Raina tiba di rumahnya setelah mengayuh sepeda dengan segenap emosi yang ada. Dia tidak peduli di mana Anes tertinggal. Dipanggil berkali-kali pun, wanita itu tetap ingin segera kabur dari kampus.
Rumah Raina memang tidak terlalu jauh dari Universitas Indraprasta. Sepeda merah muda adalah the only one yang paling setia bagi wanita itu. Biasanya, dia bersepeda dengan senyuman sambil menikmati angin dan view jalan. Namun, kali ini tidak. Sepanjang waktu Raina hanya fokus pada ujung jalan agar segera sampai ke rumah.
Jalanan komplek tidak pernah lebih sepi dari perasaan. Angin yang mengiringi laju sepeda wanita itu selalu menambah ketenangan. Raina turun dari sepeda dan mengambil anak kunci dari dalam tas. Dia membuka gerbang berwarna emas tersebut.
Raina berdecak menatap sebelah dinding muka rumahnya yang belum sempurna. Dia bahkan lupa merapikan perlengkapan mengecat sebelum pergi kuliah tadi pagi. Wanita itu segera memarkirkan sepeda di teras dan buru-buru membuka pintu.
Pikiran Raina saat ini adalah mungkin dengan melanjutkan kegiatan mengecat rumah akan mengembalikannya ke tahun 2020. Dia kira dirinya pasti sudah terjebak ke 1000 tahun sebelum Masehi. Menikah? Hello?! Irham Nusahakam ternyata segila itu.
Satu jam sudah berlalu dan Raina bangga pada hasil kerjanya. Dinding depan rumahnya sudah nge-pink. Cantik dan manis, pokoknya.
Seperti pada malam-malam sebelumnya, Raina menghabiskan malam di depan TV. Dia sengaja meletakkan TV LED di dinding kamar agar tidak perlu repot turun ke bawah. Pintu terali depan dan belakang sudah digembok. Begitu juga dengan jendela-jendela yang semuanya memiliki terali besi sudah dipastikan terkunci.
TV menampilkan berita tentang seorang anak yang viral karena hidup bertahun-tahun sendiri bersama adiknya. Wanita berjilbab hitam yang terlihat dalam gubuk tua itu tampak lihai mengisi air ke dalam termos. Dia menggendong adiknya dan tertawa bersama.
Raina menghela napas. Dia berdecak sambil menggelengkan kepala beberapa kali melihat TV. "Masih untung, punya Kakak!" serunya tanpa nada sedih sedikit pun.
Raina membenarkan kalimat yang baru saja terlontar dalam hati. Setidaknya punya kakak masih lebih baik daripada sendiri. Iya, 'kan?
Mulut wanita itu sibuk mengunyah camilan. Dia menonton TV sambil membuka laptop. Letak TV berada tepat di hadapan ranjangnya. Hari-hari terasa begitu santai dan Raina masih seperti biasa, belajar mengatur dirinya sendiri.
Beberapa kali Raina melirik bingkai foto di atas nakas. Bingkai tersebut tampak menelungkup. Wanita itu bangun dari duduk dan menghampiri nakas di sebelah ranjang. Dia mengangkat bingkai foto dan melihat sosok-sosok paling dirindukan dalam hidupnya.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki kehidupan masing-masing. Raina tertinggal di rumah penuh kenangan ini sendiri. Raina meletakkan kembali bingkai foto itu ke atas nakas. Kali ini, dia membiarkan benda tersebut untuk berdiri tegak menghadap ke arah bantalnya agar bisa dipandang sebelum tidur.
HP yang selalu dalam mode silent di atas ranjang berkelip menandakan sebuah panggilan video
"Rai, udah kunci pintu rumah?" tanya Anes begitu Raina mengangkat panggilannya.
Anes masih seperti gadis zaman dulu yang kalau malam hobi menggulung ujung rambut dengan roll. Biar rambutnya ikal gantung. Ada-ada saja, pikir Raina.
"Udah. Dih, bawel bangetlah! Nggak bosen apa, tiap malam nanyain kunci rumah?" Raina tersenyum mengingat Anes adalah sahabat yang sudah hampir sembilan tahun lebih memperhatikannya.
Anes tampak sedang mengolesi wajahnya dengan krim. Dia emang intens menjaga kecantikan wajah. sangat berbeda dengan Raina yang hanya memakai facial wash.
"Ya, gue nggak mau kecolongan, dong!"
"Kecolongan apaan?"
"Kecolongan ... misalnya dosen tamvan masuk ke rumah lo!"
Raina tertawa keras mendengar kehaluan Anes yang mendarah daging akibat kebanyakan membaca novel roman.
"Kayaknya Lo perlu bicara baik-baik sama Pak Irham. Tadi, pas lo pergi, dia ngajak gue ngobrol sebentar."
"Ngobrol apaan? Jangan diladeni kali, Nes!"
"Mana sanggup?!" Anes memamerkan senyumnya.
Raina merebahkan badannya dan mengangkat HP agar tetap bisa melihat Anes yang sibuk memakai body serum pada tangannya sedangkan HP diletakkan di depan cermin.
"Ngobrol apaan?"
"Ngobrolin lo! Penasaran, nggak?"
"Nggak!"
Raina tidak pernah terpikir satu detik pun untuk berkenalan dengan Irham Nusahakam. Anes tahu betul bagaimana wanita itu mengomel tiap kali melihat mahasiswi-mahasiswi terpaku melihat sosok dosen tersebut melintasi mereka. Celetukan-celetukan pedas keluar dari bibir tipisnya. Tatapan mupeng teman-teman dianggap norak. Lucu, nggak, sih, bila akhirnya dia yang berakhir menikah dengan ... you know who?Anes dan Raina duduk berhadapan di Kafe Kedap-kedip yang berada tak jauh dari gerbang kampus. Dengan usilnya, Anes menyodorkan kentang goreng ke mulut sahabatnya. "Makan biar berpikir jernih!""Apaan, sih? Pikiran gue udah bening begini." Raina tetap mengunyah kentang tadi."Kita reka ulang adegan," ucap Anes."Apaan?" Raina menyedot jus buah naga ya yang kalah merah dari warna kemeja Anes hari ini."Pak Irham, nggak mungkin tiba-tiba ngajak nikah. Pasti, dia udah mantau lo dari lama.""Tapi gue nggak merasa dia mantau gue. Tiba-tiba aja semua."Anes merapikan poni. Dahinya sudah berkeringa
"Ada Adli di belakang gue?"Raina ingin menelan pertanyaan tadi saat melihat siapa pria yang mencoba duduk di sebelahnya. Dia menajamkan pandangan pada Anes yang mengangkat bahu. Apa sekarang dirinya sedang terperosok dalam dunia komik? Raina tak ingin menoleh sedikit pun pada wajah yang diyakini sedang menunggu respons.Menggigit bibir pelan adalah kebiasaan Raina saat kebingungan. Dia berusaha menenangkan diri dengan pasminanya yang kali ini berwarna hijau melon. Anes pasti sudah mengatur makan siang ini. Begitu pikir Raina. Satu-satunya orang yang mencurigakan hanya wanita berkemeja merah yang mirip karyawan magang itu. Lihatlah! Anes hanya bisa cengengesan tanpa rasa dosa."Nes, kita bukannya ada jam sekarang?" Raina pura-pura tersenyum. Dia mengabaikan Irham, seolah tak ada saja."Tiga puluh menit lagi," jawab Anes riang.Raina mengernyitkan dahi antara kesal kepada Anes atau dirinya sendiri. Ayam bakar di hadapannya sudah terlihat tidak menarik lagi.Please, otak, susunlah kalim
Bagaimana bisa seorang mahasiswi jurusan pendidikan matematika dari awal berpikir kuliahnya akan terhindar dari mata kuliah hitung-menghitung? Mana mungkin bisa! Statistika I saja sudah cukup membuat Raina pusing, apalagi ditambah dengan hal-hal menyebalkan belakangan ini. Bagaimana dia bisa lulus untuk Statistika II? Raina menghampiri kursi Adli dengan wajah kusut. "Geser, dong!" Adli menggeser duduknya ke sebelah dan membiarkan temannya. "Tumben duduk sama gue!" Dia tersenyum menatap wajah suntuk Raina. "Gue gencatan senjata sama Anes mulai hari ini!" Wanita itu mengeluarkan buku dari tas dengan kasar. Adli tertawa renyah. Dia menyugar rambutnya. "Ada perang apaan emang?" Raina yang menyaksikan langsung ketampanan pria di sebelahnya itu langsung menahan senyum. Di mana harga diri kalau kentara sekali tampang mupengnya? "Lo tim gue atau Anes?" Adli Winata pura-pura berpikir. Matanya tak putus melihat gerak-gerik lucu Raina. Dia bisa melihat wanita itu memainkan pulpen karena is
Sepanjang penjelasan matkul Statistika, Raina tak henti-henti menghela napas. Bagaimana tidak? Tiap memejamkan mata, ada visual Irham Nusahakam di hadapan wajahnya."Sekarang masih rabun dekat?" Kalimat garing itu terus terngiang-ngiang di telinga Raina.Kalau mau tahu bagaimana perasaan wanita itu? Rasanya kesal sekali seperti ingin membanting buku sekarang juga. Memang ada apa dengan wajah--tampan--itu? Apa bisa menghilangkan rabun dan sakit mata lainnya? Argh! Raina menekuk wajah.Dia memang beralibi saja tadi. Siapa juga yang mau duduk di depan bapak-bapak ngebet nikah? Raina mengangkat wajah. Pandangan yang sejak awal pura-pura fokus pada buku, kini berpusat kepada pria berumur 30-an. Sebenarnya, Irham Nusahakam tidak cukup tua untuk dipanggil bapak. Namun, Raina hanya ingin menegaskan bahwa sebatas itu saja rasa hormatnya pada dosen tersebut.Kejengkelan atas sikap Irham yang mendominasi kelas membuat Raina ogah-ogahan mengerjakan soal. Dia bahkan tidak menanggapi getar HP-nya s
"Kenapa?" Anes sudah menunggu di lobi. Wanita berambut sebahu itu tergopoh menghampiri Raina yang saat itu berwajah sumpek. Dia memamerkan senyum yang tak terbalas. "Nggak!" "Pak Irham ngomong apa?" "Kok tau gue ngobrol sebentar sama Pak Nusakambangan?" Anes berdecak, lalu tertawa. "Orang-orang sekelas juga tahu kalo lo ngobrol sama Pak Irham. Mereka malah pengennya diajak ngobrol, dong." Raina menatap Anes dengan mata penuh kegalauan. Mereka masih berdiri di depan lobi. "Aneh banget, sih." "Aneh kenapa? Anggap aja mukjizat turun dari langit!" "Apa yang orang lain anggap mukjizat kan belum tentu mukjizat bagi kita." "Pak Irham kurang apa, Rai?" Anes menepuk bahu Raina. Dia menatap manik mata sahabatnya. "Kekurangannya Pak Irham, nggak punya kekurangan, 'kan?" Raina kesal melihat mata berbinar Anes yang terlalu dibuat-buat. "Iya, nggak kurang apa-apa. Cuma satu. Kurang waras!" Anes tertawa terbahak-bahak sehingga membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh. "Kurang warasn
Hal yang paling ingin dilakukan Raina saat ini adalah pergi. Entah apa pun maksud Irham. Dia tidak peduli. Apa katanya tadi? "Seharusnya, kamu datang lebih cepat." Apa, sih, maksudnya? Raina terus berpikir sambil mengayuh sepeda. Dia meninggalkan rumah Anes begitu saja. Tak peduli atas reaksi berlebihan tersebut. Ya, feedback-nya terhadap Irham Nusahakam cenderung berlebihan sehingga Raina sendiri tidak begitu paham atas tindakannya. Raina bahkan tidak sadar Irham sudah memarkir mobilnya di depan jalan. Dia menghela napas dan terpaksa berhenti. Tom and Jerry bahkan tidak serumit ini dalam hal main kejar-kejaran. Pria dengan style kemeja garis-garis vertikal hitam itu keluar dari mobil. Dia berjalan pelan dengan tatapan lurus ke mata Raina. Ada degup jantung yang tidak bisa ditahan. Sudah lama dirinya tidak mengejar wanita. Tentu saja ini sangat melelahkan. Di saat banyak gadis tertarik padanya, Raina malah setengah mati ingin menghindar. Raina bergeming di atas sepeda. Dia ingin m
Lima puluh tujuh panggilan tak terjawab dari Anes membuat Raina tersenyum puas. Belum lagi, deretan chat yang diabaikan. Hal ini pasti membuat temannya menderita. "Nikmatilah rahasia itu sendiri!" ucap Raina sambil menatap layar HP-nya malas. Dia memasukkan kembali benda itu ke dalam saku jaketnya."Sumpah! Berisik banget ini orang satu!" Langkah kecil wanita itu terus menyusuri stasiun Bogor. Dia menghela napas saat melihat jalan panjang di depannya. Bagaimana mungkin stasiun Bogor bisa luas dan sangat melelahkan begini? Begitu pikir Raina. Pada stasiun Bogor, jarak antara peron dan pintu keluar memang lumayan jauh. Itu sangat mampu membuat kaki ramping Raina sedikit encok. Perjalanan sendiri selalu terasa lebih menyedihkan, bukan? Kalau saja berdua cowok gebetan, mungkin lebih lama, lebih baik. Dasar! Mata kuliah Statistika Matematika hari ini akan lebih menyebalkan 10 kali lipat dibanding hari-hari sebelumnya. Oleh karena itu, Raina memutuskan untuk pergi ke rumah Mama. Dia tahu
Adli Winata mengusap tengkuk setelah menyebutkan nama lengkapnya. Dia cukup terkejut. Apa mungkin bertanya dianggap hal tidak sopan? Apakah dia masuk deretan mahasiswa dengan nilai C dan harus remedial? Seharusnya tidak. HP di atas meja berkelip menandakan pesan masuk. Nama Raina muncul pada pop up W******p. Senyum simpul tak sengaja terurai begitu melihatnya. Adli berusaha menahan diri untuk kalem. Pria itu memang sempat bertanya lewat chat tentang keabsenan Raina. Rai, knp nggak kuliah? Liburan dulu sesekali Berani bgt bolos matkul Statistika. Wkwk btw, gue mau konsultasi percintaan. Gue tunggu di Bogor. Berani? Di rumah nyokap, kan? Halah, pulang kuliah gue OTW. Duh, sayang bgt Adli Winata cowok bersama. Wkwk Nggak usah bilang Anes ke sininya. Siaap! Mw gue bawain apa? Bawain hati kamu aja! Uwek! Serius! Klo mw ada yang di makan, W* aja ya sblm gue OTW Duuuh, selamatkan aku dari kegombalan yg hakiki. Astaga, terserahlah! Kalimat chating-nya memang terserah. Namun, hal