Dimas tidak mengerti, baru saja kemarin ibunya berkunjung, kini ia sudah mendapatkan tamu lagi yang hendak mengunjunginya. Siapa tamunya sekarang? Apakah ibunya lagi? Atau siapa? Pintu itu sudah terlihat, Dimas mematung sesaat ketika perempuan paruh baya itu terlihat oleh mata. Itu bukan ibunya! Dilihat dari penampilan dan pakaian yang menempel di tubuhnya, Dimas bisa menikah bahwa perempuan itu bukan dari kalangan biasa. Bahkan perhiasannya seolah hendak meneriakkan ke semua orang tentang siapa si pemiliknya ini, meskipun hanya anting dan kalung dengan liontin batu permata itu yang dia kenakan. "Pak, serius ibunya itu nyariin saya?" tanya Dimas berusaha mengingat, apakah dia kenal dengan perempuan ini? "Tentu, Dim. Kalau tidak kenapa malah kamu yang saya bawa?" tanya petugas sipir itu lalu membuka pintu dan membawa Dimas masuk. Tanpa banyak bicara, ia langsung pergi, meninggalkan Dimas yang kikuk ketika mata itu menatapnya. "Maaf, Anda si--""Ini kali pertama kita bertemu, Dim.
Asha segera berbalik arah. Ia buru-buru menyeka air mata dan masuk kembali ke dalam kamar. Asha tidak ingin ibu dan anak itu tahu bahwa ia mencuri dengar semua obrolan mereka. Hati Asha terasa begitu hangat. Sejak dulu, Asha begitu kagum pada sosok Reni. Bagaimana dia bersikap sebagai seorang ibu, benar-benar membuat semua orang iri. Bukan berarti Diana sebagai ibu Asha bersikap tidak baik. Diana menjalankan perannya sebagai ibu dengan sangat baik, namun sekali lagi, Reni berbeda. Bayangan Darmi melintas di benak Asha. Kenapa bukan ingatannya tentang keluarga itu saja yang hilang dan tidak kembali? Kenapa malah ingatan Asha akan kejadian sebelum ia celaka dan lenyap sampai sekarang? Asha sudah tidak ingin mengingat lagi keluarga itu. Bagaimana dia diperlakukan, apa yang harus dia korbankan ... Asha tidak ingin mengingat semua itu lagi, namun sayangnya tidak bisa! Kenangan buruk itu akan tetap selalu membayangi Asha. Sebuah kenangan yang membuat Asha sangat bersyukur bahwa kini mer
"Hah?"Nea terkejut mendapati undangan itu tergeletak di atas meja, tangannya segera meraih benda itu, menatap ibunya dengan tatapan tidak percaya. "Mereka beneran nikah?" tanya Nea sembari menatap sang ibu. "Yang kamu baca itu apa, Nea? Ya bener lah!" jawab Gina singkat. "Apa sih istimewanya perempuan itu, Ma? Aku masih nggak paham!" Terus terang Nea masih belum terima. Ia kalah dari Asha yang di mata Nea benar-benar tidak ada apa-apanya itu. Kenapa kakak iparnya lebih memilih perempuan itu daripada Nea? Hanya karena Nea adik Tania? Tapi ini alasan yang tidak masuk akal! "Kita tidak berhak menghakimi pilihan orang, Nea. Sudahlah, kalian nggak jodoh." ucap Gina lirih. "Padahal dulu Mama yang ngebet aku kudu nikah sama mas Jo. Sekarang malah pasrah gini!" gerutu Nea kesal. Jauh sebelum ide ini dicetuskan, bahkan ketika Tania masih hidup, jujur Nea sudah jatuh hati pada sang kakak ipar. Bagaimana tidak kalau lelaki itu macam Jonathan? Nea iri dulu dengan kehidupan kakaknya, berha
Dimas melangkah lesu dengan kawalan seorang petugas rutan di belakangnya. Ada tamu yang datang mengunjungi dia, entah siapa, namun hati kecil Dimas mengatakan bahwa ibunya lah yang datang. Dan benar saja, sosok itu tertangkap mata sudah duduk menanti dirinya. Senyum Dimas mengembang, meski dia pernah terluka dan begitu sakit akibat perkataan ibunya, namun mau bagaimana pun, Darmi tetap ibunya, wanita yang melahirkan dan merawatnya selama ini. "Waktunya seperti biasa, ya?"Dimas hanya mengangguk pelan, duduk di kursi yang sediakan dan menatap ibunya yang langsung menangis melihat Dimas dengan kondisinya yang sekarang. Tidak ada lagi Dimas yang gagah dan tampan seperti dulu. Ia nampak sangat kurus dan tak terawat. "Ibu selalu deh begini, jangan nangis begitu, dong!" ucap Dimas sembari meraih tangan ibunya. "Gimana ibu nggak nangis, Dim? Lihat kondisi kamu sekarang ini!" ucap Darmi berbaur dengan isak tangis. Dimas tersenyum getir, mau bagaimana lagi? Dia tidak punya kesempatan unt
"Hai!"Asha menoleh, nampak Jonathan yang masih dengan pakaian dinas itu muncul di depan pintu. Senyum Asha merekah, ia memilih tetap diam di tempat karena Jonathan yang lebih dulu melangkah masuk menghampirinya. "Loh, sendiri?" tanya Jonathan sembari meletakkan kantong plastik belanjaan itu di atas nakas. "Bina sama papa tadi, Mas. Kamu langsung ke sini?" sebenarnya tanpa perlu bertanya, Asha sudah tahu Jonathan tidak pulang dulu kerumah tadi. "Kenapa? Ini rumahku juga." jawabnya santai. Mendengar itu Asha kontan mencebik, ia meraih plastik yang tadi Jonathan bawa, membukanya dan terbelalak kaget melihat isi dari plastik itu. "Mas!" pekik Asha dengan ekspresi terkejut. "Aku nggak tahu harus yang merek apa, ukuran berapa, jadi ya aku beli aja semua. Lagian kamu juga susah banget dihubungi." sahut Jonathan santai lalu melangkah menuju jendela. Ini kamar Jonathan ketika masih belum menikah dulu. Meskipun mereka sudah tidur bahkan sampai Asha hamil, mereka tidak boleh lagi serumah
Gina tengah bersiap menerima pasien selanjutnya ketika pintu itu terbuka dan sosok itu berdiri di sana. Sejenak Gina terkejut, ia mematung sesaat sampai kemudian lelaki itu tersenyum dan melangkah masuk ke dalam. Ada secercah perasaan bangga dan sedih yang menyeruak menjadi satu dalam hati Gina. Ia bangga lelaki ini yang dulu menikahi anaknya, namun ia juga sedih, rasanya tidak rela melepas lelaki sepotensial ini begitu saja. Namun apa boleh buat? "Jo harap, Mama tidak sedang sibuk." ucapnya sembari berdiri di depan meja praktek Gina. "Sesibuk apapun, mama akan tetap sediakan waktu buat kamu, Jo. Silahkan duduk." Gina tersenyum, jujur ia malu berhadapan dengan Jonathan jika teringat apa yang sudah dia lakukan kemarin. "Apa yang membuatmu kemari, Jo? Sabrina baik-baik saja, kan?" tanya Gina mendadak khawatir, apakah ini ada hubungannya dengan Sabrina. Jonathan tidak menjawab, ia hanya tersenyum lalu menyodorkan sesuatu ke atas meja.Gina mematung, benda itu ... mata Gina memerah,