Share

Bab 2

last update Huling Na-update: 2025-11-01 13:08:06

Kring! Kring! Kring!

Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam.

Sheilla.

Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian.

"Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.

Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata.

Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi kecil di pojok kamar. Cermin retak di atas wastafel memantulkan wajahnya yang kusut.

Air dingin dari kran mengguyur wajahnya. Gilbert menggosok mukanya kasar, berharap air dingin bisa menghapus bayangan Sheilla dari pikirannya. Tapi sia-sia. Bayangan itu semakin kuat, semakin nyata.

"Gila, gue kenapa sih? Baru ketemu sekali doang," gerutunya sambil menutup kran dengan keras.

Setelah berganti pakaian dengan kaos hitam polos dan celana training abu-abu, Gilbert duduk di meja belajarnya yang penuh dengan buku dan tumpukan kertas. Ia membuka laptop, berniat menyelesaikan tugas Metode Penelitian yang kemarin belum selesai dikerjakan bersama Seta.

Jari-jarinya mengetik di keyboard, mencoba fokus pada data yang tertera di layar. Tapi matanya hanya menatap kosong. Huruf-huruf dan angka-angka di layar laptop seolah berubah menjadi bayangan Sheilla. Gilbert menutup laptopnya dengan keras.

"Sial!"

Ia berdiri dari kursi, berjalan mondar-mandir di kamar sempit itu. Tangannya mengacak rambutnya frustasi. Ini tidak wajar. Gilbert tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Ia pernah punya pacar waktu semester satu, tapi hubungan itu berakhir karena mereka merasa tidak cocok. Sejak itu, Gilbert fokus pada kuliah dan tidak tertarik dengan perempuan lain.

Sampai kemarin. Sampai ia bertemu Sheilla.

Ponsel di atas meja bergetar. Gilbert mengambilnya dengan cepat. Sebuah pesan dari Rina, teman sekelasnya.

"Gil, lagi ngapain? Yuk ke kantin, gue lagi nunggu di sana. Pengen ngobrol."

Gilbert menatap pesan itu beberapa detik. Rina sudah beberapa kali mengajaknya nongkrong dua orang saja. Gilbert tahu Rina menyukainya—itu terlihat jelas dari cara gadis itu menatapnya di kelas atau bagaimana Rina selalu mencari alasan untuk berbicara dengannya. Tapi Gilbert tidak pernah menanggapi lebih dari sekadar teman biasa.

"Oke, tunggu bentar. Gue ke sana."

Gilbert mengambil kunci motor dan dompetnya, lalu keluar dari kamar kost. Motor bebek tuanya dihidupkan dengan dua kali tendangan. Gilbert melaju pelan menuju kampus yang jaraknya hanya sekitar sepuluh menit dari kostnya.

Kampus UNPAD di hari Sabtu pagi tidak seramai hari biasa. Kantin masih sepi, baru beberapa meja yang terisi pengunjung.

Gilbert melihat Rina duduk di meja pojok dekat jendela. Gadis itu mengenakan kaos pink dan celana jeans, rambutnya dikuncir tinggi. Wajahnya cerah saat melihat Gilbert mendekat.

"Hai, Gil! Sini duduk!" sapa Rina antusias sambil melambaikan tangan.

Gilbert duduk di kursi berhadapan dengan Rina. "Hai. Udah pesen?"

Rina mengangguk sambil tersenyum lebar. "Udah. Aku pesanin kamu es teh manis sama pisang goreng. Kamu suka kan?"

Gilbert tersenyum tipis. "Makasih."

Rina bersandar di kursinya, menatap Gilbert dengan mata berbinar. "Kemarin tugas kelompok sama Seta udah selesai? Katanya kalian ke rumahnya?"

Gilbert mengangguk sambil memainkan ponselnya. "Belum selesai sih. Baru bikin kerangka. Nanti dilanjutin lagi."

Rina mendekatkan tubuhnya, tangannya hampir menyentuh tangan Gilbert di atas meja. "Kalau butuh bantuan, bilang aja. Aku bisa bantu kok. Atau kita bisa belajar bareng, cuma berdua..."

Ada nada menggoda dalam suara Rina. Gilbert menarik tangannya perlahan, pura-pura menggaruk kepala. "Nggak usah repot-repot. Lagian kamu juga pasti sibuk sama tugas kelompok kamu sendiri."

Rina cemberut. "Masa iya sih kamu nggak pernah bisa luang waktu buat aku? Aku kan cuma mau deket sama kamu, Gil."

Gilbert merasa tidak nyaman. Ia melirik ke arah lain, menghindari tatapan Rina yang penuh harap. Dalam hatinya, ia membandingkan Rina dengan Sheilla. Rina memang cantik dengan cara yang terang-terangan—makeup tebal, pakaian mencolok, gaya bicara yang agresif. Tapi semua itu terasa terlalu ramai, terlalu memaksa.

Sheilla berbeda. Pesonanya natural, tenang, elegan tanpa usaha berlebihan. Cara bicaranya lembut tapi berbobot. Senyumannya tulus tanpa pretensi. Gilbert menghela napas panjang dalam hati.

"Rin, maaf ya. Gue lagi banyak pikiran. Tugas numpuk banget semester ini."

Rina menunduk kecewa. Untungnya pesanan mereka datang, mengalihkan ketegangan yang mulai terasa.

Mereka makan dalam diam. Gilbert mengunyah pisang gorengnya tanpa selera. Pikirannya melayang lagi ke rumah mewah di Dago kemarin sore. Bertanya-tanya apa yang sedang Sheilla lakukan sekarang.

Setelah selesai makan, Gilbert berpamitan dengan alasan harus kembali ke kost menyelesaikan tugas. Rina terlihat kecewa tapi tidak bisa menahan Gilbert lebih lama.

Gilbert mengendarai motornya kembali ke kost dengan pikiran kalut. Ponselnya bergetar di saku celana saat ia sampai di depan pintu kamar kostnya. Panggilan dari Seta. Gilbert mengangkat sambil membuka pintu kamar.

"Halo, Set."

"Gil! Besok gue ada main futsal sama anak-anak kelas sebelah. Lu ikut nggak?"

Gilbert melempar kunci motor ke meja. "Besok? Jam berapa?"

"Jam delapan pagi. Gimana?"

Gilbert berpikir sebentar. "Oke deh, gue ikut."

"Mantap! Oh iya, nanti siang sekalian mampir ke rumah gue lagi. Kita lanjutin tugas kemarin. Gimana?"

Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar tawaran itu. Berarti ia akan bertemu Sheilla lagi.

"Boleh. Gue siap."

Ada jeda sebentar di sambungan telepon. Gilbert mengambil kesempatan untuk bertanya dengan hati-hati. "Set, boleh gue tanya sesuatu?"

"Apa?"

Gilbert menarik napas dalam. "Mama itu... ibu tiri lu ya?"

Seta tertawa kecil di seberang sana. "Iya. Kenapa emang?"

Gilbert merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. "Oh gitu..."

"Kenapa sih tiba-tiba nanya? Lu tertarik sama Sheilla ya?" canda Seta dengan nada bercanda.

Gilbert nyaris tersedak ludahnya sendiri. "Nggak lah! Gue cuma penasaran aja. Keliatan baik orangnya."

Seta tertawa. "Iya, Sheilla emang baik. Dia selalu ramah sama temen-temen gue. Oke deh, gue tutup dulu. Besok jangan telat!"

"Siap!"

Sambungan telepon terputus. Gilbert melempar tubuhnya ke tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Informasi yang baru saja didapatnya malah membuat pikirannya semakin kacau.

Sheilla baru tiga puluh dua tahun. Masih sangat muda. Menikah dengan ayah Seta yang pasti jauh lebih tua darinya. Kenapa? Cinta? Atau ada alasan lain?

Gilbert menggelengkan kepala kuat-kuat. Ini bukan urusannya. Ia tidak berhak memikirkan hal-hal seperti itu.

Waktu berlalu tanpa terasa. Sore berubah menjadi malam. Gilbert menghabiskan waktu dengan mencoba mengerjakan tugas, menonton video di YouTube, dan scrolling media sosial tanpa tujuan. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Bayangan Sheilla terus menghantuinya.

Tengah malam. Kamar kost sudah sepi. Gilbert terbaring di tempat tidur, menatap layar ponselnya yang menyala dalam kegelapan.

Tangannya bergerak tanpa sadar membuka aplikasi I*******m. Jarinya mengetik nama "Sheilla" di kolom pencarian.

Gilbert berhenti. Jarinya melayang di atas layar. Napasnya tertahan.

"Apa yang sedang kulakukan? Dia ibu tiri sahabatku sendiri..."

Suara hatinya berbisik pelan, memperingatkan. Tapi rasa penasaran itu terlalu kuat. Seperti magnet yang menarik tanpa bisa ditolak. Gilbert ingin tahu lebih banyak tentang wanita yang telah mengacaukan pikirannya sejak kemarin sore.

Dengan napas yang masih tertahan, jantung berdegar keras, Gilbert menekan tombol search.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 94

    Sore itu Gilbert duduk di kafe langganannya dekat kampus, laptop terbuka dengan beberapa file editing foto yang sedang ia kerjakan. Ia sengaja datang lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum bertemu Kevin yang tadi pagi tiba-tiba mengajaknya ngopi.Ponselnya bergetar. Pesan dari Kevin:Gue udah sampai parkiran. Sebentar lagi masuk.Gilbert membalas dengan emoji jempol, lalu kembali fokus pada layar.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka. Kevin masuk dengan senyum lebar yang entah kenapa terlihat… mencurigakan. Dan di sampingnya, berjalan seorang perempuan muda yang jelas lebih muda dari mereka.Gilbert mengerutkan kening. Dia tidak ingat Kevin bilang akan membawa orang lain.“Bro! Sorry lama!”Kevin menghampirinya dengan antusias berlebihan, dan perempuan muda itu mengikuti dengan langkah sedikit gugup.Gilbert berdiri sopan, menutup laptop.“Tidak apa-apa. Gue juga baru sampai.”Lalu dia melirik ke perempuan yang berdiri di samping Kevin dengan canggung. Tingginya sekit

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 93

    Kampus Universitas Parahyangan di sore hari biasanya ramai dengan mahasiswa yang keluar masuk gedung fakultas. Gilbert baru saja selesai bertemu dengan Profesor Hendra untuk finalisasi tugas akhirnya. Ia berjalan menuju parkiran dengan tas ransel di punggung dan ponsel di tangan, tersenyum membaca pesan dari Sheilla.“Bro! Gilbert!”Suara familiar memanggilnya dari sisi kanan. Gilbert menoleh dan melihat Kevin berlari kecil menghampirinya dengan senyum lebar.Kevin Hartanto. Teman satu angkatan sekaligus teman dekat Seta. Tinggi, berpostur atletis, selalu memakai snapback dan hoodie meskipun cuaca panas.“Kevin! Lama nggak ketemu.”Gilbert tersenyum, berhenti dan menunggu Kevin sampai.“Iya! Lu ke mana aja, bro? Udah seminggu nggak kelihatan. Group chat juga lu jarang reply. Gue pikir lu menghilang dari muka bumi.”Nada Kevin bercanda, tapi jelas ada kekhawatiran di baliknya.Gilbert menggaruk tengkuk, mencari alasan yang masuk akal.“Sibuk di studio, Kev. Lagi banyak project. Client

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   bab 92

    Apartemen Sheilla dipenuhi aroma masakan Italia yang harum. Sheilla sibuk di dapur menyiapkan makan malam, sementara Gilbert membantu menata meja dengan teliti. Hari ini adalah hari penting. Rania akan datang untuk secara resmi bertemu Gilbert.“Kamu gugup?”Sheilla bertanya sambil mengaduk saus pasta.Gilbert yang sedang melipat serbet dengan rapi menghentikan gerakannya sejenak.“Sedikit. Rania sahabat terbaikmu. Pendapat dia penting.”Sheilla tersenyum, berjalan mendekat dan mengecup pipi Gilbert lembut.“Dia bakal suka kamu. Aku yakin.”“Aku harap.”Gilbert menarik napas dalam, melanjutkan pekerjaannya.Tepat pukul tujuh malam, bel apartemen berbunyi. Gilbert refleks menegakkan postur dan merapikan kemejanya yang sebenarnya sudah sangat rapi.Sheilla membuka pintu. Rania berdiri di sana dengan dress hitam yang stylish, heels merah, dan senyum lebar yang sedikit intimidating.“Halo sayang!”Rania memeluk Sheilla, lalu matanya langsung mencari Gilbert yang berdiri di ruang makan.“D

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   bab 91

    Ketukan pintu apartemen Sheilla terdengar dengan pola yang familiar. Tiga ketukan cepat, jeda, dua ketukan lagi. Kode yang hanya digunakan satu orang.Rania.Sheilla membuka pintu, dan di sana berdiri sahabatnya sejak kuliah. Rania Kusuma. Tiga puluh empat tahun. Rambut sebahu dengan highlight karamel. Mengenakan blazer pink fuchsia di atas jeans hitam dan heels. Kacamata hitam besar bertengger di atas kepala. Membawa dua cup coffee dan paper bag yang jelas berisi pastry."Halo sayang! Gue bawa ammunition. Coffee dan croissant. Karena dari suara lo di telepon tadi pagi, kayaknya kita butuh serious girl talk."Rania langsung masuk tanpa menunggu undangan, kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.Sheilla menutup pintu, tersenyum melihat energi Rania yang selalu infectious."Thanks, Ran. Kamu emang yang terbaik."Mereka duduk di sofa, Rania mendistribusikan coffee dan croissant sebelum menatap Sheilla dengan tatapan investigatif."Oke. Spill. Lo bilang ada big news. Dan dari tone

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 90

    Gedung firma hukum Prasetya & Associates berdiri megah di kawasan bisnis pusat kota Bandung. Sheilla berdiri di depan pintu kaca besar, tas tangan di genggamannya berisi map tebal penuh bukti-bukti yang sudah dia kumpulkan dengan teliti. Napasnya ditarik dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar keras.Ini adalah langkah besar. Langkah yang akan mengubah hidupnya selamanya.Tapi dia siap. Sangat siap.Sheilla mendorong pintu, melangkah masuk ke lobby yang elegan dengan lantai marmer mengkilap dan resepsionis yang tersenyum profesional.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”Resepsionis muda itu bertanya dengan ramah.“Saya ada janji dengan Pak Carlos Prasetya. Jam sepuluh. Atas nama Sheilla Hartanto.”“Sebentar, Bu.”Resepsionis mengecek jadwal di komputer, lalu mengangguk.“Silakan naik ke lantai lima, ruangan lima nol dua. Pak Carlos sudah menunggu.”“Terima kasih.”Sheilla berjalan ke lift dengan langkah yang lebih mantap dari yang dia rasakan. Dalam lift, dia

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 89

    Cahaya matahari pagi menyusup melalui celah gorden apartemen Sheilla yang kini terasa berbeda. Lebih hidup. Lebih hangat. Lebih seperti rumah.Gilbert berdiri di dapur hanya dengan mengenakan celana training, dada telanjangnya menampilkan otot-otot terdefinisi hasil latihan gym yang konsisten. Ia sedang membalik telur dadar di wajan dengan gerakan yang sudah terbiasa, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.Ini sudah minggu ketiga Gilbert praktis tinggal di sini. Pakaiannya menggantung di lemari Sheilla. Sikat giginya ada di kamar mandi. Sepatu-sepatunya berjejer rapi di rak sepatu. Semua tanda bahwa dia bukan lagi sekadar tamu, tapi penghuni.Gilbert tidak mendengar suara langkah kecil yang mendekat dari belakang. Baru ketika dua tangan melingkar di pinggangnya, menariknya ke pelukan hangat, ia tersenyum.Selamat pagi, sayang.Suara Sheilla pelan, masih serak baru bangun tidur, bibirnya menyentuh punggung telanjang Gilbert dengan lembut.Pagi.Gilbert meletakkan spatula, tangann

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status