Home / Romansa / Pesona Panas Sang CEO / BAB 5 : TIDAK DIPEDULIKAN

Share

BAB 5 : TIDAK DIPEDULIKAN

Author: NightEve
last update Last Updated: 2025-03-17 22:11:53

Sinar matahari perlahan merayap masuk melalui celah tirai, menghangatkan pipi Anessa yang masih terlelap. Matanya bergerak di balik kelopak, seolah tubuhnya enggan terbangun sepenuhnya dari mimpi.

Namun, kesadaran perlahan merayap masuk, membawa serta rasa pusing yang berdenyut di kepalanya.

Perlahan ia membuka kedua matanya lalu mengerjapkan beberapa kali sebelum terbuka sempurna. Kepalanya terasa sedikit pusing, efek dari wine yang ia minum semalam.

Nafasnya tercekat saat melihat sosok pria yang tertidur di sampingnya.

Edward.

Jantungnya berdebar kencang, ia langsung terduduk dan menepuk kedua pipinya lalu melihat kearah Edward yang tertidur. "Tidak! Ini bukan mimpi!" gumamnya panik.

Anessa kemudian mengintip ke dalam selimut dan terkejut melihat dirinya tanpa sehelai benang pun. "Astaga! Apa yang sudah kulakukan!" gumamnya lagi semakin panik.

Kepalanya mulai memutar ulang ingatan yang terjadi semalam. Anessa ingat dirinya mabuk, ingat menarik kerah kemeja Edward, ingat ciuman itu ... tapi setelah itu.

Semuanya masih samar, Anessa kembali memejamkan mata, mencoba mengurutkan ingatannya yang masih samar.

===

Edward nenyentuh dagunya, ia lalu menatap Edward penuh keyakinan. "Aku tidak ingin berhenti."

Edward pun tersenyum. Dalam sekejap, ia menutup jarak diantara mereka, yang seharusnya tidak pernah terjadi.

Ciuman itu pelan di awal, seolah keduanya masih ragu. Tapi hanya dalam hitungan detik, segalanya berubah menjadi lebih dalam, lebih panas.

Tangan kekar Edward mulai melingkar di pinggang ramping milik Anessa, menariknya lebih dekat. Anessa perlahan tenggelam dalam sensasi aroma, sentuhan, dan cara Edward menciumnya dengan begitu penuh kendali.

===

"Astaga! Aaa! Kok bisa sih? Gawat, gawat, gawat!"

Anessa menutup wajahnya yang mulai memerah dengan kedua tangan, malam tadi benar-benar merubah segalanya. Ia tidak harus bersikap apa, haruskah ia senang atau menyesal karena tidur dengan atasannya?

Atasan yang jabatannya bukan main, CEO.

Anessa melihat jam di dinding kamar yang menunjukkan jam 6 pagi. Ia lalu turun dari tempat tidur. Ia langsung panik karena baru sadar ia tidak pulang semalam.

Anessa buru-buru berpakaian dan bergegas pergi. Tapi, sebelum benar-benar meninggalkan kamar itu, Anessa baru teringat dompetnya ada di meja samping tempat tidur Edward.

Dengan hati-hati ia kembali melangkah masuk ke dalam kamar dan mengambil dompetnya. Belum sempat ia mengambil, sebuah tangan mendarat cepat mencekal pergelangan tangannya.

Anessa langsung menoleh kearah Edward yang masih terpejam. Perlahan Edward juga membuka kedua matanya.

Edward ingin bicara sebentar mengenai kejadian semalam. Tapi, Anessa langsung bingung dan memilih menarik paksa tangannya lalu kabur sebelum emosinya makin rumit.

Begitu Anessa sampai rumah dengan wajah lelah dan pakaian kusut, ibunya langsung menyerangnya dengan pertanyaan tajam.

"Kamu kemana semalam?! Kok HP nggak bisa dihubungi?! Kamu pikir ini rumah kosan?!" teriak ibunya. Wajar saja kalau ibunya sangat marah karena ia adalah anak perempuan.

"Jangan bilang kamu sama laki-laki!" kata ayahnya berjalan mendekati Anessa dalam posisi kepala tertunduk.

"Jawab, Anessa!!" teriak ibunya.

"Aku lembur sampai ketiduran di tempat teman," jelas Anessa dengan suara serak. Kepalanya pusing, tenggorokannya kering, tapi ibunya tidak peduli.

"Sudah jelas kamu tidur dengan pria asing!" kata Ayahnya menatap tajam dengan nada dingin.

"Alasan! Penampilan kamu saja sudah kusut begitu!" Ibunya mendengus marah, tangannya sudah terangkat seolah siap memukul meja.

Dada Anessa semakin sesak. "Tidak, Ayah, aku tidak ..."

"Cukup!" potong ibunya. "Jangan bikin malu keluarga ini! Ingat, dalam beberapa bulan ke depan kamu akan menjadi menantu orang!"

Belum sempat Anessa kembali menjelaskan, ibunya kembali memotong. "Gaji kamu itu buat keluarga, bukan buat main-main di luar semalaman!" kata ibunya.

Anessa menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang meluap-luap di dadanya. Napasnya tersengal, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena tekanan yang menghimpit dari segala arah.

"Aku benar-benar tidak melakukan apa pun, Ayah, Ibu," ujarnya, suaranya bergetar.

"Tidak usah banyak alasan!" bentak ayahnya dengan matanya menatap tajam penuh kemarahan. "Kalau kamu masih mau tinggal di rumah ini, jangan bikin malu keluarga!"

Ibunya mendengus kesal. "Kami sudah susah payah membesarkan kamu, kamu pikir enak cari uang buat kuliah adikmu?! Jangan egois! Kalau masih mau enak-enakan, kamu harus tahu diri!"

Adiknya yang sedari tadi asyik dengan ponselnya hanya melirik sekilas sebelum kembali mengetik. Padahal Anessa mengharapkan sekali, saudaranya membelanya sekali saja.

Anessa mengepalkan tangannya. Ia sudah terbiasa menjadi yang paling diabaikan, tetapi tetap saja, sakitnya masih terasa setiap kali ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dirinya hanya dianggap sebagai mesin uang di rumah ini.

Kepalanya masih pusing, tubuhnya masih lelah setelah semalaman bersama Edward dan sekarang ia harus menghadapi tekanan dari keluarganya.

"Jadi, kalian hanya peduli soal uang?" suara Anessa terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Ia menatap ibunya lekat-lekat. "Aku yang kelelahan kerja setiap hari dan yang sudah jungkir balik cari nafkah untuk rumah ini."

Ibunya terdiam sejenak, tetapi hanya untuk memperdalam tatapan tajamnya.

"Kalau kamu tahu itu kewajibanmu, ya jalani saja! Jangan banyak mengeluh!" serunya.

Anessa tertawa kecil, tawa yang penuh kepahitan. "Lucu ya, kalau aku yang capek, kalian tidak peduli. Tapi kalau aku berhenti, tiba-tiba kalian merasa rugi."

Ibunya hendak membalas, tetapi Anessa sudah melangkah pergi ke kamarnya, membanting pintu dengan keras.

Begitu berada di dalam kamar, lututnya melemas. Ia jatuh terduduk di lantai, punggungnya bersandar di pintu. Dadanya naik turun dengan napas yang berat.

Ia ingin menangis, tetapi air matanya sudah habis sejak lama. Pikirannya kembali ke Edward. Ke tatapan matanya tadi pagi sebelum ia kabur dari apartemen pria itu. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang mungkin belum sempat Edward katakan.

Apakah ia menyesali kejadian semalam?

Ataukah ... ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu di balik semua ini?

Anessa menghela napas dalam, memejamkan matanya sejenak. Ia harus mengambil keputusan. Karena satu hal yang ia tahu pasti, ia tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 34 : TIDAK SUKA AKU

    Edward memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Perdebatan dengan Ayahnya sangat menguras energi dan pikirannya. Edward tidak pernah memahami, mengapa Ayahnya begitu keras kepala dalam urusan ini. Padahal Edward hanya ingin menjalankan perusahaan dengan profesional. "Ayah, Pak Harto itu sudah tidak bisa bekerja seperti dulu. Beliau sendiri pernah bilang ingin menghabiskan waktu dengan cucunya," kata Edward menjelaskan ulang. Namun, Samuel tidak peduli. Pria paruh baya itu tetap bersikeras agar Edward memperkerjakan Pak Harto kembali dan menggantikan Anessa dari posisi sebagai sekretaris pribadi.Menurut Samuel, wanita muda seperti Anessa tidak cukup pantas berada di posisi strategis perusahaan."Menurut Ayah, dia terlalu muda ... terlalu kaku, bukan orang yang bisa dipercaya di lingkungan bisnis," kata Samuel dingin. Perkataan itu menusuk hati Edward. Ia tahu maksud Ayahnya, bahwa dia tidak menyukai Anessa, tapi juga menilainya tanpa memberi kesempatan dalam kapasitas diri. Berka

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 33 : DESAS-DESUS BARU

    Pagi ini Edward selesai merapikan penampilannya di depan cermin. Kemeja putih yang disetrika rapi dipadukan dengan jas hitam klasik dan menyemprotkan sedikit parfum, membuat aura profesionalnya semakin memancar keluar. Ia mengambil kunci mobil, lalu melangkah keluar dari apartemennya, berjalan menuju unit Anessa. Anessa yang sudah siap menunggunya di depan pintu dengan senyum hangat dan sebuah tas bekal di tangannya. "Sarapan dan bekal spesial, untuk orang yang spesial," kata Anessa menyodorkan tas bekal itu kepada Edward. "Salad, buah, terus nasi ayam tim, dan telur dadar spesial," jelas Anessa. Edward tersenyum kecil, menerima tas bekal itu, lalu menggenggam tangan Anessa dengan lembut, "Terima kasih. Kamu tahu aja cara membuat hariku terasa sempurna," kata Edward. "Tentu saja, bisa," jawab Anessa semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tanpa memperdulikan orang yang berlalu-lalang, mereka lewati lorong apartemen, mereka berjalan bergandengan tangan menuju parkiran. N

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 32 : TERLALU BERKESAN

    Hujan turun pelan membasahi trotoar kota yang mulai lenggang. Di bangku panjang yang berdiri di bawah lampu jalan, Andren duduk membisu. Jaket hitam yang dipakainya, basah kuyup menempel di tubuhnya. Ia menunduk, membiarkan setetes air hujan menelusuri wajahnya, menyatu dengan emosi yang menbanjiri dadanya.Di tangannya tergenggam botol minuman keras yang hampir habis. Rasanya pahit, namun tidak sepahit kenyataan yang harus ia teguk malam ini.Edward.Nama itu terus terngiang dalam benaknya. Nama orang yang seharusnya tidak muncul dalam hidupnya. "Anessa ... semua ini terjadi karena dia," bisik Andrean nyaris tidak terdengar.Perlahan, potongan-potongan kejadian mulai terangkai dari banyaknya informasi yang ia ketahui. Anessa meninggalkan rumah, tinggal di tempat yang kini jauh lebih mewah, jabatan barunya yang begitu cepat, semuanya masuk akal. Dan semua itu mengarah pada satu orang.Edward. Rasa iri menyelinap seperti duri di bawah kulit, dengan rasa pedih yang begitu menyiksa. Ed

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 31 : CUMA TAKUT

    Anessa duduk di sebrang Edward dalam sebuah restoran kecil yang suasananya tenang, namun hatinya tidak seiring suasana sekitar.Wajahnya terlihat lesu, matanya redup, seolah pikirannya masih terjebak pada masalah yang seakan punya kejutan di hari esok.Tatapan kosongnya menatap meja makan, bahkan sudah lima belas menit berlalu, daging steak di depannya masih terlihat sepenuhnya utuh. Sejak ia terbangun dari tidur siang tadi, pikirannya tidak berhenti memikirkan Shera. Ia yakin, masalah itu sudah menyebar di perusahaan. Bukan cuma ia dan Edward saja yang tahu, ada seseorang bahkan lebih yang ikut memperkeruh suasana. Edward menatap Anessa dengan khawatir. Ia tidak pernah melihatnya setenang itu dalam artian yang negatif. Diam-diam ia mengulurkan tangan dan menyentuh jari Anessa, mencoba mengalihkan pikirannya. "Nggak nafsu makan, ya? Mau aku pesankan yang lain?" tanya Edward pelan. Anessa hanya menggeleng kecil tanpa suara, Edward yang tidak mengerti hanya tersenyum kecil. Edward me

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 30 : DIBLOKIR

    Dulu, Shera adalah gadis biasa yang duduk di samping Anessa sewaktu duduk di bangku SMP. Mereka bersahabat, tapi dalam hatinya, Shera tahu bahwa dunia lebih condong pada Anessa.Anessa dikenal sebagai siswi yang cerdas, cekatan, dan selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan guru. Sementara Shera, meskipun ia mencoba, seringkali terlambat dalam memahami pelajaran dan sering gugup saat bicara di depan kelas.Dalam hening pikirannya, Shera menyadari bahwa ia bukan pemeran utama dari kisah hidup setiap peristiwa yang terjadi di sekolah. Bahkan gurunya sendiri lebih mengapresiasi tugas yang diselesaikan oleh Anessa, ketimbang dirinya."Anessa, kamu luar biasa!""Anessa, Ibu nanti mau daftarin kamu ikut lomba cerdas cermat buat mewakili sekolah kita, ya.""Anessa, tolong bantu Shera. Mungkin ada bagian yang tidak dimengerti olehnya."Kalimat itu terekam jelas dalam ingatannya dan semakin sering terdengar, semakin samar keberadaan dirinya di dalam kelas. Tapi ada di saat-saat di mana She

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 29 : MELEWATINYA BERSAMA-SAMA

    Anessa menggigit bibirnya keras saat tubuh Edward terus menghantamnya dari belakang, satu tangannya menahan kepala ranjang, dan tangan satunya lagi mencengkeram pinggang Anessa erat."Lihat aku, Anessa ... " suara Edward terdengar berat, penuh hasrat. "Aku mau lihat wajahmu pas ngerasain semua ini."Edward menarik rambut Anessa lembut hingga wajah mereka berhadapan lewat pantulan cermin besar di sisi ranjang. "Kamu lihat itu" bisiknya dengan senyum setan. "Kalung itu ... jadi saksi gimana kamu jadi milikku malam ini."Anessa hanya bisa mengangguk lemah, napasnya putus-putus. Tubuhnya sudah tidak mampu lagi menolak tiap gerakan Edward yang semakin dalam dan cepat. Rintihannya tumpah tanpa bisa dikontrol."Ahh Edward ... cukup ... " Desah Anessa sambil memejamkan matanya, kenikmatan.Di balik rintihannya, Anessa tahu bahwa ia tidak lagi bisa menyangkal perasaannya pada Edward. Ini lebih dari sekadar kenikmatan fisik.Tidak lama, Edward membalik tubuhnya, menarik Anessa dalam pelukannya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status