"Kamu ..." Darmi mengeram, menghampiri Asha dengan tatapan marah penuh benci. "Baru kerja sebentar jadi babu orang sudah sok berani pakai pengacara buat nuntut anakku, ya!"Asha tersenyum getir, untuk pertama kalinya ia bisa membalas tatapan penuh kebencian itu dengan berani dan bisa dikatakan sedikit sombong. "Bukan Asha yang mulai, Bu. Sejak awal, siapa yang buat semua ini terjadi?" balas Asha sekenanya, masih dengan nada lirih dan sopan. "Kamu benar-benar wanita licik! Tidak tahu malu!" umpat Darmi penuh kebencian. "Bu! Sudah, Bu!" Dimas segera menghampiri, meraih bahu ibunya dan mencoba menarik Darmi menjauh. "Sudah? Kamu hampir dipenjara sama perempuan sialan ini dibuatnya, Dim!" maki Darmi tidak terima. "Bukan hampir, Bu." sahut Yanuar tiba-tiba. "Tapi memang akan dipenjara sebentar lagi."Semua menoleh ke arah Yanuar, nampak lelaki itu tengah membereskan barangnya. "Tim saya sudah di polres ini. Tinggal tunggu saja surat pemanggilan yang akan dikirim ke rumah kalian." Yan
"Jadi Tergugat kerja pada Anda? Bapak--""Jonathan, Yang Mulia. Saya Jonathan Eka Kurniawan, dokter spesialis bedah syaraf dan juga direktur utama rumah sakit Medika Abadi.""Tergugat bekerja pada Anda untuk melunasi biaya rumah sakit? Jadi biaya itu tidak Tergugat yang melunasi?" tanya Hakim dengan wajah kesal. "Izin menjawab Yang Mulia, kalau Tergugat yang melunasi, tentu tidak mungkin Penggugat lantas bekerja pada saya."Bisik-bisik riuh kembali terdengar, Asha menghela napas panjang, agaknya ia tidak perlu banyak bicara, semua seolah bersatu didepannya, menjadi tameng untuk Asha dalam menghadapi Dimas. "Dan soal perselingkuhan yang tadi Anda tuduhkan pada Penggugat, dari mana Anda bisa mengatakan hal demikian?""Saya bawa saksi dari rekan kerja satu kantor dengan tergugat, Yang Mulia. Mereka berdua rekan satu kantor. Bahkan rekaman CCTV gudang yang sering digunakan untuk berbuat asusila oleh Penggugat dan perempuan itu ada di tangan saya!"Jadi? Asha benar-benar tidak menyangka
"Sebenarnya Yang Mulia, bayi masih bisa bertahan di dalam rahim ibunya maksimal 24 jam setelah ketuban pecah. Namun dalam hal ini, yang menjadi catatan adalah lemahnya denyut jantung bayi dan paparan mekonium yang terhirup oleh bayi sehingga menyebabkan beberapa kondisi serius pada bayi sehingga menyebabkan kematian."Asha menyimak dengan serius penjelasan dokter Ibra, dokter forensik yang memeriksa kondisi jenazah bayinya. "Pada jenazah bayi nyonya Asha, penyabab kematiannya selain afiksia yang diperberat dengan lemahnya denyut jantung bayi, juga mekonium yang terhirup bayi yang menyebabkan Sindrom Aspirasi Mekonium, yang mana Sindrom ini menyebabkan adanya hipertensi pulmonal persisten atau tekanan darah tinggi di paru-paru yang menyebabkan kerusakan otak yang berujung pada kematian." jelas suara itu dengan begitu lugas. "Kami juga menemukan infeksi dan peradangan yang sudah menyebar ke seluruh organ dalam daripada jenazah bayi tersebut yang sekali lagi disebabkan oleh mekonium ya
"Sidang perkara perceraian antara Dimas Setiadji Gunawan dengan Ashavina Caroline Adijaya dipanggil untuk dipersidangankan!"Asha menelan ludah, jantungnya berdegup kencang, ia bersiap menempatkan diri, menunggu hakim membuka dan mempersilahkan mereka duduk di kursi masing-masing. "Baik, sidang dibuka. Untuk saudara Penggugat dan Tergugat beserta kuasa hukumnya dipersilahkan mengambil tempat."Yanuar bangkit lebih dulu, ia menoleh ke arah Asha, membuat Asha segera bangkit dan mengekor di belakang langkah Yanuar. Bisa Asha lihat, Dimas nampak terkejut melihat ia dan Yanuar memposisikan diri. Lelaki itu hanya melangkah sendirian, menuju ke tempatnya dan menatap Asha dengan tatapan sinis nan tajam. "Saudara Penggugat, saudari Tergugat beserta saksi-saksi, apakah sudah siap untuk menjalani persidangan ini?""SIAP!"Asha menghela napas panjang setelah ikut berucap, ia berusaha untuk tidak menatap ke arah Dimas. Pandangannya lurus ke depan, mengabaikan Dimas dengan sedikit menunjukkan ra
"Mohon bantuannya, Pak!" ucap Asha canggung. Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Yanuar tadi hanya tersenyum tipis, ia segera menghidupkan mesin mobil, membawa mobilnya pergi dari depan rumah Jonathan. "Saya sudah buatkan pembelaan nanti, Mbak. Eh saya panggil Mbak aja, ya?" tanyanya sambil melirik dari kaca mobil, Asha dipersilahkan duduk di jok belakang, bukan disebelah Yanuar. "Terserah Bapak saja." ucap Asha kembali menyunggingkan senyum. "Jadi intinya, Pak Jo udah banyak cerita soal Mbak, masalah apa yang dihadapi Mbak Asha sama mantan suami. Jadi sudah saya runtutkan, Mbak jangan khawatir, saya akan bantu bersihkan nama baik Mbak Asha nanti."Asha menghela napas panjang, ia mengangguk perlahan. Sebenarnya bisa lepas dari Dimas, itu sudah sangat cukup baginya. Tapi seperti kata Reni kemarin, Asha harus membersihkan nama baiknya! Kejadian itu bukan Asha yang mau! "Terimakasih banyak, Bapak. Saya benar-benar mohon bantuan Bapak." ucap Asha lirih. "Ya, sama-sama!"Tidak ad
"Maaf kalau Asha bikin Ibu harus ambil cuti besok pagi."Reni sudah muncul di kamar, wanita itu bahkan sudah duduk di atas playmate dan bermain bersama Sabrina. Wajah Reni terangkat, ia mengangguk sembari tersenyum simpul. "Tidak apa-apa, Sha. Ibu harap permasalahan kamu segera beres, ya? Jadi kamu bisa fokus ke depan, nggak kebayang-bayang masa lalu terus." ucapnya lirih, Sabrina begitu anteng dalam pangkuan sang nenek. "Saya harap cukup sekali saja sidangnya, Bu. Sa--""Setahu Ibu, meskipun dari kedua belah pihak sudah mantap buat pisah, tetap dari pengadilan nggak bisa cuma memutuskan hanya dalam satu kali sidang, Sha." potong Reni cepat. Asha tertegun, ditatapnya Reni tanpa kedip. "Biasanya di sidang yang pertama, hakim akan tetap berupaya mendamaikan kedua belah pihak, sembari mendengarkan tuntutan dan pembelaan dari masing-masing pihak. Nah nanti baru di sidang kedua paling cepat keputusannya diputuskan." Asha menghela napas panjang, itu artinya selain besok, ia masih harus
"Gimana, Dit? Udah kelar semua?"Adit menghela napas, ia mengangguk pelan sembari mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Adit segera menyodorkan benda itu ke hadapan Jonathan. "Semua sudah sesuai permintaan Bapak. Bisa Bapak cek kembali." ucap Adit sembari memperhatikan Jonathan yang meneliti ponselnya. Jonathan tidak menjawab, ia begitu serius dengan angka-angka dan huruf yang ada di layar ponsel Adit, sementara Adit, ia hanya diam sembari mengingat-ingat obrolannya dengan Yanuar tempo lalu. Apakah mungkin bosnya ini jatuh hati pada ibu susu Sabrina? Dilihat dari sorot wajah dan mata Jonathan, Adit tidak menemukan tanda-tanda itu di sana. Berbeda dengan dulu ketika Jonathan bersama Tania semasa wanita itu hidup. Adit bisa merasakan bahwa cinta yang Jonathan miliki begitu dalam. Dugaan Yanuar salah! Adit yakin itu! Alasan Jonathan melakukan semua ini tentu sebagai salah satu bentuk terimakasih Jonathan pada wanita yang sudah menyambung hidup Sabrina, merawat Sabrina selama ini sete
"... rasanya ada yang perlu kamu tahu soal dia.”Asha menghela napas panjang, "Nggak perlu, Ta. Aku nggak mau tahu apapun soal dia." ucap Asha tegas. Untuk apa dia tahu perihal lelaki itu? Sangat tidak penting! Asha sudah tidak mau peduli lagi padanya, apapun itu! "Ah ... baiklah, aku kirim ke kamu undangannya, Sha. Jangan khawatir, aku sama mas Geri bakalan datang, nemenin kamu di sana!" ujar suara itu lirih. Asha tersenyum, hatinya menghangat. Kepalanya refleks mengangguk dengan senyum di wajah. "Makasih banyak, ya? Aku bener-bener bersyukur punya sepupu sebaik kamu, Ta!" ucap Asha tulus. "Kita saudara, keluarga kamu udah banyak bantu keluarga aku, Sha. Jadi mungkin ini yang bisa aku lakukan untuk balas semua itu." Ista menjeda kalimatnya, "Aku tutup dulu, ya? Kita ketemu besok di sana!"Tut! Sambungan telepon terputus, disusul notifikasi pesan masuk. Asha segera membuka pesan dari Ista, sejenak Asha tertawa lirih, ia beringsut duduk di sofa tanpa melepaskan pandangan dari fot
"Asha, Ibu mau pamit pulang dulu!" Sosok itu kembali muncul, setelah beberapa lama pergi dari sini. Asha bangkit, ia mengangguk sembari menyunggingkan seulas senyum. "Eh ... Sabrina bangun?" tanya Reni seraya mendekat ke arah box. "Iya baru beberapa saat yang lalu, Ibu." jawab Asha sembari menyingkir barang beberapa langkah. Reni segera fokus pada Sabrina, ia mengambil bayi itu dari box, menggendong Sabrina sembari mendaratkan beberapa ciuman di puncak kepala. Asha tersenyum melihat pemandangan itu, namun sejenak ia terpikirkan sesuatu. "Bu, Asha boleh tanya?" Wajah Reni terangkat, ia menoleh dan menatap Asha dengan tatapan serius. "Boleh. Mau tanya apa?" Asha menelan ludah, ada perasaan takut dalam hatinya. Namun Asha tergerak untuk cari tahu, hatinya seperti belum tenang, tak peduli sebenarnya ia sangat takut. "Tadi bu Gina bilang kalau dia tidak akan datang kemari selama saya masih mengurus Sabrina. Apakah dia akan benar-benar begitu, Bu? Maksud Asha ... Ash