Alisa duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya dengan canggung. Napasnya tak beraturan. Tangannya dingin, akan tetapi wajahnya terasa panas.
‘Bagaimana bisa aku sampai di sini?!’ batinnya kacau, sembari menatap sekeliling. Ya, saat ini, Alisa sudah berada di kamar hotel. Setelah beberapa saat lalu dia berusaha membuat Dirga membencinya dan membatalkan perjodohan dengan membicarakan hal tak seronok, sekarang dia malah terjebak dengan usahanya sendiri karena Dirga malah mengajaknya bermalam bersama! Awalnya, Alisa ingin menolak dan lari saja. Akan tetapi, tepat sebelum dia mengatakan apa pun terhadap pertanyaan terakhir Dirga, Sabrina malah menelepon! “Gimana, Al?” Suara Sabrina terdengar saat Alisa mengangkat panggilan usai permisi kepada Dirga. “Kamu berhasil membuat pria bernama Dirga itu ilfeel?” Menghela napas kasar, Alisa menjawab, “Ilfeel dari mana?” Dia mengangkat satu tangannya yang lain untuk menutupi mulutnya, “Yang ada dia malah mengajakku tidur bersama!” “Apa?!” Sabrina nyaris berteriak. Detik setelahnya, Alisa menceritakan semuanya, mulai dari bagaimana dirinya menanyakan soal urusan ranjang dan kemampuan Dirga, sampai bagaimana Dirga mengajak Alisa untuk ‘menguji’ kemampuannya. Tapi tak diduga, jawaban Sabrina sangatlah mengejutkan. “Ya kalau begitu, terima saja.” Mata besar Alisa terbelalak. “Hah?!” “Serius. Terima saja. Pesan kamar. Nanti aku kirim orang untuk bantu kamu,” ucap Sabrina memberikan perintah. Alisa ingin sekali berteriak, tapi dia menahan emosi dan berkata, “Bantu aku gimana? Kamu aja nggak ada di sini!” “Haduhh,” keluh Sabrina merasa jengkel. “Jangan bawel! Kamu tahu ‘kan koneksiku semenjak menjadi penulis skenario di Lucia House jadi cukup luas. Menurutmu, kenapa aku memilih hotel Ellowyn untuk kencan buta ini? Karena aku punya koneksi di sana! Tenang, aku akan pastikan kamu baik-baik saja.” “Aku paham, Na, tapi–!” “Laksanakan dan ikuti perintahku kalau kamu masih mau bertemu Produser Argo!” *BIIP* Panggilan berakhir begitu saja. Dan karena itulah … sekarang, dengan hanya dibekali kepercayaan kepada sepupunya, Alisa terjebak di kamar hotel dengan pria yang nyaris sempurna secara visual, tapi sangat berbahaya secara situasi! Menjambak rambutnya sendiri, Alisa menangis dalam hati. ‘Bantuan Sabrina belum tiba juga sampai sekarang, bagaimana ini?!’ keluhnya. Tepat di tengah rasa kepanikan Alisa, pintu kamar mandi terbuka. Uap tipis menyebar ke luar. Alisa sontak menoleh, lalu nyaris melompat dari tempat tidur saat melihat pemandangan di depan mata. Dirga keluar dari kamar mandi dengan hanya handuk putih yang melilit pinggangnya. Rambutnya masih basah dan tetesan air menuruni dada bidangnya. Tanpa tergesa, dia berjalan santai lalu menatap Alisa yang terpaku dan … memerah seperti tomat rebus. Menyaksikan itu, ekspresi pria tersebut sekilas tampak terhibur. “Kenapa wajahmu begitu merah?” tanyanya. “Kamu … tidak gugup ‘kan?” Cepat-cepat Alisa mengalihkan pandangan. “T–tentu tidak!” Tangan kanannya menepis udara. Alisa melanjutkan, “Memangnya kamu kira aku cuma pernah melakukan ini sekali? Aku cuma … panas saja!” Kini, Alisa menggunakan kedua tangannya itu untuk berpura-pura mengipasi wajahnya sendiri. Dirga mengangkat satu alisnya. “Oh?” Dalam satu gerakan licin, pria itu mencondongkan tubuh, menekan kedua tangannya ke area ranjang persis di sebelah kanan dan kiri tubuh Alisa, mengurungnya di atas tempat tidur. Seketika Alisa membeku. Napasnya tercekat. Alisa sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menatap manik hitam legam pria itu. “Kalau begitu,” bisik Dirga, suaranya berat dan mengandung bahaya, “mungkin kita bisa langsung mulai—” DING DONG! Suara bel terdengar, memotong kalimat Dirga dan mengalihkan fokus pria itu. “Siapa—” “Minggir!” potong Alisa seraya mendorong dada Dirga secepat mungkin dan bangkit berdiri. “I-itu pasti pesananku!” katanya gugup. Walau dalam hati dia membatin, ‘Itu pasti penyelamatku!’ Namun, begitu pintu dibuka oleh Alisa yang tampak sangat lega. Seketika, ekspresinya kembali memucat. Di hadapan Alisa, seorang pelayan berdiri di sana dengan senyum sopan, membawa nampan berisi satu botol anggur merah dan dua gelas wine. “Atas nama Nona Sabrina Gunawan,” kata sang pelayan sambil menyodorkan benda yang dia bawa di atas nampan. “Satu botol anggur Château de Lune Rouge, sesuai pesanan.” Hal itu membuat Alisa terbengong dan sungguh ingin berteriak. Kalau namanya ingin menolong, kenapa Sabrina malah mengirimkannya wine?! Ini bukannya menolong, tapi mau mendorong ke jurang!! ***“Setelah sampai di villa, aku jelaskan detailnya padamu.”Alisa menolehkan kepalanya mendengar jawaban Dirga berikutnya. Dia menghela napas.Kalau memang akan dibahas nanti, kenapa harus diungkit sekarang? pikirnya.Alisa tidak suka dibuat penasaran. Meskipun sudah menangkap isi pembicaraan ini tertuju ke arah mana, tapi jelas dia ingin penjelasan dari Dirga.Pada akhirnya, Alisa mengangguk pelan. “Baiklah.”Rasa lelah mulai menyerang tubuhnya. Sesekali Alisa mengatur napasnya karena sesak di dadanya masih terasa. Pun, dia mencoba untuk mengosongkan pikirannya dari hal-hal yang bisa membuatnya stress.Bisa-bisa itu memicu asmanya untuk kambuh. Alisa tidak ingin membuat perjalanan ini jadi tidak menyenangkan.Keheningan menemani mereka selama perjalanan pulang. Tidak banyak yang dilakukan karena setelah tiba di area berkuda, mereka memutuskan kembali ke villa dan memilih beristirahat di sana.“Aku saja yang menyetir,” ucap Andra saat melihat Erick yang hendak membuka pintu kemudi.Seja
Beberapa menit berlalu, semuanya sepakat untuk turun, termasuk Sabrina yang kali ini tidak memprotes. Sepertinya dia akan menjadi satu-satunya yang paling dipojokkan kalau memiliki pendapat yang berbeda.Rasanya benar-benar tidak adil.Mereka sudah menunggangi kuda masing-masing … terkecuali Alisa. Dia duduk di atas kuda yang sama dengan Dirga.“Seandainya kamu kehilangan keseimbangan, kamu mau jatuh atau paling mengerikan terseret oleh kuda yang kamu tunggangi?”Ucapan kejam Dirga berhasil membuat Alisa setuju agar mereka naik bersama. Sementara kuda yang sebelumnya ditunggangi Alisa kini dibawa oleh salah satu petugas di belakang.Posisi mereka pun bergeser. Alisa dan Dirga kini berada di barisan kedua, tepat di belakang petugas yang memimpin rombongan.Di sebelahnya, Andra tampak berdeham beberapa kali. Tak pernah terlintas dalam pikirannya melihat momen kebersamaan romantis teman baiknya dengan pasangannya.Selama ini Dirga hanya sibuk bermesraan dengan laporan dan layar komputer.
“Katakan saja, kenapa aku harus menemui Erick?”Andra meniru suara Dirga setelah pria itu memutuskan untuk menemui Erick dengan pesan yang Alisa berikan. Kepalanya menggeleng kecil, merasa tak percaya mendapati sikap dingin Dirga seolah mencair tiap kali berada di sekitar Alisa.“Beritahu aku sedikit tips untuk bisa menjinakkan Dirga, Al,” pinta Andra. Nada bicaranya setengah bercanda. Namun, sebenarnya setengahnya lagi Andra serius.Hanya dalam waktu singkat, Alisa berhasil membuat Dirga melakukan perintahnya. Padahal di perusahaan tak ada yang berani memerintah Dirga, termasuk Andra.Dilihatnya, Alisa tertawa ringan sambil mengernyitkan dahi. “Menjinakkan? Kamu kira … Dirga makhluk apa, Andra?”Mendengar tawa Alisa, Andra mengembuskan napas kelegaan. Tatapan pria itu menatap Alisa dalam. “Kamu sudah bisa tertawa, apa kamu sudah merasa lebih baik?”Kepala Alisa mengangguk kuat. “Sudah. Aku sudah jauh-jauh lebih baik.”Ingatan Alisa terlempar pada saat beberapa menit lalu sebelum Eric
“Iya, Alisa memang punya asma.”Siapa sangka wanita di sebelah Andra menyahutinya. Saat Andra menolehkan wajah, dia mendapati sosok wanita itu juga tengah menatapnya.“Kamu juga, Sabrina?” tanyanya sambil menaikkan satu alisnya.Sabrina menggelengkan kepalanya. “Keluarga Gunawan sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit asma. Sepertinya turunan dari orang tua kandung Alisa,” bebernya.Kepalanya menoleh lagi ke depan, menatap Alisa lurus-lurus yang tengah dibantu Dirga dan Erick bersandar di satu pohon besar. Sabrina mendengus kasar.Perasaannya berantakan. Lagi-lagi dia merasa iri. Semua perhatian yang dia dambakan dimilikki Alisa seorang diri. Batinnya bertanya-tanya, ‘kenapa harus Alisa? Kenapa harus dia yang menjadi pusat perhatian semua orang?’Sementara Sabrina, seperti biasa selalu menjadi sosok figuran yang menyaksikan pemeran utamanya berbahagia. Sejurus kemudian, dia membantah pemikirannya sendiri.Tidak. Bukan. Dia bukanlah pemeran figuran.Jika Alisa adalah pemeran utama
Di belakang sana, di atas tunggangan kudanya, Dirga nyaris tak berpaling sedikitpun dari Alisa. Beberapa menit yang lalu, dia mulai merasa ada yang aneh dari gerak tubuh Alisa di atas kudanya. Punggung wanita itu sedikit membungkuk dengan tangan yang mencengkram erat tali kekang pada kuda. Terdengar batuk kecil dari mulut Alisa. “Berhenti,” perintah Dirga dengan tegas seraya menolehkan wajahnya. Begitu perintah itu diturunkan, petugas yang berada di barisan paling belakang segera menurunkan walkie-talkie dari bahunya dan menyampaikan perintah itu ke depan. “Hentikan perjalanan. Ada sedikit masalah di belakang.” Mendengar itu, napas Erick tercekat. Punggungnya menegak dengan tegang. Jangan-jangan … Alisa! Dia tidak sabar menunggu ketika petugas di depannya turun untuk memegangi tali kekang kudanya. Erick jelas tidak bisa menunggu lama. Kekhawatiran melandanya. Di sisi lain, Andra ikut menolehkan kepala. Satu alisnya terangkat, bertanya dalam batin tentang apa yang terjadi
“Hai, Kakak Ipar!” sapa Sabrina dengan nada suara yang kelewat ceria. Padahal, dia memiliki hubungan tak baik dengan sosok yang disebut sebagai kakak ipar.Panggilan itu jelas bukan ditujukan untuk Erick, apalagi Andra yang hanyalah orang asing. Hanya ada satu orang yang pantas disapa begitu, yakni … Dirga Disastra.Lain halnya Sabrina yang berpura-pura ceria, kedatangan Dirga hanya disambut lirikan sekilas oleh Alisa. Dia belum sanggup menatap pria itu berlama-lama.“Apa kita sudah bisa pergi berkuda sekarang?” tanya Sabrina seolah tak terjadi apa pun.Dirga memandangnya tajam lantas memberikan anggukan singkat.“Kalau begitu, let’s go!” seru Sabrina antusias. Sebelum pergi, dia melakukan kontak mata dengan Alisa seolah mengisyaratkan agar dirinya tetap tutup mulut.Alisa melengos. Kini, hanya tersisa dirinya dan Dirga. Keheningan menyelimuti keduanya.‘Ayolah, setidaknya katakan sesuatu!’ batinnya berbisik lirih. Bukan untuk Dirga, tapi untuk dirinya sendiri.Kalau Alisa diam setela