LOGIN"Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.
Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang. "Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi. Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu." Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan. Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat. "Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert. Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas." Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun I*******m Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keinginan bertemu wanita itu semakin membesar. "Oke. Yuk berangkat sekarang." Mereka berkendara menuju rumah Seta. Pagar otomatis terbuka. Mereka memarkir motor di carport. Pintu rumah terbuka. Aroma masakan lezat menyeruak dari dalam rumah, membuat perut Gilbert keroncongan. "Wah, bau masakan Mama udah kecium dari sini," kata Seta. Mereka melangkah masuk. Suara pisau memotong di talenan terdengar dari arah dapur. Gilbert mengikuti Seta menuju dapur. Sheilla berdiri di depan island kitchen, sedang memotong wortel. Ia mengenakan apron putih di atas dress kasual hijau mint. Rambutnya diikat setengah ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya. Wajahnya terlihat segar tanpa makeup menor. "Kalian sudah pulang? Main futsalnya seru?" tanya Sheilla sambil menoleh dengan senyuman hangat. Seta mengangguk antusias. "Seru banget, Ma! Tim aku menang. Gilbert mainnya keren." Sheilla melirik Gilbert sambil tersenyum. "Wah, hebat dong. Pasti capek ya? Mandi dulu sana, nanti aku siapin makan siang." Gilbert membalas senyuman dengan canggung. "Terima kasih, Kak Sheilla." Seta dan Gilbert bergantian mandi. Air dingin yang mengguyur tubuh Gilbert terasa sangat menyegarkan. Ia berganti pakaian dengan kaos putih dan celana pendek hitam. Seta masih mandi. Gilbert keluar duluan, bimbang sejenak, lalu langkahnya menuju dapur. Sheilla masih sibuk di depan kompor, mengaduk sesuatu di dalam wajan besar. Aroma tumis bawang putih dan cabai menggoda. "Kak Sheilla," panggil Gilbert pelan. Sheilla menoleh. "Oh, sudah selesai mandi? Seta masih lama?" Gilbert menggaruk belakang kepalanya. "Iya, dia masih mandi. Ehm... butuh bantuan, Kak?" Sheilla tertawa kecil. "Kamu mau bantu? Wah, jarang lho ada cowok muda yang mau masuk dapur." Gilbert melangkah lebih dekat. "Aku di kost sering masak sendiri, Kak. Jadi lumayan terbiasa." Sheilla menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan ada kekaguman, ada ketertarikan, ada kehangatan. "Oke kalau gitu. Kamu bisa ambilkan piring-piring di rak itu? Siapkan tiga set di meja makan." Gilbert dengan sigap mengambil piring-piring keramik putih dan mulai menata dengan rapi. Sheilla sesekali melirik Gilbert, memperhatikan cara pemuda itu menata meja dengan teliti. "Kamu rapi juga ya ternyata." Gilbert tersenyum. "Kebiasaan, Kak. Ibu aku dulu selalu ngajarin buat rapi." Sheilla mematikan kompor dan mengangkat wajan berisi tumis ayam brokoli yang masih mengepulkan uap panas. Membawanya ke meja makan. "Bantu ambilkan nasi di rice cooker ya, Gilbert. Taruh di mangkuk besar yang di sebelahnya." Gilbert mengangguk dan berjalan ke dapur. Ia membuka rice cooker. Uap panas keluar menyembul. Gilbert menyendok nasi dengan hati-hati ke dalam mangkuk besar. Saat ia meraih piring terakhir, tangan Sheilla yang juga meraih piring yang sama tanpa sengaja bersentuhan dengan tangannya. Sentuhan itu hanya sekilas. Tapi cukup untuk membuat listrik kecil menjalar di tubuh Gilbert. Kulitnya yang hangat dan lembut terasa sangat nyata. Gilbert cepat-cepat menarik tangannya. "Ah, maaf, Kak!" Sheilla tersenyum, pipinya sedikit merona. "Nggak apa-apa." Mereka berdiri dalam diam canggung. Jarak di antara mereka hanya beberapa puluh sentimeter. Gilbert bisa mencium aroma parfum lembut Sheilla. Wangi bunga melati yang menenangkan. "Eh, kalian ngapain? Gue laper nih!" suara Seta memecah keheningan. Seta muncul dengan rambut masih basah. Sheilla buru-buru menjauh dari Gilbert. "Udah siap kok. Ayo duduk, kita makan." Mereka bertiga duduk di meja makan. Sheilla di posisi kepala meja, sementara Seta dan Gilbert berhadapan. Makanan tersaji lengkap: tumis ayam brokoli, ikan goreng garing, sayur asem, dan sambal terasi. "Wah, enak banget, Ma! Kayak biasa deh, masakan Mama tuh juara," puji Seta. Sheilla tersenyum puas. "Alhamdulillah. Gilbert, coba dicicipi. Semoga sesuai selera." Gilbert menyendok tumis ayam brokoli dan memasukkannya ke mulut. Tekstur brokoli yang renyah, ayam yang empuk, dan bumbu yang meresap sempurna memanjakan lidahnya. "Enak banget, Kak! Serius, ini enak banget!" puji Gilbert dengan mata berbinar. Sheilla tertawa senang. Pipinya merona sedikit. "Makasih ya. Jadi semangat masaknya kalau ada yang mengapresiasi." Sambil makan, mereka mengobrol santai. Seta bercerita tentang pertandingan futsal dengan antusias. Gilbert lebih banyak diam, tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arah Sheilla. Setiap kali Sheilla tertawa, hatinya berdegup kencang. Setiap kali wanita itu menatapnya, napasnya tercekat. "Gilbert, kamu kuliah ambil konsentrasi apa?" tanya Sheilla tiba-tiba. Gilbert tersadar dari lamunannya. "Manajemen Pemasaran, Kak. Aku tertarik sama strategi marketing, terutama yang digital." Sheilla mengangguk. "Wah, bagus itu. Sekarang zamannya digital semua. Kamu ada rencana kerja di mana setelah lulus?" Gilbert mengangkat bahu. "Belum kepikiran jauh sih, Kak. Mungkin coba di startup atau bikin usaha sendiri." Sheilla tersenyum kagum. "Ambisius juga. Bagus kok punya mimpi gede. Kalau Kakak dulu juga gitu, langsung bikin studio desain interior sendiri setelah lulus." Gilbert tertarik. "Oh iya, Kak Sheilla kerja sebagai interior designer kan? Seru nggak?" Mata Sheilla berbinar. "Seru banget! Aku suka banget liat ruangan kosong terus dibuat jadi cantik dan fungsional. Rasanya puas banget kalau klien senang." Mereka larut dalam obrolan tentang pekerjaan dan rencana masa depan. Seta yang sudah selesai makan ijin untuk main game. "Kalian lanjutin aja ngobrolnya. Gue mau main dulu," kata Seta. Tinggal Gilbert dan Sheilla berdua. Suasana tiba-tiba terasa lebih intim. Gilbert merasa gugup tapi senang. "Kak Sheilla... boleh aku tanya sesuatu?" tanya Gilbert hati-hati. Sheilla menatapnya dengan lembut. "Boleh. Apa?" Gilbert ragu sejenak. "Suami Kakak... maksud aku, Pak Arman, dia nggak di rumah?" Sheilla menggeleng. "Dia lagi ke Jakarta. Ada urusan bisnis. Pulangnya Selasa nanti." Gilbert hanya mengangguk. Dalam hatinya ada perasaan lega, meskipun ia tahu itu perasaan yang salah. Setelah makan siang, mereka membereskan meja bersama. Tangan mereka beberapa kali hampir bersentuhan saat mengangkat piring. Setiap kali itu terjadi, ada tegangan kecil yang tercipta—sesuatu yang tidak terucap tapi terasa jelas. Waktu berlalu cepat. Gilbert dan Seta naik ke kamar untuk melanjutkan tugas, tapi fokus Gilbert masih terpecah. Pikirannya terus melayang ke sosok Sheilla. Sore menjelang. Gilbert berpamitan untuk pulang. Sheilla mengantarnya ke teras depan. Angin sore berhembus lembut, mengusik rambut Sheilla yang sudah terurai. Cahaya senja membuat wajahnya semakin cantik. "Kamu mahasiswa yang menarik, Gilbert," ucap Sheilla sambil tersenyum. "Jarang ada anak seumuranmu yang bisa ngobrol se-dewasa ini." Gilbert menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang memburu. "Terima kasih, Kak Sheilla." Sheilla tertawa kecil. "Panggil Kakak aja. Nggak usah formal-formal." Gilbert mengangguk canggung. "Baik, Kak. Aku pulang dulu ya. Makasih udah masak enak tadi." Sheilla melambaikan tangan. "Sama-sama. Hati-hati di jalan." Gilbert berjalan menuju motornya dengan langkah berat. Ia sempat menoleh sekali lagi. Sheilla masih berdiri di teras, menatapnya dengan senyuman lembut. Gilbert membalas dengan lambaian tangan sebelum menghidupkan mesin motor. Motor melaju meninggalkan rumah itu. Tapi dalam hati Gilbert bergejolak hebat. "Kenapa setiap kali bertemu dengannya, aku semakin sulit mengendalikan perasaan ini?"Kring! Kring! Kring!Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang."Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran."Iya, ada apa, Set?"Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai."Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?"Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal."Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya."Seta mengangguk mengerti."Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut."Gi
Motor bebek Gilbert melaju melintasi jalanan Setiabudi. Angin pagi Sabtu sejuk menyapu wajahnya. Di jok belakang tersampir tas kamera berisi DSLR Canon—barang paling berharga dari hasil kerja part time setahun.Ponselnya di holder motor menampilkan GPS. Lima menit lagi sampai studio desain Sheilla. Jantungnya berdebar lebih kencang.Seminggu sudah sejak pertemuan di kafe Braga. Sejak momen di parkiran saat hujan. Sejak Sheilla mengatakan ini terlalu berbahaya. Tapi kemarin malam, wanita itu mengirim pesan meminta bantuan foto portofolio studio.Gilbert tentu menjawab iya. Bukan karena uang, tapi kesempatan bertemu Sheilla lagi.Motor berhenti di depan ruko dua lantai minimalis modern. Plang "Sheilla Interior Design" terpasang dengan font elegan berwarna gold. Kaca besar memperlihatkan interior apik bergaya skandinavia.Gilbert turun, melepas helm, mengambil tas kameranya. Ia merapikan rambut di kaca spion sebelum melangkah masuk.Sheilla berdiri di depan meja kerja penuh sketsa dan ma
"Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?"David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab."Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?"Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja."David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!"Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?"David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya."Gilbert ha
Tulang punggung dan lehernya berbunyi saat diregangkan. Gilbert mengambil gelas berisi kopi hitam yang sudah dingin di meja. Meneguknya dalam satu tegukan besar.Rasa pahit kopi instan murahan menyengat tenggorokannya. Tapi ia butuh kafein untuk tetap terjaga. Masih ada dua halaman lagi yang harus diselesaikan."Oke, fokus. Tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengetuk-ketuk jari di meja.Ia kembali mengetik dengan fokus penuh. Suara keyboard laptop tua miliknya terdengar berisik di tengah kesunyian malam.Tiga puluh menit kemudian, Gilbert akhirnya menekan tombol save terakhir kali."Selesai juga!" ucapnya lega sambil bersandar di kursi putar yang sudah miring sebelah.Ia menutup laptop dan meraih ponsel. Layar menampilkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gilbert membuka aplikasi media sosial, scrolling tanpa tujuan untuk menenangkan pikirannya.Bzzt! Bzzt!Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Gilbert mengerutkan dahi, penasa
"Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang."Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi.Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu."Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan.Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat."Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert.Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas."Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun Instagram Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keingi
Kring! Kring! Kring!Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam.Sheilla.Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian."Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata.Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ka







