Niccolo meletakkan senapan di atas wastafel. Lalu mengangkat Siena ke dalam pelukannya. Sedang dari arah pintu, muncul dua orang yang memakai setelan hitam.
“Urus tikus itu,” perintah Niccolo pada Pietro saat berjalan melewatinya. Pietro memberikan instruksi pada Cosimo, lalu mengambil senapan milik Niccolo. Ia menyusul Niccolo meninggalkan toilet yang kini dipenuhi oleh aroma anyir. Pietro mengikuti Niccolo dari belakang. Tak ada percakapan di antara mereka. Pietro yang masih terkejut dengan keputusan tuannya, sedangkan Niccolo berperang dengan pikirannya. “Cari tahu alasan dibalik kejadian ini,” perintah Niccolo. “Iya,” jawab Pietro lalu memasukkan senapan itu ke dalam balik jasnya ketika dirasa sudah tidak panas. Tak berselang lama, mereka sudah kembali berada di dalam kabin jet pribadi. Niccolo membaringkan Siena di atas kursi kulit krem yang berkualitas tinggi. Lalu memasangkan sabuk pengaman. “Kau akan membawanya bersama kita?” Bosco bertanya saat melirik ke belakang, tepat ke arah tempat duduk Siena. Niccolo tidak langsung menjawab. Ia menghampiri kursi yang kosong di depan Bosco. Sehingga arah matanya tertuju ke tempat duduk Siena. Bosco Rossi, seorang pria paruh baya berbadan gempal yang sudah seperti orangtua untuk Niccolo. Ia bergabung dengan keluarga I Lupi Del Sud sejak kedua orangtua Niccolo masih hidup. Kini ia menjabat sebagai Consigliere. “Percuma saja aku mengotori tanganku jika tetap meninggalkannya di sana,” jawab Niccolo. “Lalu kenapa kau menolongnya?” Bosco masih bertanya, seolah tak paham dengan jalan pikiran sang Don. Kini Niccolo diam cukup lama. Wajahnya tampak seolah merenungi perbuatannya. Awalnya ia memang tak tertarik untuk menolongnya. Sampai akhirnya ia merasa ada sesuatu yang menarik hatinya seperti magnet. Ia bahkan melakukannya tanpa kendali penuh dari pikirannya. Sorot matanya yang tajam masih terpaku pada wajah Siena yang tampak menenangkan. Ia tak tahu kesalahan apa yang pernah dilakukan wanita itu hingga membuatnya diburu oleh dua anjing pemburu sekaligus, Cosimo dan lainnya. Untung saja saat Niccolo baru memasuki bandara, ia bertemu Cosimo. Sehingga dirinya langsung memberikan perintah pada salah satu anak buahnya itu untuk menghentikan misinya tersebut. Sampai akhirnya, Cosimo mengatakan kalau ada pembunuh bayaran lainnya yang mengincar Siena. Niccolo memang memiliki beberapa anak buah yang menjadi pembunuh bayaran. Mereka bekerja di bawah perintah majikan yang berani membayar dengan harga tinggi. Lalu bagaimana dengan bayarannya? Tentu akan masuk ke dalam lingkup keuangan milik keluarga I Lupi Del Sud. “Kau hanya perlu membantuku menjaganya,” jawab Niccolo dengan suara pelan. Bosco masih ingin bertanya, tapi ia menahan niatnya tersebut. Sehingga hanya desahan napas kasar yang terdengar dari arahnya. Sedangkan Niccolo mengernyit saat menyadari ucapannya. Sejak kapan ia ingin menjaga seseorang bahkan wanita asing? Padahal ia tahu, sisi manusiawi sudah menghilang dari dalam dirinya. Perlahan jet pribadi itu pun lepas landas. Memberi alarm untuk Niccolo bersantai. Ia menekan tombol untuk memiringkan sandaran. Lalu memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya agar kembali normal. *** Satu jam berlalu. Terdengar suara beberapa pria yang mengobrol. Siena membuka matanya perlahan. Seketika, wajahnya tampak kebingungan saat memperhatikan sekeliling. Ia bermimpi ada di kabin first class seat? Siena mulai mengucek matanya. Berusaha untuk menyadarkannya dari mimpi. Namun suara langkah kaki yang mendekat membuat Siena langsung tersadar sepenuhnya. Mata Siena tertuju pada satu wajah yang membawanya pada ingatan sebelumnya. “Kau?!” Suara Siena yang cukup keras membuat Bosco dan lainnya terdiam lalu menoleh ke arahnya. Siena membalas tatapan Bosco dan kembali ke arah Niccolo. Matanya memperhatikan dengan seksama saat Niccolo duduk di kursi yang berada tepat di hadapannya. “Kenapa aku bisa ada di sini? Aku masih sangat ingat, aku tidak membeli tiket untuk first class,” tanya Siena, suaranya penuh tuntutan akan sebuah jawaban. “Di sini tidak ada tempat duduk lain selain first class,” jawab Niccolo. Lalu bersandar. Mata Siena masih mengamati kondisi sekeliling. Niccolo mengangkat satu tangan membuat seorang pramugari seksi itu menghampirinya. “Bawakan dua gelas minuman,” perintah Niccolo. “Ini bukan di pesawat Italia Airlines?” tanya Siena menyadari seragam yang dikenakan sang pramugari terlihat… seksi. “Kau tahu, Siena. Ada dua hal yang bisa terjadi saat naik di dalam jet pribadi milikku. Dia akan mendarat dengan selamat, atau… tidak akan mendarat selamanya.” Siena menyipitkan matanya. “Kau tahu namaku, dan aku tidak berada di tempat yang seharusnya. Siapa kau sebenarnya?” “Bukan hanya namamu. Aku juga tahu… apa yang sebenarnya terjadi padamu,” jawab Niccolo. “Itu semua karenamu?” tuduh Siena. Niccolo menerima uluran gelas dari pramugari, begitupun dengan Siena. Tapi ia tidak langsung meminumnya dan membiarkan pria itu minum lebih dulu. “Jika aku ingin menghabisimu, sudah kulakukan sejak aku menembak orang itu,” jawab Niccolo sembari menggoyang-goyangkan gelas miliknya. Siena mengalihkan tatapannya. Ia berpikir sejenak. Kejadian yang terasa tiba-tiba itu membuatnya sulit menerka. “Dimana orangtuaku? Mereka pasti sedang mencariku.” Siena tampak cemas hingga tanpa sadar menjatuhkan gelas minuman yang belum sempat membasahi kerongkongannya tersebut. “Ouch!” Siena reflek mengangkat kaki lalu mengibas celananya yang basah. Niccolo menarik napas panjang. “Sepertinya itu sudah menjadi kebiasaanmu.” Wanita itu tidak menjawab sindirannya. Ia membungkuk meraih gelas lalu meletakkannya di atas meja lipat. “Kita akan mendarat dimana?” tanya Siena. Wajahnya berubah cemas saat memikirkan kondisi orang tuanya. “Kita akan mendarat di Barcelona.” “Baiklah, tidak masalah. Setelah itu kau bisa mengantarku ke Monaco,” timpal Siena masih berusaha untuk memenangkan diri. Niccolo hanya diam seolah enggan memberikan jawaban. Sedangkan Siena tampak berusaha membuat dirinya nyaman hingga jet pribadi itu tiba di Barcelona. “Kalau bukan perbuatanmu, lalu… siapa yang melakukannya?” Niccolo memberikan gelas yang baru pada Siena saat pramugari itu kembali melintas. Sedangkan mata Siena diam-diam mencuri pandang, mencari arah tatapan Niccolo pada pramugari seksi di hadapan mereka. “Banyak orang jahat di Italia. Itu hanya ulah orang iseng yang ingin membunuh seseorang. Kebetulan kau adalah orang yang tepat untuk dijadikan mangsa,” jawab Niccolo. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kebohongannya. “Lalu, kenapa kau tiba-tiba ada di sana dan menolongku? Sangat aneh kalau itu juga sebuah kebetulan.” Niccolo menarik napas dalam-dalam. “Aku melihatnya mengikutimu. Apa kau masih berpikir kalau itu sebuah keanehan?” Siena berdehem. Ia memalingkan mukanya. Tidak ada yang aneh dengan jawabannya. Kecuali jika memang Niccolo sedang tidak berada di bandara saat itu. Keberadaan mereka saat ini membuatnya sedikit percaya kalau Niccolo memang berniat membantunya. *** Sepasang suami istri yang berusia lanjut itu tampak gusar. Sang suami berusaha menghubungi putra mereka tetapi tidak pernah tersambung. “Bagaimana, Jean? Apa Maxime mengangkat teleponnya?” Jean menggeleng, “Tidak.” “Lalu apa yang harus kita lakukan? Siena belum datang. Bagaimana kalau dia menghilang?” tanya Lucile. “Kita harus kembali. Kita katakan pada Maxime kalau Siena menghilang.” Lucile mengangguk dengan wajah yang gugup. Ia terus saja meremas jari-jari tangannya. Sedangkan Jean memperhatikan sekeliling untuk mencari keberadaan Siena. “Ayo,” ajak Jean, pasrah. Mereka bergandengan tangan meninggalkan bandara untuk kembali ke tempat tinggal Maxime dan Laura.Siena dan Pietro berhenti di depan pintu. Perlahan Pietro membukanya, lalu mempersilakannya untuk masuk. Seiring kaki Siena berjalan di atas marmer hitam, Pietro menutup pintu. “Astaga! Ternyata yang dia maksud ruangan lounge,” desahnya saat melihat Niccolò sedang duduk di salah satu sofa yang berwarna coklat tua sambil menikmati segelas minuman alkohol. Langkah Siena menghampiri Niccolò. Ia duduk di sofa yang berseberangan. Sebuah sofa yang berwarna hitam gelap. “Ada apa?” tanya Niccolò saat menoleh ke arah Siena. Siena menggelengkan kepala. Dirinya justru mengalihkan pandangannya ke arah botol wine yang berjejer rapi di dinding. Ia bangkit dan berjalan ke arah meja bar. Mengambil satu gelas kosong dan kembali ke tempat semula. “Tidak enak jika minum sendirian,” ujarnya sambil menuangkan botol whiskey yang sudah terbuka di atas meja. “Kenapa kau ingin kembali ke Monaco sedangkan mereka bukan orang tuamu?” tanya Niccolò sambil sesekali menenggak minumannya. Siena tersedak saat
Valencia mematung. Jawaban Niccolo seperti cambuk yang melukai hatinya. Ia memang menjadi kekasihnya Sergio tetapi tidak ingin melihat Niccolo memiliki magnet dunianya yang baru. Mata Valencia menyorot tajam ke arah punggung Siena yang sedang duduk membelakangi sambil menikmati makanan. Seketika hatinya mengutuk keberadaan Siena di sana. Pandangan mata Valencia kembali tertuju pada Niccolo. Senyum yang kaku menempel di wajahnya. Ia mencoba menyembunyikan ketidaksukaannya. “Kau pasti bohong. Aku tahu kau sangat sibuk dengan pekerjaan dan tidak ada waktu memikirkan masalah percintaan. Lagipula, kalau dia memang kekasihmu, kenapa aku baru melihatnya?” “Tidak semua hal harus aku katakan padamu,” jawab Niccolo. “Apa?” Kedua alis Valencia terangkat. Ia kembali dikejutkan oleh ucapan Niccolo yang begitu dingin. “Baiklah, kalau memang seperti itu.” Lalu menarik napas dalam-dalam sambil tersenyum. Mencoba mengangkat batu yang menekan dadanya. “Aku ingin berkenalan dengannya.”Niccolo mena
Siena terbangun tepat pukul delapan malam. Seolah kejadian sebelumnya masih terasa, Siena terlonjak saat sadar dari tidur yang diakibatkan pingsan. Matanya memperhatikan sekeliling ruangan yang didominasi warna hitam itu sangat kontras jika dibandingkan kamar sebelumnya dan ruangan lain. Kosong. Hanya ia sendiri di dalam ruangan itu. Siena bangkit duduk. Kepalanya masih berdenyut tetapi telinganya sudah tidak berdengung. Tubuh Siena bergerak menghimpit headboard saat mendengar suara seseorang membuka pintu. Entah mengapa rasa takut langsung menyelimuti membuat suasana di dalam kamar itu terasa begitu menyeramkan. Bayangan kejadian sebelumnya kembali terputar di dalam kepala membuatnya menatap was-was ke arah pintu. Pintu itu terbuka pelan. Menampakkan sosok wanita asing yang berjalan ke arahnya. Cahaya temaram di dalam kamar membuatnya tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas. Tetapi satu hal yang ia tahu wanita itu tidak berbahaya. Ia seorang pelayan. “Selamat malam, Non
Siena mencoba bangkit. Setelah ketiga kalinya akhirnya ia berhasil berdiri. Kakinya melangkah cepat menuju dinding pintu yang terkunci dari luar. ‘Dasar brengsek! Bahkan dia mengunci pintunya.’ Setidaknya kalimat itu yang ia ingin ucapkan tetapi hanya suara geraman yang keluar dari mulut. Tiba-tiba ia menabrakkan badannya ke arah dinding pintu. Beberapa kali ia melakukannya seolah sengaja untuk memancing keributan. Ia ingin Niccolo datang. Sedangkan dari sudut ruangan lain, Niccolo masih duduk bersama Maxime. Saat mulutnya hendak menjawab terdengar suara gebrakan pintu dari kamar Siena samar-samar. Sontak kejadian itu menarik perhatian Maxime yang sesekali menoleh ke belakang. Niccolo bangkit dan melambaikan tangan ke arah Bosco. Pria itu pun menghampirinya. “Kau urus masalah ini seperti biasa,” bisik Niccolo lalu bergegas meninggalkan Maxime. “Don.” Maxime berdiri sembari menatap kepergian Niccolo. Bosco duduk di tempat Niccolo sebelumnya. Lalu menginstruksikan Maxime untuk ik
Kesadaran Siena kembali pulih saat dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan Niccolo berada di atasnya. Masih bersama ciuman yang bersarang di leher jenjangnya, Siena berusaha mengendalikan diri. Ia tidak ingat bagaimana mereka sudah berada di posisi itu. Setiap ciuman itu seolah menghipnotisnya. Kini tangan Niccolo sudah tidak mencengkram tangannya sehingga Siena berusaha untuk mendorongnya menjauh. “Niccolo. Apa yang kau lakukan?” sentak Siena. Bulu kuduk Siena meremang saat matanya bertatapan langsung dengan pria itu. Sorot matanya yang tajam semakin gelap seolah menyimpan amarah yang besar. “Niccolo!” Tak bergeming. Niccolo masih diam dan berusaha mencekal kedua tangan Siena yang ingin memberontak. Hingga akhirnya Siena kembali melakukan gerakan impulsif yang menamparnya. Suasana hening. Hanya terdengar deru napas mereka yang saling memburu. Niccolo mematung seolah kesadarannya perlahan menguasai. Ia bangkit berdiri. Dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apap
Selang beberapa jam, jet pribadi itu mendarat di bandara. Siena berdiri di belakang Niccolo sambil mengikuti setiap langkahnya. Namun, ia tertinggal di belakang karena kakinya yang tak cukup panjang. “Hei, tunggu!” Siena berteriak. Ia berlari. Mencoba mengejar Niccolo. Lalu berusaha mensejajarkan langkahnya saat berhasil berada di sebelahnya. “Kapan kau akan mengantarku ke Monaco?” tanya Siena. “Siapa yang mengatakan itu?” Niccolo balik bertanya lalu menyeringai. “Apa?!” Niccolo mengabaikan keterkejutan Siena. Ia memilih masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di sana. Sedangkan Siena masih bertahan dengan keterkejutannya. “Nona.” Siena tertegun. Ia menatap sinis pada Pietro. “Apa?!” sahutnya. “Kita akan segera berangkat. Sebaiknya kau juga masuk ke dalam mobil.” Siena memutar bola matanya. Langkahnya diiringi desahan napas kasar. Ia menyusul masuk ke dalam mobil yang sama dengan Niccolo. “Kau membawaku ke sini. Seharusnya kau juga bertanggungjawab untuk mengant