"Apa? Asha hamil?"Danu menghela napas panjang, ia lantas mengangguk pelan guna menjawab pertanyaan yang diberikan bapaknya. Baik Diana maupun Nata, mereka terlihat sangat terkejut, tak terkecuali Raharja, hanya saja lelaki itu masih menyorotkan amarah yang belum mau sirna. "Tapi janinnya nggak bertahan, Ma. Usianya masih sangat muda." jelas Danu lagi. "Asha keguguran."Mereka kompak menghela napas panjang, Diana memijat pelipisnya perlahan. Ada sorot khawatir yang berbaur dengan perasaan sedih di mata itu. Mereka baru saja tahu rencana tersembunyi Revan, belum melangkah lebih lanjut dan lelaki itu sudah menjalankan aksinya lebih dulu! "Dia hamil sama siapa? Ada yang tahu?" tanya Nata dengan nada putus asa. Sebagai orang tua, tentu ia ingin yang terbaik untuk anak bungsu kesayangannya itu. Namun ternyata yang dikira baik oleh Nata malah menjadi malapetaka bagi Asha! Bukan hanya pilihan Asha sendiri yang menjerumuskan Asha dalam duka mendalam, pilihan Nata pun juga! "Jonathan." de
"Jangan, Van! Lepas!" Asha memekik, berusaha melepaskan diri, namun sayang ... semakin dia berontak, tangan Revan makin kuat mencengkeram tangannya. "Nggak usah sok suci, Asha! Kamu bukan perawan lagi!" hardik suara itu lantas menarik Asha hingga tubuh Asha jatuh dalam pelukan lelaki itu. "Van ... kita nggak bisa lakuin ini! Jangan!" mohon Asha berusaha menolak Revan yang mengincar bibirnya. "Kenapa?" tanya suara itu dibalut senyum sinis. "Karena kita belum menikah?" tanya Revan sama sekali tidak membiarkan Asha lepas. Asha hanya mengangguk pelan, demi apapun dia begitu takut sekarang! "Bulan depan itu juga kalau aku minta, kita bakalan nikah kok. Jadi jangan banyak al--""Jangan! Tolong jangan!" pekik Asha masih berusaha melepaskan tangan Revan. Tawa Revan pecah, ia menarik kasar Asha masuk ke salah satu kamar. Bukan kamar Asha, kamar yang kemarin ditempati Danu, dan di sana lah Revan membanting tubuh Asha ke atas ranjang. "Kamu udah nginjak harga diri aku dengan luar biasa, S
"Loh? Papa?"Diana terkejut ketika sosok itu muncul bersama anak sulungnya, dari gesture dan ekspresi wajah, bisa Diana baca bahwa lelaki yang menjadi cikal-bakal Diana lahir ke dunia ini tengah menahan amarah. Tapi pada siapa? Dan kenapa Danu turut hadir bersama Raharjo siang ini? "Mana suamimu?" tanya Raharjo dengan nada dingin nan ketus. Sebuah bukti lain bahwa dugaan Diana sama sekali tidak meleset. Bapaknya sedang emosi berat! "A-ada." jawabnya terbata. "Tapi bang Nata se--""Papa nggak peduli, Na! Bawa papa ke sana atau bawa dia kemari!" potong suara itu tegas. Diana sama sekali tidak bisa membantah, ia segera mengangguk, mempersilahkan dua orang itu untuk mengikuti langkahnya. Dengan sedikit tergesa, Diana membawa mereka ke kamar utama, tempat di mana saat ini Nata, sang suami tengah beristirahat untuk persiapan kemoterapi esok pagi.Pintu kokoh nan besar itu terbuka, bersamaan dengan terbukanya pintu, Nata yang tengah duduk bersandar di head bed sembari menatap layar iPadn
"Danu kesana, Opa." jawab Danu dengan nada serius. "Niatnya mau ngatur supaya dia dan Asha bertemu, biar mereka bisa saling kenal dan dekat. Namun yang terjadi seperti ini, agaknya semesta memang tidak mengizinkan Asha menikah dengannya."Raharjo mendengus perlahan, telinganya masih fokus menangkap rekaman tersebut diputar, hingga pada percakapan itu, Raharjo mengepalkan dan menggebrak meja keras-keras. "KURANG AJAR!" pekiknya penuh emosi. "TUNDA KEBERANGKATANMU KE QATAR, NU! KITA HAJAR MEREKA SAMPAI MAMPUS!" umpat Raharjo keluar sifat aslinya yang tempramen. Danu bergidik ngeri, ia sudah bisa menebak bahwa inilah yang akan terjadi. Tapi bukankah itu bagus? Itu artinya Asha akan terselamatkan dari akal bulus dan niat licik lelaki itu. "Ja--""MAN, ARMAN!" pekik Raharjo yang membuat Danu mengernyit sembari menutup telinga. Sebenarnya ini bukan hal baru, ia atau seluruh keluarga besar sudah hafal tabiat dari kakeknya ini, apalagi dalam kondisi murka dan dibalut emosi. Tapi tetap saj
Danu melangkah keluar dari pintu lift, sorot matanya menyiratkan kemarahan. Ia kembali menghampiri front office, menemui wanita yang menerima kedatangannya tadi. "Sudah ke--"Danu merogoh saku, menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada wanita itu. Bisa dia lihat wajahnya terkejut. "Tolong, jangan laporkan ke Revan kalau saya tadi kemari dan hendak menemuinya. Kamu belum memberitahukan kedatangan saya ke sekretaris dia, kan?" tanya Danu dengan nada suara dingin. "Be-belum, Pak." jawabnya tergagap. "Bagus!" Danu menjejalkan uang itu ke tangan wanita itu. "Anggap saja saya tidak pernah datang dan tidak pernah kamu antar ke atas. Oke?""Ba-baik, Pak. Terimakasih banyak!" ucapnya lalu segera menarik tangan dan menyembunyikan di bawah meja. Danu mengangguk pelan, ia segera melangkah pergi, keluar dari gedung itu dan kembali ke mobilnya. Tangan Danu mengepal kuat, ada untungnya juga dia mendengarkan intuisinya tadi. Rupanya semesta memang ingin menunjukkan sesuatu padanya. D
Ista menutup pintu, ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut Penthouse, ia tidak mendapati Asha ada di sana. Dengan segera Ista melangkah, menyusuri balkon namun tetap nihil. Ada sedikit perasaan takut mencengkram hati Ista, bagaimana kalau--"Kamu dari mana sih, Ta?"Pertanyaan itu tidak hanya membuat Ista melonjak terkejut, tetapi juga sangat lega. Ista menoleh dan benar saja, Asha sudah berdiri sembari menatapnya dengan tatapan gemas. "Ada urusan tadi." jawab Ista sembari menghampiri sosok itu. "Udah makan?" tanyanya dengan mata yang tertuju pada perut Asha. Masih rata. Lagipula dia tidak menampakkan tanda-tanda kehamilan. Apakah benar Asha sedang hamil saat ini? "Belum, males makan." jawabnya singkat sembari menghampiri kursi, meluruskan kaki dan nampak menengadahkan kepala mengikuti kontur kursi. Ista tersenyum, ia merogoh ponsel, memotret Asha dan mengirimkannya pada sosok itu. Benar saja, tak selang lama panggilan video masuk, membuat Ista celingak-celinguk mengamati sekit