"Sini bangun, duduk dulu!" Jonathan sudah lengkap dengan setelan scrub, masker dan perlengkapan yang lain, berdiri di sisi meja operasi, membantu Asha bangun dan duduk di sana. "Seperti yang tadi dok Revi info ke kamu, habis ini kamu bakalan di anestesi sama beliau, duduk tegap, jangan tegang, gerak sedikitpun, oke?" ucap Jonathan yang hanya bisa Asha lihat sorot matanya itu. Asha menangguk pelan, ruangan ini cukup dingin dan dia hanya memakai selapis baju. Jonathan merentangkan kedua tengah, kode yang biasa dia beri kalau dia minta dipeluk. Kening Asha berkerut, ia hendak bertanya ketika Jonathan lebih dulu menariknya dengan lembut dan memeluknya. "Dok Rev udah ke sini, rileks aja, oke?" bisik Jonathan lirih. "Langsung ini, Dok?" tanya lelaki itu pada Jonathan. "Iya, langsung aja. Saya pengangin ini." Jonathan melirik Asha, ia tahu istrinya itu sedang takut. "Rileks, jangan takut, aku di sini, sama kamu, temenin kamu." bisiknya lagi. Asha mengangguk pasrah, terlebih ketika Jon
"Mas aku takut!" desis Asha begitu mereka masuk ke dalam mobil. Jonatan batal memakai sabuknya, ia memilih untuk mengusap puncak kepala Asha dan menciumnya dengan lembut. "Kamu lupa kalau punya aku, Sayang?" bisik Jonatan lirih, dengan sangat mesra. "Kalau bisa dipindah, aku pengen sakit selama hamil dan melahirkan nanti, dipindah aja ke aku.""Tapi mana bisa, Mas!" protes Asha dengan mimik takut dan gemas yang membaur menjadi satu. "Nah oleh karena itu, aku janji kan sama kamu kalo aku nggak bakalan biarin kamu sendirisn?" Asha tersenyum, sorot mata itu begitu teduh dan lembut, membuai Asha sampai semua rasa takutnya hilang. "Nggak lupa kan karena tidak dapat ACC operasi kamu harus rela kehilangan Bintang dulu. Jadi sekarang aku ACC, jadi jangan takut, oke?" tangan Jonatan meremas-remas tangan Asha dengan lembut, membuat mata Asha memerah lalu mengangguk perlahan. "Sekarang kita pulang dulu, kabari mama dan yang lain-lain. Kamu istirahat aja, sisanya aku yang urus."Ketakutan y
"Nah, kan? Aku bilang juga apa? Malu-malu dia, Pa!"Mereka sudah keluar dari ruang praktek dokter Jeremi yang ada di rumah. Memang ada dokter kandungan buka di hari Minggu? Kalau bulan Jonathan yang minta, belum tentu dokter kandungan itu mau diganggu hari liburnya. Dan sama seperti yang diminta oleh Jonathan, jawaban dokter itu 11-12 mirip dengan jawaban Asha ketika ditanya perihal gender bayi yang ada di perutnya. "Kok bisa, ya?" desis Nata heran. Untung saja papa dan mama Asha bukan dokter, jadi meskipun ikut masuk dan liat layar monitor, mereka tidak bisa membaca hasil yang ada di sana tak peduli mesin USG canggih sekalipun.Untungnya lagi, janin Asha seperti pro dengan bapak-ibunya, kakinya dengan jelas terlihat dilayar menutupi area kelamin, membuat kakek-nenek yang jauh-jauh datang sedikit kecewa. "Kira-kira yang bikin selalu ketutupan itu apa sih, Jo?" tanya Nata pada Jonathan yang tengah menyetir si sebelahnya. "Banyak hal sih, Pa. Yang jelas posisi dan gerakan janin juga
"Seriusan ini kalian periksa belum kelihatan?"Asha tentu langsung melotot, ia menatap mamanya yang mendadak sekali muncul bersama papa Asha di depan rumah tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Asha buru-buru menelan makanannya, meneguk minuman yang ada di gelas dan menjawab pertanyaan itu. "Mama sama papa jauh-jauh ke sini, nyebrang pulau tanpa ngasih kabar dulu cuma buat nanyain itu?" sungguh Asha begitu terkejut. "Siapa suruh ditanya nggak pernah mau jawab?" kini Nata bersuara, ia menatap Asha yang tengah menikmati kudapan di halaman belakang rumahnya m"Masalahnya tiap dibawa USG ketutupan mulu, Pa. Posisinya nggak pas jadi nggak bisa kelihatan!" sebuah jawaban template yang sudah Jonathan briefing kan padanya jika ada yang menanyakan jenis kelamin janin mereka. Nata nampak menghela napas panjang, bisa Asha liat papanya itu begitu ingin punya cucu perempuan. Sementara Diana, ia terus menatap perut Asha yang sudah menyembul, nampak memperhatikan perut itu dengan saksama selama be
Langkah Jonathan terburu, wajahnya sedikit panik. Ia bahkan sampai mengabaikan beberapa perawat, sejawatnya yang ia temui sepanjang koridor rumah sakit. Jantung Jonathan berdegup kencang, hatinya mendadak risau dan tak tenang. Namun ia memilih untuk menyimpan pertanyaannya, terus melangkah menghampiri sosok yang menantinya di antrian poli rawat jalan. "Sayang? Ada apa?" sapa Jonathan langsung pada Asha yang tadi pagi pamit hendak mengantar Sabrina dan berangkat kuliah. "Bisa temani Asha periksa sebentar, kan? Atau kamu sudah ditunggu jadwal operasi?"Bukan Asha yang menjawab, malah Reni. Nampak wanita itu menatap Jonathan dengan sorot mata serius, dengan Sabrina yang ikut melemparkan tatapan ke arah sang papa. "Tunggu! Asha kenapa, Ma? Dia sakit?" bukannya menjawab, Jonathan malah balik bertanya."Kenapa jadi tanya mama? Kamu apain istrimu?" suara Reni sedikit ketus, membuat Jonathan makin gusar. Ia menoleh, menatap Asha yang balas menatapnya dengan mata membulat. Baru saja Jonath
"Sha, kamu nggak sa--"Bahkan sebelum Reni menyelesaikan ucapannya, Asha sudah lebih dulu menghambur pergi. Ia berlari ke arah kamar mandi tamu yang ada di antara ruang makan dan ruang tamu, masuk ke sana dan segera menumpahkan semua isi perutnya di kloset. Reni yang tadinya memegang sepiring siomay ayam yang masih hangat itu segera meletakkan piring di atas meja ruang tamu, menghampiri Asha dan meninggalkan Sabrina yang sudah asyik dengan kotak mainan di sana. "Sha? Kamu kenapa, Sha?"Asha muntah-muntah parah! Padahal sebelum sampai di rumah Reni, ia baik-baik saja. Dia sehat, tidak sakit, tidak kembung dan .... "Eh, kuat berdiri, kan?" tanya Reni ketika Asha hendak berdiri. "Bentar, Ma." Asha memejamkan mata, berusaha mencari tahu apa yang salah pada dirinya ini. "Kamu sakit?" tanya Reni sembari memperhatikan wajah Asha dengan saksama. "Ma, itu tadi yang Mama bawa bisa disingkirkin dulu, nggak?" mohon Asha yang kini menemukan penyebab ia muntah secara tiba-tiba.Aroma siomay a