Share

Bab 3. Diberikan Keselamatan

"Kandungan Ibu lemah, tadi Ibu mengalami pendarahan," jelas Dokter Rendi dengan suara pelan, namun begitu menyakitkan menerobos gendang telinga Maira. Hampir saja Maira menangis jika Dokter Rendi tak segera melanjutkan ucapannya.

"Janin Ibu masih bisa diselamatkan, untung saja Suami Ibu sigap segera mengantarkan ke rumah sakit. Terlambat sedikit saja mungkin kandungan Ibu sudah tidak bisa diselamatkan." lanjut Dokter Rendi. Kini Maira bisa bernafas lega. Janinnya selamat. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati menjaga calon buah hatinya.

"Terima kasih, Dok, sudah membantu menyelamatkan janin saya," ucap Maira tulus.

"Berterimakasihlah pada Yang Maha Kuasa, Bu. Karena semua ini berkat pertolongan–Nya." Maira begitu kagum dengan dokter tampan itu. Selain berwibawa dokter itu juga sangat bijaksana.

Kedua sudut bibir wanita cantik itu terangkat membentuk seulas senyum. Kepalanya mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan Dokter Rendi. Untuk sejenak, Maira lupa dengan suaminya. Pesona dokter muda nan tampan itu begitu memikat. Mengalihkan dunianya.

"Saya tinggal dulu ya, Bu. Nanti jika ada yang kembali dikeluhkan, Ibu bisa memencet tombol darurat itu," pamit Dokter Rendi sambil menunjukkan sebuah tombol merah di dekat ranjang Maira.

Maira kembali mengangguk, "iya, Dok. Terima kasih." Setelahnya, Dokter Rendi segera melangkah keluar dari ruang rawat Maira.

**********

"Dari mana aja, sih, Mas? Kok dari tadi di telepon susah banget!" Protes seorang wanita dari seberang telepon Alfin. Ya, saat ini Alfin sedang berbaring di ranjang king sizenya. Asyik bertelponan dengan wanita lain, tanpa mempedulikan Maira yang saat ini masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit.

Alfin berdecak, "tadi aku ngantar Maira ke rumah sakit dulu, dia pingsan, terus pendarahan. Ini aja aku baru sampai rumah," balas Alfin.

"A–apa? Jadi … wanita itu sedang hamil?" Suara dari seberang terdengar melengking masuk gendang telinga Alfin. Alfin segera menjauhkan ponsel dan menggosok telinganya yang terasa berdenging.

"Ya," sahut Alfin malas. Dia malas jika harus membahas kehamilan Maira. Alfin yakin jika bicara dengan Tania pasti akan jadi panjang. Wanita itu akan merajuk dan meminta Alfin untuk segera menceraikan Maira. Padahal, sebenarnya Alfin tidak ada niat sama sekali untuk menceraikan Maira. Dia hanya ingin Maira tak punya anak, dan dia bebas menikah lagi.

"Kok kamu nggak ada cerita sama aku, sih, Mas? Udah aku bilang kan, cepat ceraikan dia. Aku nggak mau ya, Mas, kalau sampai kamu punya anak dari dia. Aku nggak terima pokoknya," protes Tania.

Menghirup udara dalam-dalam untuk mengisi paru-parunya. Pria itu terlihat gusar mendengar permintaan sang kekasih. Bagaimana bisa dia menceraikan istrinya, kedua orang tuanya jelas tidak akan mengizinkan. Papa dan Mama sangat menyayangi maira–istrinya. Bisa-bisa malah dia sendiri yang akan di depak oleh papanya, dan tamat lah dia.

"Nggak segampang itu, Sayang. Posisi Maira itu begitu kuat dalam keluargaku. Bahkan Papa dan Mama sangat menyayanginya layaknya anak sendiri. Kamu tau sendiri kan alasannya apa?" Alfin mendesah lelah. Sedangkan Tania terdengar mendengkus kesal. Dia tahu, dia memang salah karena telah meninggalkan Alfin dua tahun yang lalu. Akan tetapi, dia juga tidak bisa terima posisinya kini digantikan oleh wanita lain. Egois memang.

"Iya, iya … itu terus yang dibahas. Terus gimana keadaan wanita itu sekarang? Apa dia keguguran? Aku sih, sangat berharap dia keguguran saja. Aku nggak mau dia mengandung benihmu, Mas. Biar aku saja yang kelak akan memberimu keturunan."

"Aku yakin dia keguguran, tadi dokter bilang Maira pendarahan. Sebelum ke rumah sakit memang ada darah yang keluar. Semoga saja janinnya tidak selamat," balas Alfin disambut senyum riang oleh wanita diseberang teleponnya. Bahkan tanpa perasaan pria itu telah mendoakan calon buah hatinya sendiri agar m4ti.

"Ya, aku juga berharap begitu," sahut Tania. "Besok jadi jemput aku kan, Mas? Jangan telat, ya. Pesawat landing pukul sepuluh pagi."

Alfin kembali berdecak, selalu saja begitu jika bersama Tania. Wanita itu sering kali mengaturnya. Tapi namanya terlanjur cinta mau seperti apapun, tetap saja dituruti.

"Iya, besok pasti aku jemput. Dah dulu, ya aku capek banget mau istirahat dulu." pamit Alfin pada kekasihnya.

"Yaudah, kamu istirahat dulu, aku juga udah ngantuk. Sampai jumpa besok." Lalu telepon dimatikan dari pihak Tania.

***********

Sementara Alfin sudah tertidur lelap di atas ranjang king sizenya. Di sebuah ruang rawat inap rumah sakit, Maira terbaring dengan tubuh yang masih lemah. Mata bulatnya bergerak-gerak gelisah. Dia tidak nyaman berada di sana, apalagi tidak ada satu orang pun yang menemaninya. Melirik ke dinding jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Maira berusaha memejamkan matanya, namun sampai satu jam lamanya, bukannya terlelap malah kepalanya yang terasa semakin pusing. Ingin menghubungi keluarganya tapi dia tidak membawa ponsel. Saat dibawa ke rumah sakit saja dia tidak sadar. Dan sekarang, suaminya pun tak ada niat kembali ke rumah sakit untuk sekedar menjenguknya.

Bulir-bulir bening kembali menerobos keluar dari singgasananya. Menyedihkan. Disaat dia butuh dukungan dari keluarga, tidak ada satu orang pun keluarganya yang datang menjenguk. Alfin memang tidak memberitahukan keadaan Maira pada siapa pun, kecuali Tania.

Maira segera menyeka kedua matanya saat terdengar suara pintu terbuka dari luar. Sesosok wanita dengan seragam setelan putih selutut, masuk membawa sebuah clipboard berisi kertas catatan dalam dekapannya, suster itu tersenyum ramah menyapa Maira.

"Selamat malam, Bu." sapanya, "permisi ya, saya mau cek dulu kondisi Ibu. Apa ada yang dikeluhkan?" tanyanya kemudian.

Maira mengangguk pelan, "kepala saya pusing, Sus," keluhnya.

"Nggak bisa tidur, ya, Bu? Keluarganya nggak ada yang datang?" tanya suster itu sambil menatap Maira. Maira menggeleng lemah membuat suster yang sedang memeriksa mendesah pelan.

Siapapun yang melihat keadaan Maira saat ini pasti akan prihatin. Di saat dirinya tengah sakit, tidak terlihat satupun keluarganya yang datang menemani. Bahkan, Suami yang tadi mengantar pun tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Wajarlah, suaminya itu memang menginginkan kandungannya celaka. Mungkin saat ini dia tengah berpesta merayakan kesakitan yang sedang dia rasakan. Begitu pikir Maira.

"Saya periksa tensinya dulu ya, Bu." Suster itu meminta izin sebelum memasangkan alat tensi pada lengan Maira. Tangannya dengan lihai mengutak-atik alat tersebut. "Seratus dua puluh per sembilan puluh," gumamnya sambil melepas kembali alat tensi yang baru saja digunakan.

"Tensinya sedikit tinggi, Bu. Ibu lagi banyak pikiran, ya?" tanya suster memecah keheningan ruangan bercat putih itu.

"Sedikit, Sus," balas Maira dengan seulas senyum di bibir tipisnya.

"Saran saya, lebih baik Ibu abaikan dulu hal-hal yang tidak Ibu sukai. Fokus sama janin dalam kandungan Ibu saja. Sebab setahu saya, janin juga ikut merasakan kondisi emosi Sang Ibu. Jadi lebih baik Ibu fokus saja dengan kesehatan Ibu dulu, pikirkan saja apa-apa yang bisa membuat Ibu bahagia," saran suster, sambil merapikan kembali barang bawaannya.

"Saya permisi, ya, Bu. Selamat malam, selamat beristirahat," Suster yang memeriksa Maira berpamitan dan keluar dari ruangan.

Kesunyian kembali menyergap dalam kesendiriannya, rasa sakit itu kembali menyusup ke dalam kalbu, saat dia mengingat kembali apa yang telah dilakukan suaminya. Mata bulat itu kembali merebak.

"suatu saat nanti, kau pasti akan menyesal telah menyia-nyiakan anak ini, Mas."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status