Simbah berjalan mendekati Sera. Dia menatap tak seperti biasanya. Lebih tajam dan sangat dingin. Kelima jemari kanannya meremas kuat ujung tongkat. Bahkan pandangan itu bisa diartikan siap menerkam Sera saat ini juga."Aku dari tadi mengamati kalian. Hmm ... jadi kau sudah kenal menantuku?" ucapnya kini menatap Bu Broto yang biasa dipanggil Jeng Wuri."Katakan apa yang harus aku ketahui.""Mbakyu," balas Jeng Wuri kini duduk di sebelah Sera. Dia mengambil selembar tisu dan menyodorkan tepat ke wajah Sera sambil berkata, "bersihkan mulutmu itu. Sangat tidak pantas istri Bupati kotor. Makan saja urakan. Tapi, gadis desa memang selalu seperti itu. Kam-pu-ngan.""Kamu sudah mengabaikan aku, Wuri," sela Simbah lalu duduk tepat di hadapan mereka. Simbah kini memicingkan kedua mata ke arah Maya yang sangat senang melihat Sera masih bergeming kaku. "Apa yang kalian berdua ingin katakan? Aku tidak suka berbelit.""Mbakyu, maafkan," balas Jeng Wuri sambil menggelengkan kepala, "Mbak tahu sendi
Satria menekan tombol di kursi rodanya. Menggerakkan roda itu hingga tepat di hadapan Sera yang masih bergeming kaku. "Kenapa diam? Apa benar kau meniduri Om Bima?"Seperti biasanya, Sera meremas ke -10 jemarinya ketika dia sangat gugup. Tak dia sangka pertanyaan Satria benar-benar di luar dugaannya."Jadi benar. Diam artinya kau memang melakukannya," ucap Satria kini terkekeh pelan."Seharusnya aku tidak perlu menjawab pertanyaan konyol itu. Kenal saja tidak. Lagi pula, menikahi ayahmu syarat utamanya adalah suci."Dengan santai Sera akhirnya menjawab. Dia kini bersujud di hadapan anak itu. Memberikan senyuman sangat cantik seperti biasanya."Anak seumuran dirimu seharusnya belajar rajin agar menjadi apa pun yang kau inginkan.""Aku ingin menjadi pemain bola dunia. Tapi ... apakah kau bisa bertanggung jawab? Ingatlah, ibu tiriku. Aku lumpuh karena dirimu," balasnya dengan nada dingin.Hati Sera benar-benar lemas seketika. Memang dia yang menyebabkan Satria seperti ini. Namun, berpur
Leher Bupati semakin tergelitik. Sesuatu di antara pangkal pahanya semakin menegang. Siap menusuk apa pun di hadapannya. Menyerupai gairah liar, apalagi tubuh Sera mengeliat keras, berusaha melawan. Namun, terlihat semakin seksi.Bibir Anggoro menelusuri leher Sera. Panas dalam dirinya bergejolak bagaikan kembang api yang siap meledak sewaktu-waktu.Pahanya terasa hangat ketika bersentuhan dengan kulit mulus wanita di hadapannya. Dada kekar itu berdenyut-denyut ketika menempel dengan sesuatu yang sangat kenyal dan bulat sempurna milik Sera.Namun, alih-alih melanjutkan, Anggoro bengong memandangi wanita di hadapannya yang mulai meneteskan air matanya.Anggoro bergegas melepaskan dekapannya. Napasnya yang masih terengah-engah dia atur dengan baik."Berdiri!" pintanya tegas. Mata pria itu masih tertumbuk pada rambut hitam si wanita yang sangat berantakan. "Aku bilang pergi!"Seharusnya ia tidak boleh menikmatinya. Seharusnya ia menghindar dan marah. Atau setidaknya, tersinggung. Seharus
Entah apa yang terjadi. Kenapa tiba-tiba mereka semua menyerang Sera? Bahkan pelayan pun tersenyum saat Anggoro mulai berjalan mendekati Sera dan menyeretnya. Lelaki itu menunjukkan kotak perhiasan yang diberikan pelayan tepat di wajah Sera. Sebuah perhiasan kesayangan Anggoro yang dia simpan rapat. Bahkan siapa pun yang berani menyentuhnya, akan mendapat kemarahan sang bupati."Sudah aku katakan. Kau jangan membuat masalah di rumah ini. Aku sudah sangat bodoh menyentuh tubuh pencuri seperti dirimu!" bentaknya tegas. "Aku tidak mencurinya. Bagaimana mungkin aku berani melakukannya?!" teriak Sera.Anggoro tidak mendengarkan itu. Dia menyeret tubuhnya keluar kamar."Ini fitnah. Tuan, percayalah."ARGH!!Sera tak percaya tubuhnya terhempas begitu keras akibat dorongan Anggoro. Wanita itu kali ini tak mau menyerah dan terlihat lemah. Dia segera berdiri. Menegakkan tubuhnya dengan sangat anggun."Tuan, bagaimana bisa aku mencurinya? Ini tidak benar."Anggoro mulai berpikir. Tiba-tiba saj
Anggoro masih menatap Sera. Sebuah pertanyaan yang dia sendiri tak mengerti jawabannya. Dia ingin sekali bercerai dan jelas-jelas menolak pernikahan itu. Namun, kenapa sekarang malah mau mempertahankan?"Tuan, maafkan. Saya seharusnya tidak menanyakan hal itu."Membalas tatapan mata Anggoro yang tak berkedip, untuk pertama kalinya Sera merasa seorang pria benar-benar melihatnya. Bukan melihat reputasinya, bukan memandang statusnya yang tidak jelas. Namun, benar-benar memandangnya sebagai Sera, wanita yang menjadi istrinya. Sedikit senyuman terpampang di wajah Sera."Habiskan saja makanan itu. Besok jangan terlambat." Nada berwibawa dalam suara itu membuat Sera semakin terpaku.Anggoro melirik tangan istrinya yang masih mencengkeram lengannya dan perlahan melepaskan. Mendadak Anggoro berbalik, kala sadar sedang diperhatikan. Dia begidik, menyadari dirinya memang merasakan hal yang sangat berbahaya."Jangan pernah berpikiran apa pun. Aku hanya ingin mempertahankan jabatanku saja."Sera
Sera masuk ke dalam dengan sangat anggun. Tubuhnya tegak, pandangannya tajam. Sambil mententeng tas bermerk terkenal yang sudah disiapkan ketika dia akan melakukan kegiatan.Semua terpaku melihat istri Bupati menutup sebagian wajahnya. Hanya kedua mata abu bercahaya yang terlihat dan kedua alis tebal.Sera duduk di tengah kursi sofa. Menyilangkan kaki jenjangnya, kemudian mengedarkan pandangan ke semua orang."Aku memang anak wanita panggilan. Lalu kenapa? Ada masalah?" tanyanya sembari memicingkan mata kepada Maya yang sangat terlihat kesal."Sudahlah, kalian harus menghormati istri pemimpin. Kita tidak boleh seperti ini," balas istri wakil Bupati kemudian berdiri, dan mengambil satu gelas minuman. Dia mengangkat gelasnya tinggi, diikuti semua wanita."Kita tidak bisa melawan istri pemimpin bukan? Kita harus menghormatinya," lanjutnya kemudian tersenyum ke arah Sera dan menyodorkan gelas itu. "Terimalah, kita akan bersulang bersama."Sera akhirnya berdiri. Sejenak dia menatap wanita
Simbah mendekati Anggoro. Semakin meremas ujung tongkatnya sebelum berteriak, "pengawal! Bawa budak itu ke kamarnya!""Ibu! Dokter meminta aku menjaga dia. Apa yang akan terjadi kalau dia sakit dan tidak bisa mendampingiku?"Anggoro semakin mengeratkan gendongannya. Pengawal pun segera menunduk kala kedua mata hitam Bupati memberikan pelototan tajam."Hahaha, sangat lucu sekali," tawa Simbah. Wanita itu semakin mendekati anaknya, "dia budak dan kau tidak bisa memperlakukan itu kepadanya. Ingat perjanjian kita.""Pengawal, lakukan!" "Simbah, biar saya yang membawa, Nyonya," sela Parman yang akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Dia mengamati semuanya di luar sejak tadi. Lelaki itu hanya ingin Bupati bisa selamat dari ibunya. Parman segera menganggukkan kepala kepada Anggoro dan perlahan menarik tubuh Sera. Sang bupati pun akhirnya melepaskan."Jadi kau mencintainya?" tanya Simbah kembali."Ibu, ini tidak ada hubungannya dengan itu.""Lalu apa?"Anggoro mengangkat salah satu
"Jadi kalian akan bercinta? Tidak aku sangka ternyata ayahku sudah lemah sekali." Satria semakin masuk ke dalam. Bahkan dia terkekeh saat melihat posisi ayahnya seperti itu. Sama sekali tidak dia duga. "Tapi ayahku lelaki normal, sih. Mana mungkin tahan melihat budaknya sangat mempesona." Ucapan Satria dengan ekspresi seperti itu, membuat Anggoro spontan menuruni tubuh Sera, kemudian mendekati anaknya. Anggoro kini harus mengakui jika dirinya memang tidak pernah sekikuk ini. "Satria, kenapa kau datang tiba-tiba? Seharusnya kau mengetuk pintu. Apa kau tidak diajari sopan santun?" Anggoro berkata dengan berkacak pinggang. Namun, kedua mata hitamnya itu melirik ponsel yang masih saja disodorkan Satria. "Ponsel siapa yang kau bawa?" Sera yang melihat hal itu, berusaha mengatasi dirinya yang sangat panik. Jika Anggoro mengetahui itu ponsel Willem, dia akan hancur saat itu juga. 'Dia tidak boleh mengambil ponsel itu.' Anggoro ingin sekali mengambil ponsel yang masih Satria genggam. N