Pagi hari di kantor penuh dengan kesibukan. Nadine berjalan dengan langkah cepat menuju ruang rapat, memegang beberapa berkas yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Pikirannya masih teringat pada percakapan singkatnya dengan Saga pagi tadi. Meskipun pria itu tampak tenang dan profesional, Nadine bisa merasakan ada ketegangan yang belum terselesaikan, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Saat memasuki ruang rapat, Saga sudah duduk di meja besar, memeriksa laptop dengan serius. Beberapa manajer dan anggota tim lainnya sudah hadir, mempersiapkan presentasi mereka. Saga mengangkat wajahnya sesaat melihat Nadine masuk dan tersenyum kecil. "Nadine, terima kasih telah datang tepat waktu," kata Saga, suaranya tegas namun tetap bersahabat. "Kita mulai rapatnya." Nadine hanya mengangguk, meletakkan berkas di meja, dan berdiri di samping Saga, menunggu rapat dimulai. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Saga, mencoba mengerti lebih banyak tentang pemimpin muda ini. Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekedar hubungan profesional yang seharusnya ada di antara mereka. Meski perasaan itu tak bisa ia ungkapkan, perasaan itu semakin sulit diabaikan. Rapat berjalan dengan lancar, dan Nadine kembali fokus pada tugasnya. Namun, di dalam hatinya, sebuah kekosongan mulai muncul. Perasaan yang selama ini ia pendam, perasaan tentang Antonio, datang begitu saja. Ia teringat bagaimana dulu Antonio selalu ada di sampingnya. Mereka berbagi segalanya. Namun, kenyataannya kini berbeda. Antonio sudah meninggalkan dirinya dan memilih jalan hidupnya yang lain. Mungkin itu adalah pilihan yang benar, namun hatinya masih merasa hampa. --- Setelah rapat selesai, Saga meminta Nadine untuk tetap tinggal sebentar. "Nadine, aku ingin berbicara denganmu tentang proyek baru yang akan kita jalankan bulan depan. Aku tahu kamu sudah terbiasa mengelola administrasi perusahaan ini, tapi kali ini aku ingin melibatkanmu lebih dalam," kata Saga, menatapnya dengan penuh perhatian. Nadine tersenyum, mencoba untuk tetap menjaga profesionalitas. "Tentu, Tuan. Saya siap membantu dengan apa pun yang dibutuhkan." Saga mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Aku tahu kamu sangat kompeten dalam pekerjaan ini, Nadine. Tapi... aku juga tahu ada hal-hal yang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini." Nadine terkejut mendengar pernyataan itu. "Apa maksud Tuan?" Saga menarik napas panjang, kemudian memandangnya dengan tatapan serius. "Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu menghargai kerja kerasmu. Namun, aku juga ingin kamu merasa nyaman di sini. Jangan biarkan masalah pribadi mengganggu pekerjaanmu. Jika ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini untuk membantu." Nadine terdiam sejenak. Kata-kata Saga terasa tulus, namun ia tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya yang sedang kacau. Perasaan terhadap pekerjaan, perasaan terhadap perasaan masa lalunya yang tak kunjung hilang, dan juga perasaan terhadap lelaki muda yang kini duduk di depannya, yang tak bisa ia definisikan dengan mudah. "Terima kasih, Tuan," akhirnya Nadine berkata, suaranya sedikit bergetar. "Saya akan berusaha melakukan yang terbaik." Saga tersenyum, lalu bangkit dari kursinya. "Aku tahu kamu bisa menghadapinya. Sekali lagi, terima kasih, Nadine." Saat Nadine keluar dari ruangan itu, perasaan campur aduk kembali memenuhi dirinya. Bagaimana bisa ia tetap fokus pada pekerjaan jika perasaan yang tersembunyi itu semakin kuat? Dan apakah mungkin, jika suatu hari nanti, perasaan itu bisa terbalas? --- Hari-hari berlalu dengan cepat. Nadine berusaha untuk tetap profesional meskipun hatinya terus dipenuhi oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Saga, di sisi lain, selalu menjaga jarak profesional antara mereka, meskipun tidak jarang ia memberikan perhatian lebih kepada Nadine. Namun, Nadine tahu bahwa hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan. Tidak lebih dari itu. Namun, suatu hari, segalanya berubah. --- Pagi itu, Nadine tiba lebih awal di kantor. Ia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda sebelum rapat besar yang dijadwalkan siang nanti. Ketika ia memasuki ruangannya, ia terkejut melihat seseorang yang sudah menunggu di sana. "Antonio?" Nadine terkejut melihat wajah pria yang sudah lama tak ia lihat itu. Antonio, dengan tampilan yang lebih dewasa, mengenakan jas hitam yang tampak sempurna di tubuhnya, berdiri di depan meja kerja Nadine. "Selamat pagi, Nadine," ujar Antonio dengan senyum tipis. "Aku harap kamu tidak terkejut melihatku di sini." Nadine merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Tujuh tahun telah berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu, namun perasaan itu kembali muncul begitu saja. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Nadine bertanya, mencoba menjaga ketenangannya. "Aku ingin berbicara denganmu," jawab Antonio, matanya menyiratkan penyesalan dan kerinduan yang sudah lama terpendam. "Aku tahu mungkin ini tidak tepat, tapi aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi." Nadine menunduk, berusaha menahan gejolak perasaan yang kembali muncul. "Apa yang kamu inginkan, Antonio?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku ingin kembali, Nadine," kata Antonio, mendekat dengan hati-hati. "Aku tahu aku salah dulu. Tapi sekarang, aku ingin memperbaiki semuanya." Nadine merasa seolah-olah waktu terhenti sejenak. Semua kenangan masa lalu, semua luka yang ia simpan begitu lama, kembali menghantui hatinya. Tetapi, ada sesuatu yang berbeda sekarang. Ia sudah berubah, dan hidupnya sudah berbeda. Bisakah ia menerima kembali Antonio? Atau ia harus tetap melanjutkan hidupnya tanpa dia?Pagi itu, Nadine merasa ada sesuatu yang berbeda. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, namun jantungnya tetap berdegup kencang setiap kali teringat makan siang dengan Saga kemarin. Hubungan mereka yang semakin dalam semakin sulit untuk disembunyikan, tapi mereka berdua tahu betul bahwa di kantor, mereka harus menjaga profesionalisme.Namun, di saat yang bersamaan, mereka berdua sudah tidak bisa menahan godaan kecil yang selalu hadir, bahkan di tengah-tengah rapat penting.Pagi itu, rapat berlangsung seperti biasa. Para eksekutif dan manajer saling bertukar ide dan laporan. Nadine duduk di meja panjang, terdiam dan mencatat setiap poin yang dibahas. Namun, di antara banyaknya diskusi tentang strategi perusahaan, pandangannya lebih sering tertuju pada Saga yang duduk di ujung meja, tampak serius namun tetap memancarkan karisma yang tidak bisa diabaikan.Nadine merasa matanya terkadang bertemu dengan mata Saga, dan setiap kali itu terjadi, ada semacam kehangatan yang datang dari dalam
Saat rapat dimulai, suasana di ruang rapat terasa lebih intens dari biasanya. Semua rekan kerja terlihat serius, tetapi Nadine bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali pandangan mereka bertemu, Nadine merasa ada semacam percikan di antara mereka berdua. Lirik-lirikan kecil yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.Di tengah rapat, ketika kepala bagian keuangan sedang menjelaskan laporan bulanan, Nadine merasakan pandangan Saga yang tajam mengarah padanya. Tanpa suara, tanpa kata, hanya dengan tatapan mata, mereka berdua saling mengerti. Saga mengerutkan alisnya sedikit, seolah memberi isyarat agar Nadine memperhatikan presentasi, dan Nadine hanya mengangguk sambil menahan senyum.Pernah, saat salah seorang manajer memberikan laporan tentang proyek baru, Nadine merasakan jari Saga yang dengan sengaja menyentuh tangannya di bawah meja. Jantung Nadine berdebar begitu keras, seolah seluruh dunia hanya berputar di sekitar sentuhan kecil itu. Namun, dia hanya bisa melirik ke
Rooftop gedung perusahaan menjadi tempat yang jarang dikunjungi kecuali oleh mereka yang mencari ketenangan. Malam itu, Nadine sengaja memilih tempat tersebut untuk menghabiskan waktu. Setelah seharian bekerja, dia butuh momen untuk bernapas. Langit malam penuh bintang, memberikan rasa damai yang tak bisa dia temukan di ruangan ber-AC dan lampu neon yang terlalu terang.Secangkir teh hangat berada dalam genggamannya. Asapnya mengepul tipis, melawan udara malam yang dingin. Pandangannya tertuju pada hamparan bintang yang seperti berlomba-lomba memamerkan sinar mereka. "Andai hidup ini sesederhana langit malam," pikirnya.Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Nadine sedikit menoleh, cukup untuk melihat siapa yang datang."Sendiri aja?" suara berat yang sudah sangat akrab itu menyapanya. Saga Avendra, CEO muda yang selalu tampil memukau, kini berdiri di belakangnya.Nadine tersenyum tipis tanpa menoleh sepenuhnya. “Kadang menyendiri itu menyen
Saga dan Nadine tidak bisa lagi bersembunyi. Ketegangan antara mereka semakin memuncak setelah pesan misterius yang mereka terima. Mereka tahu bahwa Sisca tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, perasaan mereka satu sama lain sudah semakin kuat, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan membiarkan ketakutan dan ancaman menghancurkan apa yang telah mereka bangun.---Beberapa hari setelah pesan terakhir dari Sisca, Saga memutuskan untuk bertindak."Aku sudah cukup," kata Saga, matanya penuh tekad. "Aku akan menemui orang yang ada di balik semua ini."Nadine memandangnya dengan cemas. "Saga, hati-hati. Jika Sisca tahu kita bergerak, dia bisa lebih berbahaya lagi.""Aku tahu, tapi kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus menghadapi ini sekarang juga," jawab Saga. Dia meraih tangan Nadine dan menggenggamnya erat. "Kamu bersedia menghadapinya bersamaku?"Nadine terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Saga. Dia tahu betul bahwa ini bukan hanya tentang mere
Di kediaman Saga, malam ituSaga dan Nadine duduk berhadapan. Di ruangan itu, suasana lebih tenang meskipun keduanya tahu bahwa ancaman yang mengintai semakin besar.“Apa yang akan terjadi, Saga?” tanya Nadine pelan. “Jika semua ini terbuka, bagaimana jika kita tidak bisa bertahan?”Saga mengangkat wajahnya, menatap Nadine dengan penuh keyakinan. “Aku tidak akan biarkan apapun menghancurkan kita. Kita lebih kuat dari yang kita kira.”Dengan tatapan yang penuh tekad, Saga meraih tangan Nadine. “Aku akan melindungimu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama-sama.”Nadine menatapnya dalam-dalam. Di mata Saga, dia melihat bukan hanya janji, tetapi sebuah harapan yang menguatkan dirinya untuk bertahan.“Aku percaya padamu, Saga,” ucap Nadine, suara lembut namun penuh kepercayaan.---Namun, saat mereka berbicara, ponsel Saga berdering. Dia melihat nama yang muncul di layar, dan wajahnya berubah seketika.“Ada apa?” tanya Nadine dengan cemas.Saga mengangkat telepon dengan cep
Hari berlalu dengan cepat, dan suasana di kantor semakin mencekam. Orang-orang mulai memperhatikan perubahan besar yang terjadi antara Saga dan Sisca. Beberapa mulai berspekulasi bahwa hubungan mereka sudah di ujung tanduk.Namun, ada satu hal yang lebih mengguncang, sesuatu yang lebih pribadi. Saga tiba-tiba menerima telepon dari ibunya yang sudah lama tidak menghubunginya.“Saga, kamu benar-benar ingin melawan Sisca?” suara ibunya terdengar penuh kekhawatiran di ujung telepon. “Kau tahu dia bisa menghancurkan reputasi keluarga kita, bukan?”Saga menggigit bibirnya. “Ibu, aku sudah cukup mendengar ancaman dari Sisca. Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayangnya selamanya. Dan aku tidak akan membiarkan dia menyakiti orang yang aku cintai.”“Ini bukan hanya tentang kamu, Saga,” suara ibunya mulai terdengar lebih lembut. “Keluarga kita sudah sangat terbuka dalam dunia bisnis. Jika reputasi kita tercoreng, semuanya bisa hancur.”Saga menatap Nadine yang sedang bekerja di luar ruangan. Ada