Share

Sedikit miring

Bab 2

"Eh, baru saja kemarin kau datang ke kampung ini, sudah berlagak sok, lihat dirimu, apa menurutmu pantas seorang menantu berpakaian seperti ini pulang dari sungai? Sementara di kampung ini kebanyakan simatuam-mertuamu. Ngerti sopan santun tidak kau? Apa kau berniat mau merayu para suami-suami kami?" Mendengar cerocos ibu itu membuat darahku semakin mendidih.

"Idih merayu? amit-amit deh, muka-muka kampung, kulit hitam legam, rambut bauk gosong, terpanggang Matahari pula setiap hari, seperti itu mau aku rayu? Mending punya uang, ini hidup pas-pasan pula. Menang jauhlah suamiku. Nyari penyakit saja rayu suami orang. Sepertinya Ibu ini perlu periksa deh, entah otaknya sudah berpindah dari kepala jadi di pantat," batinku berkata pada diriku sendiri.

Sebenarnya sih ingin bicara langsung, tapi namanya orang tua, tidak tega juga aku, berkata kasar seperti itu. Lagipula kasihan ntar mertuaku, dibully orang sekampung, menantu baru Pak Regar itu, Preman woi ... gak enak banget kan dengarnya. Sedangkan aku belum bereaksi saja sudah di cap preman, apalagi kalau ... sudah bereaksi, akan semakin heboh gonjang-ganjing premanisme ku di kampung ini. Hehehe.

"Maaf Maktua, aku yang salah karena tidak memberitahukan kepada kak Riska bagaimana aturan-aturan kita di desa ini," ucap Neli menjelaskan ke ibu tukang bully itu

"Iya, lagian sudah badan besar begitu, kayak gajah, tapi tidak malu pakai kain saja penutup badannya, apa gak mikir? Harusnya punya otak lah, ini kan desa bukan kota yang tidak ada sopan santunnya."

Waduh ibu ini sepertinya tidak bisa didiamen deh. Mau di kampung atau di kota itu bukan ukuran manusia itu mengerti akan sopan santun, bagiku itu tergantung didikan dan keseharian kita. "

"Woi Bu, aku diam bukan karena takut melawan, tapi aku menghargai mertuaku. Parah ini mulut Ibu, kok tidak ada rem'nya ya," ucapku dengan nada kesal karena sudah tidak tahan lagi harus berdiam diri.

"Ayok Kak, nanti Kakak masuk angin, kelamaan pakai kain basahnya, tidak usah disambut Kak apa katanya biar sajalah." Neli memegang pergelangan tangan ku, lalu mengajakku meninggalkan ibu tadi. Mungkin Neli sudah melihat kalau emosiku sudah mulai tak terbendung.

"Sabar Ris, sabar!" Aku mengelus dada sambil berjalan mengikuti Neli.

"Memang begitunya Maktua itu Kak, banyak yang tidak suka padanya karena suka kali membicarakan keburukan orang lain," sela Neli.

"Ya sudahlah, suka-suka dia lah disitu Dek. Mulut mulutnya juga, nanti kalau aku sudah tidak tahan baru kuserobot," ucapku dengan bibir bergetar, soalnya aku sedang menggigil kedinginan.

Kami berjalan beriringan, dari halaman rumah, aku melihat sudah ada kepulan asap di dapur, sepertinya ibu mertua dan yang lainnya sudah pulang dari ladang.

Membayangkan ada perapian di dapur, aku langsung menuju dapur untuk menghangatkan sekujur tubuhku yang kedinginan. Aku lihat ada Bapak, Ibu, Bang Linggom, Bang Dapot saudara tertua Bang Linggom beserta istrinya, semua kompak mengelilingi bara api yang sengaja di nyalakan untuk menghangatkan badan.

Aku datang masih dengan sarung basahan dan handuk di leher, aku langsung jongkok di dekat bang Linggom.

"Dingin Bang, rasanya aku mau beku saja, hu - hu - hu." Aku melebarkan kedua telapak tanganku ke arah perapian yang sedang menyala-nyala.

Setelah aku duduk, aku lihat Bapak Mertua dan Bang Dapot bangkit berdiri dan langsung pergi ke ruang depan tanpa bicara apa-apa. Loh, kok kompakan perginya ya? Apa ada yang salah? Pikirku.

"Bapak dan Bang Dapot kenapa pergi ya Bang?" kuberanikan bertanya kepada suamiku, aku melihat sepintas wajah istri Bang Dapot seperti sinis melihatku.

"Apa kau tidak kedinginan pakai basahan begini, harusnya ganti dulu baru datang ke dapur." ucap Istri Bang Dapot nyeletuk dengan wajah dongkol.

"Oh, itu masalahnya toh, soalnya dingin banget Kak, makanya aku langsung ke api ini biar anget," sahutku tanpa merasa bersalah.

"Sebaiknya ganti baju dulu Dek, baru datang kemari, Bapak dan Bang Dapot merasa sungkan duduk bareng disini, karena melihat kamu masih pakai basahan gini," ucap suamiku bersuara lembut.

"Ini kita di kampung, bukan di kota. Heran aku, masak tidak dipakai akalnya, secara disini itu pada mertua semua, sopanlah. Anak kota, tapi tidak punya sopan santun." Istri Bang Dapot terus menyerang aku.

Sebenarnya aku lebih heran lagi, apa disini tidak bisa ya bicara baik-baik, tidak harus langsung menghakimi, tidak tau sopan santunlah, tidak pakai ot*k lah, akh pusing aku, mungkin menurut mereka sudah santun banget bahasa seperti itu.

"Neli, kenapa kamu gak bilang sama edamu-iparmu, bawa baju ganti ke sungai Nak?" ucap ibunya Bang Linggom menegur putri bungsunya.

"Iya Mak, Neli tadi lupa. Abang Linggom juga harusnya sebelum pulang kampung itu, kasih taulah gimana kebiasaan di kampung ini," keluh Neli dengan suara berat.

"Maaf semuanya." Aku berdiri lalu pergi ke kamar berganti pakaian.

Aku tidak perlu tahu lagi apa yang mereka bahas tentang aku, yang jelas dinginya cuaca ini sangat menyiksaku. Istri abang ipar yang dongkol juga tidak kuhiraukan lagi, selama Bapak dan Ibu Mertua tidak memarahiku, biar sajalah semua berpendapat jelek tentang aku, dalam pikiranku sekarang masuk ke kamar bergulung ke selimut lalu tidur. Seperti yang kulakukan saat ini. Tentunya tidak salah kamar lagi ya. Hehehe.

Enak-enak tidur, aku dengar suara Bang Linggom memanggil namaku. "Riska, bangun sayang, kita makan yok. Bapak, Uma-mama, dan semuanya sudah nunggu tuh, biar makan bareng."

"Dingin Bang, besok sajalah aku makannya," jawabku tanpa mau membuka selimut.

"Nanti kamu malah sakit sayang, yok makan sedikit saja. Kalau kamu tidak betah disini besok biar kita pulang saja ya."

"Apa? Pulang Bang? Benaran?" ucapku sumringah.

Aku langsung semangat mendengar kata pulang yang di ucapkan suami. Aku bangun dari tempat tidur lalu beranjak ke dapur, maklumlah di rumah ini tidak ada ruang makan, kami makan di dapur, duduk di tikar yang selalu di bentangkan. Sedang asyk makan kami mendengar suara seorang ibu masuk ke rumah.

"Mak Dapot!, diajari dong mantu kita biar tau sopan santun, ini tadi di kasih tahu malah menantang."

Suara itu tidak asing bagiku, setelah kulihat oh ternyata ibu tadi yang ketemu di jalan.

"Maaf Kak, Riska belum tahu kebiasaan kita disini, nanti akan kami ingatkan menantu kita untuk bersikap sopan." Mendengar ibu mertua minta maaf, emosi ku tersulut.

"Bu, aku tadi menantang apa? Jangan memburukkan orang dong. Lagipula terus sudah seberapa hebat rupanya Ibu di kampung ini, kok mertuaku harus sampai minta maaf segala ke Ibu tanpa ada salah," ucapku kesal, ibu macam ini perlu dikasih pelajaran.

"Tuh, lihat tuh Pak Regar, Mak Dapot, menantu mu ini lebih galak dari orang tua kan?" ucap ibu itu nyerocos.

Ku selesaikan makanan ku, ku cuci tanganku, lalu bangkit berdiri mendekati ibu itu.

"Aku mau bertanya pada Ibu, memangnya tadi aku nantangin apa? Ya jelas dong aku marah, Ibu ngatain orangtuaku tidak mengajarkanku sopan santun. Apa menurut Ibu, cara Ibu ini sudah santun? Sebagai yang dituakan harusnya Ibu menasehati aku, bukan malah menghakimi, bilang aku gak punya otak lah, bilang orang tuaku tidak mengajariku sopan santun lah, hebat kali Ibu, belum kenal samaku dan orang tuaku tapi sudah menilai kami buruk," ucapku penuh emosi.

"Mak Dapot, sepertinya mantu mu ini sedikit miring, aku pergi dulu ya." Ibu itu membuat tangannya bentuk miring di jidat lalu hendak beranjak pergi. Tapi saat dia melangkah, "tunggu bu," aku menarik tangan ibu itu, "mungkin selama ini tidak ada yang berani melawan Ibu, tapi mulai sekarang ku ingatkan ya Bu, jangan pernah kudengar lagi Ibu bicara yang tidak benar tentang aku di kampung ini, jangan salahkan kalau aku akan mempermalukan Ibu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status