Share

Menegur

Penulis: Vania Ivana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-20 23:40:39

Bab 03

"Wah, berani benar menantumu ini Mak Dapot, kalian lihat ini, pakai ngancam segala lagi." Lalu ibu itu mendekati suamiku, "Linggom!, ajarin dong istrimu ini bertutur kata dengan orang tua, jangan diam saja kau."

Mendengar tutur kata yang diucapkan, aku tambah kesal. Apa dia gak sadar kalau dia juga tidak ada tutur katanya, "Iya Maktua, nanti Riska aku nasehati." Bang Linggom menatapku menggeleng kepala, aku tahu maksudnya agar jangan lagi membalas ucapan ibu itu.

"Tuh, dengar suamimu, jangan badanmu saja yang kau gedein, tapi ot*kmu nol, aku ini mertuamu sama dengan Mak Dapot." Ibu itu berlalu pergi melenggang seperti dia saja yang sudah benar.

"Hei Inang, tunggu!"

Karena dia tadi sudah mengatakan dia mertuaku, setaraf dengan ibu mertua akhirnya aku memanggilnya inang biar lebih dihargai, walau bagaimanapun namanya orang tua harus tetap dijaga lisan kita yang lebih muda, jika berhadapan dengan orang yang lebih tua.

"Riska, sudah dong sayang, tidak usah diladeni nanti makin ribut." Bang Linggom menarik tanganku agar tidak mendekati ibu itu. Tapi dengan keras aku menepis tangan bang Linggom, bagiku ini harus diluruskan, sejak kecil papaku selalu bilang, kalau tidak salah tidak usah takut.

"Aku mau bertanya, masalah Inang denganku apa? Kenapa Inang gemar sekali memburukkan aku? badanku besar begini Inang bully, apa aku meminta makan pada Inang? Sejak aku masuk ke rumah mertuaku ini, aku tahu Inang selalu berpikir jelek padaku. Padahal Inang belum mengenal aku sama sekali. Menurut Inang, tutur kata Inang itu sudah sopan? Menegur, tapi Ibu bilang aku tidak punya ot*k, terus tadi Inang bilang, aku mau merayu suami orang-orang di kampung ini, bilang orangtuaku tidak mengajarkanku sopan santun, apa pantas orang tua yang merasa terhormat bicara seperti itu? Seharusnya sebagai orang tua, Inang menasehatiku. Bukan malah menciptakan kata -kata berbisa yang bikin orang marah Bu!"

Emosi yang kutahan sejak acara makan-makan kemarin meluap begitu saja. Memang dia pikir aku takut. Biar saja urusan Bapak dan Ibu mertua marah, nanti saja lah dihadapi. Yang penting keluar dululah unek-unek untuk ibu bermulut tajam ini, biar gak jadi penyakit kalau di pendam saja.

"Lancang kali mulut'mu ya?" Ibu itu mengangkat tangannya hendak menampar muka ku, refleks aku menunduk dan tutup mata.

"Sudah Kak, jangan pernah main tangan pada menantu kami, silahkan Kakak pulang, kalau Kakak tidak terima, besok masalah ini biar kita rapatkan di Balai Desa." Perlahan aku membuka mataku dan melihat Bapak Mertua sudah berdiri dan menahan tangan si ibu itu sehingga tidak jadi menampar aku.

"Jadi sekarang, kalian mau membela menantu mu yang preman ini?" Muka si ibu merah padam, mungkin tidak menyangka, tangannya akan dihalau oleh bapak yang hampir mengenai wajahku.

"Inang, disini tidak ada yang membela siapa, jangan pojokkan bapak. Tapi Inang perlu menjawab pertanyaan aku tadi, ada masalah apa Inang padaku sehingga Inang benci dengan aku?"

"Heh... Kamu diam! Mantu kurang aj*r. Aku tidak sedang bicara denganmu." Wajah ibu itu semakin menandakan kalau dia semakin emosi padaku.

"Aku akan diam, kalau Inang berhenti membicarakan aku dan keluargaku." Aku semakin tegap berdiri dihadapannya, tepatnya berdiri di tengah pintu agar si ibu tidak bisa keluar.

"Mau kamu apa sih? Awas, aku mau pulang." Muka si ibu sewot wajah sudah semakin memerah.

"Inang akan pulang, kalau sudah meminta maaf kepada Amang dan Inang simatuaku." ucapku semakin kesal.

"Meminta Maaf untuk apa ya?" Ibu itu malah bertanya dan menaikkan bahu terlihat angkuh.

"Eriska, sudah Nak, tidak usah diperpanjang lagi ya. Biarkan Kakak itu pulang." ucap Ibu Mertua datang memegang pergelangan tanganku.

"Tidak Inang, aku tidak mau, Inang itu harus minta maaf karena telah mengganggu kenyamanan kita di rumah ini. Aku tidak salah kok, kalau masalah aku pakai kain basahan dari sungai ke rumah, itu karena aku belum tau kebiasaan disini. Dan lagi aku pakai handuk di leher kok, badanku tertutupi semua tapi seenaknya saja Inang itu bilang, aku mau merayu suami orang-orang di desa ini. Itu sama dengan menghina. Sekarang kalau Inang itu tidak minta maaf kepada Amang dan Inang mertua, maka Inang ini tidak bisa keluar dari rumah ini." tegas ku.

"Hallah... Masalah gini saja pun di buat ribet kelihatan sekali tidak berpendidikan, masalah kecil saja dibesar-besarkan," ucapnya, aku melihat ibu itu mulai gusar.

"Mungkin bagi Inang, ini masalah kecil, tapi tidak denganku karena ini sudah menyangkut harga diri. Kalau sekarang aku diam, besok bisa saja Inang memfitnah aku telah merayu suami Inang, biar aku di usir dari kampung ini. Jadi sebelum Inang merajalela lebih baik Inang introspeksi diri dan meminta maaf kepada kami, khususnya Bapak dan Ibu mertua disini."

Mungkin karena ego, ibu itu tidak kunjung minta maaf, walau wajah yang sudah mulai panik, tapi dia tetap berusaha membela diri. "Aku hanya mengingatkanmu, apa salah orang tua mengingatkan yang muda? Kamunya saja yang gampangan tersinggung." Sudah mulai tidak berani menatap ku seperti pertama datang tadi.

Sementara di luar orang-orang sudah pada mulai datang melihat perdebatan kami. Mereka berdiri di halaman rumah Ibu Mertua.

"Apa? Inang bilang aku gampangan tersinggung? sekarang kalau aku bilang, Inang jelek tidak punya ot*k apa tidak tersinggung? suaraku semakin lantang, tidak mikir lagi aku mantu baru. Kadung malu biar sajalah di cap Mantu preman.

"Mampus kau rasain, kali ini kau pasti kena batunya." teriak seseorang ibu-ibu datang mendekat rumah mertua.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesona Istri dari Kota   Setan

    Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa

  • Pesona Istri dari Kota   terong belanda

    Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar

  • Pesona Istri dari Kota   Masak sendiri

    Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa

  • Pesona Istri dari Kota   Pindah?

    Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula

  • Pesona Istri dari Kota   Pelit bin kikir

    Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait

  • Pesona Istri dari Kota   Terimakasih

    Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara

  • Pesona Istri dari Kota   Minta maaf

    Bab 60"Ini padi-padi kita kenapa bisa begini Bang?"Aku berdiri memperhatikan padi yang susah payah kami tanam sekarang malah hangus menghitam."Sepertinya padi mu ini di semprot racun oleh seseorang Mak Dinda. Aku lihat dari kemarin daunnya pada kuning semua, sekarang jadi menghitam kering." Kak Lis, yang ladangnya bersebelahan dengan ladangku memberi penjelasan. Kak Lis juga lah yang telah mengirimkan SMS kepadaku tadi malam."Apa yang ada ya kak, kakak lihat jejak orang mencurigakan yang sengaja merusak ini?" Bang Linggom bertanya kepada kak Lis."Tidak ada Pak Dinda, kemarin lusa memang kami tidak ada disini, kalian pergi kami juga pergi. Ada pesta adik ipar ku di kampung."Bang Linggom tetap mengambil padi-padi kami itu. Meski menghitam tapi karena sudah berisi, setidaknya bisa di tumbuk pelan-pelan untuk mengeluarkan gabahnya dari berasnya.Miris memang, sedihnya tak terucapkan. Pengen cerita ke Papi dan saudara-saudara ku juga, rasanya aku enggan jadi beban buat mereka. Sedan

  • Pesona Istri dari Kota   Cobaan apa lagi

    Bab 59“Helmi, aku memilih keluargaku! Aku akan segera mengurus perceraian kita.”Bang Roni menatap Kak Helmi, lalu mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.Mendengar pernyataan Bang Roni. Membuat mata Kak Helmi membulat seakan tidak percaya apa yang barusan diucapkan oleh suaminya. Bukan hanya kak Helmi, aku yakin kami semua kaget atas ucapan Bang Roni terlihat dari wajah kami masing-masing yang kelihatan tegang.“Maksud Abang apa?” ucap Kak Helmi mendekat ke sisi Bang Roni.“Aku memilih keluargaku! Aku ingin kita bercerai.”“Papi, tolong maafkan aku Pi! Beri aku waktu untuk merubah segala sifat jelekku selama ini. Aku akan memberikan uang lima juta rupiah itu secara cuma-cuma kepada Riska, yang penting kami tidak bercerai.” “Jangan Anda pikir karena uang lima juta bisa membeli keharmonisan keluarga ini. Simpan uangmu, Eriska tidak akan menerima apapun yang akan Anda berikan!" tegas Papi kesal.Aku perhatikan, Papi tetap bersuara datar meskipun emosinya sedang meningkat,

  • Pesona Istri dari Kota   Memilih

    Bab 58Padahal kalau dipikir-pikir, uang Bang Roni ini melebihi uang Bang Anton. Sawit Abangku ini lebih dari seratus hektar saat ini. Semua sudah berhasil. Sementara mereka belum memiliki anak. Sedih jadinya melihat Abangku yang satu ini.“Kalau Kau Bungaran bagaimana?” tanya Papi menoleh ke Abangku nomor tiga.“Lima puluh juta. Urus Lah ladang kalian itu dengan baik. Berdoa kepada Tuhan, biar apa yang kalian kerjakan diberkati Tuhan. Kalau sudah ada tempat yang cocok segera bangun rumah kalian disana, nanti Abang bantu biaya pembangunannya. Apa yang dilakukan iparmu itu Lae Linggom, jadikan cambuk menuju sukses. Keponakanku ini berempat harus bisa sekolah tinggi kalian buat, kalian harus buktikan meskipun dicurangi tapi mampu berdiri kokoh,” ucap Bang Bungaran tegas."Iya Riska, Kau jangan sungkan-sungkan. Selama ini begitu banyak masalah yang terjadi padamu, Kau pendam sendiri. Apa Kau tidak menganggap kami ini saudaramu? Papi sudah tua, bagaimanapun kitalah yang harus saling bahu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status