Setelah berhasil tertawa sambil menahan diri agar tidak sampai terjungkal, Raina keluar ruangan tanpa pamit. Irham mengacak rambutnya. Pria itu juga mengeluarkan buku sketsa milik Raina dari nakas dan membantingnya lagi ke atas meja. Dia meluapkan emosi pada diri sendiri mengingat pembicaraan yang didominasi oleh wanita itu.
"Saya jomlo, tapi nggak sembarangan nikah juga kali, Pak!" Raina kesal saat Irham menolak untuk mengembalikan bukunya dan berpura-pura tidak tahu di mana letak buku tersebut.
"Kamu nggak akan menyesal nikah sama saya," ucap Irham dengan percaya diri.
"Pak, saya pikir ini kantor, bukan drama series. Adegan murid nikah sama dosen killer cuma ada di film!"
"Untuk itu, kita bisa buat ini menjadi kenyataan."
"Boleh! Tapi jangan sama saya, Pak!" Raina mulai sewot. "Balikin, dong, Pak, buku saya!" Wanita itu menyedekapkan tangannya.
"Kita lihat seberapa penting buku ini sehingga bisa ditukar dengan pernikahan?" Irham menahan diri agar tidak naik satu oktaf pun.
Raina mengernyitkan dahi. Dia berpikir keras. Ini konsepnya gimana, sih? Ganteng doang, tapi aneh! Eh, nggak, deh, nggak! Ganteng banget! Perhatian Raina tercurah kepada alis tebal Irham yang melengkapi ketampanan pria itu.
Satu tarikan napas cukup menenangkan pikiran Raina yang mudah terombang-ambing. Dia bahkan memijat dahinya beberapa kali. Apalah arti tatapan Irham yang sebenarnya mengintimidasi? Dia tetap tidak bisa mengendalikan diri untuk terlihat kalem. Ini gila! Diajak nikah sama dosen yang baru 90 menit lalu dia kenal? Dunia nggak sekomik atau novel itu! Camkan!
Irham dengan jelas melihat wanita berwajah mungil itu mendadak stress. Raina tak berkata apa-apa saat keluar meninggalkan ruangan. Peduli apa tentang arti kesopanan pada orang gila yang mengajak menikah pada pertemuan pertama?
Berlari mengejar wanita bukanlah gaya Irham. Dia bergeming untuk mencerna keadaan dan sedikit kekorsletan kepalanya. Perlukah seorang Dekan mengonfirmasi keadaan? Oke! Pria itu mulai menenangkan dirinya sendiri.
Sementara itu, Raina berjalan cepat sambil mengentakkan kaki kuat-kuat. Ini biasanya terjadi saat wanita itu menahan emosi. Pasmina instan di kepalanya sudah miring sana-sini. Dia tidak peduli. Yang penting sekarang adalah bagaimana caranya bisa mengambil buku sketsa dari Si Dosen Psycho Nusakambangan. Semakin banyak saja julukan untuk bapak jomlo satu itu.
Anes menghadang Raina tepat di depan lobi kampus. "Gimana, gimana?" tanyanya dengan antusias.
Raina memutar mata malas. "Diem! Nggak usah nanya apa-apa! Punya dendam apa Si Bapak Nusakambangan itu sama gue?!"
"Nusahakam!"
"Terserah lo!"
"Buku lo dibakar?"
Raina mendekati Anes dan berbisik, "lo boleh ketawa sepuasnya, karena otak gue aja lagi ketawain diri sendiri. Lo pasti nggak nyangka kalo gue ... diajak nikah."
Anes menatap Raina selama lima detik dan merapikan poni cantiknya. Lima, empat, tiga, dua, satu. "Hahahaha!"
Dia hampir terjengkang saking lucunya pada pernyataan Raina. "Lu waras, 'kan?" Anes menyipitkan mata ke arah Raina.
"Nah, nah! Mustahil, 'kan? Dia pasti bercanda, 'kan? Gue udah duga ini gue pasti lagi di-prank aja. Masa iya, sih, gue ngedapetin sesuatu yang gue nggak kepikiran buat berjuang sedikit pun." Gumaman Raina terdengar sampai ke telinga Irham yang sudah berdiri di belakangnya sejak satu menit lalu.
Anes yang sejak tadi berdiri di hadapan Raina melongo sampai mangap. Kalau ada lalat yang lewat, mungkin bisa masuk ke dalam mulutnya. "Rain," panggilnya pelan, memberikan kode dengan dagu agar Raina mau menoleh ke belakang.
"Seandainya dia mau nikah bohongan kayak di novel-novel, mungkin gue bisa timbangan," ucap Raina lirih. Dia menatap langit di atas gerbang kampus.
"Pertimbangkan," ucap Anes mengoreksi perkataan temannya. Hawa dingin dosennya mulai terasa sampai pembuluh darah.
"Kalau nikah beneran, nggak perlu dipertimbangkan?" Bisikan Irham tepat di telinga Raina berhasil membuat wanita itu kaget.
Raina menoleh ke belakang dengan cepat sampai badannya hampir saja terhuyung ke belakang. Dia pasti sudah terjatuh kalau Irham Nusahakam tidak menarik lengannya untuk berdiri seimbang.
"Astagfirullah, Pak! Bikin kaget aja! Jangankan nikah beneran, halu aja, saya nggak kepikiran!" Raina berkata lirih tapi dengan penekanan intonasi. Dia juga tergesa-gesa menarik lengannya yang masih dalam rangkulan tangan Irham.
Jadi, apa Irham Nusahakam setidak menarik itu sampai halu saja Raina tidak kepikiran untuk menikah dengannya? Irham terus memandang kepergian langkah Raina dan temannya yang menghilang di balik gerbang kampus.
Raina tiba di rumahnya setelah mengayuh sepeda dengan segenap emosi yang ada. Dia tidak peduli di mana Anes tertinggal. Dipanggil berkali-kali pun, wanita itu tetap ingin segera kabur dari kampus. Rumah Raina memang tidak terlalu jauh dari Universitas Indraprasta. Sepeda merah muda adalah the only one yang paling setia bagi wanita itu. Biasanya, dia bersepeda dengan senyuman sambil menikmati angin dan view jalan. Namun, kali ini tidak. Sepanjang waktu Raina hanya fokus pada ujung jalan agar segera sampai ke rumah. Jalanan komplek tidak pernah lebih sepi dari perasaan. Angin yang mengiringi laju sepeda wanita itu selalu menambah ketenangan. Raina turun dari sepeda dan mengambil anak kunci dari dalam tas. Dia membuka gerbang berwarna emas tersebut. Raina berdecak menatap sebelah dinding muka rumahnya yang belum sempurna. Dia bahkan lupa merapikan perlengkapan mengecat sebelum pergi kuliah tadi pagi. Wanita itu segera memarkirkan sepeda di teras dan buru-buru membuka pintu. Pikiran R
Raina tidak pernah terpikir satu detik pun untuk berkenalan dengan Irham Nusahakam. Anes tahu betul bagaimana wanita itu mengomel tiap kali melihat mahasiswi-mahasiswi terpaku melihat sosok dosen tersebut melintasi mereka. Celetukan-celetukan pedas keluar dari bibir tipisnya. Tatapan mupeng teman-teman dianggap norak. Lucu, nggak, sih, bila akhirnya dia yang berakhir menikah dengan ... you know who?Anes dan Raina duduk berhadapan di Kafe Kedap-kedip yang berada tak jauh dari gerbang kampus. Dengan usilnya, Anes menyodorkan kentang goreng ke mulut sahabatnya. "Makan biar berpikir jernih!""Apaan, sih? Pikiran gue udah bening begini." Raina tetap mengunyah kentang tadi."Kita reka ulang adegan," ucap Anes."Apaan?" Raina menyedot jus buah naga ya yang kalah merah dari warna kemeja Anes hari ini."Pak Irham, nggak mungkin tiba-tiba ngajak nikah. Pasti, dia udah mantau lo dari lama.""Tapi gue nggak merasa dia mantau gue. Tiba-tiba aja semua."Anes merapikan poni. Dahinya sudah berkeringa
"Ada Adli di belakang gue?"Raina ingin menelan pertanyaan tadi saat melihat siapa pria yang mencoba duduk di sebelahnya. Dia menajamkan pandangan pada Anes yang mengangkat bahu. Apa sekarang dirinya sedang terperosok dalam dunia komik? Raina tak ingin menoleh sedikit pun pada wajah yang diyakini sedang menunggu respons.Menggigit bibir pelan adalah kebiasaan Raina saat kebingungan. Dia berusaha menenangkan diri dengan pasminanya yang kali ini berwarna hijau melon. Anes pasti sudah mengatur makan siang ini. Begitu pikir Raina. Satu-satunya orang yang mencurigakan hanya wanita berkemeja merah yang mirip karyawan magang itu. Lihatlah! Anes hanya bisa cengengesan tanpa rasa dosa."Nes, kita bukannya ada jam sekarang?" Raina pura-pura tersenyum. Dia mengabaikan Irham, seolah tak ada saja."Tiga puluh menit lagi," jawab Anes riang.Raina mengernyitkan dahi antara kesal kepada Anes atau dirinya sendiri. Ayam bakar di hadapannya sudah terlihat tidak menarik lagi.Please, otak, susunlah kalim
Bagaimana bisa seorang mahasiswi jurusan pendidikan matematika dari awal berpikir kuliahnya akan terhindar dari mata kuliah hitung-menghitung? Mana mungkin bisa! Statistika I saja sudah cukup membuat Raina pusing, apalagi ditambah dengan hal-hal menyebalkan belakangan ini. Bagaimana dia bisa lulus untuk Statistika II? Raina menghampiri kursi Adli dengan wajah kusut. "Geser, dong!" Adli menggeser duduknya ke sebelah dan membiarkan temannya. "Tumben duduk sama gue!" Dia tersenyum menatap wajah suntuk Raina. "Gue gencatan senjata sama Anes mulai hari ini!" Wanita itu mengeluarkan buku dari tas dengan kasar. Adli tertawa renyah. Dia menyugar rambutnya. "Ada perang apaan emang?" Raina yang menyaksikan langsung ketampanan pria di sebelahnya itu langsung menahan senyum. Di mana harga diri kalau kentara sekali tampang mupengnya? "Lo tim gue atau Anes?" Adli Winata pura-pura berpikir. Matanya tak putus melihat gerak-gerik lucu Raina. Dia bisa melihat wanita itu memainkan pulpen karena is
Sepanjang penjelasan matkul Statistika, Raina tak henti-henti menghela napas. Bagaimana tidak? Tiap memejamkan mata, ada visual Irham Nusahakam di hadapan wajahnya."Sekarang masih rabun dekat?" Kalimat garing itu terus terngiang-ngiang di telinga Raina.Kalau mau tahu bagaimana perasaan wanita itu? Rasanya kesal sekali seperti ingin membanting buku sekarang juga. Memang ada apa dengan wajah--tampan--itu? Apa bisa menghilangkan rabun dan sakit mata lainnya? Argh! Raina menekuk wajah.Dia memang beralibi saja tadi. Siapa juga yang mau duduk di depan bapak-bapak ngebet nikah? Raina mengangkat wajah. Pandangan yang sejak awal pura-pura fokus pada buku, kini berpusat kepada pria berumur 30-an. Sebenarnya, Irham Nusahakam tidak cukup tua untuk dipanggil bapak. Namun, Raina hanya ingin menegaskan bahwa sebatas itu saja rasa hormatnya pada dosen tersebut.Kejengkelan atas sikap Irham yang mendominasi kelas membuat Raina ogah-ogahan mengerjakan soal. Dia bahkan tidak menanggapi getar HP-nya s
"Kenapa?" Anes sudah menunggu di lobi. Wanita berambut sebahu itu tergopoh menghampiri Raina yang saat itu berwajah sumpek. Dia memamerkan senyum yang tak terbalas. "Nggak!" "Pak Irham ngomong apa?" "Kok tau gue ngobrol sebentar sama Pak Nusakambangan?" Anes berdecak, lalu tertawa. "Orang-orang sekelas juga tahu kalo lo ngobrol sama Pak Irham. Mereka malah pengennya diajak ngobrol, dong." Raina menatap Anes dengan mata penuh kegalauan. Mereka masih berdiri di depan lobi. "Aneh banget, sih." "Aneh kenapa? Anggap aja mukjizat turun dari langit!" "Apa yang orang lain anggap mukjizat kan belum tentu mukjizat bagi kita." "Pak Irham kurang apa, Rai?" Anes menepuk bahu Raina. Dia menatap manik mata sahabatnya. "Kekurangannya Pak Irham, nggak punya kekurangan, 'kan?" Raina kesal melihat mata berbinar Anes yang terlalu dibuat-buat. "Iya, nggak kurang apa-apa. Cuma satu. Kurang waras!" Anes tertawa terbahak-bahak sehingga membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh. "Kurang warasn
Hal yang paling ingin dilakukan Raina saat ini adalah pergi. Entah apa pun maksud Irham. Dia tidak peduli. Apa katanya tadi? "Seharusnya, kamu datang lebih cepat." Apa, sih, maksudnya? Raina terus berpikir sambil mengayuh sepeda. Dia meninggalkan rumah Anes begitu saja. Tak peduli atas reaksi berlebihan tersebut. Ya, feedback-nya terhadap Irham Nusahakam cenderung berlebihan sehingga Raina sendiri tidak begitu paham atas tindakannya. Raina bahkan tidak sadar Irham sudah memarkir mobilnya di depan jalan. Dia menghela napas dan terpaksa berhenti. Tom and Jerry bahkan tidak serumit ini dalam hal main kejar-kejaran. Pria dengan style kemeja garis-garis vertikal hitam itu keluar dari mobil. Dia berjalan pelan dengan tatapan lurus ke mata Raina. Ada degup jantung yang tidak bisa ditahan. Sudah lama dirinya tidak mengejar wanita. Tentu saja ini sangat melelahkan. Di saat banyak gadis tertarik padanya, Raina malah setengah mati ingin menghindar. Raina bergeming di atas sepeda. Dia ingin m
Lima puluh tujuh panggilan tak terjawab dari Anes membuat Raina tersenyum puas. Belum lagi, deretan chat yang diabaikan. Hal ini pasti membuat temannya menderita. "Nikmatilah rahasia itu sendiri!" ucap Raina sambil menatap layar HP-nya malas. Dia memasukkan kembali benda itu ke dalam saku jaketnya."Sumpah! Berisik banget ini orang satu!" Langkah kecil wanita itu terus menyusuri stasiun Bogor. Dia menghela napas saat melihat jalan panjang di depannya. Bagaimana mungkin stasiun Bogor bisa luas dan sangat melelahkan begini? Begitu pikir Raina. Pada stasiun Bogor, jarak antara peron dan pintu keluar memang lumayan jauh. Itu sangat mampu membuat kaki ramping Raina sedikit encok. Perjalanan sendiri selalu terasa lebih menyedihkan, bukan? Kalau saja berdua cowok gebetan, mungkin lebih lama, lebih baik. Dasar! Mata kuliah Statistika Matematika hari ini akan lebih menyebalkan 10 kali lipat dibanding hari-hari sebelumnya. Oleh karena itu, Raina memutuskan untuk pergi ke rumah Mama. Dia tahu