Ahem terpana melihat Diva yang keluar kamar mandi dengan handuk kimono, yang sengaja membuat belahan agar pahanya terbuka. Rambutnya yang basah dan aroma tubuhnya yang harum tampak segar dan menggoda.
Ahem terus menatap tanpa berkedip, dia membayangkan mulai besuk dia sudah tidak bisa melihat pemandangan itu lagi.
Diva yang menyadari kalau Ahem sedang mengaguminya bergegas menghampirinya. Tangannya melambai pas di depan mukanya, dia memeriksa apakah Ahem sedang melamun? Tapi Ahem yang sadar dengan apa yang sedang dilakukan Diva, dia sontak menangkap tangan Diva. Dia menggenggamnya dengan kuat sambil mendorong tubuh Diva sampai terpelanting di atas kasur. Dan handuk kimono yang asal menutup itu terbuka. Sehingga dengan bebas Ahem menatap pemandangan yang menggiurkan itu. Tekanan darah melonjak ke otak, terasa panas dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Detak jantungnya berdegup kencang. Sesaat mereka berdua saling berpand
Akhirnya mereka berdua mulai masuk Bandara. Diawali dengan pemeriksaan identitas, kemudian pemeriksaan awal semua barang bawaan. Dan Ahem mulai check in mandiri dengan mesin yang sudah di sediakan di bandara. Dia mulai dengan dramanya, dia berpura-pura menerima telepon dari kampus agar dia tidak ikut pulang bersama Diva ke Indonesia. "Iya selamat siang Pak?" sapa Ahem sambil berdiri dan mondar mandir di depan Diva. "Apa, jadi saya masih harus tanda tangan dan mengisi form itu, Pak? Iya ... masalahnya saya mau berlibur ke Indonesia. Ini saya sudah di Bandara. Oh begitu ya Pak? Jadi saya harus tetap ke kampus dulu? Baik ... baik, saya segera kesana, terima kasih!" Lanjutnya berpura-pura bicara di telepon. "Diva aku harus ke kampus dulu, kamu pulang saja dulu ke Indo aku segera menyusul!" ujar Ahem berpura-pura sedih. "Kok bisa sih Ahem, ada masalah
Virgo masih tegang menunggu dokter menjelaskan keadaan Tiffara. Dokter menatap Virgo dengan ragu karena melihat Virgo seorang diri. "Bapak yang tabah ya, istri Bapak terpaksa harus segera dioperasi. Ini keadaan yang sangat darurat, bayi harus segera dilahirkan. Nyawa ibu dan anak dalam bahaya. Terjadi preeklamsia pada istri Bapak." Dokter menjelaskan dengan hati-hati. "Tolong istri saya dokter! Lakukan yang terbaik untuk menolong mereka. Apakah anak-anak saya siap untuk dilahirkan dokter? Apakah sudah cukup umur?" tanya Virgo gugup. "Ini bukan lagi masalah cukup atau belum cukup, tapi menyelamatkan nyawa keduanya, atau paling tidak salah satu diantaranya bisa kami tolong," ujar dokter sedih. "Apa kata dokter? Lakukan yang terbaik dokter, selamatkan keduanya!" pekik Virgo sambil menangis pilu. Ponselnya masih terhubung dengan Ahem,
Dokter dengan muka bersedih menemui keluarga pasien. "Bagaimana keadaan anak saya, dokter?" tanya Titin ragu. "Keadaan pasien masih kritis, ada pendarahan dan kami sedang berusaha menghentikannya." Kata dokter menjelaskan dengan hati-hati. "Kenapa tiba-tiba ada pendarahan, Dokter?" Virgo menyela penuh emosi. "Terjadi komplikasi ...tenangkan hati kalian! Kalau sudah tenang saya akan jelaskan di ruangan saya!" Dokter yang tampak lelah itu masuk ke dalam ruang kerjanya. "Ada apa dengan Tiffara, Ma?" pekik Virgo menangis. "Bagaimana mungkin kamu sebegitu perhatiannya, padahal dia istri adikmu, Virgo? Begitu dalamkah rasa cintamu padanya?" batin Titin. Dua orang perawat keluar dari ruang operasi. Virgo dan Titin menghampirinya. "Bolehkah kami melihat pasien, Sus?" tanya Virgo. &nbs
Armand selalu menjadi Sengkuni dalan keluarga Abidin. Tak henti-hentinya menghasut ke sana-sini. Sore itu Abidin bermain bola dengan kedua cucunya yang baru bisa berjalan, di halaman belakang. Mereka tampak bahagia, Titin sedang mengamati sambil tertawa. "Tiffa, andai saja kamu tahu betapa lucu dan menggemaskannya anakmu, kamu pasti bahagia dan bangga," gumamnya dalam hati. "Sore, Mbak?" sapa Armand. "Selamat sore, Armand," jawab Titin. "Mana Mas Abidin, Mbak?" "Itu lagi main sama cucunya," jawab Titin sambil menunjuk ke arah Abidin. Armand bergegas menghampiri Abidin di taman belakang rumah. "Lagi olah raga, Mas?" tanya Armand yang mendekati Abidin. "Iya Armand, ini momong cucuku," ujarnya sambil tertawa kecil sambil melempar bola ke arah Arjun.
Resmi sudah Ahem menyandang duda muda yang keren. Semenjak dia mengikrarkan Talaq saat itu, rasa trauma menghantui Ahem. Ada penyesalan yang tak bisa digambarkan. Andai saja saat itu dia tidak gegabah menuruti keinginan papanya. Harusnya Ahem sabar menunggu sampai Tiffara sadar dari koma. Dia harus mendengar dari mulutnya sendiri, "Benarkah dia ingin lepas dari Ahem?" Ahem tidak berani telepon dan menanyakan kabar dan keadaan Tiffara dan anak-anaknya. Ada rasa bersalah yang teramat dalam dan menghantui. Dret ... Dret ... Dret ... Ponsel Bagas berdering, saat itu dia sedang ada rapat di ruangannya. Sebuah perusahaan yang baru dirintisnya di Singapura sebagai anak cabang perusahaannya yang di Jakarta. "Maaf rapatnya sampai di sini dulu, besuk kita lanjutkan lagi. Oh ya, untuk penawarannya kita buat selimit mungkin Pak Yusuf
Ahem sudah berjanji tidak ingin menghubungi Indonesia lagi sejak dia menjatuhkan Talaq kepada Tiffara. Tapi panggilan tak terjawab begitu banyak dari Virgo. Titin dan Bagas. Ahem sadar ini pasti reaksi dari keterkejutan mereka atas keputusan gegabahnya itu. "Apakah ada berita penting lagi, jangan-jangan ...?" pikir Ahem dalam hati. Dret ... Dret ... Dret ... Ponsel Ahem kembali berdering untuk kesekian puluh kalinya. Ahem menatap layar ponselnya, ternyata Titin yang menelepon. Akhirnya dengan debar- debar jantungnya dia pun mengangkat teleponnya. "Iya halo?" sapanya. "Laki-laki brengsek! Apa yang ada di otak kamu, hah? Bagaimana bisa aku melahirkan anak sekejam itu?" serang Titin begitu telepon diangkat. "Maafkan aku, Ma! Tiffa lebih bahagia apabila lepas dariku,
Teriakan Tiffara terdengar lantang sampai keluar rumah. Sontak satpam yang baru keluar dari toilet terbelalak kaget. "Siapa yang minta tolong? Itu bukan suara Siti tapi suara itu berasal dari dalam rumah," pikir satpam Sabirin. "Atau jangan-jangan dia adalah adiknya Tuan Bagas," lanjutnya. Sabirin segera berlari menghampiri suara itu berasal. "Tolooong!" teriaknya lagi. "Tidak ada orang yang mendengar teriakan mu, Cantik! Percuma kamu buang-buang energi! Menurutlah!" desak Gito. "Tolooong!" Teriak Tiffara lagi dengan histeris dan ketakutan. Badannya gemetaran dengan keringat dingin yang mengucur. "Hentikan!" Bentak Satpam Sabirin yang tiba-tiba muncul. Karena merasa terkejut dan terpojok, Gito langsung meraih leher Tiffara. Tangannya menggelayut dari belakang dan menekan sehingga Tiffara sulit bernafas. Ti
Malam telah larut, setelah ikut dower dan pemanasan siswa pencak silat, Tiffara beristirahat sambil menunggu sambung. Sambung adalah istilah dalam pencak silat berupa pertandingan persaudaraan. Saling menjajal kemahiran dalam adu kanuragan. Kelima teman seangkatan Tiffara sudah siap di dalam kalangan sambung, Bagas sebagai wasitnya. "Tiffa, kalau malam ini kamu bisa mengalahkan kelima letting kamu, minggu depan kita langsung pulang ke Indonesia. Tapi kalau kamu masih gagal, berarti kita masih harus menundanya." Bagas memberi ultimatum kepada Tiffara. "Baik, Mas Bagas," jawab Tiffara tegas. Setelah mereka berenam berada di dalam kalangan berbentuk lingkaran, Bagas mulai memberi aba-aba, setelah mereka berjabat tangan. "Persiapan, ... mulai!" teriak Bagas. Mereka pun mulai dengan aksi jurus. Tiffara dengan mata