Selang beberapa jam, jet pribadi itu mendarat di bandara. Siena berdiri di belakang Niccolo sambil mengikuti setiap langkahnya. Namun, ia tertinggal di belakang karena kakinya yang tak cukup panjang.
“Hei, tunggu!” Siena berteriak. Ia berlari. Mencoba mengejar Niccolo. Lalu berusaha mensejajarkan langkahnya saat berhasil berada di sebelahnya. “Kapan kau akan mengantarku ke Monaco?” tanya Siena. “Siapa yang mengatakan itu?” Niccolo balik bertanya lalu menyeringai. “Apa?!” Niccolo mengabaikan keterkejutan Siena. Ia memilih masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di sana. Sedangkan Siena masih bertahan dengan keterkejutannya. “Nona.” Siena tertegun. Ia menatap sinis pada Pietro. “Apa?!” sahutnya. “Kita akan segera berangkat. Sebaiknya kau juga masuk ke dalam mobil.” Siena memutar bola matanya. Langkahnya diiringi desahan napas kasar. Ia menyusul masuk ke dalam mobil yang sama dengan Niccolo. “Kau membawaku ke sini. Seharusnya kau juga bertanggungjawab untuk mengantarku pulang!” Tiba-tiba Siena menggerutu untuk mengeluarkan kekesalan yang kini menyatu dengan rasa cemas yang dalam. Ia datang ke negara asing tanpa membawa apapun bahkan tas dan ponselnya. Ia meninggalkan itu semua saat hendak ke toilet. Siena memalingkan wajahnya. Ia menggeser posisi duduknya menghimpit ke pintu. Matanya mulai berkaca-kaca saat kegelisahan semakin tebal menyelimuti hati. “Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku harus ada di sini? Papa, Maman, Maxime, tolong aku…” Niccolo melirik ke arah Siena saat mendengar wanita itu menggerutu menggunakan bahasa Perancis. “Aku akan mengantarmu… setelah semuanya selesai,” celetuk Niccolo. Siena hanya melirik. Ia mengusap airmata yang sempat membasahi pipi. Lalu menarik napas dalam-dalam untuk membasahi kegundahan hatinya dengan penuh rasa lega. Tiba-tiba Siena mengulurkan tangan. Menarik tatapan Niccolo. “Aku tidak tahu namamu. Setidaknya… kita harus berkenalan terlebih dahulu,” ucap Siena. Matanya tidak berani menatap langsung ke arah pria itu. Semakin lama berada di sisinya semakin membuat hatinya merasa aneh. Ia tidak menyukai sikapnya yang terkadang arogan tetapi kebaikannya cukup meluluhkan hati. “Niccolo,” timpalnya sambil menyambut uluran tangan Siena. Siena mengangguk lalu melepaskan uluran tangannya. “Oke, Niccolo.” Suasana kembali hening usai perkenalan singkat mereka. Siena berusaha memusatkan konsentrasinya saat menikmati pemandangan kota Barcelona. Sedangkan Niccolo masih bergulat dengan pikirannya. “Kenapa kau tidak bisa bicara Italia? Sedangkan dialek dan wajahmu seperti orang Italia.” Niccolo membuka obrolan. Ia tahu alasannya. Tapi berpura-pura menanyakan hal itu untuk mencairkan suasana yang terasa aneh. “Aku sudah tinggal di Monaco sejak usia tujuh tahun.” “Dan keluargamu, mereka pun begitu?” Niccolo masih memberikan pertanyaan seolah-olah larut dalam obrolan mereka. Siena diam cukup lama. Tersirat keraguan yang jelas dari wajahnya. Lalu menjawabnya dengan singkat. “Ya.” “Berapa lama kita akan berada di sini?” Siena berusaha mengalihkan pembicaraan karena merasa tidak nyaman Niccolo menggali tentang informasi pribadi. Niccolo tidak langsung menjawab. Mobil yang mereka naiki sudah terparkir di depan sebuah bangunan hotel berbintang lima. Lagi-lagi Siena hanya mengikuti Niccolo. Ia ingin menjadi wanita yang baik dan penurut selama di sini. Karena hanya pria itu yang bisa mengantarnya pulang ke Monaco. Kedatangan mereka disambut hangat oleh pegawai hotel. Niccolo sengaja memesan dua kamar untuknya dan Siena. Lalu tiga kamar lain untuk Pietro dan lainnya. Kini Siena sudah berada di depan pintu kamar bersama Bell boy yang mengantar. Pintu hotel terbuka. Pandangan Siena mengamati setiap sudut di dalam kamar. Senyumnya yang lebar mengembang saat tubuhnya melayang dan terkapar di atas tempat tidur yang empuk dan lembut. Ia mengibaskan kedua tangan selayaknya anak kecil yang sedang terbaring di atas tumpukan salju. “Anggap saja ini liburan,” gumam Siena. Lalu berguling ke kanan dan kiri, hingga akhirnya… Brukk! “Ouch!” Siena meringis. Ia mengusap-usap kepala dan pinggang akibat kecerobohannya hingga terjatuh dari tempat tidur. Perhatian Siena teralihkan saat suara bel pintu berbunyi. Ia bangkit berdiri dan berjalan pelan menuju pintu. Lalu membuka dan memberikan celah sedikit. “Ada apa?” tanyanya saat melihat Niccolo dan Pietro berdiri di depan pintu. Niccolo mendorong pintu membuat genggaman Siena pada gagang pintu terlepas. “Aku ada urusan. Kau pergi dengan Pietro untuk membeli pakaian ganti,” jelasnya, tetapi justru terdengar seperti sebuah perintah. “Ouh, oke.” Siena tidak menolak. Lagipula ia memang butuh pakaian ganti karena celananya sudah tidak nyaman akibat tertumpah minuman. Dan ada noda darah di kaosnya. Tanpa menunggu lama Niccolo bergegas pergi meninggalkan Siena dan Pietro. Ia pergi bersama Bosco dan dua anak buah lainnya. Selang tiga puluh menit, Niccolo dan Bosco sudah berada di gedung berlantai empat milik Don Francisco. Kini mereka ada di lantai tiga bersama Francisco dan tiga anak buah lainnya. “Aku sudah memberikan hukuman yang setimpal padanya. Itu adalah kesalahan mereka. Tapi bukan berarti harus merusak hubungan kerjasama kita.” Niccolo menyeringai. Wajah tampannya tak bisa menyembunyikan percikan emosi yang mulai membara. Suasana di dalam ruangan berubah tegang saat sorot matanya yang tajam mengabsen setiap orang yang duduk di hadapannya tanpa terkecuali. “Lalu, hukuman apa yang pantas kau dapatkan? Kau sudah merusak perjanjian kerjasama kita.” “Don Niccolo…” panggilnya sambil memasang raut muka putus asa. “Aku tidak peduli dengan urusan internal di dalam keluarga mafia kalian. Kau harus mengganti kerugian yang aku alami 4 kali lipat, seperti yang tertera dalam perjanjian.” “Itu jika aku melanggar!” “Secara tidak langsung kau melanggarnya!” Seketika ruangan berubah hening. Hanya terdengar deru napas yang kasar. Niccolo melempar map biru yang berisi total kerugian atas kasus gagalnya pengiriman kokain. “Aku mau kau menggantinya dalam waktu satu minggu. Jika tidak, kau tahu apa yang akan terjadi,” tegas Niccolo. Tanpa menunggu jawaban Niccolo bangkit berdiri diikuti Bosco. Mereka meninggalkan ruangan dikawal oleh dua anak buahnya. Suara gebrakan meja terdengar samar seolah sang Don Francisco sedang menyalurkan emosi yang menggerayangi kepala akibat kebodohan anak buahnya. Niccolo dan Bosco sudah berada di luar gedung kasino milik Don Francisco. Kini mereka masuk ke dalam mobil yang berbeda. Niccolo bersandar sambil menikmati pemandangan kota yang mulai terlihat gelap. Ia mengendurkan dasi yang terasa mencekik lalu melepas kancing kemeja paling atas. Saat ingin memejamkan mata ia merasakan ponselnya berdengung. Nama Valencia tertera jelas di layar ponsel. Niccolo menatap nanar pada foto yang baru saja ia terima. Emosinya kembali tersulut. Kali ini membuncah memenuhi isi kepalanya. Rahangnya mengeras saat sepasang bibir itu terkatup rapat. Ia mengeratkan genggamannya seolah ingin meremukkan ponsel itu. ‘Nic, aku bahagia. Sergio melamarku.’ Kalimat itu yang tertulis di caption foto sepasang kekasih yang tampak bahagia dengan senyum yang lebar. “Cazzo!” desis Niccolo. *** Siena tampak sibuk memencet tombol remote. Ia tak tahu ingin menonton acara televisi yang mana. Dirinya hanya bosan sepanjang hari menunggu kepulangan Niccolo. Ia ingin bertanya untuk memastikan kapan pria itu bisa mengantarnya pulang. Usai mengisi perutnya hingga penuh saat makan malam Siena hanya menjadi patung di kamar. Sedangkan Pietro tidak lagi menemuinya setelah mengantarnya pergi membeli pakaian sore tadi. Suara bel pintu membuat Siena terkesiap. Senyum lebar langsung menghiasi wajah. Tanpa berlama-lama ia segera bangkit dari tempat tidur. Tangannya masih menggenggam remote dan berlari ke arah pintu. Siena membuka pintu. Tetapi Niccolo mendorong papan pintu tiba-tiba sehingga Siena melepas genggamannya. “Niccolo, kapan—” Ucapan Siena menggantung di udara saat bibirnya dibungkam. Niccolo mencium bibirnya dengan penuh penekanan. Ia mendorong tubuh Siena. Menghimpitnya ke dinding. Lalu mencengkram kedua tangan Siena. Brak! Remote televisi itu tergeletak di atas lantai. Siena masih membelalak. Otaknya seolah membeku seiring ciuman itu. Hingga beberapa detik kemudian ia tersadar. Siena berusaha melepaskan cengkraman Niccolo pada kedua tangannya. Ia ingin menghindar dari ciumannya tetapi pria itu tak memberikan celah sedikit pun. Tubuhnya semakin terhimpit hingga membuatnya sulit bergerak. Ciuman itu beralih ke lehernya. Salah satu titik kelemahan Siena di sana. Perlahan ciuman itu menghipnotis otaknya. Tanpa sadar suara desahan yang lembut itu mulai terdengar mengiringi ciuman Niccolo yang semakin liar.Suara langkah kaki menggema di sepanjang koridor putih lantai lima di rumah sakit Ospedale Civile. Lampu-lampu LED di langit-langit memantulkan cahaya dingin di lantai mengkilap. Aroma antiseptik lembut bercampur lavender menyelimuti udara, menusuk tapi tenang. Pintu ruangan perawatan terbuka tiba-tiba. Lucia berjalan cepat. Langkahnya tertuju ke arah Siena yang sedang duduk di samping ranjang Elio. Sedangkan Siena hanya menoleh sekilas seolah mengabaikan kedatangannya. “Siena!” gertak Lucia. Ia berdiri tepat di belakangnya. Siena mengabaikan panggilan Lucia. “Kenapa kau tidak memberitahuku lebih dulu saat ingin membawa Elio ke rumah sakit?” Siena tak berdiri. Ia masih mematung di tempatnya. Hingga akhirnya tatapan dingin itu tertuju ke arah Lucia. “Dia kejang. Aku tidak butuh formalitas mu hanya untuk menolongnya,” jawab Siena dengan suara datar. Lucia mendengus kesal. Matanya menyipit, “Aku bertanggungjawab atas anak-anak di panti asuhan. Kau tidak bisa mengambil keputusan se
Malam semakin larut. Namun tak membuat wanita itu merasa kantuk sedikit pun. Tubuhnya bergerak gusar di atas ranjang tua berderit. Ia menoleh ke arah samping—jauh ke sudut ruangan. Ranjang di sana masih kosong. Ruangan itu cukup luas dan terasa menyesakkan. Meskipun Lucia belum masuk, tetapi jika harus berada satu kamar bersamanya, Siena tidak bisa tidur. Akhirnya ia turun dari ranjang. Langkahnya mengalun pelan memecah kesunyian di lorong. Suasana panti asuhan sudah benar-benar sunyi. Pintu-pintu ruangan pun tertutup rapat, kecuali satu kamar yang ada di ujung lorong sebelah kanan. Dan Siena tahu di sana ada Lucia sedang menemani seorang anak laki-laki yang sakit. Siena memilih lorong yang lain seolah tak ingin berpapasan dengan Lucia. Ia mulai menyusuri lorong hingga keluar dari area panti asuhan. Sampai akhirnya langkahnya dihentikan oleh suara seseorang yang berada jauh di depan. “Dia sudah tidur,” ucap Lucia sambil kaki kirinya menendang-nendang kecil. “Nic, kapan kau kembal
Konvoi mobil berhenti di depan bangunan gedung yang berdiri kokoh di tengah kota Beirut. Niccolò keluar dari mobil saat Pietro membuka pintunya, disusul Bosco yang keluar dari pintu lain. Kemudian Giuseppe terlihat keluar dari mobil yang berbeda. Ketiga memposisikan diri berada di belakang pemimpin mereka—Niccolò.Anak buah Lebanon itu mempersilakan Niccolò dan rombongan untuk masuk ke dalam gedung. Menuntun mereka menuju lantai paling atas, tempat pemimpin sindikat Lebanon yang dikenal dengan nama Khaled Al-Hazem. Sebuah pintu lift terbuka di lantai paling atas gedung tersebut. Niccolò dan lainnya melangkah keluar, mengikuti penuntun arah menuju sebuah pintu kayu berukir yang berada di sudut koridor. Lengkap dengan beberapa pengawal bersenjata yang berjaga di sepanjang koridor. “Bukankah ini terlalu berlebihan? Seperti ingin mengepung kita,” bisik Bosco pada Niccolò. Matanya tak berhenti mengawasi. Sedang Pietro dan Giuseppe yang berada di belakang menatap waspada. Niccolò tak men
Siena tertegun. Tetapi pandangannya langsung berpaling seolah tertangkap basah oleh Pastor Gabriele. Sedang sang Pastor hanya tersenyum lembut diiringi helaan napas panjang tak menghakimi. “Maafkan aku Padre,” gumam Siena. Tatapannya menunduk, “Aku... Belum ada kepastian di antara hubungan kami. Tapi Niccolò menunjukkan perasaannya padaku, jadi… dadaku terasa sesak setiap kali melihat kedekatan Niccolò dan Lucia.” Pastor Gabriele menundukkan tatapannya sekilas, sorot matanya tajam tetapi tetap lembut. “Ah… jadi itu yang mengusik hatimu.”“Jangan salah paham.” Siena menggoyangkan tangannya sembari menatap cepat ke arah sang Pastor. “Aku tidak—aku hanya tidak suka melihatnya begitu dekat dengan Lucia. Mereka terlihat seperti…” Pastor Gabriele mengangkat tangannya seolah memotong ucapan Siena. “Lucia dan Niccolò tidak memiliki hubungan seperti yang kau takutkan, Siena.” Siena terdiam. Ada sedikit rasa lega yang menyelinap masuk ke dalam hatinya saat mendengar ucapannya. “Tidak?” Ken
Setengah jam kemudian Siena keluar dari kamar mandi. Ia memang sengaja lebih lama di sana, berharap Niccolò akan mencarinya. Tetapi sepertinya pria itu sangat menikmati waktunya bersama Lucia. Langkah Siena terdengar menghentak lantai seolah menyalurkan api cemburu yang belum padam. Tetapi berubah pelan saat tidak melihat Niccolò dan yang lain. Ia menoleh sekeliling dengan langkah yang masih menyusuri koridor. Sampai akhirnya ia berhenti, menatap ke dalam ruangan. Di sana ada Niccolò dan Lucia. Lalu ada anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun sedang berbaring di atas tempat tidur. Ia tidak melangkah masuk, lebih senang mengamati dari luar. “Jam tiga pagi dia bangun ketakutan. Untung saja aku bisa menenangkannya. Tapi, suhu badannya belum turun,” ujar Lucia sambil mengelus wajah anak laki-laki tersebut. “Mungkin saja dia akan mengalami trauma. Telepon Angelo untuk datang ke sini,” perintah Niccolò. Lucia menganggukkan kepala. “Ya, nanti aku akan menghubungi dia.” Lalu menatap Nicc
Setengah jam berlalu. Ketiga mobil itu terparkir di halaman gereja tua Cattolica di Stilo. Keheningan menyelimuti sekitar gereja, menandakan jika misa pagi sudah dimulai. Niccolò, Siena dan yang lain turun dari dalam mobil. Pandangan Siena seketika mengabsen halaman gereja yang tampak sunyi. Hanya ada lima mobil yang terparkir di sana seolah memberitahu tidak banyak jemaat yang ikut misa pagi di gereja tersebut. “Ayo.” Perhatian Siena teralihkan saat merasakan pelukan di pinggang. Kepalanya mengangguk lalu mengikuti langkah Niccolò yang menuntun menuju pintu masuk gereja yang terbuka lebar. Benar saja dugaannya, tak banyak jemaat yang datang. Hanya ada tujuh jemaat yang mengisi kursi-kursi kayu yang tampak sudah rapuh. Niccolò mengajak Siena untuk berdiri di depan kursi yang kosong saat para jemaat mulai berdiri. Sang Imam masih terlihat berada di altar dengan kepala menunduk saat para biarawati menyanyikan lagu penutup Salve Regina. Suasana khidmat menyelimuti seluruh jemaat term