"Loh? Papa?"Diana terkejut ketika sosok itu muncul bersama anak sulungnya, dari gesture dan ekspresi wajah, bisa Diana baca bahwa lelaki yang menjadi cikal-bakal Diana lahir ke dunia ini tengah menahan amarah. Tapi pada siapa? Dan kenapa Danu turut hadir bersama Raharjo siang ini? "Mana suamimu?" tanya Raharjo dengan nada dingin nan ketus. Sebuah bukti lain bahwa dugaan Diana sama sekali tidak meleset. Bapaknya sedang emosi berat! "A-ada." jawabnya terbata. "Tapi bang Nata se--""Papa nggak peduli, Na! Bawa papa ke sana atau bawa dia kemari!" potong suara itu tegas. Diana sama sekali tidak bisa membantah, ia segera mengangguk, mempersilahkan dua orang itu untuk mengikuti langkahnya. Dengan sedikit tergesa, Diana membawa mereka ke kamar utama, tempat di mana saat ini Nata, sang suami tengah beristirahat untuk persiapan kemoterapi esok pagi.Pintu kokoh nan besar itu terbuka, bersamaan dengan terbukanya pintu, Nata yang tengah duduk bersandar di head bed sembari menatap layar iPadn
"Danu kesana, Opa." jawab Danu dengan nada serius. "Niatnya mau ngatur supaya dia dan Asha bertemu, biar mereka bisa saling kenal dan dekat. Namun yang terjadi seperti ini, agaknya semesta memang tidak mengizinkan Asha menikah dengannya."Raharjo mendengus perlahan, telinganya masih fokus menangkap rekaman tersebut diputar, hingga pada percakapan itu, Raharjo mengepalkan dan menggebrak meja keras-keras. "KURANG AJAR!" pekiknya penuh emosi. "TUNDA KEBERANGKATANMU KE QATAR, NU! KITA HAJAR MEREKA SAMPAI MAMPUS!" umpat Raharjo keluar sifat aslinya yang tempramen. Danu bergidik ngeri, ia sudah bisa menebak bahwa inilah yang akan terjadi. Tapi bukankah itu bagus? Itu artinya Asha akan terselamatkan dari akal bulus dan niat licik lelaki itu. "Ja--""MAN, ARMAN!" pekik Raharjo yang membuat Danu mengernyit sembari menutup telinga. Sebenarnya ini bukan hal baru, ia atau seluruh keluarga besar sudah hafal tabiat dari kakeknya ini, apalagi dalam kondisi murka dan dibalut emosi. Tapi tetap saj
Danu melangkah keluar dari pintu lift, sorot matanya menyiratkan kemarahan. Ia kembali menghampiri front office, menemui wanita yang menerima kedatangannya tadi. "Sudah ke--"Danu merogoh saku, menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada wanita itu. Bisa dia lihat wajahnya terkejut. "Tolong, jangan laporkan ke Revan kalau saya tadi kemari dan hendak menemuinya. Kamu belum memberitahukan kedatangan saya ke sekretaris dia, kan?" tanya Danu dengan nada suara dingin. "Be-belum, Pak." jawabnya tergagap. "Bagus!" Danu menjejalkan uang itu ke tangan wanita itu. "Anggap saja saya tidak pernah datang dan tidak pernah kamu antar ke atas. Oke?""Ba-baik, Pak. Terimakasih banyak!" ucapnya lalu segera menarik tangan dan menyembunyikan di bawah meja. Danu mengangguk pelan, ia segera melangkah pergi, keluar dari gedung itu dan kembali ke mobilnya. Tangan Danu mengepal kuat, ada untungnya juga dia mendengarkan intuisinya tadi. Rupanya semesta memang ingin menunjukkan sesuatu padanya. D
Ista menutup pintu, ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut Penthouse, ia tidak mendapati Asha ada di sana. Dengan segera Ista melangkah, menyusuri balkon namun tetap nihil. Ada sedikit perasaan takut mencengkram hati Ista, bagaimana kalau--"Kamu dari mana sih, Ta?"Pertanyaan itu tidak hanya membuat Ista melonjak terkejut, tetapi juga sangat lega. Ista menoleh dan benar saja, Asha sudah berdiri sembari menatapnya dengan tatapan gemas. "Ada urusan tadi." jawab Ista sembari menghampiri sosok itu. "Udah makan?" tanyanya dengan mata yang tertuju pada perut Asha. Masih rata. Lagipula dia tidak menampakkan tanda-tanda kehamilan. Apakah benar Asha sedang hamil saat ini? "Belum, males makan." jawabnya singkat sembari menghampiri kursi, meluruskan kaki dan nampak menengadahkan kepala mengikuti kontur kursi. Ista tersenyum, ia merogoh ponsel, memotret Asha dan mengirimkannya pada sosok itu. Benar saja, tak selang lama panggilan video masuk, membuat Ista celingak-celinguk mengamati sekit
"Bapak bilang nggak boleh ada yang tahu kita di sini, kenapa jadi maksa pengen ketemu si Ista sih, Pak?" tanya Adit tidak mengerti, cepat sekali Jonathan berubah pikiran. "Awalnya gitu, Dit. Tapi begitu ingat kita berkejaran sama waktu, saya ubah strategi. Kita harus punya minimal satu orang dalam." jelas Jonathan tenang, matanya masih memerah. "Dan orang itu Ista?" tanya Adit masih belum paham. "Ya! Orang yang paling dekat dan tahu semua peristiwa yang harus Asha alami selama ini."Adit mendengus, "Tapi perempuan itu dan suaminya yang jadi agen cepu orang tua Asha, Pak. Selama ini diam-diam dia ternyata melaporkan apa yang mbak Asha alami ke keluarga besar."Jonathan mengangguk pelan, ia masih menatap lurus ke depan. "Kamu akan tahu nanti, Dit. Yang jelas ini langkah pertama yang harus kita lakukan."Adit terdiam, tidak lagi mencoba membantah atau berdebat panjang-lebar dengan Jonathan. Ia memijit pelipisnya dan mendadak teringat sesuatu. "Pak ... Yang tadi Bapak katakan itu ben
"Ista!" Seketika langkah Ista terhenti, ia berdiri mematung dengan tubuh membeku. Meskipun baru pertama kali berjumpa, Ista tahu suara siapa itu! Dan benar saja, ketika menoleh kebelakang, nampak dua lelaki itu melangkah menuju ke arahnya, sudah sangat dekat dengan dirinya. "Do-Dokter?" sapa Ista dengan tatapan terkejut. Dia benar dokter Jonathan! Dan lelaki yang bersamanya itu ... ah, bukankah Ista juga pernah bertemu dengannya di pengadilan agama kala itu? "Bisa saya ngomong sebentar sama kamu?" Mohonnya dengan tatapan memelas, bisa Ista lihat ada raut wajah lelah di sana. "Dokter pengen ngomong apa? Untuk ma--""Soal Asha!" potong Jonathan cepat. "Saya harus ketemu sama dia, Ta. Tolong!" mohonnya dengan suara lirih, matanya mengiba, membuat Ista mendadak bimbang. "Cuma Mbak satu-satunya orang yang bisa nolong kami, Mbak. Tolong sebentar saja." ucap lelaki itu ikut merayu. Ista menghela napas panjang, ia belum berani buka suara. Matanya melirik sekitar, tidak ada tanda-tanda