“Jangan ngaco, Dok!” pekik Adira.
Dokter Tedja menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat agar Adira memelankan suaranya.
“Dilarang berisik di rumah sakit.” hardik pria itu.
Kalau ada kontes orang paling tidak masuk akal di dunia, Adira yakin sekali kalau Dokter Tedja akan memenangkannya dengan sangat mudah.
Sebagai sekretaris pribadi, Adira seharusnya sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini. Tetapi, diajak menikah tiba-tiba adalah hal terakhir yang bisa dia bayangkan tentang Dokter Tedja.
Adira mendesah panjang. “Dok, ini harus banget kita nikah? nggak ada urgensinya kan? Kenapa nggak nyari orang lain aja?”
Dokter Tedja mendongakkan kepala sedikit, menatap Adira dengan dingin seperti detektif yang menginterogasi tersangka. “Ada. Saya punya urgensi.”
Tiba-tiba saja, Adira ingat pernah mendengar Dokter Indah—Ibu Dokter Tedja—memarahi putranya habis-habisan karena belum juga menikah meski sudah menginjak usia 33 tahun.
Mendengar amarah Dokter Indah, Adira yang waktu itu sedang membawa kopi dengan nampan hampir saja menjatuhkannya dan buru-buru pergi ke ruangan lain untuk sementara.
Namun, itu kan urusan Dokter Tedja, kenapa dia yang harus terseret ke dalamnya?
“Y-ya kalau begitu, kenapa dokter nggak mencari cewek lain aja?” Adira mencoba berargumen. “Saya nggak ada urgensi.”
“Ohya? Bukannya tadi kakak kamu nyuruh kamu nikah?” Dokter Tedja bertanya dengan nada datar, seolah menyatakan fakta yang tidak terbantahkan.
Adira tercengang dan mulai menerka berapa banyak yang pria itu dengar dalam obrolannya dengan Edwin.
“Itu kan karena saya kabur dari rumah, Dok. Saya yakin kalau saya balik, saya nggak akan disuruh lagi.”
Dokter Tedja tersenyum mengejek. “Kalau begitu saya juga yakin kalau kamu akan berantem lagi sama kakak ipar kamu dan kembali kabur.”
Kalimat itu seperti pukulan telak ke ulu hati Adira. Semua yang Dokter Tedja katakan tepat sasaran, seperti anak panah yang mengenai titik tengah target.
Adira menunduk. Dalam hati, dia tahu Dokter Tedja benar.
Hidupnya hanya berisi siklus kabur dari rumah, menumpang di tempat teman, lalu kembali lagi ke titik yang sama.
Kakaknya juga pasti sudah cukup kerepotan karena ulahnya. Tapi menikah? Haruskah sejauh itu?
“Sekarang kamu sakit, makanya bisa nginap di RS.” lanjut Dokter Tedja tanpa memberi jeda. “Tapi besok gimana? Mau jadi gelandangan?”
Adira tetap bungkam. Ucapan Dokter Tedja terlalu tepat untuk dibantah.
“Ck. Kelamaan mikir kamu,”
Dokter Tedja yang tampaknya sudah cukup sabar akhirnya melontarkan serangan pamungkas.
“Saya lupa kasih tahu,” ujar Dokter Tedja lagi. Kali ini, kedua tangan pria itu bertumpu di pundak Adira. “Ada bayarannya"
Adira menatap Dokter Tedja dengan mata membelalak. “Berapa, Bos?"
“Dua,” jawab Dokter Tedja.
“Dua juta? Hilih!” Adira kembali memalingkan badannya. Menurutnya dua juta masih terlalu murah untuk jasanya.
“Dua ratus juta per bulan, tambah uang makan, dan bonus-bonus lain,”
Setelah Dokter Tedja mengatakan itu, barulah Adira menunjukkan ketertarikannya.
“Bener loh, ya!” seru Adira.
Dokter Tedja tidak langsung menjawab. Dia mengutak-atik ponselnya beberapa saat hingga kemudian sebuah notifikasi dari bank muncul di ponsel Adira.
“Cek sendiri!” perintah Dokter Tedja sambil memberikan isyarat dengan dagunya.
Adira yang penasaran segera mengecek dan matanya semakin terbelalak.
Sebab, tiba-tiba saldonya yang tadinya cuma ratusan ribu kini menjadi lebih dari lima puluh juta. Sekarang Adira jadi ingat kalau bosnya ini tidak pernah bermain-main.
Keesokan harinya, perjalanan Adira dan Dokter Tedja menuju Disdukcapil hanya diisi dengan musik-musik Ghibli dari speaker mobil.
Keduanya hanya fokus dengan pikirannya masing-masing. Apalagi Adira yang sebenarnya masih ragu-ragu untuk menerima ajakan menikah dadakan ini.
Setibanya di Disdukcapil, mereka disambut petugas, dan anehnya semua proses berlangsung sangat cepat. Adira merasa ada yang janggal.
Biasanya, proses pencatatan seperti ini memakan waktu beberapa hari. Tapi tadi? Hanya butuh satu jam, dan sekarang di tangannya sudah ada selembar akta nikah.
Semua dokumen bahkan sudah disiapkan dengan baik oleh Dokter Tedja, seakan hal ini sudah lama direncanakan.
“Kita... beneran sudah nikah, Dok?” tanyanya setengah tidak percaya sambil menatap akta itu seperti benda asing.
Dokter Tedja melirik sekilas. “Kamu amnesia? Atau mulai demensia dini?” ucapnya santai. “Ngomong-ngomong, hari ini Dokter Ridwan jadwal di RS lain. Kita langsung ke sana sekarang.”
“Hah? Untuk apa kita ke dokter syaraf?” sergah Adira, menahan langkahnya. “Saya cuma shock, Dok. Bukan sakit!”
Melihat wajah Adira yang panik, Dokter Tedja terkekeh pelan.
“Ya, saya tahu,” gumamnya sambil menyeringai kecil. Dengan gerakan santai, dia menggenggam tangan Adira dan menariknya keluar gedung.
“Dokter mengejek saya, ya?”
Adira mendengus kesal, menyadari bahwa dirinya sedang jadi bahan candaan. Dokter Tedja tidak menjawab, tapi genggamannya sedikit mengerat. Sikapnya tetap tenang, seperti tidak ada yang perlu dijelaskan.
Mereka berjalan ke parkiran tanpa sepatah kata lagi.
Setelah masuk ke mobil, Dokter Tedja segera melajukan kendaraan. Awalnya, Adira mengira mereka akan kembali ke rumah sakit. Namun, dia mulai curiga ketika mobil mengambil arah yang berbeda.
“Dok, kok kita nggak kembali ke RS?” tanya Adira bingung.
“Kita ke rumah saya dulu. Naruh barang kamu.” jawab Dokter Tedja singkat, tanpa menoleh.
Adira terkesiap. “Tapi, Dok. Saya belum siap! Baju saya juga kan masih...”
Ucapan Adira terhenti, begitu ingat kalau kopernya sudah ada di bagasi.
“Nggak mungkin kamu nginep di rumah sakit terus kan, Adira? RS kita selalu penuh dan banyak yang membutuhkan ruangan.” jelas Dokter Tedja. “Kalau masih mau menginap di sana, ambil ruang president suite. Sanggup?”
Mendengar itu, Adira berdecak.
Walaupun saldo rekeningnya sekarang lebih dari cukup untuk bertahan beberapa bulan tanpa kerja, tapi memikirkan biaya inap di ruang president suite rumah sakit membuatnya bergidik.
Ruangan itu bukan hanya termewah di Jakarta, tetapi juga salah satu yang paling mahal di Asia Tenggara. Bahkan pejabat dan konglomerat jarang memilihnya kecuali benar-benar butuh privasi tinggi.
Dengan berbagai pertimbangan yang melintas cepat di kepalanya, Adira akhirnya pasrah. Dia bersandar di kursi, menatap lurus ke depan tanpa berkata apa-apa lagi.
Ketika akhirnya tiba di gedung tujuan, Adira kembali mendengus.
Dia sudah sering ke sini, karena sering diminta untuk lembur. Bahkan dia tahu sandi pintu masuknya. Sungguh tidak disangka kalau mulai hari ini dia akan tinggal di sana.
Begitu masuk ke dalam penthouse, berbagai furniture mewah langsung menyambut Adira.
Ditambah dengan pemandangan dari dinding kaca yang mengelilingi sebagian besar ruangan dan lantai marmer, suasana terasa seperti dunia lain.
Adira sempat terpana, tapi segera menghela napas, mencoba menenangkan diri.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menuju arah yang biasa ia tempuh saat lembur di sini. Namun, langkahnya terhenti ketika Dokter Tedja dengan cepat menarik kerah bajunya dari belakang.
“Mau ke mana?” tanya Dokter Tedja seraya memasukkan satu tangannya yang lain ke dalam saku.
“Ke kamar tamu, Dok,” jawab Adira singkat.
Biasanya dia memang tidur di kamar tamu kalau lembur sampai pagi. Jadi, itu otomatis menjadi tujuannya sekarang.
Dokter Tedja menyipitkan mata sebelum senyum liciknya yang khas tersungging di bibirnya.
“Kamar tamunya sudah nggak ada,” jawab Dokter Tedja sambil berjalan santai menuju sofa, lalu menjatuhkan dirinya di sana dengan angkuh.
Adira membeku. “Apa? Kok bisa nggak ada?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
“Saya renovasi. Sekarang ada gym kecil di sana,” balas Dokter Tedja santai sambil meraih remote untuk menyalakan TV.
“Lalu, kalau begitu saya tidur di mana, Dok?”
Dokter Tedja mengangkat satu ujung bibirnya, kemudian menjawab “Di kamar saya, lah.”
Sejak itu Adira menyesal sudah bertanya.
Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen
Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka