Hampir semua petugas IGD berhenti dari rutinitas saat melihat sosok basah kuyup yang baru saja masuk sebagai pasien.
Dengan tubuh menggigil dan wajah pucat, gadis itu, Adira Ayu Dewi, duduk di depan dokter jaga dengan senyum tipis, membuat dokter itu memutar mata bosan.
“Kali ini keluhannya apa, Bu?”
“Menggigil aja, sih. Soalnya teman saya tiba-tiba manggil saya ‘Ibu’. Padahal saya gak nikah sama bapaknya,” jawab Adira dengan nada bercanda, meski matanya tidak menyiratkan humor sama sekali.
Dokter itu Dokter Gina namanya. Dia menurunkan clipboard-nya, lalu menatap Adira dengan jengah.
“Diusir lagi sama kakak ipar?” kini nadanya terdengar lebih santai.
Adira Mengangguk.
Dokter Gina menghela napas dan mencoba memahami situasi Adira. Sebab, ia tahu betul bagaimana hubungan Adira dengan kakak iparnya yang selalu penuh konflik. Kali ini tampaknya pertengkaran mereka mencapai puncaknya.
Jika tidak, mana mungkin Sekretaris Pribadi Direktur Utama Rumah Sakit Alaric Medika itu tiba-tiba datang dengan lunglai begini? Siapa pun bisa melihat kalau Adira sedang tidak baik-baik saja.
Di mata seluruh staf, Adira adalah gambaran manusia paling sehat dan bersemangat di rumah sakit tersebut. Bahkan, dia tetap tegar meski harus menghadapi atasan yang terkenal menyeramkan dan perfeksionis, dr. Tedja, setiap hari.
Namun, sebelum Dokter Gina sempat bertanya lebih jauh, seorang perawat masuk membawa pakaian kering untuk Adira. “Tumben ke sini? Biasanya ke tempat Dewi,”
Adira mengangkat bahu, “Nggak bisa. Dewi lagi kedatangan ortunya di kontrakan. Mana mungkin aku ke sana kalau…lihat sendiri keadaanku gimana...” jelasnya.
“Ya udah lah, kamu ganti baju terus istirahat dulu aja. Ntar administrasinya aku yang urus. Kalau udah, nanti kusuruh perawat buat pasang selang infus,” Ujar Dokter Gina sebelum pergi.
Dengan perlahan, Adira mengganti pakaiannya di toilet IGD. Setelah itu, ia menyerahkan pakaian basahnya pada perawat. Selang infus pun terpasang dan Adira dibawa ke salah satu ruang VIP dengan kursi roda. Tubuhnya terasa sedikit lebih nyaman, meski pikirannya masih dipenuhi berbagai hal yang membuatnya lelah.
Begitu masuk ke dalam kamar rawatnya, Adira langsung merebahkan badan di atas brankar. Namun, baru saja ia hendak mencoba tidur, ponselnya berdering dan dia langsung tahu siapa yang menelepon.
Sebab, ini sudah menjadi panggilan yang kesekian kalinya dari kakaknya, Edwin. Adira menghela napas panjang, tapi akhirnya tetap mengangkat telepon itu.
“Halo, Kak?”
“Kamu di mana sekarang?”
Dari ujung yang lain, begitu panggilan terhubung, Edwin langsung berkata dengan nada datar. Membuat Adira menelan ludah dan membalik badannya ke arah tembok.
“Aku di rumah temen, Kak. Rencananya, besok aku akan cari kos-kosan.” Bohong Adira.
“Kamu kenapa? Kalau ada masalah kan bisa cerita ke Kakak. Gak perlu kan kamu pergi dari rumah segala?”
Adira terdiam sebelum menjawab lagi dengan suara yang berusaha dibuat ceria. “Gak ada masalah kok, Kak. Aku cuma merasa kalau ini sudah saatnya aku hidup mandiri. Aku nggak mau ngerepotin kakak dan kak Erna terus.”
Kali ini Adira harap alasan itu bisa Edwin terima, karena sebelumnya berbagai alasan sudah digunakan untuk keluar dari rumah dan hasilnya gagal.
Namun, seperti dugaan, harapannya sirna karena tiba-tiba saja Edwin meninggikan suara setelah sebelumnya menghela napas kesal.
“Ngerepotin apa sih, Adira?!” kata Edwin. “Kamu itu adik kakak, keluarga kakak satu-satunya. Kakak punya tanggung jawab sama kamu setelah orang tua kita meninggal!!”
Perkataan Edwin membuat Adira terdiam sejenak sembari menatap ke arah dinding tak tahu lagi harus berkelit seperti apa kepada kakaknya.
Sebab, mana mungkin dia memberitahu Edwin kalau Erna sama sekali tak menyukainya dan terus berusaha untuk mengusirnya pergi dari rumah semenjak mereka menikah?
Rumah tangga kedua orang itu cukup harmonis dan diperjuangkan begitu lama oleh Edwin. Adira tidak mau merusak kebahagiaan yang sudah Edwin raih dengan susah payah hanya karena dirinya yang nggak begitu penting.
“Adira?”
Suara Edwin membuat Adira tersentak dari lamunan. “Sama sekali nggak ada masalah, Kak. Aku hanya nggak mau bergantung dengan kakak terus.” sanggah Adira.
Mendengar itu, dengan nada serius Edwin berkata, “Adira, kamu tahu kan kakak selalu ingin yang terbaik buat kamu? Kakak nggak mau kamu keluar dari rumah sebelum kamu menikah. Kakak cuma khawatir.”
Adira menghela napas panjang. “Kak, aku ngerti, tapi aku juga butuh ruang untuk belajar mandiri. Aku janji, aku akan baik-baik saja. Gak perlu nikah dulu kan, baru ngekos?”
Namun, Edwin tetap kukuh. “Tidak, Adira. Kamu baru boleh keluar dari rumah kalau sudah menikah. Itu keputusan Kakak.”
Adira rasanya ingin segera menyelesaikan perdebatan ini. Dia tahu bahwa berdebat lebih lanjut tidak akan mengubah pendirian Edwin.
Dengan suara pelan, dia akhirnya berkata, “Baiklah. Aku akan menurut. Besok aku pulang habis kerja. Sekarang aku ngantuk mau tidur.”
Adira buru-buru mematikan ponselnya tanpa memberi Edwin kesempatan untuk membalas. Mengabaikan rasa bersalah yang menyelinap, Adira membalik badan sambil menggerutu pelan.
“Menikah apanya? Calon aja nggak punya.”
“Ada kok.”
Suara itu membuat Adira yang hendak turun dari kasur terperanjat dan menghentakkan tangannya keras, “AH!!”“Hati-hati! Kamu ini masih diinfus!” pria berjas dokter itu buru-buru mendekat sebelum mengencangkan plester di tangan Adira. “Untungnya hanya geser sedikit. Kamu mau diinfus ulang ya?!”
“Itu karena dokter yang tiba-tiba muncul!” Adira tak mau disalahkan. “Untuk apa dokter di sini? Bukannya jadwal dokter sudah selesai?” tanya Adira lagi.
Pria itu, dr. Tedjaswi Arthur Alaric, MARS mendengus dingin. “Melihat kamu. Apa lagi?”
Perkataan Dokter Tedja membuat Adira berpikir keras, berusaha menebak isi pikiran atasan langsungnya itu, tapi gagal. Karena alih-alih berekspresi, pria itu malah menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi berarti.
Dokter sekaligus Direktur Alaric Medika itu lalu menarik kursi di sebelah brankar dan duduk sebelum melipat tangan di dada.
Tatapan matanya menyorot tajam, tapi ekspresinya tetap sulit ditebak.
“Dokter?” Adira memanggil lagi, merasa sedikit risih dengan keheningan yang terasa menggantung di udara.
Namun, Adira tak berani memanggil terlalu sering karena selama dua tahun bekerja sebagai sekretaris pria itu, dia sangat tahu.
Jika pria itu diam terus setelah dipanggil beberapa kali, maka itu pasti sedang ada hal gila yang mengganggu pikirannya.
Selang beberapa saat, akhirnya pria itu membuka suara. “Kamu mau nikah kan? Besok aja gimana?”
Adira merasakan jantungnya pindah ke perut. “Hah?!”
“Iya. Ini saya udah janjian sama petugasnya. Besok kita nikah.”
Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen
Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka
Dewi duduk di meja resepsionis, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Dia berusaha terlihat sibuk membaca berkas di depannya, tetapi pikirannya terus berputar pada satu hal, yaitu pemandangan yang baru saja dia lihat di rumah sakit tadi siang. Adira dan Giovanni. Mereka bercanda dengan akrab, tertawa dengan begitu alami seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Giovanni bahkan menyentuh kepala Adira, membenarkan helaian rambut yang hampir masuk ke mulutnya saat tertawa. Dewi mengepalkan tangannya di bawah meja untuk menahan rasa kesalnya. Dulu, saat SMA, dia pernah melihat hal yang sama. Dewi sering memperhatikan Adira yang sedang berbicara dengan Giovanni. Mereka berdiri di dekat klinik sekolah, tampak asyik mengobrol. Giovanni saat itu adalah dokter muda yang baru mulai praktik di sekolah mereka, sementara Adira adalah murid beasiswa yang sering mengunjungi klinik karena sering begadang demi nilai sempurna. Dewi menggigit bibir. Dia bisa meliha
Tedja menatap Dewi dengan ekspresi tajam, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Suasana di ruangan itu terasa dingin, hampir seperti udara di kamar operasi sebelum tindakan besar dilakukan. “Saya tidak bisa terus menoleransi kesalahan seperti ini, Dewi,” katanya dengan nada dingin dan tegas. Dewi, yang sedari tadi bisa berbicara banyak, kali ini benar-benar panik. Matanya sedikit berkaca-kaca saat dia meremas ujung bajunya dengan gugup. “Saya benar-benar minta maaf, Dok... Saya butuh pekerjaan ini... Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Mohon jangan pecat saya,” suaranya bergetar, jelas terdengar nada ketakutan. Tedja tidak langsung menjawab. Ia melirik Adira yang berdiri di sampingnya, menatap Dewi dengan ekspresi sulit diartikan. Dia tahu Adira mulai ragu. Dari ekspresinya, dia bisa melihat Adira bergumul dengan pikirannya sendiri. Entah mana yang akan dia pilih antara mengikuti perasaannya yang masih percaya pada Dewi, atau menerima fakta bahwa Dewi memang berm
Adira duduk di kursi kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gelisah. Laporan tentang Dewi mulai menumpuk, dan ini bukan pertama kalinya dia menerima komplain. Masalahnya, setiap kali ada staf yang melapor, mereka selalu menyebut satu hal yang sama: Dewi menggunakan nama Adira untuk menekan orang lain. Adira menghela napas panjang. Dia ingin percaya bahwa Dewi hanya kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun, nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya, setelah jam makan siang, Adira memutuskan untuk bicara langsung dengan Dewi. Dia menghampiri meja resepsionis di bagian front office, tempat Dewi bekerja. Wanita itu tampak asyik berbincang dengan seorang perawat, seolah tidak ada beban sama sekali. "Dewi, bisa bicara sebentar?" suara Adira terdengar tenang, tapi ada ketegasan di baliknya. Dewi menoleh, tersenyum lebar. "Tentu dong, Ra." Mereka berjalan ke ruangan kosong di dekat front office. Begitu pintu tertutup, Adira langsung menatap