Alisa hanya diminta menyamar sebagai sepupunya untuk membatalkan perjodohan, tapi jebakan licik membuatnya justru tidur dengan pria itu! Semua orang pikir pria dingin dari keluarga berpengaruh itu akan membatalkan pertunangan, tapi tak disangka dia datang dan menuntut pertanggungjawaban! "Kau sudah tidur denganku. Jadi, kau harus menikahiku."
View More“Tuan Dirga, apa kamu mahir memuaskan wanita?”
Detik pertanyaan tersebut mengudara, pria di hadapan Alisa langsung tersedak. Satu batuk, lalu dua, hingga dia buru-buru mengambil tisu dan menahan napasnya agar tidak terlalu memalukan. Alisa hanya tersenyum santai, nyaris menikmati pemandangan itu. Manik hitam legam pria bernama Dirga tersebut kini terarah lurus padanya. “Apa katamu?” tanyanya dengan nada tak percaya, menghapus ekspresi dingin yang sedari tadi mengintimidasi. Dengan tenang, Alisa menyandarkan dagu di kedua tangannya. Senyumnya tetap menggoda, seolah pertanyaannya barusan hanyalah sapaan ringan di pagi hari. “Pertanyaanku tidak begitu sulit. Tapi kalau Tuan Dirga masih bingung, izinkan diriku memperjelas.” Mata besar wanita itu menatap Dirga dalam-dalam. “Aku bertanya ... apakah kamu ahli bermain di ranjang?” Hening. Denting sendok dan suara tawa dari meja lain terdengar jauh, seakan teredam atmosfer penuh ketegangan antara dua orang asing ini. Walau ekspresi luarnya tampak sangat tenang, Alisa Bening Gunawan sebenarnya sedang sangat gugup dengan punggung berkeringat dingin. Bagaimana tidak? Saat ini, dia sedang duduk di restoran Ellowyn Hotel yang mewah, berhadapan dengan seorang pria tampan yang baru saja dia kenal, dan dengan kurang ajarnya menanyakan tentang kemampuan pria tersebut di ranjang! Itu sangat konyol! Tapi mau bagaimana lagi? Alisa harus melakukannya. Semua demi memenuhi permintaan sepupunya, Sabrina, yang menolak perjodohan paksa dengan putra kenalan sang ibu karena sudah memiliki kekasih. Sayangnya, kekasih Sabrina bukan ‘pilihan ibu’, jadi Sabrina terlalu takut untuk mengatakan ‘tidak’ secara langsung. Maka, dia pun menyuruh Alisa, si penulis cerita cinta fiksi, untuk menyamar menjadi dirinya dalam kencan buta ini! Kebetulan Alisa dan Sabrina memang seumuran. Menurut pandangan ibu Sabrina, dua puluh lima tahun adalah umur yang tepat untuk menikah. Namun, alih-alih ingin membangun rumah tangga, Alisa sendiri malah ingin membangun kariernya sebagai penulis fiksi menjadi penulis skenario. Masih banyak yang harus Alisa kejar, dan jodoh … tidak Alisa letakkan di daftar utamanya. Alisa masih memerlukan waktu untuk bertumbuh menjadi dewasa muda dengan impian tinggi. Ya, Alisa cukup ambisius melakukan pekerjaannya. Seperti sekarang, tugas Alisa sederhana. Dia membuat pria itu membatalkan perjodohan secara sukarela. Sebagai imbalan, Sabrina akan mengenalkannya kepada seorang produser film ternama. Sebuah kesempatan langka yang bisa mengubah naskah-naskah di laptop Alisa menjadi film sungguhan. Alisa sempat menolak, tapi akhirnya dia setuju, karena, hei ... siapa yang bisa menolak mimpinya sendiri? “Pria itu dingin, kaku, dan super serius,” begitu Sabrina mendeskripsikan Dirga. “Kamu tinggal katakan sesuatu yang menjijikkan, dan dia pasti langsung kabur.” Maka itulah sebabnya Alisa duduk di sini, memulai percakapan dengan pertanyaan yang tak layak dilontarkan pada pertemuan pertama. Dan Alisa berharap, pria itu akan marah dan pergi. Sayang memang, karena pria di depannya jauh dari kata ‘tidak menarik’. Manik hitam yang tajam dan penuh kontrol, rahang tegas yang memancarkan maskulinitas, dan tubuh atletis yang terbungkus kemeja pas badan. Jujur saja, Dirga mungkin adalah pria tertampan yang pernah Alisa temui secara langsung. Andai mereka bertemu dalam situasi berbeda ... mungkin Alisa akan tertarik dan— BRAK! Suara gelas wine yang dibanting ringan ke meja membuyarkan lamunannya. Alisa mengangkat pandangan dan mendapati Dirga kini menatapnya tanpa senyum. “Ada masalah, Tuan Dirga?” tanyanya dengan nada seolah tak bersalah. “Mungkin … aku menyinggungmu?” Diam-diam, Alisa menyembunyikan kesenangan dalam batinnya. ‘Sudah pasti pria ini tersinggung. Dia pasti langsung ingin membatalkan perjodohan. Good job, Alisa! Tinggal sedikit lagi, tugasmu selesai!’ Namun, ada kalanya hal yang sudah direncanakan tidak berjalan sesuai kenyataan. Karena alih-alih kemarahan maupun tatapan jijik seperti yang diharapkan, Alisa malah mendapati Dirga … tersenyum??? “Tersinggung?” Dirga menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, bahunya relaks, bahkan terlihat seperti menahan tawa kecil. “Sama sekali tidak. Kekhawatiran Nona justru bisa kumengerti.” Hah? Alisa mengerutkan kening, kaget. Dirga bukan hanya tidak marah, tapi dia malah terlihat... menikmati? Sudut bibir pria itu terangkat. Dengan gerakan santai, dia menyilangkan tangan, lalu menatap Alisa seperti seorang predator yang baru saja menemukan mangsanya. “Pernikahan itu seumur hidup,” katanya. “Dan jika Nona ragu aku bisa memuaskan, maka tentu itu masalah serius.” Alisa menelan ludah. Ini bukan naskah yang dia siapkan. Ini… jauh di luar skenario! “Jadi,” Dirga mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya turun satu oktaf, “Kalau Nona tidak keberatan ... mungkin, kita harus mengujinya malam ini juga?” Tubuh Alisa menegang. Pria ini … bilang apa!? ****Tanpa memperdulikan apapun lagi, Dirga segera ke luar menggendong tubuh Alisa.Meskipun memejamkan mata, Alisa menyadari jika Dirga sudah membawanya masuk ke dalam mobil. Kepalanya bersandar pada sesuatu yang keras. Anehnya, dia merasa nyaman, ditambah aroma maskulin yang menenangkan. Penasaran, perlahan Alisa mencoba membuka matanya.Tepat ketika itu, suara Dirga mengudara, “Kita ke hotel.”“Hotel?”Di depan sana, tepat di samping sopir, suara pria lain langsung menimpali ucapan Dirga.Sementara itu, sang sopir segera menyalakan mesin mobil. “Baik, Pak.”“Jangan ke hotel,” cegah Alisa, nyaris terdengar seperti bisikan. Wajahnya mendongak untuk menatap Dirga. Jadi … ternyata sedari tadi dia bersandar di dada bidang Dirga? Hal tersebut membuka kesempatan baginya untuk mencengkram kemeja depan pria tersebut.Alisa tidak sempat menyadari bahwa selain sopir, ada sosok lain yang menumpang di dalam mobil ini. Dia pun
Sorot maniknya yang lembut berubah tajam. “Jangan harap aku akan membiarkanmu pulang begitu saja!”Tapi, Alisa terus memberikan pemberontakan. Dia berusaha keras melepaskan tangannya dari cekalan Leo. Aksi keduanya itu sudah menarik perhatian pengunjung yang sedang sarapan pagi.Pun, akhirnya Alisa mengatakan sesuatu. Tapi, itu bukan penjelasan yang Leo inginkan.“Aku rasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan apapun pada Kak Leo. Toh, kita tidak ada hubungan, Kak. Jadi, tidak ada gunanya Kak Leo untuk tahu.”Jawaban Alisa membangkitkan sisi kasar Leo Salvador. Pria itu menarik agar Alisa berdiri dan menyeretnya ke luar dari meja.“K–Kak Leo,” ucap Alisa mencicit seperti tikus yang terjepit. “Aku mau pulang, tolong lepaskan!”Melihat Leo yang sepertinya akan mengajak Alisa pergi, Sabrina pun berdiri dan dengan cepat menghampiri Leo. Dia meraih tangan pria itu yang kosong.“Kak Leo,” panggil Sabrina dengan suara yang lembut. “Aku tahu mengenai cerita lengkap soal Alisa. Kalau Kak Leo m
Alisa terkesiap. Seperti ada alarm peringatan dari dalam dirinya, dia langsung menolehkan wajah ke belakang. “Kak Leo ….” Wajah tampan itu begitu dekat. Leo Salvador–kakak kelas Alisa di sekolahnya dulu dan sudah puluhan kali dia tolak permintaan cintanya berbaik hati mengambil alih gelas milik Alisa lalu mengisinya sampai penuh. “Kalau merasa tidak enak badan, kenapa kamu pergi keluyuran, Alisa?” tanyanya penuh perhatian. Dari sikap dan nada bicaranya, siapapun bisa membaca bahwa Leo adalah pria yang menaruh ketertarikan pada Alisa. Cepat-cepat, Alisa mencoba mengembalikan kesadarannya. Mata besarnya mengerjap pelan beberapa kali sebelum akhirnya membalas ucapan Leo, “Terima kasih, Kak Leo.” Pria itu tidak segera mengembalikan gelasnya. Dia menatap Alisa lekat-lekat. “Aku melihat Eshara dan yang lainnya sebelum kamu datang. Kamu bergabung bersama mereka?” Kalau sudah seperti ini, Alisa tidak mungkin berbohong. Dia menganggukkan kepalanya. Sesaat Alisa ragu. Namun, dia memutuska
Saat terbangun keesokan harinya, Alisa meraba dahinya dengan punggung tangan. Ada rasa hangat yang terasa menjalar. Dia demam.‘Sepertinya aku tidak akan ke luar rumah untuk beberapa waktu,’ batin Alisa memutuskan.Meski bisa saja dia menutupi diri dengan pakaian serba tertutup, tetap saja lebih baik beristirahat di rumah dan merawat luka-lukanya agar cepat pulih.Untungnya, pekerjaannya sebagai penulis tidak mengharuskannya datang ke kantor. Dengan begitu, dia terhindar dari bombardir pertanyaan yang pasti akan membuatnya harus mencari-cari alasan.Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Alisa segera meraih ponsel di atas nakas. Begitu data dinyalakan, layar langsung dipenuhi notifikasi.Bibirnya refleks mengulas senyum, tetapi detik berikutnya dia meringis. “Aduh .…” Luka di sudut bibirnya mulai mengering berkat salep yang dia oleskan semalam, namun tetap saja perih.Meski begitu, rasa sakit itu tersamarkan ketika matanya menangkap komentar hangat para pembaca. Mereka merespons pengumuma
Secepat kilat, Utari langsung menatap tajam ke arah putrinya. “Jika itu terjadi, maka aku bisa menikah dengan Kak Leo,” lanjut Sabrina dengan serius. Saat mendengar nama yang cukup tak asing, Utari melempar novel di tangannya ke lantai begitu saja. Dia menaikkan satu alisnya, “Leo teman kakakmu itu, Sabrina?” tanyanya memastikan. Dia melanjutkan dengan nada suara yang tidak ramah, “Memangnya ada hubungan apa kamu dengannya?” Selama ini, Utari mengetahui anak laki-lakinya menjalin hubungan pertemanan dengan Leo. Demikian, pria itu kerap kali berkunjung ke rumahnya. Meskipun sejujurnya, Utari tidak begitu menyukai putranya bergaul dengan Leo karena pria tersebut berprofesi sebagai pengacara. Utari berjaga-jaga saja, takut jika tingkah busuknya ke Alisa sampai diketahui publik. Sabrina sudah membulatkan tekad untuk mulai memberitahu soal Leo pada ibunya. “Aku cukup dekat dan merasa yakin bisa menjadi calon istrinya Kak Leo, Ma.” Dia menjelaskan, “Mangkanya sejak awal, aku ngga
‘Astaga, apalagi maksud pria ini?’ Alih-alih kesal, justru Alisa merasa sudah lelah memberikan tanggapan–tidak, sejujurnya dia takut salah bicara dan berakhir menambah daftar kemarahan sang bibi. Baru dia berpikir demikian, Utari langsung membuka suara. “Nak Dirga,” panggilnya berusaha terdengar ramah. “Sekalipun kamu sekarang sudah menjadi calon suami Alisa, rasanya tidak pantas kalau dia masih berkeliaran di luar saat malam-malam.” Begitu mengalihkan pandangan ke arah Alisa, senyum Utari memudar. “Apalagi semalam anak ini tidak pulang ke rumah. Tante khawatir keluarga besar Gunawan mendapatkan citra yang buruk.” Dirga mendengus kasar. Dia mengernyitkan dahinya lantas menatap tajam ke arah Utari. “Dibandingkan Tante mengkhawatirkan citra Alisa, bagaimana dengan citra Sabrina sendiri?” Tatapan menusuk Dirga kini beralih pada Sabrina yang hanya bisa menahan napas. “Alisa tidak pulang semalam bukan berarti kesalahan ada pada dia sepenuhnya.” Dengan kata lain, kesalahan itu juga me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments