Share

Bab 4. Kembalinya Tania

Di sebuah kamar yang luas lengkap dengan ranjang berukuran king sizenya, seorang pria tengah tertidur lelap hingga jam weker di atas nakas berdering kencang, seolah mengobrak-abrik gendang telinga pria tersebut.

Alfin mengucek matanya yang terasa lengket, sebelum sebelah tangannya meraih benda berisik itu.

"Berisik! Udah jam berapa, sih?" gumamnya sendiri. Netranya membulat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Gegas dia bangun dan berlari ke kamar mandi.

Sekian menit berjalan, pria itu tampak lebih segar saat keluar dari kamar mandi. Melangkah menuju lemari tempat di mana Maira biasa menyimpan pakaian kerja nya.

Teringat akan Maira tangan lelaki itu urung membuka lemari. Dia menatap ke arah nakas. Di sana ponsel Sang Istri tergeletak begitu saja. Pria itu mendesah pelan.

"Seandainya kamu tidak keras kepala, Mai. Mungkin aku akan lebih peduli denganmu." Alfin bergumam sambil memakai pakaian kerjanya.

Pagi itu Alfin menyiapkan segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan siapa pun, karena di rumah itu dia hanya tinggal berdua dengan Maira.

*********

Alfin tersentak saat ponsel di sampingnya berbunyi. Sebuah notifikasi pengingat mengingatkannya, bahwa saat ini dia harus segera pergi ke bandara. Pasalnya Tania–kekasihnya akan sampai di Indonesia hari ini. Gegas Alfin merapikan kembali berkas-berkas yang berserakan di meja kerjanya. Dan segera menyambar kunci mobil, tak lupa dia masukkan ponsel ke dalam saku celananya.

Alfin kembali tersentak ketika ponselnya kembali berdering. Namun dari nada deringnya. Jelas itu bukan sekedar pesan singkat. Dia keluarkan kembali ponselnya dari saku celana.

Alisnya terangkat sebelah menatap layar ponsel yang tengah berkedip. Sebuah nomor tanpa nama terus saja memanggil. Dengan cepat jari jempolnya mengusap layar ponsel.

"Halo, Mas." Alfin terkejut mendengar suara dari seberang telepon tidaklah asing. Ya, si penelpon itu adalah Maira.

"Mas, kamu dengar aku, kan? Aku mau pulang sekarang. Bisakah kamu jemput aku, Mas? Sekalian tolong bayarkan tunggakan di rumah sakit. Aku nggak bawa apa pun kesini. Bahkan ponsel pun aku nggak bawa. Ini saja aku pinjam ponsel suster yang sedang memeriksaku." Panjang lebar Maira menjelaskan.

Alfin mengusap wajahnya kasar, kalau dia menjemput Maira dulu, pasti dia telat sampai di bandara. Dan itu bisa membuat Tania marah padanya. Jelas Alfin tidak mau hal itu terjadi. Jika sudah uring-uringan Tania akan lebih lama merajuknya, berbeda dengan Maira.

"Maaf, Mai. Kamu pulang sendiri saja, ya. Aku lagi sibuk. Biar nanti aku urus tunggakan rumah sakitnya sekalian aku pesankan taksi online untuk menjemputmu," balas Alfin. Dia gelisah melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya.

"Udah ya, Mai. Aku tutup dulu, masih banyak berkas yang harus aku selesaikan." Alfin mengakhiri telepon tanpa menunggu jawaban dari Maira.

Pria itu gegas berlari keluar dari kantor menuju area parkir tempat mobilnya tadi di parkirkan. Setelah berhasil masuk ke dalam mobil. Alfin segera menginjak pedal gas dan melaju ke arah bandara.

**********

"Bagaimana, Bu. Suami Ibu bisa menjemput?" tanya suster yang ponselnya tengah dipinjam Maira.

Maira menggeleng lemah seraya mengembalikan ponsel suster itu. "Suami saya lagi sibuk, Sus. Tapi katanya tadi sudah dipesankan taksi online untuk menjemput," balas Maira disertai seulas senyum tipis.

"Ya sudah, hati-hati ya, Bu, pulangnya. Setelah sampai rumah dibuat istirahat saja dulu. Saya tinggal dulu, ya, Bu," ucap suster ramah. Sepeninggal suster itu, Maira segera merapikan pakaiannya dan ikut keluar dari ruangan rawat inap seorang diri.

Berjalan tertatih menuju jalan raya, netranya menatap awas di depan sana. Sebuah taksi berwarna biru menjadi tujuannya saat ini.

"Permisi, apa benar ini orderan atas nama Alfin Mahendra?" tanyanya pada seorang pria paruh baya yang berdiri di samping kemudi.

"Iya benar. Dengan Bu Maira, ya?" jawab pria itu sambil bertanya balik. Maira mengangguk pelan, kemudian segera masuk ke dalam taksi. Disusul dengan pria paruh baya yang duduk dibelakang kemudi. Taksi berwarna biru itu melaju membelah jalanan kota.

***********

Pukul sepuluh lewat sebelas menit. Di sebuah bandara internasional kota S. Seorang wanita dengan rambut berwarna honey brown highlights tengah berdiri dengan anggun. Dengan setelan dres selutut berwarna merah membalut tubuhnya yang sintal, juga ditunjang dengan sepatu high heel berwarna senada membuat penampilannya terkesan anggun dan berani. Di sampingnya sebuah koper berwarna hitam mengkilat ikut berpose di sampingnya.

"Tania …" sebuah suara berat khas seorang pria membuat wanita itu menoleh. Bibirnya mengerucut menatap kesal pria yang memanggilnya.

"Telat sebelas menit!" ketusnya. Sedangkan pria di depannya terlihat mengusap wajahnya kasar.

"Maaf, jalanan ramai, jadi … sedikit macet," balas Alfin setelah menemukan alasan yang dia rasa tepat.

Mata Tania memicing menatap curiga. "Jalanan macet atau sibuk mengurus wanita lain." Alfin kembali menghela nafas. Kepalanya menggeleng pelan, sebelah tangannya mengacak gemas rambut wanita di depannya. Memang begitulah Tania, dari dulu dia memang seorang pencemburu.

"Nggak ada waktu buat ngurusin dia, Sayang. Tadi aku dari kantor terus langsung ke sini jemput kamu," kata Alfin sambil menoel dagu lancip Tania. Wanita itu tersenyum sumringah penuh kemenangan. Alfin masih sama seperti yang dulu. Pria itu sudah seperti budak cinta Tania.

"Oke, aku mau langsung pulang, tapi pulang ke rumah kamu. Boleh, ya, Mas?" pintanya dengan manja, membuat Alfin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hari ini Maira pulang, Sayang. Aku rasa, lebih baik langsung pulang ke rumah orang tuamu saja. Gapapa 'kan?" Tania diam tidak menjawab. Bibirnya yang penuh tampak mengerucut.

"Kamu takut sama dia, Mas?" Tania menatap kesal pada Alfin.

Alfin semakin bingung menghadapi wanitanya itu. Mau menolak takut merajuk, tapi kalau di iyakan dapat dipastikan akan terjadi perang besar di rumahnya nanti. Hari ini Maira sudah pulang, Alfin yakin saat ini Maira sudah berada di rumah.

"Bukan takut, Sayang, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan hubungan kita. Aku hanya tidak mau kalau Maira mengadu sama Papa dan Mama. Biar aku bujuk dia dulu ya, supaya mau menerima kamu sebagai madunya." Alfin menjelaskan dengan hati-hati, takut jika wanitanya salah paham dan kembali merajuk.

"Nggak, pokoknya aku mau pulang ke rumah kamu, aku nggak mau ya, wanita itu menggoda kamu terus, secara kalian kan hanya tinggal berdua saja." tegas Tania.

Alfin menggigit bibirnya sendiri, alasan Tania sangat tidak masuk akal. Mana ada larangan seorang istri menggoda suaminya sendiri. Mau membantah juga takut salah. Akhirnya dia hanya bisa pasrah saat wanita itu terus memaksanya. Dengan langkah gontai dia mengikuti langkah Tania yang berada di depannya.

Sedangkan Tania, wanita itu tersenyum penuh kemenangan. Dia sudah tidak sabar untuk mengenyahkan Maira dari keluarga Mahendra. Dirinya tidak rela Maira menggantikan posisinya menjadi menantu kesayangan keluarga Mahendra.

"Tunggu saja tanggal mainnya, akan kupastikan, tidak lama lagi kau akan terusir dari keluarga Mahendra," batin Tania sambil menyeringai.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
dianrahmat
ciih si Alfin bener2 bodoh bin tolol. dia yg dulu ditinggal seenaknya tp malah takut sama Tania. pantes aja kamu diremehin sama Tania. dasar pecundang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status