INICIAR SESIÓNPasangan suami istri yang tampak menginginkan satu sama lain itu malah berakhir saling menatap selama beberapa detik.Alisa yang tidak kuat berlama-lama bersinggungan dengan manik hitam legam Dirga segera memutus pandangan. Dia beralih menatap ke arah tubuhnya yang kini sudah mengenakan kaos hitam berukuran oversize.“Aku tidak menemukan pakaian yang cocok. Jadi, aku pinjam kausmu. Apa … boleh?” tanyanya, memutus keheningan yang tercipta.Sekilas Dirga mengarahkan fokusnya untuk menatap kaus yang dikenakan Alisa. Tanpa berpikir banyak, dia menganggukkan kepala. Kemudian, dia mengayunkan langkah ke arah ranjang tidur. Dirga berkata, “Bukankah sudah kukatakan? Apa yang kita punya jadi milik bersama.”Di tempatnya, Alisa tersenyum dan menganggukkan kepala. Mendengar itu, ada rasa hangat yang menjalar di dadanya. Selagi Dirga di kamar mandi, Alisa sudah membulatkan tekadnya.Toh tidak ada bedanya melakukannya sekarang dan nanti. Pada akhirnya, kegiatan intim di atas ranjang tidak bisa te
Mendengar itu, wajah Alisa terasa memanas. Dia khawatir jantungnya akan meledak karena detaknya sangat tidak bisa dikendalikan.Memberanikan diri, Alisa bertanya dengan nada suaranya yang terdengar sedikit serak. “Kamu mau kita melakukan itu?” todongnya to the point.Alisa hanya mencoba menerjemahkan kalimat ‘menginginkan’ yang Dirga ucapkan. Apakah konteksnya mengarah pada apa yang baru saja dia tanyakan?“Pertanyaan itu seharusnya untuk dirimu sendiri, Alisa,” jawab Dirga seraya terkekeh pelan.Napas Alisa tercekat. Dia semakin mencengkram erat ujung handuk yang melilit tubuhnya. “Maksudnya? Aku tidak paham," gelengnya sambil menaikkan satu alisnya.Sebelum menjawab pertanyaan Alisa, Dirga menyempatkan diri untuk melepas kancing kemeja terakhirnya dan melepaskan kemejanya.Detik berikutnya, refleks Alisa membuang wajah. Dia tak ingin melihat tubuh atasan pria yang berstatus suaminya itu.Dalam keadaan seperti ini, rasanya itu membahayakan. Dirga termasuk pria yang menjaga bentuk fis
Karena langkah Dirga yang sudah semakin dekat, kegugupan Alisa juga meningkat. Dia memaksakan kakinya berbelok untuk kembali masuk ke kamar mandi. Alisa bisa memakai pakaian yang sebelumnya. Rasanya terlalu lama kalau saat ini dia harus memilih pakaian di lemari saat Dirga ada di dalam kamar. Namun, sialnya, karena melangkah dengan terburu, kaki Alisa malah tersandung kakinya sendiri sehingga menyebabkan tubuhnya limbung. Nyaris saja dia tersungkur ke depan dan berakhir mendarat di lantai yang keras jika saja Dirga tidak sigap menarik lengan Alisa lalu mendekapnya. Alisa hanya bisa memejamkan matanya erat-erat dengan jantung yang terus-menerus bertalu. "Tidak bisakah kamu berhati-hati?" Suara Dirga terdengar kesal. Pria itu menundukkan pandangannya, bermaksud memandang ke arah wajah Alisa. Hanya saja, pandangannya sedikit meleset. Manik hitamnya memandang lebih turun ke arah area bawah pundak Alisa. Beberapa menit lalu saat Dirga masuk ke dalam kamar, pandangannya sudah terku
Apapun? Firasat Alisa seketika berubah menjadi tidak enak, seolah dia bisa mengetahui bahwa Dirga memiliki permintaan yang kedengarannya mungkin akan membahayakan. Suara dalam batin Alisa tertawa hambar, ‘Bagaimana kalau Dirga menyuruhku menambahkan jalan harianku jadi lima belas atau dua puluh putaran?!’ pikirnya. Diam-diam Alisa berharap semoga saja Dirga meminta hal yang mudah untuk dikabulkan. Suara berat Dirga kembali mengudara. “Kenapa tidak menjawab?” Terdengar dengusan samar di ujung ucapannya. Alisa membasahi bibir bawahnya dan membalas singkat, “Apa yang kamu inginkan?” Pepatah mengatakan, lebih baik bertanya daripada tersesat di jalan. Selagi menunggu jawaban Dirga, Alisa menggigit bibir bawahnya. “Akan kuberitahu saat di rumah nanti.” Sekon berikutnya, Dirga menambahkan, “aku tutup teleponnya.” Mulut Alisa terbuka tanpa sempat menjawab sepatah kata apapun. Dia menurunkan ponselnya tanpa tenaga setelah panggilan diakhiri begitu saja. Lantas wanita itu terdiam. "Bai
“Alisa akan terlibat dalam proyek ini?” Selagi menanyakan itu, Gia tampak memelotot horror ke arah Dirga. Reaksi itu menyeret Dirga ke dalam asumsi bahwa Gia benar-benar sudah bulat untuk menolak proyek filmnya ini. Dia membalas, "Ya, tapi kalau kamu tetap tidak bersedia– "Dirga, heii ... kapan aku mengatakan tidak bersedia?" potong Gia cepat. Wanita itu terkekeh hambar. Alih-alih terlihat marah dan tidak terima, raut wajah Gia justru menunjukkan sebaliknya. Bibirnya membingkai senyuman dan air wajahnya tampak ramah. Wanita itu menarik napas panjang dan menatap Dirga penuh arti. “Aku,” jedanya tertahan karena membasahi bibir bawahnya. Gia lantas melanjutkan, “aku bersedia mempertimbangkan pembatalan kontrak kita. Aku ingin bertemu Alisa untuk mendiskusikan ulang skenario ini.” Suaranya terdengar yakin tanpa keraguan.Satu detik setelah mendengar itu, Dirga sempat dibuat terdiam. Dia bertanya-tanya, apa yang membuat Gia mengubah keputusannya dalam waktu yang singkat?Baru akan men
“Ckck, jangan berasumsi yang bukan-bukan, Pak Dirga.” Gia tampak mengetukkan jarinya di atas meja. Dia sedikit menunjukkan kegelisahannya dengan membasahi bibir bawahnya."Entah apa yang membuatmu berpikir demikian, tapi itu sama sekali tidak benar," bantah Gia terhadap tuduhan yang dilayangkan pria itu sebelumnya.Berhadapan langsung dengan Dirga ditambah tatapan hitam tajam serta sikapnya yang tenang tapi menusuk itu berhasil membuat siapapun merasa tertekan.Ya, termasuk Gia saat ini.Sebelum kembali bersuara, Gia menegakkan punggungnya. Dia menaikkan satu tangannya untuk melepaskan kacamata hitam yang sedari awal memang sengaja tidak dia lepaskan demi menghindari berkontak mata langsung dengan Dirga.Sejujurnya Gia tidak ingin bertemu Dirga karena pada akhirnya, keputusan yang sudah dia buat bisa saja berubah. Karena sejujurnya, tuduhan pria itu tidak sepenuhnya salah.Seseorang memang telah menyuruh Gia untuk membatalkan proyeknya dengan DG Picture. Hanya saja ... Gia tidak menya







