Ibunya tak habis pikir, bagaimana bisa mendapatkan menantu kaya raya dan pintar memasak dalam satu paket! Melihat Amanda yang bersiap-siap mengepak beberapa pakaian dan peralatan pribadinya, barulah ibu tersadar kalau sebentar lagi dia akan sendirian di rumah. Anak kesayangan itu benar-benar akan pergi. “Bu, apa aku boleh membawa cardigan ini?” Amanda menunjukkan sebuah cardigan rajut buatan tangan ibunya. “Bo-boleh saja, tapi kamu tahu itu kancingnya sudah hilang satu.” Tak tahan menahan air mata, akhirnya mata itu berembun. “Makasih, Bu.” Baru pertama kali ini Amanda mengatakan ucapan terima kasih pada ibu. “Bawa juga baju ini…” ibunya menunjukkan sebuah baju tanpa lengan dengan bahan transparan. Amanda mengedip-ngedipkan mata. Apa dia tak salah lihat? “Untuk apa ini, Bu?” Seperti anak SD yang tak tahu apa-apa, dia bertanya sambil melongo. “Ini punya kakak iparmu tapi belum pernah dipakai. Ibu pikir ini akan berguna buat kamu. Bawalah.” Sekali lagi Amanda terbengong meliha
Apa? Hamil? Yang benar saja Papa mertuanya ini. Dia sudah menuduh yang bukan-bukan! “Itu… itu tidak benar, Pa.” terang saja Amanda mengklarifikasi. “Saya… masih perawan.” Bagaimana mungkin dirinya yang selama ini menjaga diri dengan sebaik-baiknya dituduh hamil di luar nikah! Papa mertuanya tertawa. “Hahaha. Rupanya kamu membawa barang antik ke rumah kita, Ronald. Aku sempat khawatir kamu membawa model-model tipikal gold digger seperti dulu.” Ronald bermaksud untuk mendiamkan istrinya agar tidak lanjut mengatakan hal yang membuatnya malu. “Cepatlah kalian ke meja makan, keluarga kita sudah menunggu!” Papanya berjalan ke meja makan. “Good evening, everyone!” Ronald menyapa anggota keluarganya yang lain dengan ramah. Semua pandangan mengarah padanya. “Anakku!” Mamanya meninggalkan kursinya lalu memeluk Ronald yang jauh lebih tinggi darinya. “Akhirnya kamu sampai juga.” Mata mamanya tak percaya ketika melihat seora
Amanda tak bisa tidur dengan pulas. Dia khawatir kalau-kalau sewaktu-waktu nanti Ronald mendatanginya di malam hari. Syukurlah, hal itu tidak pernah terjadi. Meski semalaman dia memasang betul telinganya untuk berjaga-jaga siapa tahu pintu kamarnya terbuka. Begitu juga dengan beberapa malam sesudahnya. Dia memiliki rutinitas baru yaitu menyuapi Mila saat makan pagi dan makan malam. Siangnya, gadis mungil berusia sekitar lima tahun akan makan siang di sekolahnya. “Tumben pulang cepat, Pak!” seru Amanda saat selesai bermain di kolam renang belakang rumah. Kolam seluas itu hanya dianggurkan oleh penghuni. Sekitar seminggu di sini, tak seorangpun memakainya. Ronald tak menjawab dan hanya langsung menuju ke meja makan. Amanda mengangkat kedua kakinya dari dalam air dan mendekati suaminya. “Perlu saya siapkan sesuatu?” tanya Amanda. “Tidak. Aku hanya ingin meneliti file-file yang aku butuhkan. Kembalilah ke kolam renang.” Ronald duduk dan posisinya tepat berhadapan dengan letak kol
“Poin ini dan ini, saya mau diubah!” Ronald melingkari nomor pasal perjanjian pra nikah yang di benaknya harus segera diperbaiki. Secepatnya. “Tapi, Pak. Ini kan sebelumnya kita sudah sama-sama sepakat. Bahwa kita tidak akan sekamar dan tidak ada kontak fisik seperti hubungan badan dan…” Selalu saja, Amanda sering keceplosan dan tak bisa menahan ucapannya walau sebentar. “Amanda, berapa kali harus saya ingatkan jangan asal ngomong. Mulut kalau mau bersuara tolong dipikirkan dulu.” Bentak Ronald saat mereka berdua berada di kamarnya. Ronald yang duduk di kursi sementara Amanda berdiri di depan mejanya. “Maaf…” dia menunduk dan mengaku bersalah. Duuh. “Saya ingin kita memperlihatkan pada, ehem, setidaknya keluargaku kalau kita benar-benar menikah. Mereka pasti curiga kita tidur di kamar yang berbeda. Apalagi kita pengantin baru!” ucap Ronald dengan tegas. “Pak, tapi kita tidak harus tidur seranjang, kan?” tanya Amanda sambil ketakutan. “Itu gampang diatur. Yang jelas, saya mau
Ini tidaklah semudah adegan di film-film romantis atau drama televisi. Bersanding dengan lelaki tampan yang terlarang, bukanlah ujian yang ringan. Ketika tangan ini ingin menyentuh, harga diri dan profesionalisme adalah taruhannya! “Kenapa kamu berisik sekali, Amanda? Apa sebaiknya kamu tidur di bathtub saja biar aku bisa tenang tidur di bed ini?” bisik Ronald dengan suara yang sama sekali tak terdengar mengantuk. “Ma-maafkan saya, Pak.” Itu saja yang sekarang bisa diucapkan. Amanda khawatir kalau terlalu banyak bicara justru berakibat fatal. “Apa sepertinya aku perlu mendisiplinkan mulutmu dengan caraku?” Duh, nada bicaranya yang cukup mengintimidasi ini terdengar seperti sebuah tantangan panas di telinga gadis itu. Di malam seperti ini, yang terbersit di benaknya adalah perlakuan Ronald setiap kali dirinya melakukan kesalahan. Itu semua akan berujung pada ciuman ganas khas Ronald yang sekarang berhasil membuat pipi Amanda bersemu mer
Terus terang, Ronald mulai gusar. Dulu dia tak pernah terfikir kalau hanya dengan berbagi tempat tidur akan berdampak sebesar ini. Nalurinya sebagai lelaki mulai perlahan-lahan bangkit dan sulit dia kendalikan. Melihat Amanda dari kejauhan, ada jiwa yang bergejolak dan meronta-ronta ingin dibebaskan. Pagi ini saat sarapan, Ronald tak henti-hetinya menelan ludah saat duduk di samping Amanda. Entah dia sengaja atau tidak, pakaian yang dia gunakan hari ini hanyalah baju rumahan biasa. Sebuah setelah pendek dengan celana di atas lutut. Namun sudah berhasil membuat kepalanya cenat-cenut. “Mau nambah lagi?” rambutnya yang terurai panjang tak sengaja menghalangi wajahnya. Tangan Ronald membantu Amanda sementara sang istri mengambilkan scramble egg untuk Mila. Diam-diam Ronald juga mengagumi Amanda yang bersifat keibuan, hal yang bertentangan sebenarnya dengan Olivia. Semasa hidup, wanita itu hanya disibukkan de
“Kamu ngomong sama siapa tadi?” Ronald datang dengan langkah buru-buru. Matanya penuh selidik.Tak tahu apakah harus berkata jujur atau tidak, Amanda masih terbungkam. Dia khawatir kalau-kalau salah bicara lagi dan menerima hukuman dari bos.“Anu… tadi cuma lagi cari tempat teh di mana. Tapi sudah ketemu.” Kepalanya menunduk karena jelas saja dia terlihat berbohong.“Ya sudah. Kalau begitu, cepat ikut aku ke kamar.” Perintah Ronald tanpa menunda lagi.Langkah kaki Amanda sedikit ragu. Akankah Ronald akan melakukan sesuatu yang melanggar kontrak? Bayangan tentang adegan di mobil itu tadi sudah cukup membuat Amanda malu dan memerah.“Lelet sekali kamu! Jalan gitu saja tidak bisa cepat.” Amanda akhirnya berhasil mengikuti kecepatan Ronald menyusuri tangga, tentunya setelah mendengar omelan panjang suaminya, “Maaf!”Itu saja yang dia katakan. Memastikan pintu sudah tertutup, akhirnya Ronald buka suara.“Aku tahu kamu tadi sedang berbincang dengan Simon.” Ancam Ronald dengan gigi yang
Amanda merenungi nasibnya kini.Setelah dipaksa menikah tanpa alasan yang masuk akal baginya, kini dia seperti diserang dengan kalimat-kalimat yang membuatnya kehilangan kesabaran.Begitukah kelakuan suami yang seharusnya -paling tidak- saat ini menjadi sosok yang bisa menjaga hatinya.“Tante?” Mila yang sejak tadi mencarinya akhirnya menemukan Amanda sedang terduduk di kamarnya.“Tante menangis?” tangan kecil itu meraih pipi Amanda yang sudah basah oleh air mata.“Nggak, Sayang. Tante hanya kelilipan. Bentar lagi juga sembuh.” Dia menyeka air matanya sendiri.Anak sekecil Mila tidak boleh melihatnya cengeng dan menangis. Itu adalah prinsip Amanda. Dia tak pernah mau menampakkan air matanya pada anak-anak.“Kelilipan debu maksudnya Tante?” tanya Mila lagi.“Iya, Sayang. Tadi pas keluar kena debu, terus mata Tante rasanya pedih gitu. Mila mau berangkat ke mana kok dandan cant