Di sebuah kamar yang luas lengkap dengan ranjang berukuran king sizenya, seorang pria tengah tertidur lelap hingga jam weker di atas nakas berdering kencang, seolah mengobrak-abrik gendang telinga pria tersebut.
Alfin mengucek matanya yang terasa lengket, sebelum sebelah tangannya meraih benda berisik itu."Berisik! Udah jam berapa, sih?" gumamnya sendiri. Netranya membulat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Gegas dia bangun dan berlari ke kamar mandi.Sekian menit berjalan, pria itu tampak lebih segar saat keluar dari kamar mandi. Melangkah menuju lemari tempat di mana Maira biasa menyimpan pakaian kerja nya.Teringat akan Maira tangan lelaki itu urung membuka lemari. Dia menatap ke arah nakas. Di sana ponsel Sang Istri tergeletak begitu saja. Pria itu mendesah pelan."Seandainya kamu tidak keras kepala, Mai. Mungkin aku akan lebih peduli denganmu." Alfin bergumam sambil memakai pakaian kerjanya.Pagi itu Alfin menyiapkan segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan siapa pun, karena di rumah itu dia hanya tinggal berdua dengan Maira.*********Alfin tersentak saat ponsel di sampingnya berbunyi. Sebuah notifikasi pengingat mengingatkannya, bahwa saat ini dia harus segera pergi ke bandara. Pasalnya Tania–kekasihnya akan sampai di Indonesia hari ini. Gegas Alfin merapikan kembali berkas-berkas yang berserakan di meja kerjanya. Dan segera menyambar kunci mobil, tak lupa dia masukkan ponsel ke dalam saku celananya.Alfin kembali tersentak ketika ponselnya kembali berdering. Namun dari nada deringnya. Jelas itu bukan sekedar pesan singkat. Dia keluarkan kembali ponselnya dari saku celana.Alisnya terangkat sebelah menatap layar ponsel yang tengah berkedip. Sebuah nomor tanpa nama terus saja memanggil. Dengan cepat jari jempolnya mengusap layar ponsel."Halo, Mas." Alfin terkejut mendengar suara dari seberang telepon tidaklah asing. Ya, si penelpon itu adalah Maira."Mas, kamu dengar aku, kan? Aku mau pulang sekarang. Bisakah kamu jemput aku, Mas? Sekalian tolong bayarkan tunggakan di rumah sakit. Aku nggak bawa apa pun kesini. Bahkan ponsel pun aku nggak bawa. Ini saja aku pinjam ponsel suster yang sedang memeriksaku." Panjang lebar Maira menjelaskan.Alfin mengusap wajahnya kasar, kalau dia menjemput Maira dulu, pasti dia telat sampai di bandara. Dan itu bisa membuat Tania marah padanya. Jelas Alfin tidak mau hal itu terjadi. Jika sudah uring-uringan Tania akan lebih lama merajuknya, berbeda dengan Maira."Maaf, Mai. Kamu pulang sendiri saja, ya. Aku lagi sibuk. Biar nanti aku urus tunggakan rumah sakitnya sekalian aku pesankan taksi online untuk menjemputmu," balas Alfin. Dia gelisah melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya."Udah ya, Mai. Aku tutup dulu, masih banyak berkas yang harus aku selesaikan." Alfin mengakhiri telepon tanpa menunggu jawaban dari Maira.Pria itu gegas berlari keluar dari kantor menuju area parkir tempat mobilnya tadi di parkirkan. Setelah berhasil masuk ke dalam mobil. Alfin segera menginjak pedal gas dan melaju ke arah bandara.**********"Bagaimana, Bu. Suami Ibu bisa menjemput?" tanya suster yang ponselnya tengah dipinjam Maira.Maira menggeleng lemah seraya mengembalikan ponsel suster itu. "Suami saya lagi sibuk, Sus. Tapi katanya tadi sudah dipesankan taksi online untuk menjemput," balas Maira disertai seulas senyum tipis."Ya sudah, hati-hati ya, Bu, pulangnya. Setelah sampai rumah dibuat istirahat saja dulu. Saya tinggal dulu, ya, Bu," ucap suster ramah. Sepeninggal suster itu, Maira segera merapikan pakaiannya dan ikut keluar dari ruangan rawat inap seorang diri.Berjalan tertatih menuju jalan raya, netranya menatap awas di depan sana. Sebuah taksi berwarna biru menjadi tujuannya saat ini."Permisi, apa benar ini orderan atas nama Alfin Mahendra?" tanyanya pada seorang pria paruh baya yang berdiri di samping kemudi."Iya benar. Dengan Bu Maira, ya?" jawab pria itu sambil bertanya balik. Maira mengangguk pelan, kemudian segera masuk ke dalam taksi. Disusul dengan pria paruh baya yang duduk dibelakang kemudi. Taksi berwarna biru itu melaju membelah jalanan kota.***********Pukul sepuluh lewat sebelas menit. Di sebuah bandara internasional kota S. Seorang wanita dengan rambut berwarna honey brown highlights tengah berdiri dengan anggun. Dengan setelan dres selutut berwarna merah membalut tubuhnya yang sintal, juga ditunjang dengan sepatu high heel berwarna senada membuat penampilannya terkesan anggun dan berani. Di sampingnya sebuah koper berwarna hitam mengkilat ikut berpose di sampingnya."Tania …" sebuah suara berat khas seorang pria membuat wanita itu menoleh. Bibirnya mengerucut menatap kesal pria yang memanggilnya."Telat sebelas menit!" ketusnya. Sedangkan pria di depannya terlihat mengusap wajahnya kasar."Maaf, jalanan ramai, jadi … sedikit macet," balas Alfin setelah menemukan alasan yang dia rasa tepat.Mata Tania memicing menatap curiga. "Jalanan macet atau sibuk mengurus wanita lain." Alfin kembali menghela nafas. Kepalanya menggeleng pelan, sebelah tangannya mengacak gemas rambut wanita di depannya. Memang begitulah Tania, dari dulu dia memang seorang pencemburu."Nggak ada waktu buat ngurusin dia, Sayang. Tadi aku dari kantor terus langsung ke sini jemput kamu," kata Alfin sambil menoel dagu lancip Tania. Wanita itu tersenyum sumringah penuh kemenangan. Alfin masih sama seperti yang dulu. Pria itu sudah seperti budak cinta Tania."Oke, aku mau langsung pulang, tapi pulang ke rumah kamu. Boleh, ya, Mas?" pintanya dengan manja, membuat Alfin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Hari ini Maira pulang, Sayang. Aku rasa, lebih baik langsung pulang ke rumah orang tuamu saja. Gapapa 'kan?" Tania diam tidak menjawab. Bibirnya yang penuh tampak mengerucut."Kamu takut sama dia, Mas?" Tania menatap kesal pada Alfin.Alfin semakin bingung menghadapi wanitanya itu. Mau menolak takut merajuk, tapi kalau di iyakan dapat dipastikan akan terjadi perang besar di rumahnya nanti. Hari ini Maira sudah pulang, Alfin yakin saat ini Maira sudah berada di rumah."Bukan takut, Sayang, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan hubungan kita. Aku hanya tidak mau kalau Maira mengadu sama Papa dan Mama. Biar aku bujuk dia dulu ya, supaya mau menerima kamu sebagai madunya." Alfin menjelaskan dengan hati-hati, takut jika wanitanya salah paham dan kembali merajuk."Nggak, pokoknya aku mau pulang ke rumah kamu, aku nggak mau ya, wanita itu menggoda kamu terus, secara kalian kan hanya tinggal berdua saja." tegas Tania.Alfin menggigit bibirnya sendiri, alasan Tania sangat tidak masuk akal. Mana ada larangan seorang istri menggoda suaminya sendiri. Mau membantah juga takut salah. Akhirnya dia hanya bisa pasrah saat wanita itu terus memaksanya. Dengan langkah gontai dia mengikuti langkah Tania yang berada di depannya.Sedangkan Tania, wanita itu tersenyum penuh kemenangan. Dia sudah tidak sabar untuk mengenyahkan Maira dari keluarga Mahendra. Dirinya tidak rela Maira menggantikan posisinya menjadi menantu kesayangan keluarga Mahendra."Tunggu saja tanggal mainnya, akan kupastikan, tidak lama lagi kau akan terusir dari keluarga Mahendra," batin Tania sambil menyeringai.Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak