Asha harus kehilangan bayi karena desakan ibu mertua dan suami yang memaksanya melahirkan secara normal. Tidak hanya kehilangan bayinya, Asha juga diceraikan dan dibebani biaya rumah sakit oleh Dimas. Saat Asha tengah terpuruk dan hancur, datang Jonathan, dokter bedah saraf yang mendadak muncul sebagai pahlawannya. Hubungan yang awalnya hanya karena rasa iba, berubah menjadi sebuah simbiosis mutualisme kala Jonathan menawarkan sebuah penawaran fantastis untuk setiap tetes ASI Asha. Apakah hubungan mereka hanya sebatas saling membutuhkan saja? Atau ada hal lain di antara keduanya? Follow (@)selfiehurtness untuk update cerita terbaru dari author, ya. Cover design by : (@)reiart0309
もっと見る"Coba dulu, jangan apa-apa langsung operasi! Kamu kan sehat. Apa susahnya sih lahiran normal?"
"Tapi bukaan aku udah nggak nambah lagi dari tadi pagi, Mas. Rasanya udah sakit banget," mohon Asha dengan wajah pucat. Bukan salah Asha kalau ia sampai mengemis seperti ini pada Dimas. Ia kesakitan sejak kemarin dan proses persalinannya bisa dikatakan tidak ada kemajuan apa-apa sejak pagi tadi. Pembukaan tidak bertambah, masih mentok di angka lima dan itu sangat menyiksa. Namun, suaminya itu menolak saran tindakan operasi yang disarankan oleh pihak rumah sakit. "Alah jangan manja! Ibu delapan kali lahiran normal, memang sakit, tapi itu udah kodratnya wanita. Nggak usah banyak alasan!" Darmi ikut bersuara, membuat Asha menoleh dan menatap ke arah perempuan itu dengan tatapan tak mengerti. "Bu, tapi–" "Udah tunggu dulu. Daripada males-malesan, mending, sana kamu bangun, dipakai jalan biar nambah itu bukaan kamu. Bukan malah apa-apa minta operasi, manja banget sih!" potong Darmi dengan nada ketus. Asha menoleh, menatap Dimas dengan sorot mata memohon karena rasanya sakit dan ia seperti tidak sanggup lagi. "Bener kata Ibu, ayo bangun! Jangan dipake manja!" Hati Asha mencelos. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa laki-laki yang dulu katanya begitu mencintai Asha, tega membiarkan dia kesakitan seperti ini. Apakah Dimas tidak merasa sedih atau setidaknya tersentuh saat melihatnya kesakitan seperti ini? Dipaksakannya diri untuk bangkit setelah melihat tatapan dingin dari suaminya. "Pokoknya kamu harus bisa lahiran normal! Malu sama tetangga, lahiran aja kudu dioperasi, nggak guna kamu jadi perempuan!" Kembali makian itu Asha terima, membuat wajahnya seketika menatap Darmi. Bukan hanya tubuh Asha kesakitan, hati Asha rasanya seperti diremas-remas. Harusnya sesama perempuan saling menguatkan dan memberi semangat, tapi apa yang terjadi? Ibu mertuanya juga perempuan, kenapa harus memakinya sedemikian rupa? Bukankah seharusnya sesama perempuan saling menguatkan dan memberi semangat? Kenapa beliau justru seolah-olah meremehkan rasa sakit yang dirasakan Asha saat ini? Akan tetapi, Asha menurut saja. Perlahan tapi pasti, kakinya mulai melangkah. Tak peduli sakit itu menyiksanya, ini lebih baik daripada mendengar cacian dan makian dari Darmi. Saat sudah beberapa langkah, Asha mendengar suara seperti letusan kecil, diikuti lelehan cairan hangat yang cukup banyak dari organ intimnya. "Mas ... ketuban aku kayaknya pecah!" ucap Asha dengan tubuh bergetar. "Bu, ini udah pecah, gimana?" Bukannya langsung bertindak, Dimas malah lebih dulu laporan pada Darmi. "Hah? Udah pecah ketubannya? Udah mau lahir berarti, Dim. Bawa ke atas kasur biar ibu panggilkan perawat." Asha tertegun atas kepasifan suaminya. Tapi ia tidak berkomentar untuk meminimalisir konflik. Asha hanya diam membisu dan pasrah dibawa ke tempat tidur pasien, berbaring di sana sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang dia punya. Ia akan segera melahirkan! Akhirnya! Atau itulah yang ia pikirkan. Kenyataan berkata lain. "Rum, ini belum nambah lagi. Masih stuck. Coba lapor gih ke dokter." ucap bidan itu sembari menarik jarinya keluar, usai memeriksa bukaan Asha. Asha tertegun. Belum nambah? Itu artinya Asha masih harus menunggu? Tapi ketubannya sudah pecah, dan bukan kah itu berbahaya untuk anaknya kalau masih tetap di dalam sana? *** "Bapak sama Ibu tahu kan apa bahayanya kalau ketuban sudah habis tapi anaknya belum lahir?" tanya dokter itu dengan nada emosi. "Ini sudah hampir habis ketubannya, bukaan masih belum nambah dan Bapak masih ingin diam menunggu seperti ini?" Bukan Dimas yang bersuara, malah Darmi yang lebih vokal menginterupsi. "Diinduksi aja dulu, Dok. Biarin dia lahiran normal, jangan mau enaknya aja." Dokter itu menoleh, menatap Darmi dengan mata tajam. "Bu, yang bilang lahiran metode Caesar itu enak siapa? Ibu belum pernah kan disayat-sayat sampai tujuh lapisan perutnya? Mau normal apa Caesar itu sama-sama sakit, Bu." "Tapi saya aja delapan kali lahiran normal, lancar semua, Dok. Masa dia nggak bisa?" Asha menutup matanya rapat-rapat. Ia benar-benar malu, sungkan dan entah bagaimana lagi harus dia katakan melihat kelakuan ibu mertuanya itu. "Itukan Ibu, kasus menantu Ibu ini beda. Lagi pun ini lahiran yang pertama kali buat dia dengan berat badan janin yang bisa dikatakan besar, Bu." "Terserah, Dok! Pokoknya saya mau dia lahiran normal. Enak aja minta operasi. Biar dia rasakan gimana rasanya lahiran normal." Kekeuh wanita itu yang membuat beberapa perawat geleng-geleng kepala. Asha melirik Dimas, sia-sia dia berharap Dimas akan membela dan berada di sisinya, lelaki itu malah hanya diam membisu, padahal yang tengah Asha perjuangkan sekarang ini adalah darah dagingnya! "Baik kalau Ibu mintanya begitu, silahkan tanda tangan surat penolakan yang nanti dihantarkan kemari. Intinya kalau sampai terjadi apa-apa, itu sudah bukan lagi tanggungjawab kami. Ibu dan keluarga yang menolak prosedurnya, kan?" *** "Aarrggghhh!" Rasanya Asha sudah tidak sanggup lagi. Setelah dua kali diinduksi, akhirnya bukaan sudah lengkap. Jangan ditanya bagaimana sakit yang Asha rasakan, namun mengeluh pun untuk apa? Tidak akan ada yang iba padanya termasuk suaminya sendiri! "Tahan dulu, Bu. Jangan mengejan dulu, tunggu aba-aba dari saya, ya?" bidan itu yang membantu Asha melahirkan. Dokter Endah, entah sejak berdebat dengan Darmi tadi, beliau tidak lagi terlihat. Asha malah merasa tidak enak dan malu sekali. Tapi apa boleh buat? Semua keputusan ada di tangan Darmi, jangankan Asha, Dimas pun tidak bisa membantahnya sama sekali. "Ayo Bu, dorong lagi, ya!" Kembali Asha sekuat tenaga mengejan, ia berharap semua ini segera usai. Tubuhnya sudah terlampau sakit. Bayangan segala macam cacian, hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan yang Asha terima selama dua tahun ini berkelebat dalam pikiran. Bagaimana bisa dia tidak menyadari itu semua selama berpacaran dengan Dimas dulu? Segala macam dendam dan sakit hati mendidihkan darah Asha, ia terus mendorong sekuat tenaga hingga kemudian ia merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya di bawah sana. Hening, tidak terdengar apapun, pandangan Asha pun mulai berkabut sampai kemudian semuanya menggelap. "Ibu ... Bu, bisa dengar saya? Ibu .....""I-ibu?"Bukan salah Asha terkejut mendapati perempuan itu muncul di rumah Jonathan, bukankah dia mengatakan bahwa tidak akan kemari selama Asha masih ada di sini? "Kenapa? Kamu nggak suka saya ada di sini?" sahut suara itu ketus. "Oh ... bu-bukan begitu, Ibu." Asha tergagap, "Saya sama sekali tidak berpikiran begitu.""Mana Sabrina?""Ada di ruang atas, Bu. Sedang sama Non Nea." jawab Asha dengan wajah tertunduk. Tanpa banyak bicara, Gina segera melangkah menapaki anak tangga, hati Asha mendadak risau, entah mengapa perasaan Asha jadi tidak enak. Asha mendadak gusar, ada apa ini? Apakah karena kehadiran Gina yang tidak biasa? Atau akan ada sesuatu yang terjadi? Asha menghela napas panjang, ia berusaha menenangkan diri. Dengan langkah ragu, Asha ikut naik ke lantai atas. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, berkali-kali Asha berbisik pada dirinya sendiri, berusaha agar tidak panik dan tidak berpikiran buruk. Namun semakin Asha menenangkan diri, ia malah semakin tidak karuan.
"Pagi!"Cup! Asha terkejut, bukan karena sapaan selamat pagi yang mendadak itu, tetapi karena kecupan tiba-tiba yang Jonathan layangkan padanya. Mata mereka bertemu, melihat senyum hangat di wajah itu, mau tak mau Asha ikut tersenyum. Membuat lelaki itu tertawa kecil lalu meraih dan mendekap tubuhnya. "Tau nggak sih meluk kamu kayak gini tuh rasanya nyaman banget, Sha!" bisik Jonathan sembari mencium aroma rambut Asha. "Senyaman apa?" pancing Asha ambil mengusap punggung lelaki itu. "Nyamannya sampai nggak bisa diungkapin dengan kata-kata."Asha tertawa, ia melepaskan tubuh Jonathan yang memeluknya itu, mata mereka kembali bertemu, masih dengan senyum hangat Jonathan yang membuat hari Asha begitu indah rasanya. "Aku agak malam pulang hari ini." ucap Jonathan kemudian. "Ada banyak jadwal operasi?" tanya Asha sembari mengusap lembut pipi Jonathan. "Rumah sakit kedatangan tim asesor, dari BPJS juga mau ada meeting sama petinggi yang lain, Sayang. Jadi mungkin malam pulangnya." pa
"Yakin kamu mereka pacaran?" tanya Gina dengan wajah serius. Ia tengah berada di kamar Nea sekarang, menunggu cerita anaknya tentang apa-apa saja informasi penting yang dia dapat di rumah menantunya. "Kalo nggak pacaran terus apa, Ma?" ujar Nea balik bertanya. "Buket kembangnya segede gaban! Jutaan itu tadi harganya!" tegas Nea berapi-api. Dia melihat langsung dengan mata kepala sendiri bunga yang ada di kamar Sabrina yang juga menjadi kamar Asha itu. Sebesar itu dan bunga mawar semua! "Kalau itu dari Jonathan? Bagaimana?"Seketika wajah Nea berubah, dari wajah penuh antusiasme, berubah jadi bimbang. Keningnya berkerut, ia nampak berpikir keras, memikirkan pertanyaan yang diajukan Gina padanya. "Mau dia pacaran sama Adit apa tidak, kita harus segera jalankan misi, Nea." ucap Gina dengan nada serius. "Kita harus usir dia keluar dari rumah itu. Tidak ada perempuan yang boleh menggantikan posisi kakakmu di rumah itu kecuali kamu!"Wajah Nea memerah, bayangan Jonathan hadir dalam ota
"Kamu nggak suka Bina jadi terbiasa sama aku?" salak suara itu yang hampir saja membuat emosi Asha meledak. Ini jam Sabrina makan! Dan Asha hendak membawa Sabrina bukan karena menghalangi Sabrina terbiasa dengan tantenya! "Bukan begitu. Ini jamnya Bina makan, bisa marah bapak nanti kalau Bina telat makan, Nona." ujar Asha sengaja menekan suaranya di akhir kalimat. "Bodo amat. Kamu yang dimarahi, bukan aku." sahutnya acuh. "Bawa sini, biar aku yang kasih makan!"Asha mengeram, ia mengalah. Memilih pergi untuk mengambilkan jatah makan Sabrina. Rasanya Asha benar-benar muak dengan kehadiran gadis itu. Bukan apa-apa, sorot mata dan segala macam omongan yang keluar dari mulut itu benar-benar menyebalkan sekali! Dengan nampan di tangan, Asha kembali menghampiri Nea, menyodorkan menu makan untuk Sabrina yang Asha buatkan sendiri. "Oke, Bina maem sama onty, ya?" desisnya sembari mulai menyuapkan bubur tim itu ke mulut Sabrina. Asha menghela napas panjang, ia beringsut menyingkir. Mening
"Jadi gimana? Mau terima bunganya, kan?"Tangan itu memeluk Asha dari belakang, menciumi tengkuk leher Asha lalu mendekapnya erat-erat. Pakaian mereka sudah kembali rapi, begitupun ranjang Asha yang tadi macam kapal pecah. Asha tersenyum, kepalanya terangguk pelan. "Nggak jadi dikasih ke kasir minimarket ya berarti?" goda Jonathan yang seketika membuat Asha melepaskan diri, berbalik dan menatap Jonathan dengan wajah kesal. "Yaudah sana kasih aja kalo gitu!" salak Asha galak. Jonathan terkekeh. Kembali ia meraih tubuh Asha dan memeluknya erat-erat. "Lain kali tanya-tanya dulu ya, Sayang!" bisik Jonathan lirih tepat di telinga Asha. "Tapi nggak apa-apa sih, aku suka dicemburuin."Asha tidak menjawab, ia malah menjatuhkan diri makin dalam di pelukan itu. Benar kata Jonathan, rasanya begitu damai seperti ini. "Aku balik ke rumah sakit, ya? Kamu istirahat lah. Kabari aku kalau ada apa-apa." ucap Jonathan sembari mengecup dahi Asha dengan lembut. "Hati-hati." balas Asha ketika peluka
"Loh ini apaan, Mas?"Tentu saja Asha terkejut setengah mati, Adit datang dan muncul di depan pintu kamar Sabrina dengan bucket mawar merah besar dan sekotak cokelat. Ditanya begitu, Adit bukannya menjawab malah celingak-celinguk, membuat Asha ikut menatap sekeliling, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Saya diperintah bapak belikan ini buat mbak Asha. Mohon diterima ya, Mbak." bisik suara itu dengan sangat lirih. Asha membelalak. Jadi bunga dan cokelat ini dari Jonathan? Untuknya? "Suruh kasih ke ceweknya aja, Mas. Saya nggak bisa terima."Kini ganti Adit yang membelalak, ia menatap Asha dengan tatapan tidak percaya. Ceweknya? Maksud Asha jadi Jonathan punya perempuan lain begitu? Kenapa tidak seperti Jonathan yang biasa Adit kenal? "Ceweknya, Mbak? Ceweknya yang mana?" tanya Adit masih bingung. Asha tertawa sumbang, "Ya saya mana tahu, Mas. Tanya aja langsung ke pak Jonathan, siapa yang dia temui malam kemarin."Adit masih berpikir keras, namun belum sempat ia kembali b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント