LOGINKring! Kring! Kring!
Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam. Sheilla. Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian. "Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan. Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata. Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi kecil di pojok kamar. Cermin retak di atas wastafel memantulkan wajahnya yang kusut. Air dingin dari kran mengguyur wajahnya. Gilbert menggosok mukanya kasar, berharap air dingin bisa menghapus bayangan Sheilla dari pikirannya. Tapi sia-sia. Bayangan itu semakin kuat, semakin nyata. "Gila, gue kenapa sih? Baru ketemu sekali doang," gerutunya sambil menutup kran dengan keras. Setelah berganti pakaian dengan kaos hitam polos dan celana training abu-abu, Gilbert duduk di meja belajarnya yang penuh dengan buku dan tumpukan kertas. Ia membuka laptop, berniat menyelesaikan tugas Metode Penelitian yang kemarin belum selesai dikerjakan bersama Seta. Jari-jarinya mengetik di keyboard, mencoba fokus pada data yang tertera di layar. Tapi matanya hanya menatap kosong. Huruf-huruf dan angka-angka di layar laptop seolah berubah menjadi bayangan Sheilla. Gilbert menutup laptopnya dengan keras. "Sial!" Ia berdiri dari kursi, berjalan mondar-mandir di kamar sempit itu. Tangannya mengacak rambutnya frustasi. Ini tidak wajar. Gilbert tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Ia pernah punya pacar waktu semester satu, tapi hubungan itu berakhir karena mereka merasa tidak cocok. Sejak itu, Gilbert fokus pada kuliah dan tidak tertarik dengan perempuan lain. Sampai kemarin. Sampai ia bertemu Sheilla. Ponsel di atas meja bergetar. Gilbert mengambilnya dengan cepat. Sebuah pesan dari Rina, teman sekelasnya. "Gil, lagi ngapain? Yuk ke kantin, gue lagi nunggu di sana. Pengen ngobrol." Gilbert menatap pesan itu beberapa detik. Rina sudah beberapa kali mengajaknya nongkrong dua orang saja. Gilbert tahu Rina menyukainya—itu terlihat jelas dari cara gadis itu menatapnya di kelas atau bagaimana Rina selalu mencari alasan untuk berbicara dengannya. Tapi Gilbert tidak pernah menanggapi lebih dari sekadar teman biasa. "Oke, tunggu bentar. Gue ke sana." Gilbert mengambil kunci motor dan dompetnya, lalu keluar dari kamar kost. Motor bebek tuanya dihidupkan dengan dua kali tendangan. Gilbert melaju pelan menuju kampus yang jaraknya hanya sekitar sepuluh menit dari kostnya. Kampus UNPAD di hari Sabtu pagi tidak seramai hari biasa. Kantin masih sepi, baru beberapa meja yang terisi pengunjung. Gilbert melihat Rina duduk di meja pojok dekat jendela. Gadis itu mengenakan kaos pink dan celana jeans, rambutnya dikuncir tinggi. Wajahnya cerah saat melihat Gilbert mendekat. "Hai, Gil! Sini duduk!" sapa Rina antusias sambil melambaikan tangan. Gilbert duduk di kursi berhadapan dengan Rina. "Hai. Udah pesen?" Rina mengangguk sambil tersenyum lebar. "Udah. Aku pesanin kamu es teh manis sama pisang goreng. Kamu suka kan?" Gilbert tersenyum tipis. "Makasih." Rina bersandar di kursinya, menatap Gilbert dengan mata berbinar. "Kemarin tugas kelompok sama Seta udah selesai? Katanya kalian ke rumahnya?" Gilbert mengangguk sambil memainkan ponselnya. "Belum selesai sih. Baru bikin kerangka. Nanti dilanjutin lagi." Rina mendekatkan tubuhnya, tangannya hampir menyentuh tangan Gilbert di atas meja. "Kalau butuh bantuan, bilang aja. Aku bisa bantu kok. Atau kita bisa belajar bareng, cuma berdua..." Ada nada menggoda dalam suara Rina. Gilbert menarik tangannya perlahan, pura-pura menggaruk kepala. "Nggak usah repot-repot. Lagian kamu juga pasti sibuk sama tugas kelompok kamu sendiri." Rina cemberut. "Masa iya sih kamu nggak pernah bisa luang waktu buat aku? Aku kan cuma mau deket sama kamu, Gil." Gilbert merasa tidak nyaman. Ia melirik ke arah lain, menghindari tatapan Rina yang penuh harap. Dalam hatinya, ia membandingkan Rina dengan Sheilla. Rina memang cantik dengan cara yang terang-terangan—makeup tebal, pakaian mencolok, gaya bicara yang agresif. Tapi semua itu terasa terlalu ramai, terlalu memaksa. Sheilla berbeda. Pesonanya natural, tenang, elegan tanpa usaha berlebihan. Cara bicaranya lembut tapi berbobot. Senyumannya tulus tanpa pretensi. Gilbert menghela napas panjang dalam hati. "Rin, maaf ya. Gue lagi banyak pikiran. Tugas numpuk banget semester ini." Rina menunduk kecewa. Untungnya pesanan mereka datang, mengalihkan ketegangan yang mulai terasa. Mereka makan dalam diam. Gilbert mengunyah pisang gorengnya tanpa selera. Pikirannya melayang lagi ke rumah mewah di Dago kemarin sore. Bertanya-tanya apa yang sedang Sheilla lakukan sekarang. Setelah selesai makan, Gilbert berpamitan dengan alasan harus kembali ke kost menyelesaikan tugas. Rina terlihat kecewa tapi tidak bisa menahan Gilbert lebih lama. Gilbert mengendarai motornya kembali ke kost dengan pikiran kalut. Ponselnya bergetar di saku celana saat ia sampai di depan pintu kamar kostnya. Panggilan dari Seta. Gilbert mengangkat sambil membuka pintu kamar. "Halo, Set." "Gil! Besok gue ada main futsal sama anak-anak kelas sebelah. Lu ikut nggak?" Gilbert melempar kunci motor ke meja. "Besok? Jam berapa?" "Jam delapan pagi. Gimana?" Gilbert berpikir sebentar. "Oke deh, gue ikut." "Mantap! Oh iya, nanti siang sekalian mampir ke rumah gue lagi. Kita lanjutin tugas kemarin. Gimana?" Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar tawaran itu. Berarti ia akan bertemu Sheilla lagi. "Boleh. Gue siap." Ada jeda sebentar di sambungan telepon. Gilbert mengambil kesempatan untuk bertanya dengan hati-hati. "Set, boleh gue tanya sesuatu?" "Apa?" Gilbert menarik napas dalam. "Mama itu... ibu tiri lu ya?" Seta tertawa kecil di seberang sana. "Iya. Kenapa emang?" Gilbert merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. "Oh gitu..." "Kenapa sih tiba-tiba nanya? Lu tertarik sama Sheilla ya?" canda Seta dengan nada bercanda. Gilbert nyaris tersedak ludahnya sendiri. "Nggak lah! Gue cuma penasaran aja. Keliatan baik orangnya." Seta tertawa. "Iya, Sheilla emang baik. Dia selalu ramah sama temen-temen gue. Oke deh, gue tutup dulu. Besok jangan telat!" "Siap!" Sambungan telepon terputus. Gilbert melempar tubuhnya ke tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Informasi yang baru saja didapatnya malah membuat pikirannya semakin kacau. Sheilla baru tiga puluh dua tahun. Masih sangat muda. Menikah dengan ayah Seta yang pasti jauh lebih tua darinya. Kenapa? Cinta? Atau ada alasan lain? Gilbert menggelengkan kepala kuat-kuat. Ini bukan urusannya. Ia tidak berhak memikirkan hal-hal seperti itu. Waktu berlalu tanpa terasa. Sore berubah menjadi malam. Gilbert menghabiskan waktu dengan mencoba mengerjakan tugas, menonton video di YouTube, dan scrolling media sosial tanpa tujuan. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Bayangan Sheilla terus menghantuinya. Tengah malam. Kamar kost sudah sepi. Gilbert terbaring di tempat tidur, menatap layar ponselnya yang menyala dalam kegelapan. Tangannya bergerak tanpa sadar membuka aplikasi I*******m. Jarinya mengetik nama "Sheilla" di kolom pencarian. Gilbert berhenti. Jarinya melayang di atas layar. Napasnya tertahan. "Apa yang sedang kulakukan? Dia ibu tiri sahabatku sendiri..." Suara hatinya berbisik pelan, memperingatkan. Tapi rasa penasaran itu terlalu kuat. Seperti magnet yang menarik tanpa bisa ditolak. Gilbert ingin tahu lebih banyak tentang wanita yang telah mengacaukan pikirannya sejak kemarin sore. Dengan napas yang masih tertahan, jantung berdegar keras, Gilbert menekan tombol search.Kring! Kring! Kring!Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang."Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran."Iya, ada apa, Set?"Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai."Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?"Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal."Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya."Seta mengangguk mengerti."Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut."Gi
Motor bebek Gilbert melaju melintasi jalanan Setiabudi. Angin pagi Sabtu sejuk menyapu wajahnya. Di jok belakang tersampir tas kamera berisi DSLR Canon—barang paling berharga dari hasil kerja part time setahun.Ponselnya di holder motor menampilkan GPS. Lima menit lagi sampai studio desain Sheilla. Jantungnya berdebar lebih kencang.Seminggu sudah sejak pertemuan di kafe Braga. Sejak momen di parkiran saat hujan. Sejak Sheilla mengatakan ini terlalu berbahaya. Tapi kemarin malam, wanita itu mengirim pesan meminta bantuan foto portofolio studio.Gilbert tentu menjawab iya. Bukan karena uang, tapi kesempatan bertemu Sheilla lagi.Motor berhenti di depan ruko dua lantai minimalis modern. Plang "Sheilla Interior Design" terpasang dengan font elegan berwarna gold. Kaca besar memperlihatkan interior apik bergaya skandinavia.Gilbert turun, melepas helm, mengambil tas kameranya. Ia merapikan rambut di kaca spion sebelum melangkah masuk.Sheilla berdiri di depan meja kerja penuh sketsa dan ma
"Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?"David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab."Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?"Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja."David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!"Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?"David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya."Gilbert ha
Tulang punggung dan lehernya berbunyi saat diregangkan. Gilbert mengambil gelas berisi kopi hitam yang sudah dingin di meja. Meneguknya dalam satu tegukan besar.Rasa pahit kopi instan murahan menyengat tenggorokannya. Tapi ia butuh kafein untuk tetap terjaga. Masih ada dua halaman lagi yang harus diselesaikan."Oke, fokus. Tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengetuk-ketuk jari di meja.Ia kembali mengetik dengan fokus penuh. Suara keyboard laptop tua miliknya terdengar berisik di tengah kesunyian malam.Tiga puluh menit kemudian, Gilbert akhirnya menekan tombol save terakhir kali."Selesai juga!" ucapnya lega sambil bersandar di kursi putar yang sudah miring sebelah.Ia menutup laptop dan meraih ponsel. Layar menampilkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gilbert membuka aplikasi media sosial, scrolling tanpa tujuan untuk menenangkan pikirannya.Bzzt! Bzzt!Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Gilbert mengerutkan dahi, penasa
"Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang."Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi.Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu."Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan.Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat."Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert.Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas."Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun Instagram Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keingi
Kring! Kring! Kring!Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam.Sheilla.Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian."Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata.Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ka







