Home / Romansa / Pesona Gelap Tuan Mafia / Ch—5 Niat Yang Tak Terduga

Share

Ch—5 Niat Yang Tak Terduga

Author: My_passion94
last update Last Updated: 2025-05-23 21:28:23

Kesadaran Siena kembali pulih saat dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan Niccolo berada di atasnya. Masih bersama ciuman yang bersarang di leher jenjangnya, Siena berusaha mengendalikan diri.

Ia tidak ingat bagaimana mereka sudah berada di posisi itu. Setiap ciuman itu seolah menghipnotisnya.

Kini tangan Niccolo sudah tidak mencengkram tangannya sehingga Siena berusaha untuk mendorongnya menjauh.

“Niccolo. Apa yang kau lakukan?” sentak Siena.

Bulu kuduk Siena meremang saat matanya bertatapan langsung dengan pria itu. Sorot matanya yang tajam semakin gelap seolah menyimpan amarah yang besar.

“Niccolo!”

Tak bergeming. Niccolo masih diam dan berusaha mencekal kedua tangan Siena yang ingin memberontak. Hingga akhirnya Siena kembali melakukan gerakan impulsif yang menamparnya.

Suasana hening. Hanya terdengar deru napas mereka yang saling memburu. Niccolo mematung seolah kesadarannya perlahan menguasai.

Ia bangkit berdiri. Dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun pada Siena yang masih diselimuti perasaan takut dan cemas yang melebur menjadi satu.

Siena bangkit duduk. Napasnya terengah-engah. Saat suara langkah kaki Niccolo menghilang ia bergegas menghampiri pintu dan menutupnya rapat-rapat.

Langkahnya kembali. Ia duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap kasar wajah dan lehernya seolah ingin menghapus bekasnya.

“Apa yang harus aku lakukan besok? Bagaimana kalau dia marah karena aku menamparnya? Bagaimana jika aku tidak bisa pulang?”

Siena bergumam seorang diri membuat kegelisahan semakin menyelimuti.

***

Siena menggeliat saat suara ketukan pintu itu terdengar kasar seolah mengganggu tidurnya. Masih dengan kantuk yang terasa memberatkan mata ia bangkit dari tempat tidur. Matanya terpejam membuatnya menabrak meja nakas hingga menggoyangkan vas lampu.

“Astaga!”

Keterkejutannya membuat ia tersadar. Tetapi matanya langsung tertuju pada dinding pintu. Ketukan itu terdengar seperti hendak mendobrak pintu.

“Ya ya ya!” teriak Siena merasa kesal karena tidur nyenyaknya terganggu.

Siena membuka pintu. Ia melongok keluar. Pietro sudah berdiri di depan pintu. Siena mendengus kesal lalu menatap sinis ke arahnya.

“Ada apa? Ini masih pagi.”

“Bersiaplah. Kita akan pulang,” jawab Pietro.

“Apa? Sekarang?”

“Dia memberimu waktu lima menit. Cepatlah.”

“Ouh. Baiklah. Tunggu!”

Siena menutup pintunya cukup keras hingga membuat Pietro terlonjak. Ia berlari ke arah kamar mandi untuk membasuh muka untuk menghilangkan sisa-sisa kantuk yang bergelayut di matanya.

Kini dirinya sudah berada di koridor hotel. Siena tak berhenti tersenyum. Ia bahkan mengayunkan kedua tangan di sepanjang langkahnya. Sejenak kenangan kemarin malam menghilang dari ingatannya.

Tiba-tiba ia berhenti lalu memperhatikan sekeliling untuk terakhir kalinya. Matanya terpejam merasakan suara deru ombak dari kejauhan. Mencium aroma laut yang terbawa oleh angin.

Waktu di jam tangannya menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap menampakkan bulan sabit yang entah mengapa terlihat indah pagi itu bagi Siena.

Pietro yang menyadari suara langkah Siena menghilang pun menoleh. Lalu menghela napas panjang melihat tingkahnya.

“Nona!” panggilnya nyaris berteriak.

Sepasang kelopak mata itu terbuka menampakkan iris mata berwarna coklat terang, warna yang kontras dengan Niccolo.

Siena melanjutkan langkahnya. Kali ini ia sedikit berlari mengejar Pietro yang berada lima meter di depan.

Sesampainya di depan tiga mobil yang berjejer Pietro membukakan pintu. Namun Siena berdiri sejenak dan mematung saat menyadari Niccolo sudah berada di sana. Duduk dalam posisi yang nyaman dan tenang.

“Silakan masuk, Nona.”

Siena menatap penuh asa pada Pietro. Ia ingin menolak duduk di samping Niccolo.

Seolah Pietro tidak menyadari maksud tatapan itu, ia menarik pundak Siena, memaksanya untuk segera masuk ke dalam mobil.

***

Tiga jam kemudian beberapa mobil hitam itu melintasi jalanan kota Palermo. Suasana hening menyelimuti. Tetapi tidak berlangsung lama. Berubah dalam sekejap saat sepasang mata yang sudah terpejam sejak di dalam jet pribadi, kini terbuka lebar.

“Kita ada di mana? Ini bukan di Monaco!” Suaranya cukup keras, membuat Niccolo yang sempat terlelap, kini ikut membuka matanya.

Siena menatap gusar jalanan yang dilewati. Ia tidak bisa tenang.

“Hei, kita ada di mana?!”

“Bisakah kau tenang?” tanya Niccolo merasa kesal dengan tingkah Siena.

“Bagaimana aku bisa tenang kalau kita tidak sedang di Monaco? Kau mengatakan akan mengantarku pulang. Ini bukan di Monaco. Apa kau sedang membodohiku?” Siena membalas tatapan Niccolo. Suaranya masih lantang tak peduli akan kantuk dan lelah yang dirasakan Niccolo.

Niccolo mendesah kasar. Ia membuang muka merasa enggan untuk meladeni Siena saat ini. Terlebih ada sesuatu yang mendorong dari dalam dirinya setiap kali menatap wajah wanita itu.

“Kau berjanji akan mengantarku pulang. Tapi kenapa sekarang kau mengingkarinya? Aku ingin kita ke Monaco sekarang!”

Niccolo memejamkan matanya berusaha menahan emosi yang muncul akibat teriakan wanita itu.

“Aku ingin pulang! Apa kau tidak mendengar—”

Suara Siena menghilang saat Niccolo mencengkram rahangnya. Mata mereka beradu pandang penuh emosi.

“Seharusnya aku menembakmu saat itu,” desis Niccolo. “Diamlah, atau aku akan melakukannya sekarang.”

Sorot matanya tajam menyiratkan ancaman yang besar. Menarik Siena ke dalam ketakutan. Ia melepas cengkramannya dengan kasar. Membuat Siena hanya bisa diam beringsut karena takut.

Siena memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan air mata yang mulai menetes. Mengusap pipinya kasar seolah tak ingin diketahui olehnya.

Mobil itu memasuki sebuah halaman mansion mewah yang cukup luas. Mobil itu berhenti membuat Niccolo beranjak keluar lalu menarik Siena.

“Lepaskan!” sentak Siena. Ia mencoba menarik tangannya dari cengkraman kuat pria itu.

Siena mengedarkan pandangan. Memperhatikan sekeliling bangunan mansion mewah bergaya klasik Eropa dengan sentuhan arsitektur Perancis. Mansion itu didominasi warna putih gading dengan atap hitam bertekstur slate.

Niccolo mengabaikan penolakannya. Ia justru menarik tangannya cukup kasar. Memberikan perintah untuk mengikuti langkahnya.

“Jika kau tidak mengantarku ke Monaco, itu artinya kau menculikku! Orangtuaku akan melaporkanmu ke polisi. Maxime akan menghajarmu!”

Lagi dan lagi Niccolo mengabaikan Siena yang terus meracau sepanjang langkah mereka.

Kini mereka sudah berada di dalam mansion. Siena terdiam. Matanya menatap takjub isi di dalamnya. Setiap detail ruangannya menyongsong gaya klasik. Warna putih gading dan hitam masih mendominasi setiap sudut ruangan.

Mereka menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sesekali Siena hampir terpeleset karena tarikan Niccolo yang berjalan cepat.

“Lepaskan! Kau bisa membuat tanganku patah, brengsek!”

Niccolo membuka salah satu pintu kamar yang ada di Koridor itu. Ia masuk ke dalam bersama Siena.

Kini mereka berada di dalam kamar. Niccolo melepas cengkraman tangannya. Membuat Siena langsung mengelus pergelangan tangannya yang membekas merah gelap.

“Sejak awal memang ini niatmu bukan? Kau memang sengaja menculikku dengan dalih ingin membantuku. Oh, apa sebelumnya memang rencanamu? Kau sengaja menembak orang itu untuk menjebakku?”

Saat Niccolo hendak membalas ucapan Siena Pietro datang. Pria itu menghampirinya. Lalu membisikkan sesuatu.

“Ada yang datang. Dia ingin bertemu denganmu, Maxime,” bisiknya. Melirik ke arah Siena saat menyebutkan nama.

Niccolo mengibaskan tangannya seolah memberikan isyarat pada Pietro untuk pergi.

Seiring langkah Pietro yang menjauh Niccolo melepaskan dasi yang melingkar di lehernya. Ia melangkah maju membuat Siena reflek berjalan mundur.

“Aku harus membuatmu bersikap tenang, hanya sebentar,” ucap Niccolo.

Tanpa memberikan waktu untuk Siena mencerna ucapannya, ia menarik Siena dan membalikkan badannya. Lalu mengikat kedua tangan Siena di belakang punggungnya. Gerakannya begitu cepat membuat Siena terkejut.

“Apa yang kau lakukan? Lepaskan!” teriak Siena kesetanan. Ia berusaha mengendurkan ikatan dasi tersebut.

Namun usahanya tak membuahkan hasil. Tubuhnya justru terjatuh di atas kasur yang empuk karena didorong oleh Niccolo.

“Hei! Jangan!” pintanya seraya menggelengkan kepala saat Niccolo mengeluarkan isolasi dari dalam laci.

“Aku harus mengajarimu caranya bersikap tenang,” bisik Niccolo, lalu memasangkannya di mulut Siena.

Usai membungkam mulut Siena, Niccolo pergi begitu saja. Meninggalkan wanita itu yang masih berusaha mengeluarkan suara maupun melepas ikatan di tangannya.

Niccolo melangkah pelan menuruni anak tangga membuat perhatian seseorang teralihkan. Sorot matanya tertuju ke arah Niccolo yang menghampirinya. Dan berhenti tepat di depannya.

“Selamat siang, Don Niccolo,” sapa Maxime. Mengembangkan senyum ramah di wajahnya.

“Ada perlu apa kau ingin menemuiku?” tanya Niccolo. Ia duduk di sofa kulit berwarna krem. Lalu memberikan isyarat padanya untuk duduk.

Maxime pun duduk di tempat yang berseberangan. “Aku ingin meminta bantuanmu. Siena, dia menghilang di bandara tepat sebelum anak buahmu membunuhnya. Aku ingin kau mencari keberadaannya. Lalu membunuhnya, seperti yang aku inginkan dari awal. ”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Gelap Tuan Mafia   Ch-29 Pergi Untuk Kembali

    Suara langkah kaki menggema di sepanjang koridor putih lantai lima di rumah sakit Ospedale Civile. Lampu-lampu LED di langit-langit memantulkan cahaya dingin di lantai mengkilap. Aroma antiseptik lembut bercampur lavender menyelimuti udara, menusuk tapi tenang. Pintu ruangan perawatan terbuka tiba-tiba. Lucia berjalan cepat. Langkahnya tertuju ke arah Siena yang sedang duduk di samping ranjang Elio. Sedangkan Siena hanya menoleh sekilas seolah mengabaikan kedatangannya. “Siena!” gertak Lucia. Ia berdiri tepat di belakangnya. Siena mengabaikan panggilan Lucia. “Kenapa kau tidak memberitahuku lebih dulu saat ingin membawa Elio ke rumah sakit?” Siena tak berdiri. Ia masih mematung di tempatnya. Hingga akhirnya tatapan dingin itu tertuju ke arah Lucia. “Dia kejang. Aku tidak butuh formalitas mu hanya untuk menolongnya,” jawab Siena dengan suara datar. Lucia mendengus kesal. Matanya menyipit, “Aku bertanggungjawab atas anak-anak di panti asuhan. Kau tidak bisa mengambil keputusan se

  • Pesona Gelap Tuan Mafia   Ch-28 Lucia

    Malam semakin larut. Namun tak membuat wanita itu merasa kantuk sedikit pun. Tubuhnya bergerak gusar di atas ranjang tua berderit. Ia menoleh ke arah samping—jauh ke sudut ruangan. Ranjang di sana masih kosong. Ruangan itu cukup luas dan terasa menyesakkan. Meskipun Lucia belum masuk, tetapi jika harus berada satu kamar bersamanya, Siena tidak bisa tidur. Akhirnya ia turun dari ranjang. Langkahnya mengalun pelan memecah kesunyian di lorong. Suasana panti asuhan sudah benar-benar sunyi. Pintu-pintu ruangan pun tertutup rapat, kecuali satu kamar yang ada di ujung lorong sebelah kanan. Dan Siena tahu di sana ada Lucia sedang menemani seorang anak laki-laki yang sakit. Siena memilih lorong yang lain seolah tak ingin berpapasan dengan Lucia. Ia mulai menyusuri lorong hingga keluar dari area panti asuhan. Sampai akhirnya langkahnya dihentikan oleh suara seseorang yang berada jauh di depan. “Dia sudah tidur,” ucap Lucia sambil kaki kirinya menendang-nendang kecil. “Nic, kapan kau kembal

  • Pesona Gelap Tuan Mafia   Ch-27 Ancaman Di Beirut, Luka Di Calabria

    Konvoi mobil berhenti di depan bangunan gedung yang berdiri kokoh di tengah kota Beirut. Niccolò keluar dari mobil saat Pietro membuka pintunya, disusul Bosco yang keluar dari pintu lain. Kemudian Giuseppe terlihat keluar dari mobil yang berbeda. Ketiga memposisikan diri berada di belakang pemimpin mereka—Niccolò.Anak buah Lebanon itu mempersilakan Niccolò dan rombongan untuk masuk ke dalam gedung. Menuntun mereka menuju lantai paling atas, tempat pemimpin sindikat Lebanon yang dikenal dengan nama Khaled Al-Hazem. Sebuah pintu lift terbuka di lantai paling atas gedung tersebut. Niccolò dan lainnya melangkah keluar, mengikuti penuntun arah menuju sebuah pintu kayu berukir yang berada di sudut koridor. Lengkap dengan beberapa pengawal bersenjata yang berjaga di sepanjang koridor. “Bukankah ini terlalu berlebihan? Seperti ingin mengepung kita,” bisik Bosco pada Niccolò. Matanya tak berhenti mengawasi. Sedang Pietro dan Giuseppe yang berada di belakang menatap waspada. Niccolò tak men

  • Pesona Gelap Tuan Mafia   Ch-26 Tanpa Pamit

    Siena tertegun. Tetapi pandangannya langsung berpaling seolah tertangkap basah oleh Pastor Gabriele. Sedang sang Pastor hanya tersenyum lembut diiringi helaan napas panjang tak menghakimi. “Maafkan aku Padre,” gumam Siena. Tatapannya menunduk, “Aku... Belum ada kepastian di antara hubungan kami. Tapi Niccolò menunjukkan perasaannya padaku, jadi… dadaku terasa sesak setiap kali melihat kedekatan Niccolò dan Lucia.” Pastor Gabriele menundukkan tatapannya sekilas, sorot matanya tajam tetapi tetap lembut. “Ah… jadi itu yang mengusik hatimu.”“Jangan salah paham.” Siena menggoyangkan tangannya sembari menatap cepat ke arah sang Pastor. “Aku tidak—aku hanya tidak suka melihatnya begitu dekat dengan Lucia. Mereka terlihat seperti…” Pastor Gabriele mengangkat tangannya seolah memotong ucapan Siena. “Lucia dan Niccolò tidak memiliki hubungan seperti yang kau takutkan, Siena.” Siena terdiam. Ada sedikit rasa lega yang menyelinap masuk ke dalam hatinya saat mendengar ucapannya. “Tidak?” Ken

  • Pesona Gelap Tuan Mafia   Ch-25 Api Kecil

    Setengah jam kemudian Siena keluar dari kamar mandi. Ia memang sengaja lebih lama di sana, berharap Niccolò akan mencarinya. Tetapi sepertinya pria itu sangat menikmati waktunya bersama Lucia. Langkah Siena terdengar menghentak lantai seolah menyalurkan api cemburu yang belum padam. Tetapi berubah pelan saat tidak melihat Niccolò dan yang lain. Ia menoleh sekeliling dengan langkah yang masih menyusuri koridor. Sampai akhirnya ia berhenti, menatap ke dalam ruangan. Di sana ada Niccolò dan Lucia. Lalu ada anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun sedang berbaring di atas tempat tidur. Ia tidak melangkah masuk, lebih senang mengamati dari luar. “Jam tiga pagi dia bangun ketakutan. Untung saja aku bisa menenangkannya. Tapi, suhu badannya belum turun,” ujar Lucia sambil mengelus wajah anak laki-laki tersebut. “Mungkin saja dia akan mengalami trauma. Telepon Angelo untuk datang ke sini,” perintah Niccolò. Lucia menganggukkan kepala. “Ya, nanti aku akan menghubungi dia.” Lalu menatap Nicc

  • Pesona Gelap Tuan Mafia   Ch-24 Wanita di Pohon Oak

    Setengah jam berlalu. Ketiga mobil itu terparkir di halaman gereja tua Cattolica di Stilo. Keheningan menyelimuti sekitar gereja, menandakan jika misa pagi sudah dimulai. Niccolò, Siena dan yang lain turun dari dalam mobil. Pandangan Siena seketika mengabsen halaman gereja yang tampak sunyi. Hanya ada lima mobil yang terparkir di sana seolah memberitahu tidak banyak jemaat yang ikut misa pagi di gereja tersebut. “Ayo.” Perhatian Siena teralihkan saat merasakan pelukan di pinggang. Kepalanya mengangguk lalu mengikuti langkah Niccolò yang menuntun menuju pintu masuk gereja yang terbuka lebar. Benar saja dugaannya, tak banyak jemaat yang datang. Hanya ada tujuh jemaat yang mengisi kursi-kursi kayu yang tampak sudah rapuh. Niccolò mengajak Siena untuk berdiri di depan kursi yang kosong saat para jemaat mulai berdiri. Sang Imam masih terlihat berada di altar dengan kepala menunduk saat para biarawati menyanyikan lagu penutup Salve Regina. Suasana khidmat menyelimuti seluruh jemaat term

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status