MasukWalau dirinya sempat ingin menangis, tapi Alisa berusaha tenang. Dia meraih botol anggur dan gelas wine sembari bertanya lirih, “H-hanya … hanya ini saja?”
Pelayan itu tersenyum. “Ya, Nona. Hanya ini saja yang Anda pesan.” Namun, sebelum Alisa bisa memaki sosok Sabrina lagi dalam hati, pelayan itu sedikit mendekat dan berbisik, “Gelas ini khusus pasangan Nona Alisa agar bisa tidur dengan nyenyak malam ini.” Mata besar Alisa terbelalak. Pelayan itu tahu namanya. Dia pun membatin, ‘Ah! Ini pasti bala bantuan yang Sabrina kirimkan! Dan gelas ini … pasti maksudnya sudah diberikan obat tidur agar aku bisa kabur!’ Diam-diam Alisa menghela napas lega. Ternyata, sepupunya itu sungguh memenuhi janji untuk membantunya! Dengan senyum cerah, Alisa berkata, “Terima kasih.” Kemudian, dia langsung membawa satu botol anggur dan dua gelas wine tersebut ke dalam kamar. “Aku … memesan ini,” kata Alisa sambil meletakkan benda-benda yang dia bawa ke atas meja, lalu mulai menuangkan anggur ke dalam dua gelas, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Dirga. “Supaya suasananya lebih santai.” Menepis kegugupannya, Alisa dengan cepat menuangkan wine ke dalam gelas, lalu menyodorkannya kepada Dirga. “Silakan … Tuan Dirga.” Dalam hati, Alisa sebenarnya agak khawatir. ‘Pria ini tidak akan mati, ‘kan setelah minum itu?’ Namun, dia yakin Sabrina sudah mengatur semuanya dengan sempurna. Dirga menerima gelas itu. “Terima kasih,” gumamnya. Namun, begitu Dirga ingin meminumnya, pria itu berhenti. Pandangannya teralihkan ke satu arah. “Sepertinya ponselmu bergetar.” Mendengar hal itu, pandangan Alisa menoleh ke belakang, pada sebuah meja tempat ponselnya diletakkan. “Ah, tunggu sebentar.” Dia pun meletakkan gelasnya dan berjalan ke arah meja untuk meraih ponselnya. Bisa jadi itu Sabrina. Akan tetapi, saat Alisa mengecek layar, hanya ada notifikasi aplikasi. Tidak ada pesan masuk. “Orang tuamu?” Suara Dirga terdengar bertanya, membuat Alisa menoleh, tepat saat pria itu meneguk wine-nya. ‘YES!’ batin Alisa memekik senang karena melihat target sudah mengeksekusi dirinya sendiri. Namun, cepat dia sadar dan kembali bersikap tenang sebelum menjawab, “Bukan, hanya notifikasi pesan saja.” Buru-buru Alisa mengalihkan topik, “Bagaimana rasanya?” tanyanya, merujuk pada wine yang baru diteguk Dirga. “Lumayan.” Manik hitam pria itu bergeser dan menatap Alisa. “Cobalah.” Alisa agak ragu, tapi kemudian dia berjalan mendekat. Dengan terpaksa, dia meraih wine miliknya lalu mencicipinya. “Hmm, memang enak,” ucapnya sembarang, walaupun seumur-umur Alisa tidak menyukai minuman beralkohol. Serius, rasanya lebih enak air putih. Akan tetapi, entah kenapa kali ini ada rasa manis dari wine yang Alisa teguk. Yah, mungkin saja rasa manis ini datang dari kenyataan kebebasan akan segera tiba untuknya. Ha ha ha! “Begitukah?” tanya Dirga, dengan senyum penuh arti yang membuat Alisa memaki. Sial, wajah itu memang tampan. Bisa-bisanya Sabrina menolak pria setampan Dirga Disastra. Alisa berpikir, Dirga jauh lebih baik dibandingkan Leo Salvador yang saat ini menjadi pria yang sangat dielu-elukan Sabrina. Dari segi rupa dan … aura. Jujur saja, pria seperti Dirga terlihat mahal. Alisa tidak mengatakan jika Leo adalah pria yang buruk. Leo perhatian, tapi dia cukup temperamen. Itu sebabnya Alisa pernah menolak Leo. Dulu dan sampai sekarang. “Ya, anggur ini sangat enak dan—” DEG! Kalimat Alisa terpotong, tepat saat jantungnya berdebar keras satu kali. Alisa mengerutkan kening. Ada yang tidak beres. Tubuhnya mulai terasa panas. Napasnya mulai terengah-engah. Pandangan Alisa mulai membuyar. ‘Apa yang—’ “Sabrina.” Suara Dirga terdengar, rendah namun jelas. “Apa ada yang salah?” Pandangan Alisa jatuh pada gelas di tangannya, lalu dia menatap gelas Dirga. Apa … apa mungkin Alisa salah mengambil gelas?! Kenapa rasanya efek obat menyerang dirinya? Tapi tunggu … kenapa … kenapa efek obat ini membuatnya resah dan seakan ingin … disentuh!? Bukankah Sabrina memberikan obat tidur di salah satu gelas tadi? Kenapa jadi seperti … merasakan efek obat perangsang begini?! “Mukamu merah. Kamu baik-baik saja?” Ditanya seperti itu, Alisa mulai kesulitan menjawab. Pandangannya membuyar, dan keseimbangannya mulai limbung. Saat dia mulai jatuh, Dirga menangkapnya, ekspresi pria itu agak bingung dan khawatir dengan alis tertaut erat. "Sabrina, kamu—" Belum selesai Dirga bicara, Alisa mendaratkan ciuman di bibirnya, membungkam Dirga, dan membuat pria itu terbelalak. Dirga berusaha mendorong Alisa menjauh, tapi wanita itu malah melingkarkan kedua lengannya di leher Dirga dan mendorongnya ke tempat tidur. Duduk di atas tubuh pria itu yang sudah setengah telanjang, Alisa memohon dengan wajah memelas. "Tolong ..." ucapnya lirih. "Tolong bantu aku ...." Kentara, kesadaran Alisa sudah tidak lagi di tempatnya. **** Keesokan paginya, Alisa terbangun karena cahaya matahari yang mendarat di wajahnya dari sela-sela tirai. Dia pun berbalik dan menarik selimut, sebelum kemudian memeluk dirinya sendiri dari dingin. Lalu, dia menyadari keanehan. Kenapa tangan dan lengannya langsung bertemu dengan kulit perutnya? Mata besar Alisa terbuka. Perlahan, pandangannya bergerak menatap ke bawah. Seketika napas Alisa tercekat. Dia hanya mengenakan pakaian dalam! Panik, Alisa langsung terduduk. Buru-buru dia menarik selimut untuk kembali menutupi tubuhnya. Dengan suara yang tersendat di tenggorokan, Alisa bertanya, “A–apa yang telah kulakukan?” Maksudnya, bagaimana bisa dia tidur tanpa mengenakan pakaian? Sekalipun Alisa harus terjebak di gurun pasir dengan terik matahari yang tinggi dan kepanasan, dia yakin tidak akan pernah melepaskan pakaiannya. Lagi pula pendingin di kamarnya tidak bermasalah– Cepat, Alisa melihat sekeliling untuk memeriksa keadaan sekitar, dan seketika wajahnya memucat mendapati apa yang terjadi. ***Sebelum Dirga bersedia menjelaskan tentang apa yang terjadi, dia menyempatkan diri untuk membuatkan Alisa teh hangat setelah mengetahui bahwa wanita itu mengaku perutnya merasa tidak enak. Dirga juga menyodorkan minyak angin. Yang satu itu Alisa tolak. “Tidak usah,” gelengnya. “Ini saja sudah cukup.” Diangkatnya secangkir teh yang ada dalam genggaman tangannya. Hal itu membuat Dirga menghela napas lantas menaruh minyak angin yang dibawanya di atas nakas. Dia pun duduk di hadapan Alisa yang menyandarkan tubuhnya ke punggung ranjang tidur. “Jelaskan, Dirga,” pinta Alisa tidak sabaran. Sesaat, dia mencicipi teh hangat itu kemudian menaruhnya di nakas. Sejujurnya, kalau boleh diberikan pilihan, Dirga enggan memberikan penjelasan. Namun, menyembunyikannya malah bisa membuat buruk hubungannya dengan Alisa. Pria itu tampak mengusap wajahnya. “Kamu juga muntah malam itu,” beritahu Dirga. Manik hitamnya menyorot Alisa tajam. “Kalau tidak bisa minum sama sekali, kenapa malah memesan wine?
Pasangan suami istri yang tampak menginginkan satu sama lain itu malah berakhir saling menatap selama beberapa detik.Alisa yang tidak kuat berlama-lama bersinggungan dengan manik hitam legam Dirga segera memutus pandangan. Dia beralih menatap ke arah tubuhnya yang kini sudah mengenakan kaos hitam berukuran oversize.“Aku tidak menemukan pakaian yang cocok. Jadi, aku pinjam kausmu. Apa … boleh?” tanyanya, memutus keheningan yang tercipta.Sekilas Dirga mengarahkan fokusnya untuk menatap kaus yang dikenakan Alisa. Tanpa berpikir banyak, dia menganggukkan kepala. Kemudian, dia mengayunkan langkah ke arah ranjang tidur. Dirga berkata, “Bukankah sudah kukatakan? Apa yang kita punya jadi milik bersama.”Di tempatnya, Alisa tersenyum dan menganggukkan kepala. Mendengar itu, ada rasa hangat yang menjalar di dadanya. Selagi Dirga di kamar mandi, Alisa sudah membulatkan tekadnya.Toh tidak ada bedanya melakukannya sekarang dan nanti. Pada akhirnya, kegiatan intim di atas ranjang tidak bisa te
Mendengar itu, wajah Alisa terasa memanas. Dia khawatir jantungnya akan meledak karena detaknya sangat tidak bisa dikendalikan.Memberanikan diri, Alisa bertanya dengan nada suaranya yang terdengar sedikit serak. “Kamu mau kita melakukan itu?” todongnya to the point.Alisa hanya mencoba menerjemahkan kalimat ‘menginginkan’ yang Dirga ucapkan. Apakah konteksnya mengarah pada apa yang baru saja dia tanyakan?“Pertanyaan itu seharusnya untuk dirimu sendiri, Alisa,” jawab Dirga seraya terkekeh pelan.Napas Alisa tercekat. Dia semakin mencengkram erat ujung handuk yang melilit tubuhnya. “Maksudnya? Aku tidak paham," gelengnya sambil menaikkan satu alisnya.Sebelum menjawab pertanyaan Alisa, Dirga menyempatkan diri untuk melepas kancing kemeja terakhirnya dan melepaskan kemejanya.Detik berikutnya, refleks Alisa membuang wajah. Dia tak ingin melihat tubuh atasan pria yang berstatus suaminya itu.Dalam keadaan seperti ini, rasanya itu membahayakan. Dirga termasuk pria yang menjaga bentuk fis
Karena langkah Dirga yang sudah semakin dekat, kegugupan Alisa juga meningkat. Dia memaksakan kakinya berbelok untuk kembali masuk ke kamar mandi. Alisa bisa memakai pakaian yang sebelumnya. Rasanya terlalu lama kalau saat ini dia harus memilih pakaian di lemari saat Dirga ada di dalam kamar. Namun, sialnya, karena melangkah dengan terburu, kaki Alisa malah tersandung kakinya sendiri sehingga menyebabkan tubuhnya limbung. Nyaris saja dia tersungkur ke depan dan berakhir mendarat di lantai yang keras jika saja Dirga tidak sigap menarik lengan Alisa lalu mendekapnya. Alisa hanya bisa memejamkan matanya erat-erat dengan jantung yang terus-menerus bertalu. "Tidak bisakah kamu berhati-hati?" Suara Dirga terdengar kesal. Pria itu menundukkan pandangannya, bermaksud memandang ke arah wajah Alisa. Hanya saja, pandangannya sedikit meleset. Manik hitamnya memandang lebih turun ke arah area bawah pundak Alisa. Beberapa menit lalu saat Dirga masuk ke dalam kamar, pandangannya sudah terku
Apapun? Firasat Alisa seketika berubah menjadi tidak enak, seolah dia bisa mengetahui bahwa Dirga memiliki permintaan yang kedengarannya mungkin akan membahayakan. Suara dalam batin Alisa tertawa hambar, ‘Bagaimana kalau Dirga menyuruhku menambahkan jalan harianku jadi lima belas atau dua puluh putaran?!’ pikirnya. Diam-diam Alisa berharap semoga saja Dirga meminta hal yang mudah untuk dikabulkan. Suara berat Dirga kembali mengudara. “Kenapa tidak menjawab?” Terdengar dengusan samar di ujung ucapannya. Alisa membasahi bibir bawahnya dan membalas singkat, “Apa yang kamu inginkan?” Pepatah mengatakan, lebih baik bertanya daripada tersesat di jalan. Selagi menunggu jawaban Dirga, Alisa menggigit bibir bawahnya. “Akan kuberitahu saat di rumah nanti.” Sekon berikutnya, Dirga menambahkan, “aku tutup teleponnya.” Mulut Alisa terbuka tanpa sempat menjawab sepatah kata apapun. Dia menurunkan ponselnya tanpa tenaga setelah panggilan diakhiri begitu saja. Lantas wanita itu terdiam. "Bai
“Alisa akan terlibat dalam proyek ini?” Selagi menanyakan itu, Gia tampak memelotot horror ke arah Dirga. Reaksi itu menyeret Dirga ke dalam asumsi bahwa Gia benar-benar sudah bulat untuk menolak proyek filmnya ini. Dia membalas, "Ya, tapi kalau kamu tetap tidak bersedia– "Dirga, heii ... kapan aku mengatakan tidak bersedia?" potong Gia cepat. Wanita itu terkekeh hambar. Alih-alih terlihat marah dan tidak terima, raut wajah Gia justru menunjukkan sebaliknya. Bibirnya membingkai senyuman dan air wajahnya tampak ramah. Wanita itu menarik napas panjang dan menatap Dirga penuh arti. “Aku,” jedanya tertahan karena membasahi bibir bawahnya. Gia lantas melanjutkan, “aku bersedia mempertimbangkan pembatalan kontrak kita. Aku ingin bertemu Alisa untuk mendiskusikan ulang skenario ini.” Suaranya terdengar yakin tanpa keraguan.Satu detik setelah mendengar itu, Dirga sempat dibuat terdiam. Dia bertanya-tanya, apa yang membuat Gia mengubah keputusannya dalam waktu yang singkat?Baru akan men







