Tubuh Lily membeku mendengar suara wanita asing dari seberang sana. Suara yang tak pernah dia dengar sebelumnya. Pun selain dirinya, tak pernah ada yang mungkin berani menjawab telepon suaminya. Namun, siapa wanita asing itu? Jutaan pertanyaan muncul di kepalanya, menimbulkan sesak di dada. “Kau siapa?” tanya Lily, berusaha tenang. “Ah, aku adalah teman Lionel. Maaf, aku harus tutup dulu. Nanti kalau Lionel sudah keluar dari toilet, aku akan menyampaikan padanya,” ucap wanita itu—yang langsung menutup panggilan secara sepihak. “Tunggu—” Tuttt … tuttt … Panggilan sudah tertutup. Lily tampak sangat kesal. Dia mencoba kembali menghubungi nomor suaminya, tapi yang dia dapatkan adalah penolakan. Hatinya bergemuruh tak menentu menunjukkan rasa yang tak nyaman. “Siapa wanita itu?” gumam Lily seraya meremas ponselnya. Lily tidak bisa tenang, dia mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Wanita cantik itu ingin segera meminta penjelasan pada sang suami, tapi bagaimana bisa? Tadi, di ka
Lily berada di sebuah kafe kecil yang hangat di Brooklyn. Wanita cantik itu duduk di sudut dekat jendela, menyaksikan salju yang turun dengan lebat. Butiran-butiran salju berputar dan menari di udara sebelum akhirnya mendarat di jalanan yang sudah mulai tertutup lapisan putih. Suasana di dalam kafe terasa nyaman, dengan aroma kopi yang menggoda dan suara gemerisik gelas serta obrolan pengunjung lainnya. Di hadapan Lily ada Ryan, sosok yang sudah lama tidak bertemu dengannya, tersenyum sambil menyeruput cappuccino. “Kau terlihat semakin cantik Lily. Lama tidak bertemu, membuatmu semakin cantik,” puji Ryan dengan senyuman hangat di wajahnya. Pria tampan itu tak tahu sedikit pun dalam memberikan pujian pada Lily—yang memang terlihat luar biasa cantik. Lily hanya memoles wajahnya dengan riasan tipis. Coat berwarna cream dengan paduan celana panjang hitam, dan atasan berwarna hitam membuatnya tampil elegan. Pun tak lupa boat berwarna cream senada dengan coat sebagai penyempurna penampil
Pagi menyapa dengan lembut di tengah musim salju, saat butiran salju turun perlahan dari langit, menutupi dunia di luar dengan selimut putih yang bersih. Di dalam mansion megah mereka, Lily dan Lionel duduk di meja makan yang elegan, dikelilingi oleh ornamen-ornamen indah dan lampu gantung yang berkilau. Suasana hangat dan nyaman menyelimuti mereka, kontras dengan dinginnya cuaca di luar.Lily menatap jendela besar yang menghadap ke taman, di mana salju menutupi setiap sudut, menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Wanita cantik itu menghirup aroma kopi yang baru diseduh, yang menghangatkan suasana hati dan tubuhnya. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara, tetapi suasana hati Lily terasa jauh dari hangat. Wanita cantuk itu masih terbayang-bayang pesan yang dikirim oleh wanita asing bernama Paloma kepada suaminya. Meskipun dia berusaha untuk mengabaikannya, rasa kesal dan cemburu itu terus mengganggu pikirannya.Lily menatap Lionel, yang tampak tenang dan santai, menikmati sara
“Terima kasih sudah mengantarku, Amelia.” Lily melukiskan senyuman paksaan di wajahnya, di kala mobil Amelia telah berhenti di depan mansion-nya. Senyuman yang dia paksakan seharian ini, agar Amelia tidak curiga bahwa perasaannya kali ini sangat campur aduk. Amelia menatap cemas Lily yang tampak berbeda seharian ini. “Kau benar baik-baik saja, kan?” tanyanya khawatir. Lily mengangguk. “Ya, Amelia. Tentu aku baik-baik saja. Jangan khawatir.” Amelia terdiam sejenak, merasa ragu akan jawaban Lily. Namun, dia menyadari dirinya tak bisa bertanya lebih dalama. Sebab, bagaimanapun Lily sudah berumah tangga. Berbeda di masa dulu di mana Lily masih belum menikah, bisa bercerita banyak hal. “Baiklah, Lily. Sampai jumpa lagi. Jika nanti kau hadir di acara reuni, tolong kabari aku, ya?” pinta Amelia pada Lily. Lily mengangguk, dengan senyuman hangat di wajahnya. Detik selanjutnya, dia membuka seat belt—dan turun dari mobil Amelia. Tepat di kala dia sudah turun, mobil Amelia melaju meningga
Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja. “Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia. Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu. “Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung. “Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana. Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?” “Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?” “Apa kau sibuk?” “Hem, tidak
Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan. “Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan. Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?” “Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan. Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?” “Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi. Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati. “Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan. Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.” “Baik,