"Jadi, kamu main sama om-om, sampai tidak bisa datang ke acara perjodohanmu?"
Ibunya kembali mencecarnya begitu keduanya duduk di sofa. Sindiran tajam itu terdengar sangat menyakitkan di hati.
Amanda sendiri hanya bisa menunduk, tak bersuara.
Dia masih kebingungan dari mana dia harus menjelaskan yang sebenarnya.
Tapi, hal yang paling dia benci di dunia ini adalah fitnah. Dan itu sedang dilakukan ibunya sendiri terhadapnya.
"Bu, aku tadi benar-benar menemani bosku di rumah sakit. Kalau tidak percaya, Ibu bisa menelpon pihak rumah sakit atau asisten bosku," ucap Amanda pada akhirnya.
Dirinya harus menjelaskan kejadian agar ibunya tak berpendapat yang bukan-bukan.
Sayangnya, kali ini ibunya tampak tak memaafkannya.
"Alasan saja! Kamu tahu betapa pentingnya acara malam ini tadi. Mereka sudah jauh-jauh datang menyempatkan untuk bertemu kamu,” sindirnya, “Ehhh, kamunya malah pergi entah ke mana."
Baginya, Amanda sudah mencoreng nama baik keluarga!
"Sudah, kamu lebih baik masuk ke kamarmu. Jangan sampai ayahmu melihat kamu pulang pagi," usir wanita tua itu, lalu meninggalkannya sendirian.
Amanda tertegun.
Dia pikir masalah ini akan segera berlalu.
Sayangnya, kegagalan perjodohannya ini diperbincangkan tetangga, teman sekantor, bahkan masyarakat!
Karena entah bagaimana, ada yang menyebarkan foto Amanda saat sedang memangku kepala bosnya yang sedang kritis!
Ditambah dengan caption julid luar biasa!
[ CEO Ronald Anderson tejebak di Lift dengan pegawai yang juga kekasihnya berinisial A.E! ]
[Psst! Salah satu tim medis mengatakan kalau mereka bercumbu sebelum ditemukan di sana…]
Para netizen sontak membicarakan insiden ini dan mencari tahu sosok Amanda yang berhasil menggaet pewaris nomor satu ibu kota.
Hal ini jelas membuat masalah baru timbul.
Seperti hari ini....
"Iya, saya minta maaf. Bukan bermaksud membela Amanda, tetapi saat pulang lembur, dia tak sengaja mengalami insiden di lift."
Begitu pulang ke rumah, Amanda tertegun saat mendengar ibunya bernegosiasi terkait calon yang akan dijodohkannya.
Dia pun menguping pembicaraan dari telepon yang kebetulan di-loud speaker itu.
Tak disangka, pihak di seberang justru memberikan jawaban mengagetkan. "Kami tahu sebenarnya itu semua adalah salah paham dan bukan kesalahan Amanda. Tapi, citra Amanda memburuk di masyarakat.”
“Jika dia menjadi menantu di keluarga ningrat kami, itu akan merusak citra generasi pendahulu yang semuanya adalah orang baik dan terhormat. Kami tidak mau nanti—"
Tut!
Tanpa pikir panjang, ibu Amanda langsung menutup telepon.
Dadanya terasa panas mendengar kalimat itu.
"Bu... ada apa?" Amanda yang melihat muka ibunya merah padam, bertanya sambil mendekatinya.
"Tidak ada apa-apa."
Itu saja jawabannya.
Amanda tak berani untuk bertanya lebih jauh.
Pikirannya kini gundah, bagaimana membuat ibunya tersenyum lagi?
Sebuah ide muncul.
Amanda harus meminta sang bos klarifikasi kalau dia sakit secepatnya.
Sayangnya, harapan itu harus pupus kala asisten Ronald menatapnya tak setuju.
"Kamu harus tahu, kalau tidak ada yang boleh tahu bos menderita Claustrophobia!" ucapnya.
"Hah?"
Melihat kebingungan Amanda, Ronald berdehem dan merasa tidak nyaman.
Ini adalah penyakit yang sebetulnya dirahasiakan dari banyak orang.
Jika ada seseorang di luar keluarga intinya tahu, maka akan berakibat fatal bagi bisnisnya.
"Yang jelas, kamu tidak boleh bercerita pada siapapun tentang sakitku di lift," ucap Ronald menegaskan kembali kalimat asistennya.
"Saya tidak akan cerita pada siapapun." Amanda menyetujui. "Membicarakan aib orang bukan hal penting untuk saya."
"Apa aku benar-benar bisa mempercayaimu?" tanya Ronald, dingin.
Dia meragukan gadis semacam Amanda, tentu sulit dipegang omongannya.
"Tentu!" jawab gadis itu tanpa jeda. Dia terlihat meyakinkan dengan jawabannya yang singkat dan tegas.
"Baiklah, kalau begitu kamu tanda tangani surat perjanjian ini!"
Asisten Ronald mendadak menyodorkan sebuah lembaran surat yang menyatakan Amanda tak akan membocorkan rahasia penyakit bosnya ini.
Dia tidak membaca seksama soal bunyi pasal berikutnya, yaitu tentang alasan mereka ditemukan dalam posisi demikian di lift.
Dengan cerobohnya, Amanda menandatangani surat itu dan menyerahkan kembali pada pihak bosnya.
"Bagus. Kalau begitu, kita bisa siap dan memulai konferensi pers-nya."
Ronald seketika bangkit dari tempat duduknya dan berdiri. "Ayo, kita temui wartawan sialan itu..."
Tak lama, keduanya pun menuju convention hall yang biasa digunakan sebagai tempat seminar di kantor.
Namun, kini menjadi tempat pers.
Di sana, sudah ada banyak wartawan yang siap menginterogasi. Puluhan kamera dan mic sudah siap merekam apa yang akan mereka katakan pada dunia.
"Jadi, kami memang sepasang kekasih. Dan apa yang diberitakan oleh media itu tidaklah salah.”
“Amanda adalah kekasih saya dan saya akui kelalaian saya untuk melakukan hubungan fisik dengannya di lift. Ini tidak akan kami ulangi lagi," ucap Ronald dengan fasih dan lancar.
APA?
Amanda hanya bisa berteriak dalam hati meski dari luar dia terlihat tersenyum.
"Lalu, bagaimana dengan gosip pertunangan Pak Ronald dengan kekasihnya ini?" tanya seorang wartawan yang paling dekat dengan posisi Amanda.
"Iya dalam waktu dekat ini memang rencananya demikian. Kami mohon doa restu dari teman-teman media..." ucap Ronald santun dengan menunjukkan ekspresi kebahagiaannya.
"Berarti rumor kalau Pak Ronald adalah seorang gay dan tidak suka wanita itu semuanya salah ya, Pak?" imbuh yang lain.
Ronald ingin mengeluarkan sumpah serapah, tapi tangan Amanda memegangnya.
"Seperti yang teman-teman ketahui, hubungan kami sudah serius jadi tolong jangan hembuskan isu-isu yang tidak benar." Kini Amanda ikut dalam permainan bosnya.
Sudah basah, sekalian saja dia berenang di kolam kekacauan ini.
Di sisi lain, Ronald terkejut. Dia hendak berkata sesuatu, sampai pertanyaan mendadak para wartawan menyadarkannya.
"Benar begitu Pak Ronald?"
"Kapan kira-kira Pak Ronald akan mengumumkan tanggal pernikahan?"
"Apa calon istri Pak Ronald ini adalah Billionaire juga? Atau dia adalah karyawan yang melakukan hubungan percintaan di kantor dengan Pak Ronald?"
"Atau jangan-jangan calon istri Pak Ronald sudah hamil duluan? Bagaimana dengan isu ini, Pak?"
Mereka bahkan tidak menyaring sama sekali pertanyaan-pertanyaannya.
Kini, Amanda menahan napas. Terlebih, kala Ronald tiba-tiba menggenggam tangannya dan berkata, "Iya, betul. Kami harap sudah cukup ya untuk hari ini... selamat siang dan terima kasih."
Konferensi pers itu pun berakhir bersamaan dengan Amanda dan Ronald yang pergi.
***
"Hhhh... mereka benar-benar mengorek informasi seperti wartawan gosip, bukan wartawan untuk majalah bisnis," ucap Ronald lagi sesampainya di mobil.
"Betul, Pak Ronald. Saya heran, tidak ada satupun yang bertanya soal rencana pembangunan mall Anda yang harusnya jadi topik trend tahun ini." Asistennya ikut menimpali.
"Memang sekarang mungkin urusan pribadi para businessman lebih menarik daripada sisi prestasi mereka... Oke, sekarang kita lanjutkan ke rumah Eyang."
Sementara itu, Amanda yang masih syok kini dibuat pusing lagi.
What? Eyang?
E-yang?
"Maaf, Pak. Bukankah tadi katanya saya bisa kembali bekerja..." Amanda menyela pembicaraan bosnya.
Dia pikir selepas ini dia akan kembali ke kantor dan bekerja dengan tenang. Tapi, apa-apaan ini?
Sayangnya, Ronald tampak terlihat santai. "Ini juga bagian dari pekerjaan kamu, Amanda. Sebaiknya, kamu tidak usah banyak tanya dan komplain.”
"Bukan miliknya? Apa maksud kamu?" Tubuh Amanda sedikit menegang setelah mendapati fakta yang disampaikan oleh Ronald. Apa betul? Tapi, bukankah tes DNA sudah menunjukkan hasil dengan absolut kalau Simon adalah anak dari janin yang kemarin masih ada di rahimnya! Ronald merasa keceplosan saja sekarang. Tak seharusnya dia bicara fakta menyakitkan ini. "OHH... Amanda, maafkan aku. Maksud aku bukan begitu!" Ronald harus cepat-cepat meralat. "Tapi, tadi Pak Ronald kan bilang kalau anak ini bukan miliknya, apa maksud Bapak ini..." Wanita berambut hitam legam itu masih menyangsikan jawaban klarifikasi Ronald. Entah dengan cara apa dia harus meralat kalimatnya itu, yang jelas untuk saat ini dia tak bisa lebih banyak berkata lagi. Bisa jadi karena emosi sesaat, dia terpeleset dan memberikan info yang belum saatnya. "Apa aku mengatakan itu?" Ronald pura-pura lupa dengan apa yang barusan dia katakan. "Mungkin kamu salah dengar." Amanda gelisah dan masih belum percaya dengan klarifi
"Amanda?" Ronald menyapanya.Dia yang semula terpejam, perlahan mulai membuka mata."Aku dengar dia laki-laki." Sahutnya lemah. Matanya menerawang ke langit-langit ruangan. Berusaha menyimpan lukanya."Kamu...istirahatlah dulu." Ronald mengelus tangannya."Apa dia sempat menangis saat lahir?" Pertanyaannya mulai ke mana-mana. Ronald menggeleng."Jadi, saat di rahimku, dia sudah tidak bernyawa lagi? Pantas saja dia tidak menendang-nendangku lagi..." Dia meraba perutnya. "Biasanya dia akan menendangku lebih keras saat kamu ada di dekatku. Aneh bukan?"Matanya yang sembab setelah menangis, kini harus dibasahi lagi dengan air mata."Jangan berpikir yang berat-berat dulu. Kamu harus istirahat biar cepat pulih..." Ronald tak kalah terpukul dan sedihnya dari wanita yang kini terbaring lemah itu."Apa Simon di sini juga?" Tanya Amanda ketakutan dan cemas."Tidak. Apa aku perlu memberitahu dia?" Meski dadanya terasa panas, Ronald harus mengontrol diri dan mengalah untuk saat ini.Dia tahu kal
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber