Niccolo Morelli—Don Italia, dikenal dingin, kejam dan arogan. Harus merasakan patah hati pada cinta pertamanya. Namun di saat bersamaan, ada wanita yang menarik hatinya. Mengembalikan sikap manusiawi yang sudah lama menghilang dari dalam dirinya. Siena Sartori—gadis Italia yang besar di Monaco. Ceria, lugu dan ceroboh. Ia sangat menyayangi dan membanggakan keluarganya. Tanpa ia tahu, mereka menyimpan rahasia besar dan menginginkan kematiannya. Kisah cinta mereka penuh dengan romantis, ancaman dan tragis. Akankah Siena mampu bertahan disaat badai besar menghantam cinta dan kepercayaannya?
Lihat lebih banyak‘Maaf aku tidak bisa datang. Mungkin lain waktu kita makan malam bersama.’
Pria itu termangu. Sorot matanya tajam menunjukkan kekecewaan yang begitu dalam di sana. Sebuah pesan singkat yang baru saja ia terima membuktikan kalau perasaannya masih belum terbalas. Niccolo Morelli, seorang Don mafia yang memasuki usia 30 tahun itu masih berusaha untuk menarik hati seorang wanita yang sejak lama ia kagumi. Namanya sudah tersohor hingga pelosok Italia bagian selatan. Tetapi hal tersebut tak cukup membuat hati sang wanita jatuh padanya. Matanya menatap enggan pada meja yang sudah dipenuhi oleh makanan mahal. Ia mengabaikan pesan itu dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana sebelum pergi meninggalkan tempat tersebut. Pria lain yang berdiri di ujung tangga itu mendekat. Pietro Falsetti, merupakan orang kepercayaan Niccolo. Usianya 2 tahun lebih muda dari Niccolo. “Kenapa? Apa dia tidak datang?” Ini bukan kali pertama wanita itu menolak secara tiba-tiba. “Sepertinya cukup untuk hari ini,” sahut Niccolo dengan suara pelan. “Bosco menelpon,” Pietro memberikan jeda. Ragu untuk mengatakannya. “Ada masalah dengan pengiriman kokain.” Bibir Niccolo terkatup rapat dengan rahang yang mengeras. Menegaskan emosi yang menggerayangi kepala. Kakinya mulai bergerak menuruni deretan anak tangga. Riuh pesta pernikahan terdengar samar tetapi tidak mengalihkan perhatian Niccolo. Dari arah lain, seorang wanita sedang sibuk melontarkan emosi melalui panggilan telepon. Tangan kanan memegang ponsel sedang tangan yang satunya menggenggam gelas berisi wine. “Baiklah, kalau begitu jangan pernah hubungi aku lagi! Aku tidak mau melihat wajah brengsekmu itu lagi!” Teriakan itu menjadi salam perpisahan. Tanpa disadari tangannya reflek melayangkan ponselnya ke sembarang arah. Sampai akhirnya… Bang! Suara itu membuat Siena terperanjat. Dirinya baru sadar telah melempar ponsel. Sontak matanya mencari sumber suara. Tatapan Siena tertuju ke arah dua pria yang mematung. Wajah salah satu dari mereka menggambarkan kemurkaan. Sedang yang lain tampak berdiri pasrah. Siena menarik langkah ke arah mereka. Dirinya berdiri tepat di depan mereka. Ia berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. “Ya Tuhan!” Ia menutup mulutnya yang ternganga. Sepasang mata coklat gelap itu membelalak. Pipi pria itu memerah seperti bekas pukulan benda tumpul. “Ma-maaf,” sesal Siena. Tangannya gugup ketika hendak menyentuh wajah pria asing di hadapannya. “Aku tidak sengaja,” ucapnya dengan dialek Italia tetapi menggunakan bahasa Perancis. Siena menggigit bibir sembari menundukkan tatapannya untuk menghindari sorot mata tajam dan mengintimidasi milik pria itu. Niccolo menangkis tangan Siena saat hendak menyentuh wajahnya cukup keras. Hingga membuat gelas berisi wine itu tumpah. Aroma tajam dari wine memenuhi indra penciuman mereka. Tak terlihat nodanya di kemeja hitam Niccolo. Berbeda dengan gaun Celestial blue milik Siena yang menampakkan noda dengan jelas. “Hei!” pekik Siena. Tatapan penyesalan itu berubah amarah. “Ya Tuhan, padahal ini gaun sewa. Apa yang harus aku lakukan?” Siena bergumam sendiri sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke arah noda wine. Niccolo mengabaikan Siena. Ia membungkuk meraih ponsel milik Siena. “Itu ponselku, kembalikan!” Siena berusaha mengambil ponsel itu tapi Niccolo mengangkat tangan. Membiarkan ia kesusahan meraihnya. “Kau harus bertanggung jawab karena benda ini sudah melukai wajahku,” ucap Niccolo. Siena mengernyit. Ia tidak pandai berbicara Italia. “Apa kau bisa bicara bahasa Perancis atau Inggris? Aku… tidak bisa bicara bahasa Italia,” ucap Siena menggunakan bahasa Inggris. Niccolo menyeringai. Berpikir kalau wanita di hadapannya sedang membodohinya. “Tapi kau berdialek seperti orang Italia.” Siena mendesah kasar karena Niccolo masih bicara menggunakan bahasa Italia. “Kembalikan ponselku, tolong.” “Kau melakukan dua kesalahan. Memukul wajahku dan menumpahkan minumanmu ke pakaianku.” Wajah Siena tampak bingung mendengar Niccolo bicara. Ini memang kesalahannya tidak pernah belajar bahasa Italia sejak berumur tujuh tahun hingga sekarang. Setelah keluarganya pindah ke Monaco, ia tidak lagi menggunakan bahasa Italia. “Aku tidak tahu apa yang kau katakan. Jika kau ingin aku mengerti ucapanmu, katakan dalam bahasa Inggris, atau kembalikan ponselku sekarang,” tegas Siena. Niccolo terdiam. Tatapan intimidasi itu masih mengarah ke Siena. Kali ini lebih tajam membuat Siena memilih untuk memalingkan wajahnya. “Kau sudah melakukan dua kesalahan. Memukul dan menumpahkan minuman sialanmu ke pakaianku,” gumam Niccolo, kali ini dengan bahasa Inggris. “Itu ulahmu. Bahkan gaunku juga kena noda minuman!” sentak Siena, emosinya kembali muncul setelah tahu apa yang diucapkan Niccolo. Siena tersentak saat tangan kasar dan besar itu mencengkram rahangnya. Sungguh ia tidak menyangka pria itu akan bersikap agresif. “Aakkhh!” Siena meringis. “Pelankan suaramu, Nona. Kau tidak tahu sedang bicara dengan siapa?” “Lepaskan!” desis Siena. Namun yang terasa cengkraman itu semakin kuat membuatnya reflek menjatuhkan gelas dari genggaman tangan. Ia berusaha melepaskan cengkraman itu dengan kedua tangannya. “Sebaiknya kau berhati-hati selama menghabiskan waktu liburanmu di sini atau kau akan… hanya tersisa nama,” bisik Niccolo penuh ancaman. Pietro tampak gusar menyadari emosi Niccolo sedang tidak stabil. Tidak ingin terjadi masalah hanya karena insiden kecil, ia pun berusaha untuk mengalihkan perhatian Niccolo. “Kita harus segera pergi, Bosco sudah menunggu,” bisik Pietro. Niccolo melirik ke samping sekilas. Lalu melepas cengkraman itu dengan kasar membuat Siena terdorong ke belakang. Ia juga melempar ponsel Siena lalu pergi begitu saja. Siena masih meringis. Ada bekas kemerahan di wajahnya. Ia membungkuk meraih ponsel. Lalu melirik tajam ke arah punggung Niccolo yang semakin menjauh. “Dasar pria brengsek! Sialan!” desis Siena.Siena mengikuti langkah Niccolò. Mereka memasuki pesawat. Seketika nuansa putih yang menguasai kabin terlihat mencolok di mata Siena, sangat kontras dengan warna pesawat yang gelap. Mereka mulai memilih tempat duduk. Niccolò duduk di salah satu kursi, begitupun dengan Pietro dan yang lain. Namun Siena masih berjalan, lebih dalam memasuki kabin hingga menemukan tempat yang membuatnya merasa nyaman. Siena duduk di kursi panjang. Setelah mendengar suara instruksi kalau pesawat take off, ia mengubah posisinya. Dirinya berbaring karena ingin melanjutkan tidur. Sedangkan dari arah lain, Niccolò tampak menyadari itu. Ia pun bangkit dari tempatnya. Langkahnya menghampiri Siena. “Kalau kau ingin tidur, masuklah ke dalam kamar. Jangan di sini,” ucapnya sambil melirik ke arah anak buahnya sekilas. Siena membuka matanya. Ia duduk dengan lesu sambil menguap. “Di sini juga tidak masalah,” ujarnya lalu menyandarkan kepala. Niccolò menghela napas berat. Ia meraih tangan Siena lalu menariknya t
Niccolò terbangun saat mendengar ponsel di atas nakas berdengung. Ia meraih benda itu, menengok jam yang tertera di layar. Waktu menunjukkan pukul enam pagi. Ternyata dirinya hanya tidur selama dua jam. Pandangan Niccolò teralihkan. Sorot matanya tertuju ke arah wanita yang tertidur di sampingnya. Napas masih tenang, menandakan jika tidurnya sangat lelap. Kemarin malam usai perbincangan panjang mereka, Niccolò memang membiarkan Siena tidur di kamarnya. Hanya tidur. Tak ada pelukan, ciuman maupun hal-hal yang lebih jauh. Ia hanya membiarkan Siena tertidur dengan tenang. Kaki Niccolò menapak di atas lantai. Ia bangkit dari tempat tidur lalu pergi ke kamar mandi. Sekedar mencuci wajah untuk menyadarkannya dari rasa kantuk yang masih melekat. Perhatian Niccolò teralihkan saat mendengar suara ketukan dari arah pintu kamar. Ia pun menghampiri suara tersebut. Lalu membuka pintunya. “Semuanya sudah siap, Don. Pietro juga sudah menyusul di depan.” “Ya.” Niccolò menjawabnya dengan singka
Malam itu dingin. Tapi bukan karena suhu udara, melainkan sesuatu dalam diri Siena yang membeku. Siena terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi pelipis, dan suara pria asing seolah masih memenuhi pendengarannya. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah ruangan kayu tua yang terkunci rapat, tanpa celah. Lalu dari luar, ia mendengar suara beberapa orang berbicara. Ia tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi mengerti maksud dari percakapan mereka. Penculikan, penjualan orang, pengiriman barang dan yang paling mengerikan adalah pengambilan organ dalam dengan kondisi korban masih hidup. Mimpinya mengulang kenangan masa lalu yang pernah ia alami. Pandangan Siena menatap sekeliling. Seharusnya ia merasa lega karena itu hanya mimpi, dan dirinya sudah kembali ke rumah. Seharusnya ia merasa aman ada di sini. Tapi, kenapa rasa takut masih membungkus hati dan pikirannya rapat-rapat? Siena bangkit dari tempat tidur. Langkahnya cepat, menuju pintu kamar. Saat ia menuruni ana
Di tengah-tengah emosi yang berkecamuk di dalam diri Siena, ponsel di dalam tasnya berbunyi. Suaranya nyaring, memecah keheningan yang sempat membalut mereka. Siena tertegun sedang Niccolò hanya melirik ke arah tas yang ada di atas pangkuan. Sebelah tangan Siena merogoh ke dalam, mengeluarkan benda pipih yang masih berdering. Matanya tertegun saat menatap nama Maxime tertera di layar yang menyala. “Maxime…” gumamnya penuh ketakutan, lalu menoleh ke arah Niccolò. “Dia menelpon. Apa yang harus aku lakukan? Sebelumnya dia menyuruhku untuk menemuinya. Mungkin… dia masih menungguku.” “Angkat saja teleponnya. Katakan padanya kalau kau tidak bisa menemuinya sekarang. Dan suruh dia untuk datang ke restoran La Cripta Bianca di Palermo.” “Apa?!” Siena terkejut. “Bukankah kau melarangku untuk menemui mereka? Kenapa berubah pikiran?” “Kita akan menemuinya bersama-sama, kau tidak perlu khawatir.” “Tapi…” Siena menggigit bibirnya. Ia merasa frustasi. Rasa takutnya tidak hilang begitu saj
Suara ketukan pintu mengalihkan lamunan Niccolò. Langkahnya tertuju ke arah pintu, lalu membukanya. Ia melihat bayangan wanita yang membuat pikirannya berantakan. Hening. Keduanya saling menatap intens. Seolah menyimpan sesuatu yang mengganggu benak masing-masing. Siena tampak mematung kaku. Untuk pertama kalinya, pria itu berhasil menghancurkan irama jantungnya. Kaos hitam yang pas di badan. Dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya masih acak-acakan dan basah, sebuah tanda kalau pria itu baru saja mandi. Tidak ada sapaan lembut atau senyuman ramah di antara mereka. Niccolò membuka penuh pintunya dan memberikan jalan, seolah membiarkannya masuk. Sedangkan Siena langsung menundukkan kepala, tak berani menatap wajah yang sekarang memberikan rasa berbeda. Mereka duduk di sofa berseberangan. Niccolò mulai menuangkan Red Wine ke dalam gelas kristal yang kosong. Lalu mendorongnya ke arah Siena. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Niccolò sambil menggenggam gelas miliknya. Sorot
Seorang pria sedang duduk diam di dalam mobil yang melaju pelan di jalan batu. Matanya tak lepas dari pemandangan malam kota Roma. Suasana kota yang ramai dan penuh, tidak mampu mengisi kekosongan di dadanya. Ia pulang dibalut rasa kecewa. Ia pulang tanpa pamit. Sepertinya ini adalah akhir pertemuannya dengan Siena. Ia harus menelan kekecewaan itu untuk kedua kalinya. Mobil itu berhenti di sebuah hotel di tengah kota. Niccolò sengaja menginap satu malam untuk menunggu hasil rekam medis Siena di masa lalu. Setelah menyelesaikan tugas terakhirnya untuk Siena mendapatkan warisan, ia akan kembali ke Palermo. Sendirian tanpa Siena. Selang beberapa saat, akhirnya Niccolò sudah berada di dalam kamar hotel. Seiring langkahnya, ia melepaskan jas lalu melemparnya ke arah sofa. Jari tangannya mulai membuka kancing kemeja hitam itu lalu melepaskannya. Dalam sekejap, terlihat tubuh atletis yang mampu menghipnotis setiap wanita. Sebuah tato salib kayu tua yang dibalut ular memenuhi punggungnya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen