Langit sudah berubah gelap. Sesuai dengan janjinya, David akan mengunjungi kedua orang tuanya di rumah lama. Memang dia sudah lama sekali tak menginjakkan kedua kakinya di sana. Merasa berdosa, David memilih menuruti permintaan sang ibu.
Mobil melaju dengan pasti melewati jalanan kota yang cukup padat di malam akhir pekan. David dengan setelan kemeja dan celana hitam menuju kembali ke rumah setelah dia sibuk terlalu lama mengurus perusahaan."Selamat datang, Sayang," sapa Helena ketika putranya benar-benar datang. Wanita itu tampak sumringah karena David menepati janjinya."Selamat datang, Kak David." Sapaan lembut lain datang dari bibir merah seorang gadis muda berusia dua puluh delapan tahunan. Gadis itu berjalan mendekati David dengan langkah yang begitu anggun."Siapa dia, Mah?" tanya David dengan ekspresi datar."Kok siapa? Dia ini Tiara. Yang tadi Mamah kasih lihat fotonya," jelas Helena sembari menarik pelan lengan Tiara agar lebih dekat dengannya.David menatap dengan tatapan tanpa ekspresinya. Ternyata sang ibu mengundang gadis yang akan dikenalkan padanya. Jika tahu seperti ini sebelumnya pastilah David memilih untuk berada di apartemennya saja."Bukankah malam ini acara makan malam keluarga?" tanyanya dingin. Dia sedang menekankan bahwa Tiara bukan anggota keluarganya.Helena tersenyum pada sang putra. "Tiara ini kan sudah seperti keluarga kita, Dav. Ayo masuk! Papah sudah menunggu," ajaknya ramah. Nampaknya wanita paruh baya itu tengah mengalihkan topik pembicaraan.David tak mau banyak mengajukan pertanyaan. Karakternya yang dingin mengabaikan tatapan penuh damba dari Tiara. Kini pria itu melihat sang ayah yang sudah duduk di ruang makan.Hidangan telah disiapkan sedemikian rupa oleh Helena. David pun memberi salam pada sang ayah sebelum dia duduk di hadapan Norman Alexander."Bagaimana kabarmu, Dav?" tanya Norman pada putra semata wayangnya."Baik, Pah.""Syukurlah. Papah dengar perusahaanmu meningkat pesat. Meski ada kabar perusahaan RH yang ada di kota sebelah, tapi perusahaan yang kamu pimpin masih berada jauh di atasnya," papar Norman bangga."Pah, udah bicara kerjaan. Sekarang kan kita harus makan malam dan mendekatkan David sama Tiara," ucap Helena."Baik, Mah," sahut Norman.Keluarga David ditambah Tiara mulai makan malam dengan damai. Sesekali Tiara mencoba mendekati pria tampan yang duduk di sebelahnya. Namun David selalu berhasil mengabaikannya begitu saja. Seolah kecantikan Tiara tak mampu membuat fokusnya pada makanan teralihkan."Nah, David. Setelah makan bagaimana kalau kita membicarakan perjodohan kamu sama Tiara?" Tiba-tiba Helena membuat usulan.David menghentikan sejenak aktivitas makannya. Pria itu menatap sang ibu yang ingin segera menikahkan anaknya."Maaf, Mah. Tapi zaman sekarang bukan waktunya untuk menjodoh-jodohkan," papar David dengan tenang.Norman memilih diam menyimak pembicaraan sang putra dan istrinya."Ta-tapi, Dav, kamu kan sudah dewasa. Tiara juga sudah dewasa," bujuk Helena lagi."Tante, jangan paksa Kak David. Saya akan sabar, kok," timpal Tiara terdengar sangat akrab dengan wanita paruh baya itu.David geli mendengar cara bicara Tiara. Sungguh cara bicara gadis itu berbeda dengan Lila yang tak dibuat-buat.'Tunggu! Kenapa aku malah teringat dengan pembantu baruku yang sering diam?' batin David."Ada apa, Dav? Sepertinya kamu tidak menikmati acara makan malam ini?" tanya Norman yang mengetahui perubahan putranya."Aku hanya lelah, Pah," jawab pria itu."Nah. Pas sekali. Kalau lelah kamu besok libur saja, Dav. Kebetulan Tiara juga libur. Kalian bisa memanfaatkan waktu untuk berdua." Lagi-lagi Helena membuat usulan yang terdengar seenaknya.David mencoba tetap tenang. "Aku tidak bisa berjanji. Besok aku harus berangkat kerja," jawabnya dingin sembari menghabiskan makanannya."Tapi besok kan libur." Helena mencoba mengingatkan."Tidak untukku," jawab David dingin dan tegas.Suasana menjadi tegang. Helena harus bercanda ringan dengan Tiara untuk mencairkan suasana. Hingga makan malam pun berakhir."David, kamu bisa mengantarkan Tiara pulang, kan?" ucap Helena lagi-lagi memutuskan sesuatu untuk putranya."Nggak usah, Tante. Saya bawa mobil sendiri, kok." Tiara menolak dengan sopan."Mamah dengar? Dia bawa mobil sendiri. Sebaiknya dia pulang sendiri," timpal David dengan santainya."Tapi ini kan sudah malam," ucap Helena."Sudah, Tante. Tidak apa-apa." Tiara memasang senyumannya. "Saya pamit dulu, ya?" Gadis itu segeda pergi meninggalkan rumah keluarga Alexander. Tampak rahangnya mengerat saat melangkahkan kaki keluar dari rumah."Kamu kenapa bersikap begitu, sih, ke Tiara?" protes Helena.David memilih duduk di dekat sang ayah di ruang keluarga."Aku kan sudah pernah bilang, jangan menjodohkan aku lagi dengan siapa pun," tegas Aogi."Tapi Tiara ini berkelas, Dav. Dia anak teman Mamah," ucap Helena tak kalah tegas.David memijit pangkal hidungnya. "Mah. Apa Mamah akan berhenti memaksaku menikah jika aku sudah menemukan calon istriku?" tanya pria itu."Itu terserah kamu –""Tentu saja, Dav," jawab Helena memotong ucapan Norman.Di dalam otak David kini muncul sebuah rencana pernikahan yang sesuai dengan keinginannya."Kalau begitu baiklah. Aku menerimanya. Aku akan menikah," ucap pria itu mengejutkan kedua orang tuanya."Benarkah? Syukurlah ...." Helena bernapas lega."Siapa calonnya?" tanya Norman penasaran."Tentu saja Tiara, Pah. David pasti suka dengannya," sahut wanita itu sembari tersenyum senang pada suaminya.David menatap wajah kedua orang tuanya. Pria itu pun memberikan senyuman tipis. Saking tipisnya bahkan tak terlihat. "Bukan Tiara. Aku akan menikah dengan Lila," jelasnya."Lila? Siapa dia?" tanya Helena terdengar kecewa. Ternyata putranya memilih gadis lain dari pada gadis pilihannya.Norman memilih diam menyimak. Dia ikut penasaran dengan nama yang disebutkan sang putra. Baru kali ini setelah sekian lama Norman mendengar putranya sudah memiliki kekasih hati demi meneruskan keturunan keluarga Alexander."Aku akan segera memperkenalkannya pada kalian," jawab David. Pria itu masih saja membuat pengaturan untuk pernikahannya. Setidaknya dia harus membicarakan hal ini pada sang pembantu baru.***"Kamu harus menandatangani kontrak ini!"Pagi hari di hari Senin David menyodorkan satu lembar kertas pada Lila.Gadis yang biasanya akan ditinggal sendiri untuk mengerjakan pekerjaan rumah, kini ditunggu oleh sang majikan tampan namun dingin. Dalam hatinya tentu saja Lila bertanya-tanya mengapa sang majikan masih berada di apartemen pada jam mulai kerja? Pria itu bahkan malah duduk saling berhadapan seperti ini dengannya."I-ini kontrak apa, Tuan?" tanya Lila tak mengerti."Kontrak pernikahan kita," jawab David singkat.Lila tentu saja kaget mendengarnya. Melihat sekilas saja sudah dapat dia tebak bahwa sang majikan telah menyusun kontrak satu lembar itu dengan sangat baik."Tinggal tandatangan saja," ucap David lagi."Tapi .. mengapa Anda memberikan kontrak pernikahan ini pada saya?" tanya gadis itu semakin tak mengerti.David menghela napas. Tentu saja pembantu barunya itu akan bingung jika dihadapkan dengan situasi mendadak seperti ini. Pria itu pun menyandarkan punggungnya pada s
Hari itu Lila bekerja dengan konsentrasi yang terganggu. Gara-gara tawaran sang majikan yang tiada angin tiada hujan memintanya nikah kontrak, dia harus membuat keputusan secepat mungkin. Dia pun harus memikirkan syarat yang hendak dia ajukan nantinya.'Apa aku minta tolong untuk merebut kembali aset keluargaku, ya? Tapi dengan begitu nanti Tuan David bakalan tahu kalau aku janda ....' cicit Lila gamang.Gadis itu tetap melanjutkan pekerjaannya dengan baik. Kini sebelum waktu pulang, Lila masih punya sekitar setengah jam lagi sebelum jam tiga sore. Lila kembali memikirkan syarat apa yang dia ingin sang majikan penuhi. Sungguh menurutnya David itu aneh. Jika pria itu memaksa, seharusnya dia tak memberikan kesempatan pada Lila untuk membuat syarat, bukan?Pukul empat sore, David pulang dari kantornya. Pria itu berharap syarat kontrak pernikahan sudah selesai diletakkan di atas meja untuk dia periksa. Jika dia melihat dari keadaan Lila, dia tahu bahwa pembantu barunya itu butuh uang. Kar
Hari yang ditentukan telah tiba. David memerintahkan Lila untuk tetap menunggunya setelah selesai bekerja. Malam itu ada undangan makan malam di rumah kedua orang tua David lagi."Jadi ... Tuan meminta saya untuk ikut makan malam?" tanya Lila hati-hati saat majikannya sudah selesai mandi.David dengan rambutnya yang masih basah duduk di hadapan sang pembantu."Ya. Malam ini ada makan malam bersama kedua orang tuaku. Aku sudah memberi tahu mereka untuk membawamu," jelas David.Lila terdiam. Begitu cepat dirinya akan dipertemukan dengan kedua orang tua sang majikan."Tapi ...." Lila tentu saja terkejut lantaran ternyata sang majikan mengajaknya makan malam bersama keluarga tanpa memberi tahu dirinya lebih dulu."Tidak ada tapi-tapian! Ini merupakan tugas pertamamu. Kamu harus mengaku sebagai pacarku dan katakan kita sudah pacaran selama satu bulan," ucap David terdengar seperti perintah bagi Lila.Gadis itu sebenarnya enggan untuk menjadi pasangan sang majikan. Selain karena masih traum
Mobil hitam David segera melaju membelah jalanan kota. Atmosfer di dalamnya begitu dingin. Terlebih langit sudah gelap saat mereka keluar dari salon. Lila memilih memainkan jari-jarinya karena gugup.David sendiri benar-benar bungkam. Pria itu sama sekali tak ada niatan untuk memberikan sekedar pujian ringan pada sang pembantu yang telah menurutinya. Lalu mereka harus berhenti di depan lampu merah di mana kecanggungan akan bertambah lama."Tu-Tuan ...." Lila mencoba mencairkan suasana yang begitu sunyi. Bahkan selama keluar tadi, David sama sekali tak memainkan musik apa pun untuk menemani perjalanan mereka.David hanya menoleh. Membuat Lila semakin gugup dan memilih menghindari bertatapan mata dengannya."Emmm. Maaf, Tuan ... Tapi apakah penampilan saya sudah sesuai dengan harapan Tuan? Sa-saya khawatir jika saya mempermalukan Tuan ...." papar gadis itu dengan suara sedikit bergetar. Dia bertanya dengan rasa takut. Sungguh duduk berdua saja dengan David membuat Lila tak nyaman. Terle
Helena dan Norman saling bertukar pandang. Baru kali ini David tersenyum seperti itu setelah sekian lama."Kalian sudah pacaran berapa lama?" tanya Norman penasaran. Pasalnya sang putra tampak begitu peduli dan lembut pada Lilara. Hal ini tentu berbeda dengan sikap David yang selalu dingin pada siapa saja. Bahkan pada gadis secantik Tiara yang pernah berkunjung ke rumahnya."Baru satu bulan, Om," jawab Lila sembari tersenyum sopan."Satu bulan? Jadi kalian baru pacaran?" Helena menimpali."Ah. Iya, Tante ...." jawab Lila sembari mengangguk pelan.Tiba-tiba saja Lila merasakan jemari panjang yang menyusup menggenggam tangannya. Hangatnya tangan David kini terasa di kulitnya yang halus."Meski kami baru pacaran selama satu bulan, tapi aku benar-benar ingin menikahinya, Pah, Mah." David berdusta sembari menatap wajah Lilara.Lila terdiam kaget saat sang majikan tersenyum lembut padanya. Sungguh hal yang di luar kebiasaan."Satu bulan itu terlalu cepat, David. Kalian bahkan belum saling k
Akhirnya David mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Meski tentu saja Helena akan terus mencari keburukan Lila.'Dasar perempuan murahan. Dia pasti menggoda David agar mau tidur dengannya,' batin Helena saat mobil sang putra sudah keluar dari halaman rumah.David kembali berdua saja dengan sang pembantu cantik. Lila menunduk memikirkan ucapan tuannya yang seenaknya saja mengklaim dirinya hamil."Tuan ... Kenapa Tuan bilang kalau saya hamil? Kita bahkan belum pernah melakukan apa pun," tanya Lila mencoba memberanikan diri. Dia meremat tangannya sendiri yang berada di pangkuan.David terus menatap lurus ke arah jalan di depannya. "Itu lebih bagus supaya pernikahan ini segera terlaksana. Lagi pula perjanjiannya memang kamu harus mengandung anakku," paparnya dingin.Atmosfer kembali menjadi dingin saat David membawa Lilara pulang. Pria itu kembali pada sikap awalnya yang sebenarnya tak mempunyai perasaan pada Lilara."Di mana alamat rumahmu?" tanya David.Lila sedikit tersentak. "Di
Malam itu Lila duduk berhadapan dengan dua orang tua angkatnya. Gadis itu kini sedang diinterogasi oleh Weni mengenai hubungan yang dimaksud oleh pria tampan yang mengantarkannya pulang."Jadi apa benar laki-laki bernama David tadi adalah pacarmu?" tanya Weni."Iya, Bu." Lila menjawab dengan memberikan anggukan pelan."Tapi dia ... majikan di tempat kamu kerja?" Weni bertanya lagi."Iya."Weni menatap penampilan putri angkatnya yang begitu cantik malam ini. Wanita itu seolah melihat mantan nona mudanya kembali. Seperti inilah penampilan Lila sebelum dia mendapatkan musibah yang berkelanjutan."Maaf kalau Ibu lancang, tapi apakah Tuan David tahu kalau kamu pernah menikah?" Weni bertanya dengan hati-hati.Lila mengangguk. "Sudah, Bu.""Lalu?""Dia mau menerimaku. Dan ... Aku berharap dengan pernikahan ini aku bisa membalaskan dendamku pada Erik. Aku mau merebut kembali apa yang menjadi milik keluargaku," papar Lila dengan penuh tekad.Weni bertukar pandang dengan suaminya. Setidaknya wa
Hari Sabtu David mengajak Lila untuk memilih gaun pernikahan. Pria itu menjemput calon istrinya di rumah."Ingat, kita tidak perlu hal yang mewah. Lagi pula pernikahan kita hanya sementara," tegas David saat Lila baru saja duduk di samping kemudi."Saya mengerti, Tuan. Pernikahan kita juga tanpa cinta," sahut Lila. Meski dia sudah tahu konsekuensinya, namun dia tetap merasakan nyeri di hati saat David mengatakannya."Baguslah kalau kamu sadar diri."Mobil David melaju menuju ke butik langganannya. Dia kembali disambut dengan hangat dan kini mereka memilih gaun pernikahan untuk Lila."Saya mau ini saja, Mas," ucap Lila masih merasa kaku memanggil sang majikan dengan panggilan baru.David menatap sebuah gaun putih dengan desain sederhana. Memang gaun itu terlihat sederhana dan harganya pun menurut dia sangat murah. Namun jika mengamatinya dengan saksama, gaun tersebut juga terlihat anggun."Coba pakai!" titahnya sembari mendorong pelan punggung Lila."Saya bantu, Tuan," tawar seorang pe