"Kalau tidak percaya, saya--"
"Maaf," ucap tim medis itu segera.
Amanda lantas merasa lega. Terlebih, kala melihat mereka menangani Ronald dengan cepat setibanya di rumah sakit.
Hanya saja, kuatnya aroma obat-obatan dan suara lalu lalang petugas medis membuat Amanda tak nyaman.
Sejak tadi, dia hanya bisa merapatkan punggungnya ke dinding IGD yang terasa dingin.
Setelah insiden di lift ini, Amanda bersumpah tidak akan mau disuruh lembur apalagi menjelang akhir pekan.
Amanda hendak meraih ponselnya untuk menghubungi ibunya. Namun tiba-tiba saja, bos yang sedang ditungguinya itu bergerak.
Gadis semampai itu pun berjalan mendekat ke tempat tidur bosnya.
"Aku... aku di mana?"
Ronald yang baru bangun, tampak sekali tengah bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"Kita di ICU, Pak" bisik Amanda.
Dia menarik nafas dalam-dalam, sebelum kembali berkata, "Dan saya... harus mengikuti Pak Ronald sampai sini karena tidak diperbolehkan pulang."
"Mana asistenku?" tanya Ronald sambil melihat ke sekeliling. "Kenapa tidak membawaku ke rumah sakit keluarga Anderson saja? Kamu tahu apa akibatnya kalau banyak yang melihat aku jatuh sakit di sini?"
Deg!
Bukannya berterima kasih, bosnya itu malah bertingkah arogan!
Apa sebaiknya Amanda biarkan saja dia terkapar di lift saja ya tadi?
Gadis cantik itu terdiam dan menahan segala emosi yang akan dia curahkan saat itu juga.
"Pak Ronald, mohon maaf. Handphone Anda terkunci dan saya tidak tahu kontak asisten Anda. Tapi, saya harap orang kepercayaan keluarga Anda akan datang setelah Anda hubungi.”
“Sekarang, saya pamit undur diri," tambah Amanda.
Dalam hati, dia berjanji tak mau lebih lama lagi berurusan dengan orang yang tidak tahu diuntung ini.
Sayangnya, Ronald mencegah gadis itu pergi. "Hey, mau ke mana kamu?"
Amanda mengerutkan kening. "Pak, tugas saya sudah selesai. Jadi, saya harus pulang."
Tangan Ronald menggenggam lengan Amanda yang hendak kabur. "Memangnya saya sudah mengizinkan kamu untuk pergi?"
"Pak... saya sudah di luar jam kerja. Bapak tahu ini pukul berapa?"
"Mau jam berapapun kalau status kamu adalah karyawan di perusahaanku, itu artinya kamu tetap harus patuh dengan peraturan perusahaan," kilahnya.
Mendadak, Ronald membuat fatwa baru yang membuat Amanda tak percaya. Ini sudah melanggar hak perlindungan para pekerja.
Pria itu menolak memberi tahu bahwa sebenarnya dia merasa cemas karena rumah sakit ini bukan rumah sakit milik keluarganya.
Bisa-bisa nanti akan muncul berita yang tidak-tidak dan mempengaruhi stabilitas saham serta wibawanya.
"Tapi, ini sudah jam dua belas malam, Pak!"
Adu mulut itu terus terjadi.
Hingga akhirnya mereka mendapatkan teguran dari salah satu pasien yang berada tak jauh dari mereka.
"Aduuh, Mas... Mbak... kalau rumah tangga ada masalah, mbok ya jangan dibawa-bawa sampai ke rumah sakit. Kami butuh ketenangan!"
"Iya, itu suami istri dari tadi berisik terus!" timpal yang lain. "Ini ICU bukan tempat untuk pentas drama rumah tangga!"
Merasa malu karena diintimidasi oleh pasien-pasien lain, bos dan anak buah itu hanya menutup mulutnya masing-masing.
Sungguh ini bukanlah tempat yang nyaman untuk adu mulut.
"Pak..." bisik Amanda sepelan mungkin.
Ronald hanya menoleh dan memasang matanya lebar-lebar. Masih sama dengan yang sebelumnya, menahan nafas dan menahan emosi sebisa mungkin.
"Ada apa?"
"Izinkan saya pulang. Saya sudah berhasil menghubungi keluarga Anda. Jadi... please, saya harus pulang sekarang," rengeknya.
Peduli setan dengan harga diri.
Toh, dia yakin kalau dirinya tak akan bertemu Ronald lagi. Sama seperti hari-hari sebelumnya.
"Kamu jangan rewel seperti keponakan saya. Tunggu sebentar. Setelah semuanya beres, baru kita pulang!" ucap Ronald tanpa ada celah untuk negosiasi.
Amanda terdiam.
Apa sebaiknya dia menghubungi ibunya kalau akan pulang pagi?
Lalu, bagaimana dengan pandangan para tetangga kalau mendengar dia pulang selarut ini?
Bisa-bisa dia dikira sebagai wanita malam atau yang tidak-tidak. Apalagi kalau ketahuan memangku kepala CEO-nya saat di dalam lift padahal sedang ditunggu calon suami dan keluarganya!
Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Asisten Ronald tampak berlari menghampiri keduanya.
Wajahnya bahkan terlihat merasa bersalah, "Maaf Pak Ronald. Semua urusan sudah saya selesaikan. Kita bisa pulang. Administrasi sudah beres, untuk soal awak media yang mau meliput ke sini... semua juga sudah saya bereskan!"
"Ya sudah kalau begitu saya mau pulang secepatnya," ucap Ronald sembari mencoba berdiri dengan kakinya meski masih agak belum stabil keseimbangannya.
Dengan sigap, sang asisten membantunya. "Baik, Pak Ronald."
Amanda sendiri hanya terdiam di tempat.
Dia bingung, bagaimana nanti dirinya bisa pulang ke rumah.
Sepeda motornya tertinggal di kantor.
Mau ikut rombongan bos, tapi tadi dia sudah adu mulut dengan Ronald.
Mau naik ojek, tapi ini sudah sangat larut.
Bahaya juga….
"Kamu mau pulang, nggak?" tanya Ronald, dingin.
"Saya–"
"Ayo, aku antar sekalian! Hitung-hitung sebagai ungkapan terima kasih kamu tidak membiarkan aku mati di elevator."
Meski sebal dan merasa dongkol, Amanda tetap saja mengekor di belakang Ronald serta asistennya.
Tak lama, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan mereka.
Sang sopir turun dan membukakan pintu untuk Ronald serta Amanda.
"Mbak, duduk di belakang saja di sebelah Pak Ronald..." ujarnya.
Dengan kikuk, Amanda menurutinya. Ini sudah hampir jam setengah satu pagi. Dia sudah pasrah jika ibunya menghujaninya dengan hujatan atau makian.
"Rumah kamu di mana?" tanya asisten Ronald.
"Jalan Kasuari nomor dua belas, gang lima." ucap Amanda sambil memperhatikan jalanan yang mereka lalui.
Untungnya, sopir pun menemukan alamat yang dia maksudkan.
Hanya saja, gang rumah Amanda memang cukup sempit untuk mobil besar milik bosnya.
"Benar gang rumahnya yang ini, Mbak?"
"Betul... nanti ada toko bangunan kita belok kiri, Pak. Terima kasih."
Sopir itu pun berhati-hati sekali saat harus berbelok dan melaju lagi. Jalannya sangat sempit dan banyak motor serta mobil parkir di kanan kirinya.
Di sisi lain, Ronald mengamati sekeliling.
Berpuluh tahun hidup di kota ini namun baru pertama kalinya dia lewat di area ini.
Tanpa sadar, mobil pun berhenti.
Amanda memilih untuk cepat-cepat turun.
Dia sengaja meminta sang sopir untuk menurunkannya sekitar beberapa rumah sebelum rumahnya.
"Terima kasih, Pak."
Setelah memastikan mobil itu melewatinya, barulah Amanda masuk ke dalam rumah yang sudah gelap.
Dia mengendap-endap layaknya seorang maling di rumahnya sendiri.
Sayangnya, lampu dalam rumah tiba-tiba menyala!
"Dari mana saja kamu? Bagaimana bisa jam segini baru pulang dan diantar oleh laki-laki kaya? Asal kamu tahu, keluarga Heri sudah pulang dan tampak kecewa!"
Gawat!
Ibunya kini menatap Amanda dengan tajam.
Mata sang Mama penuh selidik."Apa kamu sedang jatuh cinta?"Dengan pertanyaan yang memojokkan begitu, tentu saja ini membuat Ronald malas melanjutkan interogasinya. Kenapa justru dia yang mendapatkan pertanyaan balik?"Aku hanya bertanya. Harusnya Mama menjawab, seperti itu. Simple."Gaya anak lelakinya ini, sang Mama sudah paham karena tahu karakternya sejak kecil yang selalu tak mau terlihat 'jatuh' di mata orang lain."Pertanyaanku sangat sederhana, Ronald. Apa kamu sedang jatuh cinta? Jawab saya dengan iya atau tidak." Mamanya menegaskan lagi."Lantas, apa hubungannya pertanyaanku dengan apa yang Mama tanyakan?!" "Hmmm, jawaban Mama nanti akan sangat bergantung pada suasana hati kamu. Jika kamu sekarang ini dalam kondisi berbunga-bunga atau jatuh cinta, tentu Mama akan mencarikan kalimat yang membuatmu semakin berbunga. Namun, jika kamu sedang dalam kondisi netral atau bahkan patah hati, maka kalimat Mama adalah sesuatu yang membuatmu bangkit!"Ronald mendengus, "sejak kapan Mam
Ronald belum juga bisa memulai melakukan apa-apa.Dia masih terdiam di dalam mobil yang mesinnya sudah ia nyalakan sejak tadi.Masih di tempat yang sama, parkiran rumah sakit tempat di mana Amanda dirawat."Apa sebaiknya aku kembali?" Dia berbisik sendiri.Namun, kata-kata Simon membuat egonya terpukul. Seolah sekarang ini Ronald sedang memungut sampah yang sudah dibuang oleh saudara tirinya itu.Apa iya, Amanda adalah selayaknya sebuah barang bekas yang tak layak untuk ia rawat dan miliki lagi?Hmmm... otaknya mulai mencari alasan logis sementara itu hatinya masih belum menerima.Drrrrtttt... drrrt...Ponselnya berbunyi."Iya, halo?" Suaranya nampak malas menjawab."Kamu cepat kembali ke rumah. Mila mencarimu!" Rupanya sang Mama."Iya, aku akan segera pulang." Ronald dengan segera memutar setirnya dan menjalankan mobil.Dia mengingat perpisahan yang tak mengenakkan dengan Simon. Bahkan pria itu lupa kalau dia memiliki seorang anak yang harusnya dia jaga di rumah.Pintu gerbang rumah
SIALAN!"Ronald, maafkan aku... Kuharap persaudaraan kita tetap baik-baik saja ya?"Sosok tinggi tegap itu berlalu dan menuju ke gate pemberangkatannya. Tak lama setelah melewati tangga berjalan, Simon menghilang dari pandangan.Yang tersisa kini, adalah kalimat kakak tirinya itu. "Aku minta maaf kalau saat kamu tidak ada di samping Amanda, aku sering.... tidur dengannya!"Seolah-olah Amanda hanyalah sebuah mainan yang saat Simon merasa puas bermain, kini dia mengembalikannya pada Ronald kembali.Biad*b!Ingin mengeluarkan sumpah serapah di tempat itu juga, tapi Ronald masih punya kewarasan.Tak seharusnya dia mengeluarkan semua kata-kata sumpah serapah itu di tempat umum.Seperti mendapatkan barang bekas? Ya, itu yang kini dirasakan oleh Ronald."Pak Ronald, maaf... kami baru saja menemukan fakta kalau Pak Simon telah menggelapkan dana puluhan Miliar.." Salah satu tim audit perusahaan menelpon Ronald.Dasar kurang ajar!Baru saja dia mengakui telah menggunakan Amanda sebagai 'pelampi
Simon menghela nafas panjang.Meski tidak yakin dengan keputusan yang baru saja dia lakukan. Mengubungi saudara tirinya itu, tentu membutuhkan nyali yang tidak sedikit.Setelah semua yang dia lakukan.Sekitar dua jam lagi penerbangannya ke Malaysia akan boarding."Kurasa dia bukan orang yang akan mengambil resiko untuk datang ke sini menemuiku." Simon bergumam pada dirinya sendiri.Menunggu saudara seayah-nya itu di dekat check point paling awal di bandara. Dia harus segera memeriksakan barang bawaannya ke petugas imigrasi bandara yang sudah berjajar rapi menunggu setiap calon penumpang.Sesekali dia menoleh ke kanan dan ke kiri.Saat dia sudah merasa tak harus menunggu lebih lama lagi, sosok itu muncul dan menepuk bahunya dari belakang.Sebuah tepukan yang cukup kuat untuk ukuran seseorang yang ingin memanggil dengan kode tepukan. Lebih tepatnya, Simon merasa dia akan dipukul oleh sosok itu jika mereka tidak berada di keramaian begini."Ada apa?" Simon pikir itu adalah sopir atau asi
"Bukan miliknya? Apa maksud kamu?" Tubuh Amanda sedikit menegang setelah mendapati fakta yang disampaikan oleh Ronald. Apa betul? Tapi, bukankah tes DNA sudah menunjukkan hasil dengan absolut kalau Simon adalah anak dari janin yang kemarin masih ada di rahimnya! Ronald merasa keceplosan saja sekarang. Tak seharusnya dia bicara fakta menyakitkan ini. "OHH... Amanda, maafkan aku. Maksud aku bukan begitu!" Ronald harus cepat-cepat meralat. "Tapi, tadi Pak Ronald kan bilang kalau anak ini bukan miliknya, apa maksud Bapak ini..." Wanita berambut hitam legam itu masih menyangsikan jawaban klarifikasi Ronald. Entah dengan cara apa dia harus meralat kalimatnya itu, yang jelas untuk saat ini dia tak bisa lebih banyak berkata lagi. Bisa jadi karena emosi sesaat, dia terpeleset dan memberikan info yang belum saatnya. "Apa aku mengatakan itu?" Ronald pura-pura lupa dengan apa yang barusan dia katakan. "Mungkin kamu salah dengar." Amanda gelisah dan masih belum percaya dengan klarifi
"Amanda?" Ronald menyapanya.Dia yang semula terpejam, perlahan mulai membuka mata."Aku dengar dia laki-laki." Sahutnya lemah. Matanya menerawang ke langit-langit ruangan. Berusaha menyimpan lukanya."Kamu...istirahatlah dulu." Ronald mengelus tangannya."Apa dia sempat menangis saat lahir?" Pertanyaannya mulai ke mana-mana. Ronald menggeleng."Jadi, saat di rahimku, dia sudah tidak bernyawa lagi? Pantas saja dia tidak menendang-nendangku lagi..." Dia meraba perutnya. "Biasanya dia akan menendangku lebih keras saat kamu ada di dekatku. Aneh bukan?"Matanya yang sembab setelah menangis, kini harus dibasahi lagi dengan air mata."Jangan berpikir yang berat-berat dulu. Kamu harus istirahat biar cepat pulih..." Ronald tak kalah terpukul dan sedihnya dari wanita yang kini terbaring lemah itu."Apa Simon di sini juga?" Tanya Amanda ketakutan dan cemas."Tidak. Apa aku perlu memberitahu dia?" Meski dadanya terasa panas, Ronald harus mengontrol diri dan mengalah untuk saat ini.Dia tahu kal