Pesona Mantan Suami

Pesona Mantan Suami

last updateLast Updated : 2025-01-10
By:  FatmayyahOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
15Chapters
326views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Lia tak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya Budi, di sebuah kompleks perumahan. Sejak hari pertama, mereka selalu berselisih paham tentang hal-hal sepele: musik yang terlalu keras, sampah yang tertukar, hingga kenangan-kenangan mereka dulu saat masih bersama, mulai mereka kenang kembali. Pertengkaran kecil ini menjadi rutinitas harian mereka. Namun, di balik semua itu, perasaan cinta mulai tumbuh perlahan di hati mereka.

View More

Chapter 1

Pertemuan pertama dengan mantan suami

Malam itu, Lia merasa lega ketika semua barang-barang pindahannya akhirnya tertata di tempatnya. Rumah barunya, sebuah bangunan mungil di kompleks yang asri, tampak begitu tenang dan damai—setidaknya itulah kesan pertama yang ia dapatkan. Ia menghela napas panjang, meluruskan punggungnya yang mulai terasa pegal setelah seharian mengangkut dan menata barang-barang. Suara derit kecil dari sendi-sendi punggungnya menjadi saksi betapa lelah tubuhnya hari ini.

Sambil berjalan ke dapur kecilnya, Lia memperhatikan setiap sudut ruangan dengan tatapan puas. Di ruang tamu, sofa berbahan kain lembut sudah diposisikan sempurna menghadap televisi. Tanaman hias favoritnya menghiasi sudut-sudut ruangan, menambahkan kesan segar di tengah warna dinding yang netral. Ia menyeduh secangkir teh hijau, lalu membawa cangkirnya ke sofa, duduk sambil melepaskan sepatunya. Menyesap teh hangat, ia memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan yang merambat ke telapak tangannya dan rasa tenteram yang ia rindukan selama ini.

Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa saat. Di tengah keheningan malam, suara musik berdentum keras di telinganya. Suara yang begitu tiba-tiba itu membuat Lia tersentak, nyaris menumpahkan tehnya. Matanya langsung terbuka lebar, menatap sekeliling rumah yang gelap. Ia mengerutkan dahi, mencoba mencari tahu sumber kebisingan itu. Setelah beberapa detik, ia menyadari bahwa suara itu berasal dari luar, dari arah rumah-rumah di sebelahnya.

Lia menghela napas frustrasi. “Kok bisa ada musik segaduh ini?” gumamnya dengan nada kesal. Ia baru saja pindah dan berharap suasana tenang, tapi bukannya ketenangan yang ia dapatkan, justru kebisingan yang memekakkan telinga. Volume musik itu semakin meningkat, seakan-akan seseorang sengaja memutarnya dengan keras di malam yang sudah larut ini. Lia merasa kepalanya mulai berdenyut.

Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari sofa, meletakkan cangkir teh di meja, dan mengambil syal tipisnya yang tergantung di dekat pintu. Malam itu agak berangin, namun ia tidak peduli. Rasa penasaran dan kesal membuatnya ingin segera menegur siapa pun yang bertanggung jawab atas kebisingan ini. Dengan langkah tegas, Lia melangkah keluar dan mendekati rumah sebelah, sumber suara yang diyakininya berasal dari sana.

Dengan ketukan yang cukup keras, ia mengetuk pintu rumah tersebut, berharap pemilik rumah akan segera merespons. Tak lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan seorang pria muda dengan kaus sedikit lusuh dan rambut acak-acakan. Wajahnya tampak bingung, mungkin karena terganggu di malam-malam seperti ini, tapi ekspresinya tetap terlihat santai.

“Lia?” Pria itu menatap Lia dengan alis terangkat, matanya yang terlihat agak mengantuk menambah kesan tak acuh. Lia mengerutkan kening, menahan kekesalannya. Lia tak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya disini. Orang yang paling ia hindari justru kini malah bertemu dengannya.

“Mas, bisa tolong kecilkan suaranya? Musiknya kedengeran sampai ke rumah saya,” ujarnya dengan nada sedikit tajam. Kini Lia menganggap mantan suaminya itu adalah orang asing yang tak pernah sekalipun singgah di hidupnya.

Pria itu mengerutkan alis, tampak semakin bingung. “Musik?” tanyanya sambil melirik sekeliling rumahnya. “Saya nggak nyetel musik apa-apa.”

Lia melipat tangan di depan dada, matanya menatapnya tak percaya. “Mas serius? Suara musiknya jelas dari sini.”

Pria itu menatapnya beberapa saat, lalu berbalik melirik ke dalam rumahnya yang sunyi. Ruangan di belakangnya gelap, hanya lampu redup di lorong yang menyala. “Saya nggak bohong, di sini nggak ada musik.”

Lia mendengus, makin kesal. “Masih mau ngeles, ya?”

Pria itu tersenyum kecil, seolah-olah menahan tawa. Senyum itu membuat Lia merasa semakin tidak nyaman, seakan dirinya sedang dipermainkan. “Kalau nggak percaya, yuk, kita coba cari sumber suaranya sama-sama.”

Lia menatap pria itu, ragu sejenak. Namun, suara musik yang semakin jelas terdengar membuatnya terpaksa mempertimbangkan tawaran tersebut. Ia pun mengangguk dengan berat hati, dan pria itu mengajaknya melangkah ke tepi jalan depan rumah.

Saat mereka sampai di luar, akhirnya jelas bahwa musik keras itu ternyata berasal dari rumah di seberang jalan. Dari halaman rumah tersebut, tampak sekelompok remaja sedang merayakan sesuatu, tertawa, dan berteriak sambil berdansa mengikuti dentuman musik yang memenuhi udara malam. Rupanya, bukan dari rumah mantan suaminya,seperti yang ia kira sebelumnya.

Lia terdiam, wajahnya memerah karena malu. Ia tak menyangka telah menuduh sang mantan tanpa bukti. “Oh... ternyata dari sana.” Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup keras untuk didengar pria di sebelahnya.

Pria itu terkekeh pelan, tak bisa menahan tawa. “Nah, kan? Udah nuduh duluan, sih.”

Lia mengalihkan pandangannya, merasa sangat canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Beberapa saat kemudian, ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan, “Maaf, Mas.”

Pria itu masih tersenyum geli, lalu mengangguk. “Nggak apa-apa. Biasa kali ya, kalau pertama kali pindah masih sensitif sama suara-suara.”

Ucapan itu membuat Lia sedikit kesal lagi, tapi ia memilih untuk menahan diri. “Saya cuma mau ketenangan, Mas, nggak lebih.”

“Tenang aja, Bu Perfeksionis,” jawab pria itu dengan nada setengah bercanda, membuat wajah Lia semakin merengut. “Jangan langsung marah-marah dulu, siapa tahu salah. Kamu emang nggak berubah ya.”

Lia menghela napas, mencoba menahan diri dari melontarkan kata-kata tajam. " Itulah kenapa aku memilih cerai denganmu waktu itu. Kamu terlalu berlebihan menganggapku perfeksionis. Lagi pula aku punya nama!” ujarnya dengan nada sedikit kesal.

Pria itu tersenyum lebar. “Kamu tidak perlu membahas soal kita di masa lalu. Lagi pula kita menikah karena terpaksa kan?"

Hening.

Pria itu mengulurkan tangan, "Selamat datang di kompleks ini Lia.”

Dengan enggan, Lia menerima uluran tangannya. Saat mereka berjabat tangan, ia merasa ada sesuatu yang aneh dari cara Budi tersenyum. Seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikannya, tapi Lia tidak bisa memastikan apa itu. Di balik senyuman Budi yang santai, Lia merasakan kehangatan yang tak biasa.

“Ya sudah, makasih atas sambutannya, Mas Budi. Saya balik dulu,” kata Lia dengan nada formal, mencoba menutupi rasa malunya yang masih tersisa. Ia segera membalikkan badan dan berjalan kembali ke rumahnya, tanpa menoleh lagi. Sesaat setelah pintu rumah tertutup, Budi hanya menggelengkan kepala sambil menahan tawa. "Perfeksionis banget," gumamnya pelan, namun cukup keras untuk didengar oleh dirinya sendiri.

---

Keesokan paginya, Lia bangun dengan perasaan campur aduk. Meski sudah berusaha melupakan kejadian tadi malam, rasa kesal dan sedikit malu masih membekas di hatinya. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan mantan suaminya itu disini? Ia mengambil nafas panjang, mencoba membuang semua emosi negatifnya dan meyakinkan dirinya bahwa ia hanya perlu beradaptasi. Toh, ia baru saja pindah ke lingkungan baru.

Namun, ketika ia membuka pintu untuk membuang sampah pagi itu, masalah baru muncul di depannya. Lia memperhatikan dengan kening berkerut. Di tempat sampah yang seharusnya berisi kantong sampah miliknya, justru terlihat kantong sampah berwarna biru yang tidak ia kenal. Dan di tempat sampah sebelahnya, yang berada tepat di depan rumah Budi, ia melihat kantong sampah miliknya.

“Astaga… masa iya harus marah-marah lagi?” gumamnya sambil menghela napas panjang. Meski begitu, rasa kesal yang sudah menumpuk membuatnya tak bisa tinggal diam. Dengan langkah cepat, ia kembali mendatangi rumah Budi dan mengetuk pintu.

Pintu terbuka, dan Budi muncul di ambang pintu, kali ini dengan wajah sedikit mengantuk. Mungkin dia belum sepenuhnya bangun. Pria itu memandang Lia dengan alis terangkat, lalu menyunggingkan senyum. “Ada apa lagi, Bu Perfeksionis?”

“Mas, sampah kita tertukar,” kata Lia sambil menunjuk ke arah tempat sampah mereka.

Budi menguap, tampak tidak terlalu peduli dengan masalah yang Lia utarakan. “Ya udah, ambil aja yang punya kamu.”

Lia merasakan darahnya berdesir. “Mas, itu bukan soal sampah. Ini soal ketertiban.”

Budi menatapnya dengan ekspresi setengah bingung dan geli. “Ketertiban? Ini cuma sampah, Bu Perfeksionis. Ngapain dipermasalahin?”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
15 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status