Kesadaran Siena kembali pulih saat dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan Niccolo berada di atasnya. Masih bersama ciuman yang bersarang di leher jenjangnya, Siena berusaha mengendalikan diri.
Ia tidak ingat bagaimana mereka sudah berada di posisi itu. Setiap ciuman itu seolah menghipnotisnya. Kini tangan Niccolo sudah tidak mencengkram tangannya sehingga Siena berusaha untuk mendorongnya menjauh. “Niccolo. Apa yang kau lakukan?” sentak Siena. Bulu kuduk Siena meremang saat matanya bertatapan langsung dengan pria itu. Sorot matanya yang tajam semakin gelap seolah menyimpan amarah yang besar. “Niccolo!” Tak bergeming. Niccolo masih diam dan berusaha mencekal kedua tangan Siena yang ingin memberontak. Hingga akhirnya Siena kembali melakukan gerakan impulsif yang menamparnya. Suasana hening. Hanya terdengar deru napas mereka yang saling memburu. Niccolo mematung seolah kesadarannya perlahan menguasai. Ia bangkit berdiri. Dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun pada Siena yang masih diselimuti perasaan takut dan cemas yang melebur menjadi satu. Siena bangkit duduk. Napasnya terengah-engah. Saat suara langkah kaki Niccolo menghilang ia bergegas menghampiri pintu dan menutupnya rapat-rapat. Langkahnya kembali. Ia duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap kasar wajah dan lehernya seolah ingin menghapus bekasnya. “Apa yang harus aku lakukan besok? Bagaimana kalau dia marah karena aku menamparnya? Bagaimana jika aku tidak bisa pulang?” Siena bergumam seorang diri membuat kegelisahan semakin menyelimuti. *** Siena menggeliat saat suara ketukan pintu itu terdengar kasar seolah mengganggu tidurnya. Masih dengan kantuk yang terasa memberatkan mata ia bangkit dari tempat tidur. Matanya terpejam membuatnya menabrak meja nakas hingga menggoyangkan vas lampu. “Astaga!” Keterkejutannya membuat ia tersadar. Tetapi matanya langsung tertuju pada dinding pintu. Ketukan itu terdengar seperti hendak mendobrak pintu. “Ya ya ya!” teriak Siena merasa kesal karena tidur nyenyaknya terganggu. Siena membuka pintu. Ia melongok keluar. Pietro sudah berdiri di depan pintu. Siena mendengus kesal lalu menatap sinis ke arahnya. “Ada apa? Ini masih pagi.” “Bersiaplah. Kita akan pulang,” jawab Pietro. “Apa? Sekarang?” “Dia memberimu waktu lima menit. Cepatlah.” “Ouh. Baiklah. Tunggu!” Siena menutup pintunya cukup keras hingga membuat Pietro terlonjak. Ia berlari ke arah kamar mandi untuk membasuh muka untuk menghilangkan sisa-sisa kantuk yang bergelayut di matanya. Kini dirinya sudah berada di koridor hotel. Siena tak berhenti tersenyum. Ia bahkan mengayunkan kedua tangan di sepanjang langkahnya. Sejenak kenangan kemarin malam menghilang dari ingatannya. Tiba-tiba ia berhenti lalu memperhatikan sekeliling untuk terakhir kalinya. Matanya terpejam merasakan suara deru ombak dari kejauhan. Mencium aroma laut yang terbawa oleh angin. Waktu di jam tangannya menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap menampakkan bulan sabit yang entah mengapa terlihat indah pagi itu bagi Siena. Pietro yang menyadari suara langkah Siena menghilang pun menoleh. Lalu menghela napas panjang melihat tingkahnya. “Nona!” panggilnya nyaris berteriak. Sepasang kelopak mata itu terbuka menampakkan iris mata berwarna coklat terang, warna yang kontras dengan Niccolo. Siena melanjutkan langkahnya. Kali ini ia sedikit berlari mengejar Pietro yang berada lima meter di depan. Sesampainya di depan tiga mobil yang berjejer Pietro membukakan pintu. Namun Siena berdiri sejenak dan mematung saat menyadari Niccolo sudah berada di sana. Duduk dalam posisi yang nyaman dan tenang. “Silakan masuk, Nona.” Siena menatap penuh asa pada Pietro. Ia ingin menolak duduk di samping Niccolo. Seolah Pietro tidak menyadari maksud tatapan itu, ia menarik pundak Siena, memaksanya untuk segera masuk ke dalam mobil. *** Tiga jam kemudian beberapa mobil hitam itu melintasi jalanan kota Palermo. Suasana hening menyelimuti. Tetapi tidak berlangsung lama. Berubah dalam sekejap saat sepasang mata yang sudah terpejam sejak di dalam jet pribadi, kini terbuka lebar. “Kita ada di mana? Ini bukan di Monaco!” Suaranya cukup keras, membuat Niccolo yang sempat terlelap, kini ikut membuka matanya. Siena menatap gusar jalanan yang dilewati. Ia tidak bisa tenang. “Hei, kita ada di mana?!” “Bisakah kau tenang?” tanya Niccolo merasa kesal dengan tingkah Siena. “Bagaimana aku bisa tenang kalau kita tidak sedang di Monaco? Kau mengatakan akan mengantarku pulang. Ini bukan di Monaco. Apa kau sedang membodohiku?” Siena membalas tatapan Niccolo. Suaranya masih lantang tak peduli akan kantuk dan lelah yang dirasakan Niccolo. Niccolo mendesah kasar. Ia membuang muka merasa enggan untuk meladeni Siena saat ini. Terlebih ada sesuatu yang mendorong dari dalam dirinya setiap kali menatap wajah wanita itu. “Kau berjanji akan mengantarku pulang. Tapi kenapa sekarang kau mengingkarinya? Aku ingin kita ke Monaco sekarang!” Niccolo memejamkan matanya berusaha menahan emosi yang muncul akibat teriakan wanita itu. “Aku ingin pulang! Apa kau tidak mendengar—” Suara Siena menghilang saat Niccolo mencengkram rahangnya. Mata mereka beradu pandang penuh emosi. “Seharusnya aku menembakmu saat itu,” desis Niccolo. “Diamlah, atau aku akan melakukannya sekarang.” Sorot matanya tajam menyiratkan ancaman yang besar. Menarik Siena ke dalam ketakutan. Ia melepas cengkramannya dengan kasar. Membuat Siena hanya bisa diam beringsut karena takut. Siena memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan air mata yang mulai menetes. Mengusap pipinya kasar seolah tak ingin diketahui olehnya. Mobil itu memasuki sebuah halaman mansion mewah yang cukup luas. Mobil itu berhenti membuat Niccolo beranjak keluar lalu menarik Siena. “Lepaskan!” sentak Siena. Ia mencoba menarik tangannya dari cengkraman kuat pria itu. Siena mengedarkan pandangan. Memperhatikan sekeliling bangunan mansion mewah bergaya klasik Eropa dengan sentuhan arsitektur Perancis. Mansion itu didominasi warna putih gading dengan atap hitam bertekstur slate. Niccolo mengabaikan penolakannya. Ia justru menarik tangannya cukup kasar. Memberikan perintah untuk mengikuti langkahnya. “Jika kau tidak mengantarku ke Monaco, itu artinya kau menculikku! Orangtuaku akan melaporkanmu ke polisi. Maxime akan menghajarmu!” Lagi dan lagi Niccolo mengabaikan Siena yang terus meracau sepanjang langkah mereka. Kini mereka sudah berada di dalam mansion. Siena terdiam. Matanya menatap takjub isi di dalamnya. Setiap detail ruangannya menyongsong gaya klasik. Warna putih gading dan hitam masih mendominasi setiap sudut ruangan. Mereka menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sesekali Siena hampir terpeleset karena tarikan Niccolo yang berjalan cepat. “Lepaskan! Kau bisa membuat tanganku patah, brengsek!” Niccolo membuka salah satu pintu kamar yang ada di Koridor itu. Ia masuk ke dalam bersama Siena. Kini mereka berada di dalam kamar. Niccolo melepas cengkraman tangannya. Membuat Siena langsung mengelus pergelangan tangannya yang membekas merah gelap. “Sejak awal memang ini niatmu bukan? Kau memang sengaja menculikku dengan dalih ingin membantuku. Oh, apa sebelumnya memang rencanamu? Kau sengaja menembak orang itu untuk menjebakku?” Saat Niccolo hendak membalas ucapan Siena Pietro datang. Pria itu menghampirinya. Lalu membisikkan sesuatu. “Ada yang datang. Dia ingin bertemu denganmu, Maxime,” bisiknya. Melirik ke arah Siena saat menyebutkan nama. Niccolo mengibaskan tangannya seolah memberikan isyarat pada Pietro untuk pergi. Seiring langkah Pietro yang menjauh Niccolo melepaskan dasi yang melingkar di lehernya. Ia melangkah maju membuat Siena reflek berjalan mundur. “Aku harus membuatmu bersikap tenang, hanya sebentar,” ucap Niccolo. Tanpa memberikan waktu untuk Siena mencerna ucapannya, ia menarik Siena dan membalikkan badannya. Lalu mengikat kedua tangan Siena di belakang punggungnya. Gerakannya begitu cepat membuat Siena terkejut. “Apa yang kau lakukan? Lepaskan!” teriak Siena kesetanan. Ia berusaha mengendurkan ikatan dasi tersebut. Namun usahanya tak membuahkan hasil. Tubuhnya justru terjatuh di atas kasur yang empuk karena didorong oleh Niccolo. “Hei! Jangan!” pintanya seraya menggelengkan kepala saat Niccolo mengeluarkan isolasi dari dalam laci. “Aku harus mengajarimu caranya bersikap tenang,” bisik Niccolo, lalu memasangkannya di mulut Siena. Usai membungkam mulut Siena, Niccolo pergi begitu saja. Meninggalkan wanita itu yang masih berusaha mengeluarkan suara maupun melepas ikatan di tangannya. Niccolo melangkah pelan menuruni anak tangga membuat perhatian seseorang teralihkan. Sorot matanya tertuju ke arah Niccolo yang menghampirinya. Dan berhenti tepat di depannya. “Selamat siang, Don Niccolo,” sapa Maxime. Mengembangkan senyum ramah di wajahnya. “Ada perlu apa kau ingin menemuiku?” tanya Niccolo. Ia duduk di sofa kulit berwarna krem. Lalu memberikan isyarat padanya untuk duduk. Maxime pun duduk di tempat yang berseberangan. “Aku ingin meminta bantuanmu. Siena, dia menghilang di bandara tepat sebelum anak buahmu membunuhnya. Aku ingin kau mencari keberadaannya. Lalu membunuhnya, seperti yang aku inginkan dari awal. ”Siena mengikuti langkah Niccolò. Mereka memasuki pesawat. Seketika nuansa putih yang menguasai kabin terlihat mencolok di mata Siena, sangat kontras dengan warna pesawat yang gelap. Mereka mulai memilih tempat duduk. Niccolò duduk di salah satu kursi, begitupun dengan Pietro dan yang lain. Namun Siena masih berjalan, lebih dalam memasuki kabin hingga menemukan tempat yang membuatnya merasa nyaman. Siena duduk di kursi panjang. Setelah mendengar suara instruksi kalau pesawat take off, ia mengubah posisinya. Dirinya berbaring karena ingin melanjutkan tidur. Sedangkan dari arah lain, Niccolò tampak menyadari itu. Ia pun bangkit dari tempatnya. Langkahnya menghampiri Siena. “Kalau kau ingin tidur, masuklah ke dalam kamar. Jangan di sini,” ucapnya sambil melirik ke arah anak buahnya sekilas. Siena membuka matanya. Ia duduk dengan lesu sambil menguap. “Di sini juga tidak masalah,” ujarnya lalu menyandarkan kepala. Niccolò menghela napas berat. Ia meraih tangan Siena lalu menariknya t
Niccolò terbangun saat mendengar ponsel di atas nakas berdengung. Ia meraih benda itu, menengok jam yang tertera di layar. Waktu menunjukkan pukul enam pagi. Ternyata dirinya hanya tidur selama dua jam. Pandangan Niccolò teralihkan. Sorot matanya tertuju ke arah wanita yang tertidur di sampingnya. Napas masih tenang, menandakan jika tidurnya sangat lelap. Kemarin malam usai perbincangan panjang mereka, Niccolò memang membiarkan Siena tidur di kamarnya. Hanya tidur. Tak ada pelukan, ciuman maupun hal-hal yang lebih jauh. Ia hanya membiarkan Siena tertidur dengan tenang. Kaki Niccolò menapak di atas lantai. Ia bangkit dari tempat tidur lalu pergi ke kamar mandi. Sekedar mencuci wajah untuk menyadarkannya dari rasa kantuk yang masih melekat. Perhatian Niccolò teralihkan saat mendengar suara ketukan dari arah pintu kamar. Ia pun menghampiri suara tersebut. Lalu membuka pintunya. “Semuanya sudah siap, Don. Pietro juga sudah menyusul di depan.” “Ya.” Niccolò menjawabnya dengan singka
Malam itu dingin. Tapi bukan karena suhu udara, melainkan sesuatu dalam diri Siena yang membeku. Siena terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi pelipis, dan suara pria asing seolah masih memenuhi pendengarannya. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah ruangan kayu tua yang terkunci rapat, tanpa celah. Lalu dari luar, ia mendengar suara beberapa orang berbicara. Ia tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi mengerti maksud dari percakapan mereka. Penculikan, penjualan orang, pengiriman barang dan yang paling mengerikan adalah pengambilan organ dalam dengan kondisi korban masih hidup. Mimpinya mengulang kenangan masa lalu yang pernah ia alami. Pandangan Siena menatap sekeliling. Seharusnya ia merasa lega karena itu hanya mimpi, dan dirinya sudah kembali ke rumah. Seharusnya ia merasa aman ada di sini. Tapi, kenapa rasa takut masih membungkus hati dan pikirannya rapat-rapat? Siena bangkit dari tempat tidur. Langkahnya cepat, menuju pintu kamar. Saat ia menuruni ana
Di tengah-tengah emosi yang berkecamuk di dalam diri Siena, ponsel di dalam tasnya berbunyi. Suaranya nyaring, memecah keheningan yang sempat membalut mereka. Siena tertegun sedang Niccolò hanya melirik ke arah tas yang ada di atas pangkuan. Sebelah tangan Siena merogoh ke dalam, mengeluarkan benda pipih yang masih berdering. Matanya tertegun saat menatap nama Maxime tertera di layar yang menyala. “Maxime…” gumamnya penuh ketakutan, lalu menoleh ke arah Niccolò. “Dia menelpon. Apa yang harus aku lakukan? Sebelumnya dia menyuruhku untuk menemuinya. Mungkin… dia masih menungguku.” “Angkat saja teleponnya. Katakan padanya kalau kau tidak bisa menemuinya sekarang. Dan suruh dia untuk datang ke restoran La Cripta Bianca di Palermo.” “Apa?!” Siena terkejut. “Bukankah kau melarangku untuk menemui mereka? Kenapa berubah pikiran?” “Kita akan menemuinya bersama-sama, kau tidak perlu khawatir.” “Tapi…” Siena menggigit bibirnya. Ia merasa frustasi. Rasa takutnya tidak hilang begitu saj
Suara ketukan pintu mengalihkan lamunan Niccolò. Langkahnya tertuju ke arah pintu, lalu membukanya. Ia melihat bayangan wanita yang membuat pikirannya berantakan. Hening. Keduanya saling menatap intens. Seolah menyimpan sesuatu yang mengganggu benak masing-masing. Siena tampak mematung kaku. Untuk pertama kalinya, pria itu berhasil menghancurkan irama jantungnya. Kaos hitam yang pas di badan. Dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya masih acak-acakan dan basah, sebuah tanda kalau pria itu baru saja mandi. Tidak ada sapaan lembut atau senyuman ramah di antara mereka. Niccolò membuka penuh pintunya dan memberikan jalan, seolah membiarkannya masuk. Sedangkan Siena langsung menundukkan kepala, tak berani menatap wajah yang sekarang memberikan rasa berbeda. Mereka duduk di sofa berseberangan. Niccolò mulai menuangkan Red Wine ke dalam gelas kristal yang kosong. Lalu mendorongnya ke arah Siena. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Niccolò sambil menggenggam gelas miliknya. Sorot
Seorang pria sedang duduk diam di dalam mobil yang melaju pelan di jalan batu. Matanya tak lepas dari pemandangan malam kota Roma. Suasana kota yang ramai dan penuh, tidak mampu mengisi kekosongan di dadanya. Ia pulang dibalut rasa kecewa. Ia pulang tanpa pamit. Sepertinya ini adalah akhir pertemuannya dengan Siena. Ia harus menelan kekecewaan itu untuk kedua kalinya. Mobil itu berhenti di sebuah hotel di tengah kota. Niccolò sengaja menginap satu malam untuk menunggu hasil rekam medis Siena di masa lalu. Setelah menyelesaikan tugas terakhirnya untuk Siena mendapatkan warisan, ia akan kembali ke Palermo. Sendirian tanpa Siena. Selang beberapa saat, akhirnya Niccolò sudah berada di dalam kamar hotel. Seiring langkahnya, ia melepaskan jas lalu melemparnya ke arah sofa. Jari tangannya mulai membuka kancing kemeja hitam itu lalu melepaskannya. Dalam sekejap, terlihat tubuh atletis yang mampu menghipnotis setiap wanita. Sebuah tato salib kayu tua yang dibalut ular memenuhi punggungnya