Share

Dilayani

CEKLEK

Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali'

"Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan.

"Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan.

Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri.

Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar dari kamarnya.

Dengan perasaan bingung dan tak nyaman Raya mulai membuat secangkir kopi, berharap rasa tak nyaman, gelisah, dan bingungnya hilang setelah meneguk secangkir kopi hangat, yang ia buat. "Ahhh ... nikmat ... sedikit lebih releks," ucap Raya setelah meneguk kopinya.

CEKLEK

"Raya! Kamu sudah datang? Aku tak mendengar kedatanganmu," ucap Rizal berjalan ke arah Raya, sambil mengeringkan rambut dengan handuk di tangan kirinya.

"Tu_

GLEK GLEK GLEK

'Itu kopi saya tu-an ...'

"Kopi buatanmu enak! Mulai besok buatkan aku kopi seperti ini, aku suka." Pinta Rizal setelah menghabiskan seluruh kopi dalam cangkir.

'AKU? Dia merubah panggilan dirinya, em ... terdengar lebih akrab, sih!'

"Baik tuan."

"Hampir dua bulan, baru kali ini kita bertemu kembali." Sambil menarik kursi.

"Iya tuan. Silakan tuan, saya telah menyiapkan makan siang dan saya akan merapihkan kamar tuan."

"Itu nanti saja, bisakah kau menemaniku sarapan?"

'Sarapan? Tuan ini sudah siang, mana bisa disebut sarapan!'

"Saya sudah makan tuan."

"Tidak bisakah kamu menemaniku?"

"Baik tuan," balas Raya pasrah, sambil menarik kursinya.

Kini mereka duduk berhadapan. Entah naluri apa dalam diri Raya, ia mulai menawarkan beberapa lauk pada sang tuan, melayani pria itu dengan sangat baik dan sopan.

"Silakan tuan."

'Kok aku aneh gini, sih! Pake ambilin lauk segala! Jadi malu. Si kakak sih dulu begitu, aku kan jadi niru! Bodo amat, ah! anggap aja pengabdian pembokat sama tuannya'

'Mengapa aku sebahagia ini dengan perlakuannya!' giliran si tuan bergumam dalam hati.

"Terima kasih, kamu sudah menemaniku makan." ucap Rizal, dibumbui senyuman yang menawan. "Aku suka dengan masakanmu" Rizal mengungkapkan isi hati, sambil melahap suapan terakhirnya. 'aku berharap kamu tidak akan pernah resign' lanjutnya dalam hati.

"Terima kasih tuan. Tuan apa saya sudah bisa membersihkan kamar?" Sambil meletakan piring ke dalam wastafer.

"Lakukanlah."

Sudah lama kamar itu tak seperti hari ini, pakaian bekas pakai berserakan, celana boxer, sepatu, handuk, atribut  kantor dan beberapa berkas menemapi lantai tak lagi di tempat semula.

Raya mulai membereskan kamar itu, 'abis pesta apa abis gempa sih, neh rumah!'

"Kenapa? Berantakan, ya?" Tanya Rizal yang sejak tadi sudah berdiri di sisi pintu.

"Hehehe ... iya tuan, tapi tidak apa-apa."

"Sorry teman dekatku datang, hari ini kami menang tender dan sepertinya aku akan tinggal lama di Indonesia."

"Saya ikut bahagia mendengarnya, semoga tuan semakin sukses."

"Terima kasih. O ya, Raya tolong siapkan pakaianku, aku ada keperluan, kita keluar bersama sekalian kuantar kau pulang."

"Tidak perlu tuan, saya bisa pulang sendiri. tuan duluan saja, pekerjaan saya belum selesai semua." Sambil memunguti beberapa barang yang berserakan di lantai.

"Tinggalkan saja, itu bisa dilanjutkan besok. Menurut padaku, tak ada bantahan!"

"Baik tuan." Tak menunggu lama, titah tuannya segera Raya laksanakan. Seluruh pekerjaan yang belum ia selesaikan, saat itu juga langsung ia tinggalkan begitu saja. 

"Tuan, ini saya tidak apa-apa duduk di depan bersama tuan seperti ini?"

"Terus kamu mau duduk di belakang? Seolah saya supirmu?"

"Bukan seperti itu maksud saya, saya agak tidak enak saja. Saya takut ada yang melihat dan jadi salah faham."

"Salah faham bagaimana maksudmu?"

"Ma-maksud saya, saya takut pacar atau wanitanya tuan, melihat."

"Jangan berlebihan. Siapun bisa duduk di situ! biarkan saja mereka berpikir seperti itu! Tugasmu bekerja saja yang baik! ikuti setiap perintahku!" jawab Rizal bernada seperti marah.

'Pusing sekali memikirkan penilaian orang!'

Hening tak ada lagi percakapan antara keduanya, hanya sesekali Raya mengeluarkan suaranya demi menunjukan arah dan Rizal hanya menjawab dengan deheman.

Alamatnya sudah berubah, sepertinya dia pindah rumah'

"Nanti di depan warung itu tuan bisa menepi, rumah saya masuk gang di sebrangnya."

"Biar kuantar sampai depan rumahmu."

"Mobil tuan tidak bisa masuk, gangnya sempit  hanya bisa dilalui motor dan sepeda."

"Oo ..."

"Terima kasih tuan. Maaf jika mereporkan." Ucap Raya langsung turun dari mobil sang tuan.

-------

Di teras sebuah kediaman mewah, tampak seorang wanita berkelas nan cantik duduk di kursinya sambil membulak-balik lembaran majalah terlihat malas.

Setelah lama duduk dan bosan, tampak mercedes benz yang ia tunggu kini menampakan diri. Kebahagiaan terlihat jelas di wajah dan gerak fisiknya. Wanita itu mulai merapihkan pakain yang sedikit berkerut, kemudian berlari kecil dilengkapi senyuman indah. "Hai Zal, aku sudah menunggu sejak tadi, papah di dalam." Sapa wanita cantik itu semangat. Berjalan berdampingan, terlihat begitu serasi.

"Sorry, bangun kesiangan," balas Rizal santai.

"Siang pah! Bagaimana kesehatan papah, sudah lebih baik?" Tanya Rizal menyapa pria tua yang sedang asik mendengarkan asistennya berbicara.

Melihat Rizal berjalan kearahnya, pria tua itu menampakan barisan gigi rapihnya, "Semakin pulih, setelah mendapat perawatan dokter yang kamu rekomendasikan. Kau sudah di Indonesia, tinggalkah kembali di rumah ini. Rosa sama sekali tak bisa diajak berdiskusi." 

"Papa selalu meremehkanku di depan Rizal, seolah anak kandung papa itu Rizal bukan aku," ungkap wanita cantik yang dipanggil Rosa sambil memeluk sang papa dari belakang.

"Lihat Zal, dia cemburu padamu. HAHAHA ..."

"Seorang adik emang seperti itu pah, selalu cemburu dengan kesuksesan kakaknya. aku lapar, aku mau makan," Ucap Rizal sambil mengambil secentong nasi.

'Lapar, tapi mengambil nasi hanya sedikit!', "Aku bukan adikmu, ya!" Omel Rosa, tak terima.

Canda tawa di ruang makan berlanjut sampai menjelang sore hari. Pria yang disapa papah itu terlihat begitu bahagia ketika si putra angkat menjenguk dan menemaninya bertukar pikiran.

Membicarakan masalah pekerjaan, beberapa kontrak-kontrak kerja, bahkan politik dan hubungan asmarapun dibahas oleh mereka.

"Lupakan masa lalumu, buka lembaran baru dan menikahlah. Akan selalu cape, jika apa yang kau lakukan demi dendam dan kemarahan kau jadikan jalan pijakan. Hidupmu tak akan tenang, pencapaianmu saat ini tak akan menghasilkan kebahagiaan."

"Terlalu lama kau meratapi masa lalumu. Binalah rumah tangga baru, yang lebih baik dan carilah wanita baik-baik," nasehat sang papah angkat untuk kesekian kalinya.

Yang diajak bicara hanya diam ketika hubungan asmaranya, menjadi topik utama. Rasa cinta yang masih terpendam pada sang mantan istri belum sepenuhnya hilang dan belum sepenuhnya mampu ia lepaskan, hingga tiap kisah asmaranya dibahas, Rizal diam tak bergeming.

Bagi Rizaldi Takki, membicarakan sang mantan istri tak akan pernah ada habisnya, kebahagiaan dan kesedihan terasa datang bersamaan hingga mampu membuatnya trauma tak mau lagi mengenal cinta dan dekat dengan para wanita.

Duda itu masih menikmati rasa sakitnya, menikmati dengan cara mengingat segala kesedihan, mengingat penghianatan dan mengingat tiap sikap yang ia terima dari sang mantan istri.

"Aku butuh proses pah, suatu saat aku pasti bisa melupakannya dan menjalankan hidupku dengan normal." Akhirnya si duda mengeluarkan suara setelah terdiam cukup lama.

"Logikamu ajak berproses, berproses untuk melupakan. Bukan masih merindu atau menyimpan rasa sakit. Jika perlu, nikahi Rosa untuk membantumu melupakan wanita itu."

DEG

Apa yang ditakutkan Rizal benar terjadi, hutang budinya harus dibayar dengan sebuah pernikahan. Sebuah pernikahan tanpa dasar cinta dan perasaan, sebuah jalinan kasih terjadi karena rasa kasihan dan tak enak melakukan penolakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status