Home / Romansa / Pesona Panas Sang CEO / BAB 3 : PERPISAHAN YANG SEBENARNYA

Share

BAB 3 : PERPISAHAN YANG SEBENARNYA

Author: NightEve
last update Last Updated: 2025-03-14 10:44:52

Hari itu berjalan seperti biasa. Anessa sibuk di depan laptopnya, mengetik laporan yang harus diserahkan kepada Pak CEO. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, berusaha kembali menenggelamkan diri dalam pekerjaan.

Namun, sekeras apa pun ia mencoba, pikirannya tetap berantakan. Bayangan Andrean masih menghantuinya.

Suara notifikasi pesan masuk dari ponsel membuatnya berhenti sejenak.

["Kita bisa bicara?"]

Anessa menatap nama pengirimnya.

Andrean.

Ia mengembuskan napas kasar. Satu minggu lebih berlalu sejak kejadian di depan taksi itu dan kini pria itu tiba-tiba menghubunginya, senang rasanya tapi juga kesal.

Anessa menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum membalas.

Namun disisi lain, Anessa ingin mengabaikannya, tapi di dalam hatinya, ada pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Dengan berat hati, ia mengetik balasan.

["Di mana?"]

[Di restoran, tempat biasa kita bertemu dulu."]

Anessa hanya membacanya sekilas dan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya yang memang harus ia selesaikan hari ini.

Setelah jam kerja berakhir, Anessa langsung pergi ke alamat yang dituju dengan taksi online. Mereka bertemu di sebuah kafe dekat kantor Andrean bekerja.

Kafe itu merupakan tempat pertama kali mereka kencan dan sekarang menjadi tempat dimana Anessa memutuskan semuanya.

Di dalam kafe itu, terlihat dari kejauhan seorang pria berjas abu-abu telah menunggunya di meja pojok sudut kanan kafe.

Ia melangkahkan kaki jenjangnya mendekati pria itu dan perlahan duduk di sebuah kursi empuk.

Anderan hanya diam dan menghindari kontak Anessa yang menatapnya sejak tadi. Firasat Anessa menduga Andrean mungkin sudah tahu.

"Sebenarnya ada suatu hal yang ingin aku tanyakan padamu."

"Apa itu?" tanya Andrean memperhatikan sekilas mata Anessa yang serius.

"Apakah kamu memiliki hubungan khusus dengan Shera?"

Andrean mengusap wajahnya dengan kasar, tangannya terkepal di atas paha. Seketika ia bangkit dan menggebrak meja dengan keras. Suasana menjadi tegang, orang-orang disekitar langsung menatap kearah mereka. Anessa yang kebingungan, hanya duduk diam dan mendongakan kepalanya seolah bertanya-tanya ada apa.

Nafasnya memburu, tatapannya membara ke arah Anessa, "Kenapa kamu tahu hal seperti ini?!"

"Hah? Kan aku cuma tanya aja. Apa tidak boleh jika aku bertanya?" jawab Anessa sedikit ketakutan.

"Nggak usah tanya yang nggak perlu! Kan kamu tahu sendiri kalau aku sibuk mencari uang! Katakan apa yang ingin kamu bicarakan, jangan bertanya pertanyaan seperti itu!"

Sontak ia mengepalkan tangannya seerat-erat mungkin, tubuhnya gemetar dengan air matanya masih tertahan. Semua orang terus memperhatikan dan sebagian orang mulai berbisik-bisik kecil satu sama lain.

Napas Anessa tercekat. Air mata menggenang. Kenapa Andrean bisa sekasar ini?

"Kenapa diam? Katakan!" bentak Andrean dengan nada tinggi.

Anessa mengepalkan tangan di bawah meja. Ini saatnya.

"Aku yakin kamu punya hubungan dengan Shera, kalau kamu punya hubungan dengan Shera atau punya rasa sama dia. Kenapa kamu tidak mengakhiri hubungan ini sejak awal. Kita bahkan sudah mau menikah, kenapa kamu tidak serius dengan komitmenmu sekarang?" cerocos Anessa sambil menyeka air matanya yang terus mengalir.

"Apanya? Aku tidak ada hubungan apapun dengan dia!"

"Tidak ada apanya? Mungkin sikapmu berubah dingin karena dia kan?"

"CUKUP!"

Andrean menghantam meja sekali lagi. Anessa semakin terjebak, ia semakin ketakutan saat ini. Andrean lalu mengambil sebuah gelas untuk memukulnya, dengan sigap seorang pria yang duduk di meja sebelah segera berdiri menahan Andrean.

"Jangan buat masalah lebih besar, bro," kata pria itu dingin.

Andrean menggeram, lalu melempar gelasnya ke lantai. Pecahan kaca berserakan.

Anessa tersentak. Ini bukan lagi tentang cinta. Ini sudah berubah jadi ketakutan.

"Tolong jelaskan, Andrean," suaranya bergetar. Berusaha menahan amarah yang kian menumpuk di dalam dadanya.

Dia menghela nafas dengan kasar. Seolah ia tak mau menjelaskan semuanya. Tapi, meminta untuk dimengerti.

"Anessa, kita udah membahas ini sebelumnya."

Anessa mengernyit kebingungan dan mengingat kapan Andrean membahas hal ini. Padahal mereka baru saja meributkannya.

"Belum!" Jawab Anessa tegas. "Yang selama ini kamu lakukan hanya beralasan dan menghindariku saja."

Andrean mengusap kasar wajahnya, nafasnya semakin memburu seolah bersiap menerkam Anessa sampai hancur. "Kenapa diam, hah! Jelaskan kenapa kamu begitu padaku!" tanyanya sedikit berteriak.

Seorang pria menarik mundur bahu kanan Andrean, memintanya untuk menahan diri dan tidak membuat keributan di tempat umum.

"Lepaskan aku! Kamu tidak ada hubungannya dengan ini!" bentak Andrean sambil menunjuk tajam pria itu.

"Apa yang harus dijelaskan sekarang? Bukankah kamu sudah tahu semuanya?" tanyanya, mencoba to the point.

Jantung Anessa seketika terasa mencelos. Semua yang ia duga sejak lama hingga saat ini, semuanya benar!

"Aku tak pernah menyangka … orang yang kucintai bisa menyakitiku sekejam ini."

Andrean terkekeh pelan dengan ekspresi sinis.

"Kejam, katamu? Anessa, kalau aku sampai dekat dengan orang lain, itu karena kau yang berubah. Kau sibuk sendiri, seolah aku ini nggak ada."

Sebuah tawa miris lolos dari bibir Anessa. "Oh, jadi ini salahku? Salahku karena percaya padamu? Salahku karena bekerja keras untuk masa depan kita?"

Andrean tidak menjawab, hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.

Tangan Anessa terkepal erat. Marah, perih, kecewa, semua bercampur menjadi satu.

"Aku datang ke sini bukan untuk berdebat, tapi untuk menyudahi ini."

Ia melepaskan cincin pertunangan dari jarinya dan melemparkannya ke meja. Cincin itu berguling perlahan sebelum berhenti di depan Andrean.

Andrean menatap cincin itu lama, bibirnya melengkung samar, tapi matanya tetap dingin. Ada kelegaan di sana, tapi juga sesuatu yang sulit dijelaskan.

"Semoga dia bisa mencintaimu lebih dari yang kulakukan."

Tanpa menunggu jawaban, Anessa melangkah pergi meninggalkan kafe dengan orang-orang yang masih memperhatikannya.

Udara malam yang dingin menyambutnya. Langkah kakinya mantap, tapi dadanya terasa begitu kosong.

"Memang aku yang salah ... karena telah memilih dia."

Dari kejauhan terlihat seorang wanita dengan mimik percaya diri, berjalan mendekati Anessa.

Shera.

Gadis itu berdiri tidak jauh dari Anessa, menyilangkan tangan sambil menatap dengan ekspresi penuh kemenangan.

"Jadi, akhirnya beres?" tanya Shera dengan nada puas.

Anessa menatapnya dingin. "Apa maksudmu?"

Shera mendekat, "Dia bilang mau menyelesaikan semuanya hari ini. Dan aku pastikan dia benar-benar melakukannya."

Jadi, Shera tahu soal pertemuan ini?

Anessa tertawa sinis. "Kalian memang cocok."

Shera tersenyum kecil, lalu melingkarkan lengannya di lengan Andrean yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya. "Kami memang cocok," katanya, seolah ingin menegaskan posisinya.

Anessa menatap mereka berdua. Dulu, di posisi Shera, ia pernah berdiri. Pernah merasa aman. Pernah merasa yakin bahwa Andrean adalah miliknya. Tapi sekarang? Ia hanya seorang tokoh figuran dalam kisah mereka.

"Terserah kalian," kata Anessa akhirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 34 : TIDAK SUKA AKU

    Edward memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Perdebatan dengan Ayahnya sangat menguras energi dan pikirannya. Edward tidak pernah memahami, mengapa Ayahnya begitu keras kepala dalam urusan ini. Padahal Edward hanya ingin menjalankan perusahaan dengan profesional. "Ayah, Pak Harto itu sudah tidak bisa bekerja seperti dulu. Beliau sendiri pernah bilang ingin menghabiskan waktu dengan cucunya," kata Edward menjelaskan ulang. Namun, Samuel tidak peduli. Pria paruh baya itu tetap bersikeras agar Edward memperkerjakan Pak Harto kembali dan menggantikan Anessa dari posisi sebagai sekretaris pribadi.Menurut Samuel, wanita muda seperti Anessa tidak cukup pantas berada di posisi strategis perusahaan."Menurut Ayah, dia terlalu muda ... terlalu kaku, bukan orang yang bisa dipercaya di lingkungan bisnis," kata Samuel dingin. Perkataan itu menusuk hati Edward. Ia tahu maksud Ayahnya, bahwa dia tidak menyukai Anessa, tapi juga menilainya tanpa memberi kesempatan dalam kapasitas diri. Berka

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 33 : DESAS-DESUS BARU

    Pagi ini Edward selesai merapikan penampilannya di depan cermin. Kemeja putih yang disetrika rapi dipadukan dengan jas hitam klasik dan menyemprotkan sedikit parfum, membuat aura profesionalnya semakin memancar keluar. Ia mengambil kunci mobil, lalu melangkah keluar dari apartemennya, berjalan menuju unit Anessa. Anessa yang sudah siap menunggunya di depan pintu dengan senyum hangat dan sebuah tas bekal di tangannya. "Sarapan dan bekal spesial, untuk orang yang spesial," kata Anessa menyodorkan tas bekal itu kepada Edward. "Salad, buah, terus nasi ayam tim, dan telur dadar spesial," jelas Anessa. Edward tersenyum kecil, menerima tas bekal itu, lalu menggenggam tangan Anessa dengan lembut, "Terima kasih. Kamu tahu aja cara membuat hariku terasa sempurna," kata Edward. "Tentu saja, bisa," jawab Anessa semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tanpa memperdulikan orang yang berlalu-lalang, mereka lewati lorong apartemen, mereka berjalan bergandengan tangan menuju parkiran. N

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 32 : TERLALU BERKESAN

    Hujan turun pelan membasahi trotoar kota yang mulai lenggang. Di bangku panjang yang berdiri di bawah lampu jalan, Andren duduk membisu. Jaket hitam yang dipakainya, basah kuyup menempel di tubuhnya. Ia menunduk, membiarkan setetes air hujan menelusuri wajahnya, menyatu dengan emosi yang menbanjiri dadanya.Di tangannya tergenggam botol minuman keras yang hampir habis. Rasanya pahit, namun tidak sepahit kenyataan yang harus ia teguk malam ini.Edward.Nama itu terus terngiang dalam benaknya. Nama orang yang seharusnya tidak muncul dalam hidupnya. "Anessa ... semua ini terjadi karena dia," bisik Andrean nyaris tidak terdengar.Perlahan, potongan-potongan kejadian mulai terangkai dari banyaknya informasi yang ia ketahui. Anessa meninggalkan rumah, tinggal di tempat yang kini jauh lebih mewah, jabatan barunya yang begitu cepat, semuanya masuk akal. Dan semua itu mengarah pada satu orang.Edward. Rasa iri menyelinap seperti duri di bawah kulit, dengan rasa pedih yang begitu menyiksa. Ed

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 31 : CUMA TAKUT

    Anessa duduk di sebrang Edward dalam sebuah restoran kecil yang suasananya tenang, namun hatinya tidak seiring suasana sekitar.Wajahnya terlihat lesu, matanya redup, seolah pikirannya masih terjebak pada masalah yang seakan punya kejutan di hari esok.Tatapan kosongnya menatap meja makan, bahkan sudah lima belas menit berlalu, daging steak di depannya masih terlihat sepenuhnya utuh. Sejak ia terbangun dari tidur siang tadi, pikirannya tidak berhenti memikirkan Shera. Ia yakin, masalah itu sudah menyebar di perusahaan. Bukan cuma ia dan Edward saja yang tahu, ada seseorang bahkan lebih yang ikut memperkeruh suasana. Edward menatap Anessa dengan khawatir. Ia tidak pernah melihatnya setenang itu dalam artian yang negatif. Diam-diam ia mengulurkan tangan dan menyentuh jari Anessa, mencoba mengalihkan pikirannya. "Nggak nafsu makan, ya? Mau aku pesankan yang lain?" tanya Edward pelan. Anessa hanya menggeleng kecil tanpa suara, Edward yang tidak mengerti hanya tersenyum kecil. Edward me

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 30 : DIBLOKIR

    Dulu, Shera adalah gadis biasa yang duduk di samping Anessa sewaktu duduk di bangku SMP. Mereka bersahabat, tapi dalam hatinya, Shera tahu bahwa dunia lebih condong pada Anessa.Anessa dikenal sebagai siswi yang cerdas, cekatan, dan selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan guru. Sementara Shera, meskipun ia mencoba, seringkali terlambat dalam memahami pelajaran dan sering gugup saat bicara di depan kelas.Dalam hening pikirannya, Shera menyadari bahwa ia bukan pemeran utama dari kisah hidup setiap peristiwa yang terjadi di sekolah. Bahkan gurunya sendiri lebih mengapresiasi tugas yang diselesaikan oleh Anessa, ketimbang dirinya."Anessa, kamu luar biasa!""Anessa, Ibu nanti mau daftarin kamu ikut lomba cerdas cermat buat mewakili sekolah kita, ya.""Anessa, tolong bantu Shera. Mungkin ada bagian yang tidak dimengerti olehnya."Kalimat itu terekam jelas dalam ingatannya dan semakin sering terdengar, semakin samar keberadaan dirinya di dalam kelas. Tapi ada di saat-saat di mana She

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 29 : MELEWATINYA BERSAMA-SAMA

    Anessa menggigit bibirnya keras saat tubuh Edward terus menghantamnya dari belakang, satu tangannya menahan kepala ranjang, dan tangan satunya lagi mencengkeram pinggang Anessa erat."Lihat aku, Anessa ... " suara Edward terdengar berat, penuh hasrat. "Aku mau lihat wajahmu pas ngerasain semua ini."Edward menarik rambut Anessa lembut hingga wajah mereka berhadapan lewat pantulan cermin besar di sisi ranjang. "Kamu lihat itu" bisiknya dengan senyum setan. "Kalung itu ... jadi saksi gimana kamu jadi milikku malam ini."Anessa hanya bisa mengangguk lemah, napasnya putus-putus. Tubuhnya sudah tidak mampu lagi menolak tiap gerakan Edward yang semakin dalam dan cepat. Rintihannya tumpah tanpa bisa dikontrol."Ahh Edward ... cukup ... " Desah Anessa sambil memejamkan matanya, kenikmatan.Di balik rintihannya, Anessa tahu bahwa ia tidak lagi bisa menyangkal perasaannya pada Edward. Ini lebih dari sekadar kenikmatan fisik.Tidak lama, Edward membalik tubuhnya, menarik Anessa dalam pelukannya

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 28 : PELAN-PELAN

    Sisa makanan berserakan di atas meja makan rumah itu. Hendra menyandarkan tubuh di kursi reyot sambil menyeruput sebotol minuman keras yang baru saja ia beli, sementara Mila duduk di seberangnya dengan wajah puas, mengunyah ayam goreng yang didapatkan dari dalam kantong merah besar, kantong yang dibawa Anessa tadi. "Anak itu cuman membuat masalah," gumam Hendra dengan suara serak. "Melihatnya saja aku sudah muak." Mila mendengus, menyeka tangan berminyak ke kain lap kotor di pangkuannya. "Harusnya dia nggak usah balik kalau cuma bawa uang sedikit dan aib, dibelain sama orang luar lagi." "Amplop isiannya gede juga, ya," kata Hendra menyeringai dan mengayunkan amplop putih ke udara. "Lumayan buat stok rokok sama minum minggu ini." Tanpa ada rasa bersalah di hati mereka, mereka hanya kenikmatan sesaat yang mereka reguk tanpa mengingat luka yang baru saja mereka ciptakan. "Aku curiga, deh," suara Mila mulai merendah, alisnya bertaut. "Pria tadi ... yang bawa dia pergi. Wajahnya ngg

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 27 : TEMPAT UNTUK PULANG

    Edward melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membiarkan kesunyian menyelimuti kabin mobil. Lampu jalan menyinari wajah Anessa yang pucat dan setiap kali ia melirik, hati Edward seperti diremas. Tatapan kosong pada mata Anessa bukan hanya karena lelah. Ada luka yang tak kasat mata yang begitu menghunus begitu dalam. "Aku antar kamu ke rumah sakit, ya?" tanyanya dengan nada pelan. Edward bermaksud tidak mau menambah beban pikiran Anessa, tapi kondisinya jelas mengkhawatirkan.Anessa menggeleng lemah, "Nggak usah ... aku cuma ingin pulang dan istirahat."Edward menatapnya sejenak, enggan menyerah, "Tapi Anessa ... ""Aku nggak apa-apa, Edward," jawab Anessa lebih tegas yang terdengar lirih. Ia tidak ingin diperiksa dokter, ia hanya ingin merasa aman dan sekarang satu-satunya tempat yang terasa demikian bukan rumahnya, tapi Edward. Edward dengan berat hati menuruti keinginannya. Begitu sampai di apartemen, ia turun dulu, lalu membuka pintu untuk Anessa.Namun, sebelum Anessa sem

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 26 : KURANG AJAR

    Anessa menghentikan langkah kakinya saat seorang karyawan wanita yang tak dikenalinya memanggil namanya. Suaranya terdengar ramah, namun sorot matanya yang membuat Anessa merasa sedikit waspada. "Selamat atas kenaikan jabatanmu, Anessa," ujarnya sambil tersenyum tipis dan mengulurkan tangan.Anessa menjabat tangan karyawan wanita itu sebelum akhirnya membalas dengan anggukan kecil, "Iya, terima kasih. Maaf, aku belum mengenalmu, kamu siapa?"Wanita itu menarik tangan dan menyilangkannya di depan dada. "Aku bekerja di divisi A. Namaku Karin."Anessa mengangguk perlahan, Karin kemudian memiringkan kepalanya sedikit. Matanya terus menelisik wajah Anessa. "Aku hanya penasaran ... sudah berapa lama kamu dan Pak Edward berhubungan? Kalian sangat dekat sekali," katanya yang berubah nada sinis.Seketika Anessa terasa sedikit kesal. Sejak awal, ia sudah tahu bahwa kedekatannya dengan Edward bisa menimbulkan pembicaraan. Anessa menghela napas sebelum akhirnya menjawab, "Aku dan Pak Edward hany

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status