Share

Masih Membenci dan Merindu

"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan.

"Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?"

"Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku."

"Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?"

"Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila."

"Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?"

"Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belum siap berkomitmen. Pah, aku ke kamar, aku lelah." Pamit Rizal meninggalkan kursinya begitu saja.

"KAPAN SIAPNYA? aku bisa menunggumu," ungkap Rosa lantang agar Rizal mendengar.

Rizal tetap melangkah menaiki anak tangga, berfokus ingin cepat singgah di kamarnya.

"Ah papah sih, Rizal marah 'kan sama aku! Besok-besok papah gak perlu bahas hubungan Rosa dengan Rizal. Rosa yakin kok, Rosa bisa mengambil hatinya."

"Selama ini bukannya kamu berusaha mengambil hatinya, tapi mana hasilnya? Papah hanya coba membantumu, siapa tau Rizal sadar ada berlian berkilauan yang menunggunya sejak lama. Lagian papah sudah tua, harus berapa lama lagi papah menunggu melihatmu menikah?"

"Papah duduk manis aja, gak perlu melakukan apa-apa. Papah cukup doakan Rosa. Rosa akan berusaha mengambil hatinya, Rosa akan membuat Rizal melupakan Ardila untuk selamanya."

"Nahhh gitu dong, lebih gigih. Rizal pria yang baik, papah lebih tenang jika kamu bersamanya."

"Rosa gak mau menikah kalau bukan sama Rizal."

"Terserah, yang penting berlian papah bahagia," ungkap sang papa.

Rizal menapaki langkahnya memasuki kamar, kamar mewah yang belum berubah. Ornamen klasik bergaya eropa, dengan warna cream dan coklat mendominasi. Sudut-sudut detail berukir, atap menjulang disanggah pilar-pilar gagah, ditemani dua jendela berukuran besar, membuat kamar terlihat begitu megah. Kamar termewah pertama yang pernah Rizal huni, setelah kehidupan kelamnya bersama Ardila.

Rizal melangkah kearah ranjang, membaringkan tubuh gagahnya dalam posisi menyamping di atas kasur. Kasur terempuk pertama yang pernah ia singgahi, pasca statusnya berubah menjadi duda menderita. 'Hari ini akhirnya terjadi. Aku harus mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Rosa, tak seharusnya kau memaksakan diri!'

'Ardila, kapan aku bisa melupakanmu! Apa salahku, hingga kau melakukan ini padaku?'

Pikiran kacau lagi-lagi hadir begitu saja, perasaannya pada Ardila belum juga berkurang. Rasa sakit sekaligus rindu, selalu melekat dalam otak dan hatinya. Selalu mempertanyakan mengapa semua ini terjadi, dan mengapa harus ia dan Ardila yang melalui ini semua. Seolah ia masih tak terima dengan nasib yang digariskan tuhan padanya.

Lamunan dan kesedihannya berlanjut, hingga mengantarkan Rizal pada tidur nyenyaknya. Selalu seperti itu, hanya tidur yang mampu membuatnya terlupa akan sakit dan rindunya pada Ardila.

"Huzzzz ... uzzzzz ...."

TOK TOK TOK

"Zal, kamu lagi apa? Makan malam sudah siap."

TOK TOK

"Boleh aku masuk? Tidak ada jawaban." Rosa pun memberanikan diri membuka pintu.

CEKLEK

"Zaaal," panggil Rosa dengan nada lembut. 'Dia masih tidur'

Entah apa yang ada dalam benak wanita itu, dengan yakin dan langkah pelan Rosa memasuki kamar Rizal.

"Zaaal," panggilnya lagi masih dengan nada dilembutkan.

Rosa duduk di atas ranjang tepat di sisi Rizal baring menyamping, mengatur ritme nafas sambil menikmati pahatan maha karya tuhan yang sempurna. Rosa sangat menikmati pemandangan di hadapannya, menatap penuh cinta dan puja seolah pria polos itu adalah miliknya. 'Suatu saat, aku akan menemanimu di tiap tidur lelapmu, Zal.'

Cukup lama Rosa dalam posisinya, sunggu ia tak ingin berajak namun waktu akan terus berjalan, ia tak ingin Rizal terbangun dan menangkap basah sikapnya. "Zal, bangun yuk. Makan malam sudah siap, kamu 'kan paling suka makan bersama. Kita makan bareng, aku yang masak loo ..." ucapnya begitu lembut sedikit menggoda.

"Zal ..." Kali ini, panggilan lembut itu dibumbui sentuhan hangat di bahu Rizal. "Zal, Rizal ... bangun, yuuk ..."

"Eemm ... iya!" Rizal sedikit kaget dan buru-buru mendudukan tubuhnya. "Jam berapa sekarang?"

"Sudah jam tujuh. Bangun yu, kita makan malam."

"Kamu turun duluan, aku cuci muka dulu."

"Aku tunggu aja."

"Terserah," balas Rizal kemudian langsung menuju kamar mandi.

"Waahh ... papah senang melihat kalian seperti ini, benar-benar serasi. Papah merasa tuhan begitu baik pada papah, hingga mengabulkan setiap doa yang papah pinta," ucap papah Rosa, saat melihat kedua anaknya menuruni anak tangga.

"Kita akan selalu menjadi keluarga, pah."

'Keluarga dalam artian kamu sebagai suamiku' gumam Rosa dalm hati, sambil menarik kursi tepat di samping Rizal.

"Biar aku yang ambilkan." Larang Rosa ketika Rizal ingin menyendokan nasi dan lauk di atas piringnya.

"Capcay ini aku yang buat, cobain. Semoga kamu suka."

"Emm ... kamu mau pakai apa lagi? Mau udang? Cumi? Atau ... ini ya, dendeng balado, bakwan jagung, eemmm dan ...

"Sudah, Sa. Sudah cukup, jika kurang aku ambil sendiri."

"Baiklah." Sambil meletakan piring tepat di hadapan Rizal.

"Eemm ... enak sekali!" Sambil melahap hidangan. "Anak papah semakin pintar masak, beruntung sekali laki-laki yang akan mendapatkanmu!" Sambil melirik Rizal.

"Papah, apaan sih. Papah makan yang banyak, jangan bicara yang dibanyakin." Sambil menambahkan beberapa lauk di piring sang papah.

Berbincang sambil menikmati hidangan hal yang sangat biasa mereka lakukan, tanpa membahas hubungan asmaranya, Rizal tampak menikmati dan merasa nyaman dengan suasana kali ini. Namun nalurinya tetap mengajak untuk pulang, tak mau pembicaraan mereka lebih lama dan melebar kemana-mana. "Pah, aku pulang ya."

"Papah kira kamu akan menginap? Sejak pulang dari Jerman, kamu belum pernah menginap lagi!"

"Next time, pah. Aku ingin menikmati SOHO baruku. Meski ukurannya tak begitu besar, aku merasa nyaman di sana. Banyak hal yang bisa kupikirkan bila berada di dalamnya," tolak Rizal.

"Pikirkan masa depanmu dan papah harap, kamu bisa lebih bijak terhadap dirimu sendiri."

"Iya pah. Aku pamit, jaga kesehatan. Esih, Mia, jaga papahku dengan baik. Sa, aku pulang," ucap Rizal, pada semua orang di ruangan itu.

Rizal langsung menuju pintu utama dimana mobil gagahnya terparkir, tampak Rosa berlari pelan meyusulnya, "Zal, tunggu! Besok, apakah aku boleh ke tempatmu?"

"Hem," balas Rizal singkat kemudian langsung menutup pintu mobil.

Di dalam mobil, lagi-lagi pria tampan itu meratapi kesedihannya. Teringat kembali akan kisah bahagianya yang berujung tragis.

Menaiki motor, dengan Ardila memeluk erat dari belakang kemudian memasukan jemari ke dalam saku di jaketnya. Mengenang hari pernikahan dengan begitu meriah, lengkap dengan senyum bahagia dari wajah keduanya. Bermodalkan uang pemberian tamu undangan, mereka putuskan berbulan madu ke negri dewata, Bali. Bermalam di hotel bintang lima, menikmati malam panjang berkesan. Meski itu bukan yang pertama mereka lakukan, namun bagi Rizal saat itu adalah puncak kebahagiaannya. Dan setelahnya adalah mimpi-mimpi buruk berkepanjangan yang tak pernah bisa ia lupakan.

Kilatan masa suramnya terekam kembali, rekaman-rekaman hasil peretasannya masih tergambar jelas di otak cerdasnya.

Bermalam di apartemen mewah dengan sang manajer, sedang Rizal di rumah seorang diri berteman sepi dan dingin malam. Membeli berbagai macam pakaian brand ternama kemudian dititipkan di rumah sahabatnya, sedang Rizal berteman dengan kelaparan dan kecemasan, berharap tuhan cepat memberikannya uang banyak. Berpesta pora ditemani minuman mahal, di sebuah klab malam sedang Rizal dalam keadaan berbaring menggigil, hampir mati, karena lelahnya mencari uang siang malam.

CHIIIITTTTT

Rizal ngerem mendadak, terlalu asik dalam lamunan tak sadar bahwa rambu lalu lintas sudah memberi instruksi untuk berhenti.

Para pejalan kaki mulai menyebrang, melanjutkan perjalanan.

"Raya?" Tampak gadis dikenalnya berlari sambil menggendong anak laki-laki. Ia berlari menyusul para pejalan kaki, berharap rambu-rambu masih memberikan kesempatan padanya untuk melangkah.

"Huuuuf ... huufff ..." Raya berhenti sejenak di tepi, mengatur ritme nafasnya. Mengusap kepala sang ponakan kemudian membenarkan posisi gendongannya dan siap melangkah, "tidur nyenyak yaa, sebentar lagi kita sampai."

Hingga gadis itu hampir menghilang dari pandangan, Rizal masih terdiam menikmati aktifitas gadis yang dikenalnya.

Dengan rasa iba dan simpati, Rizal langsung membelokan setir, menginjak gas mobil dan menyusul gadis pekerja di SOHO-nya.

Hanya beberapa detik mobil gagah itu sudah berada persisi di sisi jalan, tepat di mana gadis itu melangkah. "RAYA!" Panggil Rizal, sambil membuka kaca mobil.

Merasa mengenali mobil itu, Raya mendekat. Berinisiatif berbicara pelan, takut sang ponakan terbangun. "Tuan Rizal? Baru pulang, tuan?"

"Naiklah."

"Tidak tuan, terima kasih. Sudah dekat."

"Tak ada pengulangan. Naik!"

'Idih, galak bener', "Maaf tuan merepotkan."

"Aku yang repot jika besok kamu tidak bekerja, karena kecapean menggendong anak itu. Nanti siapa yang mengurusku?" ucap Rizal spontan.

"Ya enggalah, tuan. Tiap hari saya seperti ini dan besoknya saya ke rumah, tuan. Sehat dan tetap semangat!" Sambil membenarkan posisi duduknya yang kini sudah di dalam mobil.

'Tiap hari? Emang dia ngapain pulang selarut ini?'. "Kamu sudah makan?"

"Sudah tuan, di kafe."

"Kamu bekerja di kafe juga?"

"Iya tuan, kafe-kafe jika malam pengunjungnya lebih banyak. Jadi mereka menambah pekerja hanya untuk sore samapi malam hari. Lumayan tuan untuk tanbahan."

"Gaji dari saya masih kurang? Pakai seatbeltmu!" Ucap Rizal sambil melajukan kendaraannya pelan.

"Oh iya tuan. Maaf," sambil memakai seatbelt. "Em ... gaji dari tuan sangat cukup tetapi kebutuhan saya agak banyak, jadi masih perlu mencari tambahan."

"Jika cukup mengapa harus bekerja lagi? Wanita jangan terlalu ambisius dalam beker_

"Mom, momy ... mom ..." ucap Fayed memotong.

"Iya sayangg, ini momy. Cep-cep-cep, tenang yaaa ... bobo lagi, bobo lagi." Kata-kata lembut dan penuh kasih sayang, Raya mengusap punggung Fayed, hingga anak itu tertidur kembali dan memeluk Raya lebih erat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status