Home / Romansa / Pesona Mantan Suami / Pertemuan pertama dengan mantan suami

Share

Pesona Mantan Suami
Pesona Mantan Suami
Author: Fatmayyah

Pertemuan pertama dengan mantan suami

Author: Fatmayyah
last update Last Updated: 2024-11-16 14:46:17

Malam itu, Lia merasa lega ketika semua barang-barang pindahannya akhirnya tertata di tempatnya. Rumah barunya, sebuah bangunan mungil di kompleks yang asri, tampak begitu tenang dan damai—setidaknya itulah kesan pertama yang ia dapatkan. Ia menghela napas panjang, meluruskan punggungnya yang mulai terasa pegal setelah seharian mengangkut dan menata barang-barang. Suara derit kecil dari sendi-sendi punggungnya menjadi saksi betapa lelah tubuhnya hari ini.

Sambil berjalan ke dapur kecilnya, Lia memperhatikan setiap sudut ruangan dengan tatapan puas. Di ruang tamu, sofa berbahan kain lembut sudah diposisikan sempurna menghadap televisi. Tanaman hias favoritnya menghiasi sudut-sudut ruangan, menambahkan kesan segar di tengah warna dinding yang netral. Ia menyeduh secangkir teh hijau, lalu membawa cangkirnya ke sofa, duduk sambil melepaskan sepatunya. Menyesap teh hangat, ia memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan yang merambat ke telapak tangannya dan rasa tenteram yang ia rindukan selama ini.

Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa saat. Di tengah keheningan malam, suara musik berdentum keras di telinganya. Suara yang begitu tiba-tiba itu membuat Lia tersentak, nyaris menumpahkan tehnya. Matanya langsung terbuka lebar, menatap sekeliling rumah yang gelap. Ia mengerutkan dahi, mencoba mencari tahu sumber kebisingan itu. Setelah beberapa detik, ia menyadari bahwa suara itu berasal dari luar, dari arah rumah-rumah di sebelahnya.

Lia menghela napas frustrasi. “Kok bisa ada musik segaduh ini?” gumamnya dengan nada kesal. Ia baru saja pindah dan berharap suasana tenang, tapi bukannya ketenangan yang ia dapatkan, justru kebisingan yang memekakkan telinga. Volume musik itu semakin meningkat, seakan-akan seseorang sengaja memutarnya dengan keras di malam yang sudah larut ini. Lia merasa kepalanya mulai berdenyut.

Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari sofa, meletakkan cangkir teh di meja, dan mengambil syal tipisnya yang tergantung di dekat pintu. Malam itu agak berangin, namun ia tidak peduli. Rasa penasaran dan kesal membuatnya ingin segera menegur siapa pun yang bertanggung jawab atas kebisingan ini. Dengan langkah tegas, Lia melangkah keluar dan mendekati rumah sebelah, sumber suara yang diyakininya berasal dari sana.

Dengan ketukan yang cukup keras, ia mengetuk pintu rumah tersebut, berharap pemilik rumah akan segera merespons. Tak lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan seorang pria muda dengan kaus sedikit lusuh dan rambut acak-acakan. Wajahnya tampak bingung, mungkin karena terganggu di malam-malam seperti ini, tapi ekspresinya tetap terlihat santai.

“Lia?” Pria itu menatap Lia dengan alis terangkat, matanya yang terlihat agak mengantuk menambah kesan tak acuh. Lia mengerutkan kening, menahan kekesalannya. Lia tak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya disini. Orang yang paling ia hindari justru kini malah bertemu dengannya.

“Mas, bisa tolong kecilkan suaranya? Musiknya kedengeran sampai ke rumah saya,” ujarnya dengan nada sedikit tajam. Kini Lia menganggap mantan suaminya itu adalah orang asing yang tak pernah sekalipun singgah di hidupnya.

Pria itu mengerutkan alis, tampak semakin bingung. “Musik?” tanyanya sambil melirik sekeliling rumahnya. “Saya nggak nyetel musik apa-apa.”

Lia melipat tangan di depan dada, matanya menatapnya tak percaya. “Mas serius? Suara musiknya jelas dari sini.”

Pria itu menatapnya beberapa saat, lalu berbalik melirik ke dalam rumahnya yang sunyi. Ruangan di belakangnya gelap, hanya lampu redup di lorong yang menyala. “Saya nggak bohong, di sini nggak ada musik.”

Lia mendengus, makin kesal. “Masih mau ngeles, ya?”

Pria itu tersenyum kecil, seolah-olah menahan tawa. Senyum itu membuat Lia merasa semakin tidak nyaman, seakan dirinya sedang dipermainkan. “Kalau nggak percaya, yuk, kita coba cari sumber suaranya sama-sama.”

Lia menatap pria itu, ragu sejenak. Namun, suara musik yang semakin jelas terdengar membuatnya terpaksa mempertimbangkan tawaran tersebut. Ia pun mengangguk dengan berat hati, dan pria itu mengajaknya melangkah ke tepi jalan depan rumah.

Saat mereka sampai di luar, akhirnya jelas bahwa musik keras itu ternyata berasal dari rumah di seberang jalan. Dari halaman rumah tersebut, tampak sekelompok remaja sedang merayakan sesuatu, tertawa, dan berteriak sambil berdansa mengikuti dentuman musik yang memenuhi udara malam. Rupanya, bukan dari rumah mantan suaminya,seperti yang ia kira sebelumnya.

Lia terdiam, wajahnya memerah karena malu. Ia tak menyangka telah menuduh sang mantan tanpa bukti. “Oh... ternyata dari sana.” Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup keras untuk didengar pria di sebelahnya.

Pria itu terkekeh pelan, tak bisa menahan tawa. “Nah, kan? Udah nuduh duluan, sih.”

Lia mengalihkan pandangannya, merasa sangat canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Beberapa saat kemudian, ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan, “Maaf, Mas.”

Pria itu masih tersenyum geli, lalu mengangguk. “Nggak apa-apa. Biasa kali ya, kalau pertama kali pindah masih sensitif sama suara-suara.”

Ucapan itu membuat Lia sedikit kesal lagi, tapi ia memilih untuk menahan diri. “Saya cuma mau ketenangan, Mas, nggak lebih.”

“Tenang aja, Bu Perfeksionis,” jawab pria itu dengan nada setengah bercanda, membuat wajah Lia semakin merengut. “Jangan langsung marah-marah dulu, siapa tahu salah. Kamu emang nggak berubah ya.”

Lia menghela napas, mencoba menahan diri dari melontarkan kata-kata tajam. " Itulah kenapa aku memilih cerai denganmu waktu itu. Kamu terlalu berlebihan menganggapku perfeksionis. Lagi pula aku punya nama!” ujarnya dengan nada sedikit kesal.

Pria itu tersenyum lebar. “Kamu tidak perlu membahas soal kita di masa lalu. Lagi pula kita menikah karena terpaksa kan?"

Hening.

Pria itu mengulurkan tangan, "Selamat datang di kompleks ini Lia.”

Dengan enggan, Lia menerima uluran tangannya. Saat mereka berjabat tangan, ia merasa ada sesuatu yang aneh dari cara Budi tersenyum. Seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikannya, tapi Lia tidak bisa memastikan apa itu. Di balik senyuman Budi yang santai, Lia merasakan kehangatan yang tak biasa.

“Ya sudah, makasih atas sambutannya, Mas Budi. Saya balik dulu,” kata Lia dengan nada formal, mencoba menutupi rasa malunya yang masih tersisa. Ia segera membalikkan badan dan berjalan kembali ke rumahnya, tanpa menoleh lagi. Sesaat setelah pintu rumah tertutup, Budi hanya menggelengkan kepala sambil menahan tawa. "Perfeksionis banget," gumamnya pelan, namun cukup keras untuk didengar oleh dirinya sendiri.

---

Keesokan paginya, Lia bangun dengan perasaan campur aduk. Meski sudah berusaha melupakan kejadian tadi malam, rasa kesal dan sedikit malu masih membekas di hatinya. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan mantan suaminya itu disini? Ia mengambil nafas panjang, mencoba membuang semua emosi negatifnya dan meyakinkan dirinya bahwa ia hanya perlu beradaptasi. Toh, ia baru saja pindah ke lingkungan baru.

Namun, ketika ia membuka pintu untuk membuang sampah pagi itu, masalah baru muncul di depannya. Lia memperhatikan dengan kening berkerut. Di tempat sampah yang seharusnya berisi kantong sampah miliknya, justru terlihat kantong sampah berwarna biru yang tidak ia kenal. Dan di tempat sampah sebelahnya, yang berada tepat di depan rumah Budi, ia melihat kantong sampah miliknya.

“Astaga… masa iya harus marah-marah lagi?” gumamnya sambil menghela napas panjang. Meski begitu, rasa kesal yang sudah menumpuk membuatnya tak bisa tinggal diam. Dengan langkah cepat, ia kembali mendatangi rumah Budi dan mengetuk pintu.

Pintu terbuka, dan Budi muncul di ambang pintu, kali ini dengan wajah sedikit mengantuk. Mungkin dia belum sepenuhnya bangun. Pria itu memandang Lia dengan alis terangkat, lalu menyunggingkan senyum. “Ada apa lagi, Bu Perfeksionis?”

“Mas, sampah kita tertukar,” kata Lia sambil menunjuk ke arah tempat sampah mereka.

Budi menguap, tampak tidak terlalu peduli dengan masalah yang Lia utarakan. “Ya udah, ambil aja yang punya kamu.”

Lia merasakan darahnya berdesir. “Mas, itu bukan soal sampah. Ini soal ketertiban.”

Budi menatapnya dengan ekspresi setengah bingung dan geli. “Ketertiban? Ini cuma sampah, Bu Perfeksionis. Ngapain dipermasalahin?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Mantan Suami   Bab 15: Kedatangan mantan

    Pagi itu, udara di kompleks perumahan terasa segar setelah hujan semalam. Lia sedang menyapu halaman depan rumahnya sambil sesekali melirik Dika yang sibuk mengutak-atik sepeda barunya di teras.Budi, yang biasanya bersantai dengan gitarnya di rumah sebelah, tampak tak terlihat sejak pagi. Lia mengira mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.Namun, rutinitas pagi yang damai itu berubah saat sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah Lia. Seorang pria bertubuh tinggi dengan kemeja rapi keluar dari mobil, membawa buket bunga mawar merah. Lia memicingkan mata, mencoba mengenali siapa tamu tak diundang itu.“Andi?” gumam Lia dengan nada tak percaya.Andi tersenyum lebar. “Lia! Lama nggak ketemu,” sapanya penuh antusias.Lia mendekat, menyisihkan sapu di tangannya. Ia merasa campuran rasa canggung dan bingung. “Andi, apa yang kamu lakukan di sini?”“Aku kebetulan ada urusan kerja di dekat sini, dan aku pikir, kenapa nggak mampir untuk bertemu teman lama?” jawab Andi, menyerahkan buket

  • Pesona Mantan Suami   kecelakaan kecil

    Hari itu, sinar matahari menyorot lembut ke rumah kecil di sudut kompleks. Setelah semalaman hujan deras, Budi bangun lebih awal dari biasanya.Ia pergi ke rumah Lia, menatap ke arah atap rumahnya Lia yang bocor, merasa harus segera memperbaikinya sebelum hujan kembali turun. Sambil membawa peralatan seadanya, ia melangkah ke halaman. Lia, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, mengintip dari jendela dan memicingkan mata ke arah Budi.“Budi, kamu yakin mau naik ke atas sendirian?” teriaknya sambil membuka pintu.Budi menoleh, memamerkan senyum santainya. “Tenang, Lia. Ini cuma bocoran kecil. Aku pasti bisa tangani sendiri.”Lia menggeleng, merasa ragu. “Bukannya kamu takut ketinggian?”Budi tertawa kecil. “Itu dulu. Sekarang, aku siap jadi Spider-Man lokal.”Lia hanya mendesah. “Hati-hati, ya. Jangan sampai malah jatuh.”Namun, kekhawatirannya tetap membayangi. Budi memang selalu bersikap santai, tapi terkadang santainya terlalu berlebihan.*Di atas atap, Budi mulai bekerja. Ia me

  • Pesona Mantan Suami   rahasia terungkap

    Matahari sore merambat pelan ke dalam ruang tamu rumah Rina, sahabat Lia, yang penuh dengan dekorasi ceria khas keluarga muda.Tawa anak-anak terdengar dari halaman belakang, termasuk suara Dika yang asyik bermain dengan teman-temannya. Lia duduk di sofa, menyeruput teh hangat sambil menikmati obrolan santai dengan Rina. “Aku masih nggak percaya, akhirnya kamu dan Budi bakalan bertemu di perumahan yang baru.”Ujar Rina, meletakkan mangkuk berisi keripik singkong di meja. “Masih ingat nggak waktu pertama kamu cerita soal dia? Kamu kayaknya mau perang dunia ketiga sama dia.”Lia tertawa kecil, meski matanya tak lepas dari Dika di luar.“Waktu itu Budi memang nyebelin, Rin. Segala hal kecil diurusin. Tapi ya… ternyata dia juga punya sisi manis.”“Manisnya Budi atau karena kamu udah jatuh cinta duluan?” goda Rina sambil menyipitkan mata penuh arti.Lia memutar bola matanya. “Rina, plis. Nggak semua hal harus tentang cinta.”Rina mengangkat bahu, tersenyum iseng. “Tapi kan bener, toh? Lih

  • Pesona Mantan Suami   kompetisi masak

    Sabtu pagi itu, kompleks perumahan seperti berubah menjadi arena festival. Suasana yang biasanya tenang mendadak ramai dengan orang-orang berlalu lalang membawa bahan masakan, wajan, hingga panci berukuran raksasa.Dari sudut lapangan, aroma bawang tumis dan rempah mulai menyelinap di udara, menggoda siapa saja yang lewat.Lia berdiri di depan meja dapur portabel miliknya, menatap daftar bahan yang sudah ia siapkan semalam.Di sampingnya, ada tas penuh alat masak yang tertata rapi, persis seperti sifat perfeksionisnya. Namun, wajahnya terlihat sedikit tegang.“Mama, kenapa lama banget? Papa udah mulai dari tadi, lho!” Dika mengeluh sambil menarik ujung baju Lia.Lia mendongak dan melihat Budi yang sedang sibuk di meja masak sebelah. Pria itu terlihat santai, bahkan sesekali mengobrol dengan tetangga lain yang lewat. Bahan-bahan di mejanya tampak seadanya, tapi ekspresinya penuh percaya diri.“Dika, masak itu nggak bisa buru-buru. Mama mau bikin yang terbaik buat kamu,” ujar Lia sambil

  • Pesona Mantan Suami   Bab 11 Surat tak terduga

    Matahari pagi menyapa kompleks perumahan kecil tempat Lia tinggal. Udara segar terasa berbeda setelah kejadian di bandara beberapa hari yang lalu.Lia dan Budi tampak lebih harmonis, meski rutinitas mereka mulai kembali seperti biasa. Pagi itu, Lia sedang sibuk menyapu halaman depan rumah, sementara Budi di dalam bermain dengan Dika yang riang setelah akhirnya kembali berkumpul bersama ayahnya.“Ma, lihat nih! Robotku bisa ngomong sekarang!” Dika berlari keluar rumah dengan senyum lebar, menunjukkan mainannya.Lia berhenti menyapu dan membungkuk, menatap mainan itu dengan antusias palsu.“Wah, keren sekali, Nak! Coba Mama dengar apa dia bisa bilang, ‘Mama cantik’?”Dika mengerutkan dahi. “Kayaknya robotnya cuma bisa bilang, ‘Halo, Dika.’ Mama aja yang ngomong ‘Mama cantik’ sendiri.”Lia tertawa, mencubit pipi anaknya pelan. “Kamu ini pintar sekali, ya.”Tawa mereka terhenti ketika Lia melihat sesuatu di lantai dekat pintu pagar. Sebuah amplop putih sederhana tergeletak di sana. Alamat

  • Pesona Mantan Suami   Bab 10: Akhir yang Manis

    Udara di bandara terasa dingin dan sibuk. Suara pengumuman yang bersahut-sahutan menggema, bercampur dengan langkah kaki para penumpang yang tergesa-gesa. Lia berdiri di tengah keramaian, menggenggam erat tangan Dika yang terlihat kebingungan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok yang kini memenuhi pikirannya.Namun, tak ada tanda-tanda Budi. Hanya orang-orang asing berlalu-lalang dengan tujuan mereka masing-masing. Lia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dadanya terasa sesak, seperti ada yang mendesaknya untuk berteriak. “Mama, Papa di mana?” tanya Dika dengan suara kecil, suaranya bercampur rasa takut dan sedih.Lia berjongkok, menyamakan tinggi dengannya. Ia mengusap pipi Dika dengan lembut. “Mama juga nggak tahu, Nak. Tapi kita tunggu di sini dulu, ya. Mungkin Papa masih di sekitar sini.”Dika mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. Lia menariknya ke pelukan, membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan hati anaknya. Namun, di dalam dirinya sen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status