, Ce." Seorang wanita paruh baya tersenyum senang. Tidak sia-sia kedatangan mereka. Sepertinya kali ini akan sukses."Iya, Lin. Jadi kita enggak usah capek-capek ngedeketin mereka berdua." Wanita yang satunya juga ikut tersenyum senang.Lelaki itu tersentak. Jadi, dokter cantik yang mau dijodohkan dengannya ternyata wanita ini."Kalian kenal di mana?" tanya Linda, ibu dari Anita saat menatap Reza. Pandangan matanya penuh selidik, ingin tahu lebih dala
Lelaki itu mengemasi barang-barang, memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper juga juga laptop dan peralatan kerja.Hani hanya terdiam menyaksikan suaminya yang sibuk sendirian. Biasanya jika Ardi ke luar kota dia yang akan direpotkan. Kali ini, dia memilih untuk tidak ambil peduli, toh Ardi akan pergi menemui wanita lain."Mas cuti satu minggu, ya. Cecil mau lahiran. Ini sudah dekat HPL." Ardi menatap wajah istrinya dengan lekat. Ada rasa bersalah dalam hatinya saat harus meninggalkan mereka. Apalagi alasannya karena wanita lain yang sebentar lagi akan melahirkan anaknya."Iya, Mas." Hanya itu yang bisa Hani ucapkan. Hatinya telah mati dan beku, dihantam dengan berbagai macam kekecewaan. Kepada takdir hidup, kepada orang lain, juga kepada dirinya sendiri."Maafkan aku." Ardi hendak memeluknya, tetapi tangannya ditepiskan. Lelaki itu pasrah, lalu mendorong koper ke luar kamar. "Ayah mau ke mana?" Suara mungil itu tib
"KATAKAN SIAPA PELAKUNYA!" Suara Ardi menggelegar di ruang perawatan itu. Amarahnya memuncak sampai ke ubun-ubun. Cobaan apa lagi ini?Hani meringkih ketakutan dan memeluk Agnes erat."Maaf, Mas. Saya bukannya mau ikut campur. Apa bisa nunggu sampai pulih nanti, baru dibicarakan baik-baik." Gadis itu mencoba menengahi, tidak bermaksud untuk ikut campur. Melihat kondisi Hani yang masih lemah, dia takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.Ardi mengusap wajahnya, lalu berkata. "Saya mau bicara dengan istri saya." Dia menarik napas, berusaha melegakan sedikit emosinya."Tapi tolong jangan kasari Mbak Hani," Agnes memohon, sejurus kemudian keluar meninggalkan mereka.Ardi mengangguk, duduk di sebelah istrinya, lalu melingkarkan lengan di bahu Hani. Dia mencoba memeluk tapi ditolak halus. Hani merasa dirinya kotor, tak pantas disentuh suaminya sendiri."Bilang, siapa orang yang bikin kamu jadi begini." Hani hanya b
Hani memandang pembeli yang keluar masuk toko kuenya. Hari ini pembeli ramai. Ibu tampak kewalahan walaupun ada dua karyawan yang membantu mereka. Tiga tahun sudah berlalu. Dia tersenyum saat mengingat semuanya, masa indah sekaligus pahit dalam hidupnya.Semua akan baik-baik saja Hani.Seorang wanita masuk ke dalam toko dan melihat-lihat kue. Hani memperhatikannya dari kejauhan. Dia cantik juga berkelas, itu terlihat dari barang branded yang dipakainya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seleranya bagus, kue yang dipilih memang rekomendasi di toko ini."Mommy!" Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil berlari menghampiri wanita itu. Umurnya sekitar lima atau enam tahun."Hi, sweet heart. Which one do you want?" Wanita itu menunjukkan beberapa jenis kue kepada anaknya. Suaranya terdengar aneh saat berbahasa indonesia. Sepertinya mereka datang dari luar negeri."I wanna this cake." Anak itu menunjuk kue dengan krim stroberi.Dugaan Hani b
Hani menatap kanvas putih yang penuh dengan coretan tinta. Sebuah siluet wanita yang walaupun masih belum rapi tercetak di atasnya. Di sudut bagian bawah tertulis kata 'Bunda'."Liat, Bun. Keren kan lukisan abang." Si ganteng itu memamerkan hasil karyanya.Hani tersenyum menganggung, tangannya mengusap kepala sang putra dengan penuh kasih sayang. "Iya, bagus. Anak bunda udah pinter gambar, ya.""Iya, dong. Kan udah SD." Anak itu menepuk dada.Hani tertawa melihat keluguan itu. "Ayo makan. Bunda suapin mau?" Di meja sofa sudah tersedia sepiring nasi beserta lauk. Dia menunggu dengan sabar hingga sang putra menyelesaikan lukisannya."Ayam goreng!" Abang berteriak senang saat matanya menangkap beberapa potong menu itu di dalam piring. Makanan kesukaannya sama persis dengan kesukaan sang bunda."Sini." Hani menariknya duduk di sofa, lalu dengan telaten menyuapi sesendok demi sesendok hingga habis tak bersisa."Bund
Hani mengaduk kopi yang sudah dingin, sama sekali tidak berselera untuk menyentuhnya. Suara batuk seseorang mengagetkannya. Dia tersentak hingga sendok di tangan terlepas. Ketika hendak meraih benda itu, sebuah lengan menahannya. Si cantik ini menunduk malu, tak berani menatap wajah lelaki tampan yang duduk di depan."Kenapa diam?"Suara itu membuat Hani gemetaran. "Enggak apa-apa. Kenapa kamu masih di sini? Flight kamu udah take-off," jawabnya.Lelaki itu tersenyum. Gemas melihat kelakuan sang pujaan hati. "Ada yang lebih penting di sini," jawab Reza santai."Apa?""Kamu!" Reza mengangkat wajah wanita cantik itu, lalu menatapnya dalam-dalam.Mata Hani terpejam dengan wajah bersemu merah. Rasa bahagia membuncah di dada, tapi dia malu untuk mengatakannya. Tawa Reza pecah. Sengaja dia mencubit pipi yang merona itu, karena semakin gemas melihat tingkahnya."Kenapa kamu ketawa?" Wanita itu memasang wajah cemberut saat ke