MasukMona duduk di meja makan untuk menikmati sarapan pagi bersama suaminya. Dia sedang asyik mengunyah telur mata sapi setengah matang yang dipanggang di atas roti gandung panggang, saat melihat Mawar masuk ke ruang makan.
Langkah gadis itu ringan, nyaris tanpa suara. Rambut hitam tergerai, seragam biru muda membingkai tubuh mudanya dengan segar. Kulitnya yang putih bersih, membuat warna seragam itu begitu mencolok dikenakannya. Dia meletakkan dua cangkir kopi hitam dan sepiring irisan buah, yang terlambat disajikan. Sikap perempuan itu pun terlihat tenang dengan wajah datarnya. Mona langsung melirik ke arah suaminya. Ia ingin tahu apakah ada perubahan di wajah suaminya, mungkin sebuah kerlingan, lirikan, gerak alis atau apapun juga. Namun, ternyata pria itu terlihat tenang masih dengan memotong sandwich telur dan membaca berita di ponselnya. Tak terlihat sama sekali Benny tertarik dengan kehadiran Mona. Mawar tersenyum sopan padanya, tetapi bagi Mona, kehadirannya bagai pisau dingin yang menari di tengkuknya. Kecurigaan tak bisa hilang begitu saja dalam pikirannya saat mengetahui gadis itu sudah memijat suaminya di dalam kamar, hanya berdua saja. Meskipun semalam, Benny dengan penuh gairah bergulat dengannya di atas ranjang, tetapi tetap saja Mona merasa curiga. Dia takut dan khawatir kalau pembantu baru bernama Mawar itu punya maksud buruk yang bisa merusak rumah tangganya. Apalagi keinginan yang dilakukan oleh Benny semalam, begitu menggebu seolah hasrat tertunda yang tak bisa dilampiaskan. Sejenak bayangan suaminya yang tak bisa menuntaskan bersama Mawar menganggunya. “Mawar!” panggil Mona saat melihat gadis pelayan itu hendak meninggalkan ruang makan. “Ya, Nyonya?” Gadis itu menghentikan langkahnya, dia membalikan tubuh dan menjawab dengan suaranya yang lembut dan ringan. Sepintas tanpa bisa dipastikan, Mona merasa kalau telinga Benny bergerak. Rahang perempuan di usia empat puluhan itu pun langsung mengeras, tapi dia tidak mau kalah di depan seorang pembantu. “Kemari dan pijat pundakku, aku capek gara-gara semalam Mas Benny terlalu bersemangat!” Mona tersenyum lembut sambil mengerling manja ke arah suaminya. “Baik, Nyonya.” Mawar mendekat dan langsung berdiri di belakang kursi Mona. Gadis itu mengucapkan permisi, sebelum menyentuh pundak majikannya dan memberikan pijatan. Kekuatan yang tepat, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lemah itu membuat Mona terkejut. Ternyata jari- jemari Mawar memang lihat untuk membuat relaks urat- urat yang menegang. “Hmm … pantas saja Mas Benny bilang pijatanmu seperti pegawai spa.” Dia tidak memuji, hanya menyindir Mawar. “Apa kamu keturunan tukang pijat?” Masih dengan cemburu, Mona mulai mengangkat kakinya dan menjangkau paha dalam suaminya. Dia melakukan gerakan menggesek dengan sengaja, untuk menunjukkan pada Mawar, siapa pemilik pria tampan yang sedang makan semeja dengannya sekarang ini. Benny lalu menurunkan ponselnya dan tersenyum pada Mona. Pria itu kembali mengunyah sandwichnya, lalu meletakkan sisa di meja. Tangan pria itu kemudian bergerak ke arah kaki Mona dan meletakkan di pangkuannya. Tanpa membuang mata dari sang istri, Benny mengusap lembut telapak kaki perempuan itu. “Saya tidak tahu siapa orang tua saya, Nyonya, tapi waktu di panti asuhan saya belajar dari seorang nenek yang tinggal di sana.” Mona menjawab dengan suara bergetar, seolah menjawab ini memerlukan energi yang berat. Gadis itu bisa melihat apa yang dilakukan oleh Mawar saat ini. Gerakan menggoda itu membuatnya tersenyum dalam hati. Dia terus memijat tanpa terganggu dengan sikap intim majikannya. “Kamu yatim piatu?” Mona tidak ingat akan hal ini. “Iya, Nyonya.” Mawar berhenti memijat sesaat, lalu mengangkat kepalanya seolah berusaha menahan air mata. Gadis itu mengusap lehernya yang jenjang dengan perlahan dan naik ke matanya, seolah mengusap embun di pelupuk. Gerakan sederhana itu berhasil menyita perhatian Benny. Pria tersebut tanpa sadar menatap ke arah leher jenjang Mawar, yang terlihat begitu putih, halus dan menggoda. Mona melihat bagaimana mata Benny terpaku pada Mona. Dia kesal, lalu menjejakan kakinya ke arah kaki suaminya. Gerakan kasar itu membuat pria itu sadar dengan keberadaan Mona yang masih ada di antara mereka. Dia lalu dengan cepat kembali menggelitik kaki sang istri dengan tangannya yang hangat. “Aku baru tahu kalau dia yatim piatu. Apa kamu tidak mengenal orang tuamu sama sekali?” Benny mengalihkan perhatian Mona, pertanyaan yang diajukannya seolah menujukkan kalau tatapan matanya tadi pada pelayan itu karena simpati, bukan hal lain. “Mereka meninggal saat saya masih kecil, Tuan,” lirih Mawar dengan suara serak. Pelayan itu memijat dengan tenaga yang semakin lemah. Dia menundukkan wajahnya. Bahasa tubuh gadis itu memperlihatkan betapa sedih dan pilu perasaannya saat membicarakan mengenai nasib yang dialaminya. Sikap itu mampu membuat siapa saja merasa iba melihatnya, apalagi di depan laki- laki yang selalu ingin terlihat hebat di depan wanita. Mona pun dengan cepat menyadari itu. Tatapan simpati di mata suaminya membuat dia tidak nyaman. “Sudah, kamu tidak usah pijat aku lagi sekarang, pergi sana!” Mona menepis tangan Mawar dengan kasar. “Kamu kasihan padanya?” sindir Mona langsung pada Benny setelah Mawar tidak ada lagi di dekat mereka. “Ya, sekedar simpati saja. Yatim piatu sejak kecil.” Benny menjawab dengan ringan sambil menghabiskan suapan terakhir sandwichnya. “Oh ya, cuma simpati?” Mona menatap suaminya dengan sorot penyidik. “Masa kamu cemburu sama pembantu?” Benny mengernyitkan keningnya. Ucapannya itu seolah menunjukkan kalau dia memiliki standar tinggi. Mona tidak mungkin bisa disamakan dengan seorang pelayan. Jadi, kalau mau cemburu seharusnya bukan dengan Mawar. “Khawatir saja kalau standarmu sudah turun!” Mona mendengus dan menarik kakinya dari paha sang suami. “Ah, kamu terlalu banyak nonton film tidak bermutu.” Benny mengibaskan tangannya seolah hal itu sepele. “Awas kamu kalau berani mengkhianati aku!” Ancam Mona seraya menusuk buah dengan keras. “Kamu tahu aku tidak akan!” jawab Benny dengan tatapan tajam penuh arti. Mona tersenyum penuh percaya diri. Jawaban Benny cukup melegakan hatinya. Pria itu tak akan berani macam- macam. Ancamannya sudah cukup menunjukkan kalau dia bisa kapan saja mendepak pria itu dari perusahaan atas namanya. Mona mengambil kopi dan menyeruputnya sambil menatap Benny penuh arti di balik cangkirnya. “Aku berangkat kerja dulu. Kamu sebaiknya tidak berpikir macam-macam!” tegas laki - laki itu. Benny lalu mengambil jas dan tas kerjanya. Dia mendekati Mona lalu memberikan kecupan hangat di bibir sang istri, sebelum akhirnya menuju ke nakas untuk mengambil kunci mobil. Dia pergi ke arah garasi dan menghidupkan mobilnya sambil menunggu pelayan untuk membuka garasi. Seperti yang diharapkannya, Mawar masuk ke dalam garasi dan bergegas membukakan pintu besi itu. Lalu membuka pagar di depan rumah dan berdiri di tepian pelataran. Dari dalam mobil, Benny menatap ke arah pembantu cantik itu, yang masih berdiri dengan posisi menyamping. Dia menelan ludah melihat bagaimana helaian rambut yang dipermainkan oleh angin itu begitu menggoda. “Dia cantik sekali,” gumam Benny tanpa sadar. Pria itu lalu menekan gas dan keluar dengan perlahan dan melewati Mawar. Dari jendela samping, dia menatap ke arah gadis itu, tetapi mata Mawar tak tertuju ke arahnya sama sekali. Benny jadi merasa tertantang!Sepulang kerja Andrew, ingin sekali segera bertemu dengan Mawar dan mengajak gadis itu mengobrol. Dia merasa begitu nyaman berbincang dengan pelayan tersebut.Mawar membuatnya merasa tenang. Gadis itu membuatnya kagum dan merasa tersentuh dengan jalan hidupnya. Wajah cantik merupakan bonus, sebab banyak perempuan cantik yang ada di sekelilingnya, tetapi tidak ada yang membuat pria itu terpana pada pandangan pertama. “Andre Sayang … kamu sudah pulang, Nak?” Mona bergegas berdiri dan meletakkan majalah di tangannya.“Mom, kamu ngapain sendirian di sini?” Andre melepaskan dasi sambil menatap ke arah ibunya dengan heran.“Tentu saja menunggumu, Sayangku.” Mona merentangkan tangannya dan memeluk Andre sebelum mengecup pipi anaknya itu.“Mom … kamu tidak keluar dengan teman-temanmu?” Andre melepaskan pelukan ibunya setelah beberapa detik.“Kamu tidak suka lihat aku di sini?” Bibir Mona mengerucut manja.“Mom … kamu tahu bukan itu yang aku maksud.” Pria tampan itu tersenyum hangat pada sang
Mawar berdiri dengan tegang di depan Mona. Dia bersikap seolah-olah sedang panik dan merasa takut, padahal dalam hatinya gadis itu tertawa melihat wajah tegang sang majikan.Cukup dengan melihat raut wajah Mona yang tidak tersenyum dan percaya diri, sudah membuat Mawar kegirangan. Semakin buruk ekspresi perempuan itu semakin dia merasa pada titik kemenangan.“Kamu sekarang mulai berani membantah dan memilih pekerjaan ya?” Mona menatap sengit ke arah pembantu di depannya.“Saya tidak berani, Nyonya,” lirih Mawar dengan suara tertekan.“Kamu pikir yang mengatur rumah ini masih Bik Warsih, perempuan tua yang sering kamu manfaatkan itu pekerjaannya sama, bersih-bersih dan mengurus laundry!” Mona menekankan posisi Warsih saat ini.Mawar tau kalau Mona sengaja mencari kepala pelayan lain untuk menekannya. Namun, nyonya rumah itu entah menyadari atau tidak, dengan sikapnya itu telah membuat Sulis sewenang-wenang bukan saja pada dirinya, tetapi pada Bik Warsih dan juga Bik Atik -pelayan lama
Mawar melongo. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Bagaimana bisa Sulis tiba-tiba jatuh, padahal dia yakin belum berbuat apapun. Apa mungkin kekuatan pikiran bekerja sedemikian hebat. Namun, sedetik kemudian gadis itu mengerti situasinya, saat suara sinis majikan rumah terdengar. Ternyata kepala pelayan yang masih muda ini jago bermain sinetron.“Apa yang terjadi?” Mona berdiri di antara mereka berdua dengan tatapan tajam bergantian ke arah Sulis dan Mawar.“Nyonya … saya jatuh karena Mawar dengan sengaja menjegal dengan kain pel.” Sulis meringis dan langsung menunjuk ke arah Mawar dengan tuduhan palsunya. "Dia pasti marah karena saya memintanya membersihkan ruangan dengan lebih teliti."“Kamu melakukan itu, Mawar?” Mona menatap sinis ke arah pembantu yang tidak disukainya itu.Nyonya rumah itu sengaja bicara dengan keras supaya orang-orang di meja makan mendengarnya. Dia masih ingin sekali menciptakan nilai negetif Mawar di mata suaminya. Seperti dugaannya, Benny dan Andre pun mendekat
“Andre sayang, bagaimana hari pertamamu di perusahaan?” Mona mengoleskan selai di atas selembar roti sambil bertanya pada anaknya.Pagi itu mereka bertiga sarapan pagi bersama dengan suasana yang tenang.“Semua lancar saja berkat bantuan dari Om Benny,” sahut Andre menoleh ke arah ayah tirinya. Meskipun tidak terlalu akrab, tetapi dia menghargai keberadaan pria itu di samping ibunya. Berkat Benny pula, perusahaan ini bisa tetap eksis.“Baguslah. Ini adalah perusahaan yang aku bangun dengan jerih payahku sejak muda. Kamu harus bisa menguasai dan mengembangkannya, karena bagaimana pun juga ke depannya perusahaan rekaman dan bisnis hiburan ini akan menjadi milikmu.” Mona tersenyum bangga pada Andre.“Tentu saja Mom.” Andre mengangguk mengiyakan.Mawar yang sedang membersihkan ruangan di samping, mendengarkan hal itu sambil tersenyum getir di dalam hatinya. Perusahaan yang dikatakan oleh Mona dengan bangga itu adalah milik keluarganya. Dia tidak pernah melupakan saat sang kakak membawany
“Kenapa kamu tidak melanjutkan menari?” tanya Andre dengan lembut.Mereka berdua saat ini ada di lantai atas, tepatnya di balkoni kamar Andre. Pria itu bahkan sudah mengeluarkan minuman dingin dari kulkas pribadinya. Dia membuka tutup botol dan memberikan pada Mawar.“Menari?” Mawar menerima botol berisi jus itu dan menegaknya perlahan.“Tidak usah mengelak lagi, aku tahu kamu adalah Mawar si gadis penari yang memukau ratusan penonton di sanggar seni tempo hari.” Andre tak ingin lagi pelayan itu mengelak.Mawar menggigit bibirnya lalu menundukkan kepala, seolah malu sekali karena rahasianya sudah terbongkar. Jujur saja dia merasa kagum juga pada pria itu, karena dengan cepat mengenali siapa dirinya.“Aku perlu uang untuk nenekku yang sakit,” lirihnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.Ya, Mawar tidak bohong. Dia masih mempunyai nenek yang jatuh stroke ketika keluarga kakaknya mati semua. Mereka berdua bertahan hidup di panti asuhan sekian belas tahun lamanya.Kedatangannya ke rum
Andre bergegas keluar dengan membawa sebotol sunscreen. Dia menggunakan tabir surya itu untuk mendekati Mawar. Hati laki-laki itu dipenuhi dengan kegembiraan, menyakini kalau Mawar adalah gadis penari yang dia incar itu.Langkah kakinya berhenti beberapa meter di belakang Mawar. Melihat perempuan itu masih memegang mesin pemotong rumput, Andre merasa terenyuh. “Mawar ….” Suara gaduh mesin itu menjadi penghalang dari suaranya.Andre lalu berjalan mendekati pelayannya dan berhenti tepat di samping Mawar. Dia mengulurkan botol lotion itu ke arah Mawar.“Tuan muda?” Mawar pura-pura terkejut dengan kehadiran Andre dan bergegas mematikan mesin pemotong rumput. Dia menatap botol lotion itu tak mengerti dan berganti memandang ke arah wajah tampan di depannya.“Kamu pakai sunscreen ini. Semprotkan pada wajah dan kaki juga tanganmu.” Andre lalu mengambil mesin itu dari tangan Mawar.“Tuan tidak perlu, saya tadi sudah-”“Pakai saja. Aku akan bantu kamu memangkas semua rumput ini.” Andre terseny







