Share

Bab 3

last update Last Updated: 2025-11-01 13:14:43

"Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.

Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang.

"Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi.

Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu."

Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan.

Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat.

"Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert.

Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas."

Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun I*******m Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keinginan bertemu wanita itu semakin membesar.

"Oke. Yuk berangkat sekarang."

Mereka berkendara menuju rumah Seta. Pagar otomatis terbuka. Mereka memarkir motor di carport.

Pintu rumah terbuka. Aroma masakan lezat menyeruak dari dalam rumah, membuat perut Gilbert keroncongan.

"Wah, bau masakan Mama udah kecium dari sini," kata Seta.

Mereka melangkah masuk. Suara pisau memotong di talenan terdengar dari arah dapur. Gilbert mengikuti Seta menuju dapur.

Sheilla berdiri di depan island kitchen, sedang memotong wortel. Ia mengenakan apron putih di atas dress kasual hijau mint. Rambutnya diikat setengah ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya. Wajahnya terlihat segar tanpa makeup menor.

"Kalian sudah pulang? Main futsalnya seru?" tanya Sheilla sambil menoleh dengan senyuman hangat.

Seta mengangguk antusias. "Seru banget, Ma! Tim aku menang. Gilbert mainnya keren."

Sheilla melirik Gilbert sambil tersenyum. "Wah, hebat dong. Pasti capek ya? Mandi dulu sana, nanti aku siapin makan siang."

Gilbert membalas senyuman dengan canggung. "Terima kasih, Kak Sheilla."

Seta dan Gilbert bergantian mandi. Air dingin yang mengguyur tubuh Gilbert terasa sangat menyegarkan. Ia berganti pakaian dengan kaos putih dan celana pendek hitam.

Seta masih mandi. Gilbert keluar duluan, bimbang sejenak, lalu langkahnya menuju dapur.

Sheilla masih sibuk di depan kompor, mengaduk sesuatu di dalam wajan besar. Aroma tumis bawang putih dan cabai menggoda.

"Kak Sheilla," panggil Gilbert pelan.

Sheilla menoleh. "Oh, sudah selesai mandi? Seta masih lama?"

Gilbert menggaruk belakang kepalanya. "Iya, dia masih mandi. Ehm... butuh bantuan, Kak?"

Sheilla tertawa kecil. "Kamu mau bantu? Wah, jarang lho ada cowok muda yang mau masuk dapur."

Gilbert melangkah lebih dekat. "Aku di kost sering masak sendiri, Kak. Jadi lumayan terbiasa."

Sheilla menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan ada kekaguman, ada ketertarikan, ada kehangatan. "Oke kalau gitu. Kamu bisa ambilkan piring-piring di rak itu? Siapkan tiga set di meja makan."

Gilbert dengan sigap mengambil piring-piring keramik putih dan mulai menata dengan rapi.

Sheilla sesekali melirik Gilbert, memperhatikan cara pemuda itu menata meja dengan teliti. "Kamu rapi juga ya ternyata."

Gilbert tersenyum. "Kebiasaan, Kak. Ibu aku dulu selalu ngajarin buat rapi."

Sheilla mematikan kompor dan mengangkat wajan berisi tumis ayam brokoli yang masih mengepulkan uap panas. Membawanya ke meja makan.

"Bantu ambilkan nasi di rice cooker ya, Gilbert. Taruh di mangkuk besar yang di sebelahnya."

Gilbert mengangguk dan berjalan ke dapur. Ia membuka rice cooker. Uap panas keluar menyembul. Gilbert menyendok nasi dengan hati-hati ke dalam mangkuk besar.

Saat ia meraih piring terakhir, tangan Sheilla yang juga meraih piring yang sama tanpa sengaja bersentuhan dengan tangannya.

Sentuhan itu hanya sekilas. Tapi cukup untuk membuat listrik kecil menjalar di tubuh Gilbert. Kulitnya yang hangat dan lembut terasa sangat nyata. Gilbert cepat-cepat menarik tangannya.

"Ah, maaf, Kak!"

Sheilla tersenyum, pipinya sedikit merona. "Nggak apa-apa."

Mereka berdiri dalam diam canggung. Jarak di antara mereka hanya beberapa puluh sentimeter. Gilbert bisa mencium aroma parfum lembut Sheilla. Wangi bunga melati yang menenangkan.

"Eh, kalian ngapain? Gue laper nih!" suara Seta memecah keheningan.

Seta muncul dengan rambut masih basah.

Sheilla buru-buru menjauh dari Gilbert. "Udah siap kok. Ayo duduk, kita makan."

Mereka bertiga duduk di meja makan. Sheilla di posisi kepala meja, sementara Seta dan Gilbert berhadapan. Makanan tersaji lengkap: tumis ayam brokoli, ikan goreng garing, sayur asem, dan sambal terasi.

"Wah, enak banget, Ma! Kayak biasa deh, masakan Mama tuh juara," puji Seta.

Sheilla tersenyum puas. "Alhamdulillah. Gilbert, coba dicicipi. Semoga sesuai selera."

Gilbert menyendok tumis ayam brokoli dan memasukkannya ke mulut. Tekstur brokoli yang renyah, ayam yang empuk, dan bumbu yang meresap sempurna memanjakan lidahnya.

"Enak banget, Kak! Serius, ini enak banget!" puji Gilbert dengan mata berbinar.

Sheilla tertawa senang. Pipinya merona sedikit. "Makasih ya. Jadi semangat masaknya kalau ada yang mengapresiasi."

Sambil makan, mereka mengobrol santai. Seta bercerita tentang pertandingan futsal dengan antusias. Gilbert lebih banyak diam, tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arah Sheilla.

Setiap kali Sheilla tertawa, hatinya berdegup kencang. Setiap kali wanita itu menatapnya, napasnya tercekat.

"Gilbert, kamu kuliah ambil konsentrasi apa?" tanya Sheilla tiba-tiba.

Gilbert tersadar dari lamunannya. "Manajemen Pemasaran, Kak. Aku tertarik sama strategi marketing, terutama yang digital."

Sheilla mengangguk. "Wah, bagus itu. Sekarang zamannya digital semua. Kamu ada rencana kerja di mana setelah lulus?"

Gilbert mengangkat bahu. "Belum kepikiran jauh sih, Kak. Mungkin coba di startup atau bikin usaha sendiri."

Sheilla tersenyum kagum. "Ambisius juga. Bagus kok punya mimpi gede. Kalau Kakak dulu juga gitu, langsung bikin studio desain interior sendiri setelah lulus."

Gilbert tertarik. "Oh iya, Kak Sheilla kerja sebagai interior designer kan? Seru nggak?"

Mata Sheilla berbinar. "Seru banget! Aku suka banget liat ruangan kosong terus dibuat jadi cantik dan fungsional. Rasanya puas banget kalau klien senang."

Mereka larut dalam obrolan tentang pekerjaan dan rencana masa depan. Seta yang sudah selesai makan ijin untuk main game.

"Kalian lanjutin aja ngobrolnya. Gue mau main dulu," kata Seta.

Tinggal Gilbert dan Sheilla berdua. Suasana tiba-tiba terasa lebih intim. Gilbert merasa gugup tapi senang.

"Kak Sheilla... boleh aku tanya sesuatu?" tanya Gilbert hati-hati.

Sheilla menatapnya dengan lembut. "Boleh. Apa?"

Gilbert ragu sejenak. "Suami Kakak... maksud aku, Pak Arman, dia nggak di rumah?"

Sheilla menggeleng. "Dia lagi ke Jakarta. Ada urusan bisnis. Pulangnya Selasa nanti."

Gilbert hanya mengangguk. Dalam hatinya ada perasaan lega, meskipun ia tahu itu perasaan yang salah.

Setelah makan siang, mereka membereskan meja bersama. Tangan mereka beberapa kali hampir bersentuhan saat mengangkat piring. Setiap kali itu terjadi, ada tegangan kecil yang tercipta—sesuatu yang tidak terucap tapi terasa jelas.

Waktu berlalu cepat. Gilbert dan Seta naik ke kamar untuk melanjutkan tugas, tapi fokus Gilbert masih terpecah. Pikirannya terus melayang ke sosok Sheilla.

Sore menjelang. Gilbert berpamitan untuk pulang. Sheilla mengantarnya ke teras depan. Angin sore berhembus lembut, mengusik rambut Sheilla yang sudah terurai. Cahaya senja membuat wajahnya semakin cantik.

"Kamu mahasiswa yang menarik, Gilbert," ucap Sheilla sambil tersenyum. "Jarang ada anak seumuranmu yang bisa ngobrol se-dewasa ini."

Gilbert menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang memburu. "Terima kasih, Kak Sheilla."

Sheilla tertawa kecil. "Panggil Kakak aja. Nggak usah formal-formal."

Gilbert mengangguk canggung. "Baik, Kak. Aku pulang dulu ya. Makasih udah masak enak tadi."

Sheilla melambaikan tangan. "Sama-sama. Hati-hati di jalan."

Gilbert berjalan menuju motornya dengan langkah berat. Ia sempat menoleh sekali lagi. Sheilla masih berdiri di teras, menatapnya dengan senyuman lembut. Gilbert membalas dengan lambaian tangan sebelum menghidupkan mesin motor.

Motor melaju meninggalkan rumah itu. Tapi dalam hati Gilbert bergejolak hebat.

"Kenapa setiap kali bertemu dengannya, aku semakin sulit mengendalikan perasaan ini?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 94

    Sore itu Gilbert duduk di kafe langganannya dekat kampus, laptop terbuka dengan beberapa file editing foto yang sedang ia kerjakan. Ia sengaja datang lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum bertemu Kevin yang tadi pagi tiba-tiba mengajaknya ngopi.Ponselnya bergetar. Pesan dari Kevin:Gue udah sampai parkiran. Sebentar lagi masuk.Gilbert membalas dengan emoji jempol, lalu kembali fokus pada layar.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka. Kevin masuk dengan senyum lebar yang entah kenapa terlihat… mencurigakan. Dan di sampingnya, berjalan seorang perempuan muda yang jelas lebih muda dari mereka.Gilbert mengerutkan kening. Dia tidak ingat Kevin bilang akan membawa orang lain.“Bro! Sorry lama!”Kevin menghampirinya dengan antusias berlebihan, dan perempuan muda itu mengikuti dengan langkah sedikit gugup.Gilbert berdiri sopan, menutup laptop.“Tidak apa-apa. Gue juga baru sampai.”Lalu dia melirik ke perempuan yang berdiri di samping Kevin dengan canggung. Tingginya sekit

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 93

    Kampus Universitas Parahyangan di sore hari biasanya ramai dengan mahasiswa yang keluar masuk gedung fakultas. Gilbert baru saja selesai bertemu dengan Profesor Hendra untuk finalisasi tugas akhirnya. Ia berjalan menuju parkiran dengan tas ransel di punggung dan ponsel di tangan, tersenyum membaca pesan dari Sheilla.“Bro! Gilbert!”Suara familiar memanggilnya dari sisi kanan. Gilbert menoleh dan melihat Kevin berlari kecil menghampirinya dengan senyum lebar.Kevin Hartanto. Teman satu angkatan sekaligus teman dekat Seta. Tinggi, berpostur atletis, selalu memakai snapback dan hoodie meskipun cuaca panas.“Kevin! Lama nggak ketemu.”Gilbert tersenyum, berhenti dan menunggu Kevin sampai.“Iya! Lu ke mana aja, bro? Udah seminggu nggak kelihatan. Group chat juga lu jarang reply. Gue pikir lu menghilang dari muka bumi.”Nada Kevin bercanda, tapi jelas ada kekhawatiran di baliknya.Gilbert menggaruk tengkuk, mencari alasan yang masuk akal.“Sibuk di studio, Kev. Lagi banyak project. Client

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   bab 92

    Apartemen Sheilla dipenuhi aroma masakan Italia yang harum. Sheilla sibuk di dapur menyiapkan makan malam, sementara Gilbert membantu menata meja dengan teliti. Hari ini adalah hari penting. Rania akan datang untuk secara resmi bertemu Gilbert.“Kamu gugup?”Sheilla bertanya sambil mengaduk saus pasta.Gilbert yang sedang melipat serbet dengan rapi menghentikan gerakannya sejenak.“Sedikit. Rania sahabat terbaikmu. Pendapat dia penting.”Sheilla tersenyum, berjalan mendekat dan mengecup pipi Gilbert lembut.“Dia bakal suka kamu. Aku yakin.”“Aku harap.”Gilbert menarik napas dalam, melanjutkan pekerjaannya.Tepat pukul tujuh malam, bel apartemen berbunyi. Gilbert refleks menegakkan postur dan merapikan kemejanya yang sebenarnya sudah sangat rapi.Sheilla membuka pintu. Rania berdiri di sana dengan dress hitam yang stylish, heels merah, dan senyum lebar yang sedikit intimidating.“Halo sayang!”Rania memeluk Sheilla, lalu matanya langsung mencari Gilbert yang berdiri di ruang makan.“D

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   bab 91

    Ketukan pintu apartemen Sheilla terdengar dengan pola yang familiar. Tiga ketukan cepat, jeda, dua ketukan lagi. Kode yang hanya digunakan satu orang.Rania.Sheilla membuka pintu, dan di sana berdiri sahabatnya sejak kuliah. Rania Kusuma. Tiga puluh empat tahun. Rambut sebahu dengan highlight karamel. Mengenakan blazer pink fuchsia di atas jeans hitam dan heels. Kacamata hitam besar bertengger di atas kepala. Membawa dua cup coffee dan paper bag yang jelas berisi pastry."Halo sayang! Gue bawa ammunition. Coffee dan croissant. Karena dari suara lo di telepon tadi pagi, kayaknya kita butuh serious girl talk."Rania langsung masuk tanpa menunggu undangan, kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.Sheilla menutup pintu, tersenyum melihat energi Rania yang selalu infectious."Thanks, Ran. Kamu emang yang terbaik."Mereka duduk di sofa, Rania mendistribusikan coffee dan croissant sebelum menatap Sheilla dengan tatapan investigatif."Oke. Spill. Lo bilang ada big news. Dan dari tone

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 90

    Gedung firma hukum Prasetya & Associates berdiri megah di kawasan bisnis pusat kota Bandung. Sheilla berdiri di depan pintu kaca besar, tas tangan di genggamannya berisi map tebal penuh bukti-bukti yang sudah dia kumpulkan dengan teliti. Napasnya ditarik dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar keras.Ini adalah langkah besar. Langkah yang akan mengubah hidupnya selamanya.Tapi dia siap. Sangat siap.Sheilla mendorong pintu, melangkah masuk ke lobby yang elegan dengan lantai marmer mengkilap dan resepsionis yang tersenyum profesional.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”Resepsionis muda itu bertanya dengan ramah.“Saya ada janji dengan Pak Carlos Prasetya. Jam sepuluh. Atas nama Sheilla Hartanto.”“Sebentar, Bu.”Resepsionis mengecek jadwal di komputer, lalu mengangguk.“Silakan naik ke lantai lima, ruangan lima nol dua. Pak Carlos sudah menunggu.”“Terima kasih.”Sheilla berjalan ke lift dengan langkah yang lebih mantap dari yang dia rasakan. Dalam lift, dia

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 89

    Cahaya matahari pagi menyusup melalui celah gorden apartemen Sheilla yang kini terasa berbeda. Lebih hidup. Lebih hangat. Lebih seperti rumah.Gilbert berdiri di dapur hanya dengan mengenakan celana training, dada telanjangnya menampilkan otot-otot terdefinisi hasil latihan gym yang konsisten. Ia sedang membalik telur dadar di wajan dengan gerakan yang sudah terbiasa, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.Ini sudah minggu ketiga Gilbert praktis tinggal di sini. Pakaiannya menggantung di lemari Sheilla. Sikat giginya ada di kamar mandi. Sepatu-sepatunya berjejer rapi di rak sepatu. Semua tanda bahwa dia bukan lagi sekadar tamu, tapi penghuni.Gilbert tidak mendengar suara langkah kecil yang mendekat dari belakang. Baru ketika dua tangan melingkar di pinggangnya, menariknya ke pelukan hangat, ia tersenyum.Selamat pagi, sayang.Suara Sheilla pelan, masih serak baru bangun tidur, bibirnya menyentuh punggung telanjang Gilbert dengan lembut.Pagi.Gilbert meletakkan spatula, tangann

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status